Biotransformasi
ialah perubahan kimia (atau modifikasi) yang dibuat oleh suatu organisme
atas suatu senyawa kimia. Bila modifikasi akhir sebagai senyawa mineral
seperti CO2, NH4+, atau H2O,
biotransformansi ini disebut mineralisasi.
Biotransformasi
berarti perubahan kimia dari zat-zat kimia seperti (tetapi tidak terbatas pada)
nutrien, asam amino, toksin, dan obat-obatan di dalam tubuh. Biotransformasi
juga dibutuhkan untuk mewujudkan senyawa-senyawa nonpolar polar sehingga mereka
tidak diserap-ulang dalam tubula renal dan dikeluarkan. Biotransformasi xenobiotic
dapat mendominasi toksikokinetik dan metabolitnya mungkin kaya dengan
konsentrasi tinggi pada organisme daripada senyawa induk mereka.
Istilah yang mungkin terkait dengan Biotransformasi
:
1. Farmakokinetika
Farmakokinetika adalah Ilmu yang mempelajari kinetika
absorpsi,distribusi dan eliminasi (yakni, ekskresi dan metabolisme obat)
(Shargel & Yu, 1988 ;Ganiswara, et al, 1995 ; Bauer, 2001) padamanusia atau
hewan dan menggunakaninformasi ini untuk meramalkan efekperubahan-perubahan
dalam takaran,rejimen takaran, rute pemberian, dankeadaan fisiologis pada
penimbunan dandisposisi obat (Lachman, et al, 1989).
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui
berbagai cara pemberian umunya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan
untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa
biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut
dengan proses farmakokinetika dan berjalan serentak seperti yang terlihat pada
gambar 1.1 dibawah ini.
1)
Absorpsi
dan Bioavailabilitas
Kedua istilah
tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat
dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut.
Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi
secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini
menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi
sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu,
tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi
sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada pemberian
oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut.
Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first
pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian
mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi
oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan
kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai
sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi
dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya
nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan.
A. Metode absorpsi
-
Transport pasif
Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya
dengan proses difusi obat dapat berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi
tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah. Transport aktif terjadi selama
molekul-molekul kecil dapat berdifusi sepanjang membrane dan berhenti bila
konsentrasi pada kedua sisi membrane seimbang.
-
Transport Aktif
Transport aktif membutuhkan energy untuk menggerakkan
obat dari daerah dengan konsentrasi obat rendah ke daerah dengan konsentrasi
obat tinggi
b.
Kecepatan Absorpsi
Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi
sitemik hanya sedikit sel. Absorpsi terjadi cepat dan obat segera mencapai
level pengobatan dalam tubuh.
-
Detik s/d menit: SL, IV, inhalasi
-
Lebih lambat: oral, IM, topical kulit, lapisan intestinal, otot
-
Lambat sekali, berjam-jam / berhari-hari: per rektal/ sustained frelease.
c.
Faktor yang mempengaruhi penyerapan
1.
Aliran darah ke tempat absorpsi
2.
Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi
3.
Waktu kontak permukaan absorpsi
d.
Kecepatan Absorpsi
1.
Diperlambat oleh nyeri dan stress
Nyeri dan stress mengurangi aliran darah, mengurangi
pergerakan saluran cerna, retensi gaster
2.
Makanan tinggi lemak
Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat
pengosongan lambung dan memperlambat waktu absorpsi obat
3.
Faktor bentuk obat
Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul,
cairan, sustained release, dll)
4.
Kombinasi dengan obat lain
Interaksi satu obat dengan obat lain dapat
meningkatkan atau memperlambat tergantung jenis obat. Obat yang diserap oleh
usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke seluruh tubuh. Hepar
memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini yang disebut dengan
efek first-pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat menjadi inaktif
sehingga menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sistemik, jadi dosis
obat yang diberikan harus banyak.
2)
Distribusi
Setelah diabsorpsi
Obat
akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung
dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya.
Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh.
Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang
perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya,
distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya
tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak.
Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi
ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler
mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah
larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak,
sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel
sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga
dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat
berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma
ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar
proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi
berat karena adanya defisiensi protein.
Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor:
a. Aliran darah Setelah obat sampai ke
aliran darah, segera terdistribusi ke organ berdasarkan jumlah aliran darahnya.
Organ dengan aliran darah terbesar adalah Jantung, Hepar, Ginjal. Sedangkan
distribusi ke organ lain seperti kulit, lemak dan otot lebih lambat
b. Permeabilitas
kapilerTergantung pada struktur kapiler dan struktur obat
C. Ikatan proteinObat yang beredar di seluruh tubuh dan
berkontak dengan protein dapat terikat atau bebas. Obat yang terikat protein
tidak aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya obat bebas yang dapat memberikan
efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat protein
3)
Biotransformasi Metabolisme
Biotransformasi metabolisme obat ialah proses perubahan
struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada
proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut
dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui
ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi
sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya
sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat
(prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit
aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga
kerjanya berakhir.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat
dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat
dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk
mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama
terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya
ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma.
Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara:
a.
Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;
b. Menjadi
metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dfan bisa dimetabolisme
lanjutan.
Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif
kemudian setelah dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs).
Metabolisme obat terutama terjadi
di hati, yakni di membran endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol.
Tempat metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal,
paru, darah, otak, dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah
mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat
diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umunya
diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang
aktif, atau menjadi toksik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme:
1.
Kondisi Khusus
Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi
metabolisme, al. penyakit hepar seperti sirosis.
2.
Pengaruh Gen
Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang
dapat memetabolisme obat dengan cepat, sementara yang lain lambat.
3.
Pengaruh Lingkungan
Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme,
contohnya: Rokok, Keadaan stress, Penyakit lama, Operasi, Cedera
4.
Usia
Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi vs
dewasa vs orang tua.
4) Ekskresi Obat
dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit
hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar
diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui
paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini
merupakan resultante dari 3 preoses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi
aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan
distal. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal
sehingga dosis perlu diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan
kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval
pemberian obat.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat,
liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil
sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan
sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat
digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran
forensik.
Farmakodinamik adalah subdisiplin
farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta
mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari farmakodinamik adalah untuk meneliti
efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan
peristiwa serta spektrum efek dan respons yang terjadi (Gunawan, 2009).
Farmakodinamika
mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh
serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk
meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui
urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang
baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam
sintesis obat baru.
1)
Mekanisme Kerja Obat
Efek
obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu
organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan
biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut.
Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep
penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh.
Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi
fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum
konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen makromolekul
fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor
obat tertentu juga berperan sebagai reseptor yang ligand endogen (hormon,
neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut
agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi
menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonist
binding site) disebut antagonis.
2)
Reseptor
Obat Struktur kimia suatu obat berhubunga dengan afinitasnya terhadap reseptor
dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat,
misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat
farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat
dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih
baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. Dalam
keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein
seluler lain membentuk sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.
3)
Transmisi
Sinyal Biologis Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan
suatu substansi ekstraseluler (extracellular chemical messenger)
menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini
dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam
sitoplasmaoleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar.
Contoh, transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah
katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma
ialah steroid (adrenal dan gonadal), tiroksin, vit. D.
4) Interaksi Obat-Reseptor Ikatan antara obat dan
reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah
(ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals), dan jarang berupa ikatan
kovalen.
5) Antagonisme Farmakodinamika Secara farmakodinamika
dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme fisiologik dan
antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat bersifat
kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau
penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi
obat. Obat yang menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedang obat
yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut agonis. Secara umum obat yang
efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut obat objek, sedangkan obat yang
mempengaruhi efek obat lain disebut obat presipitan.
6) Kerja Obat yang tidak Diperantarai Reseptor Dalam
menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini
mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul
kecil, atau masuk ke komponen sel.
7) Efek Obat
Efek obat yaitu perubahan fungsi struktur
(organ)/proses/tingkah laku organisme hidup akibat kerja obat.
Macam-macam Bentuk Obat dan Tujuan
Penggunaannya
• Bentuk-bentuk obat serta tujuan penggunaannya antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Pulvis (Serbuk)
Merupakan campuran kering bahan obat atau zat kimia yang
dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian luar.
b. Pulveres
Merupakan serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih
kurang sama, dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali
minum.
c. Tablet (Compressi)
Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak
dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler kedua permukaan rata atau cembung
mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan.
1) Tablet Kempa paling banyak digunakan, ukuran dapat
bervariasi, bentuk serta penandaannya tergantung design cetakan
2) Tablet Cetak dibuat dengan memberikan tekanan rendah
pada massa lembab dalam lubang cetakan.
3) Tablet Trikurat tablet kempa atau cetak bentuk kecil
umumnya silindris. Sudah jarang ditemukan
4) Tablet Hipodermik dibuat dari bahan yang mudah larut
atau melarut sempurna dalam air. Dulu untuk membuat sediaan injeksi hipodermik,
sekarang diberikan secara oral.
5) Tablet Sublingual dikehendaki efek cepat (tidak lewat
hati). Digunakan dengan meletakkan tablet di bawah lidah.
6) Tablet Bukal digunakan dengan meletakkan di antara
pipi dan gusi.
7) Tablet Efervescen tablet larut dalam air. Harus
dikemas dalam wadah tertutup rapat atau kemasan tahan lembab. Pada etiket
tertulis “tidak untuk langsung ditelan”.
8) Tablet Kunya cara penggunaannya dikunyah. Meninggalkan
sisa rasa enak di rongga mulut, mudah ditelan, tidak meninggalkan rasa pahit,
atau tidak enak.
d. Pilulae (PIL) Merupakan bentuk sediaan padat bundar
dan kecil mengandung bahan obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Saat ini
sudah jarang ditemukan karena tergusur tablet dan kapsul. Masih banyak ditemukan
pada seduhan jamu.
e. Kapsulae (Kapsul)
Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam
cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Keuntungan/tujuan sediaan kapsul
yaitu:
1) Menutupi bau dan rasa yang tidak enak
2) Menghindari kontak langsung dengan udara dan sinar
matahari
3) Lebih enak dipandang
4) Dapat untuk 2 sediaan yang tidak tercampur secara
fisis (income fisis), dengan pemisahan antara lain menggunakan kapsul
lain yang lebih kecil kemudian dimasukkan bersama serbuk lain ke dalam kapsul
yang lebih besar.
5) Mudah ditelan.
f. Solutiones (Larutan) Merupakan sediaan cair yang
mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat larut, biasanya dilarutkan
dalam air, yang karena bahan-bahannya, cara peracikan atau penggunaannya, tidak
dimasukkan dalam golongan produk lainnya (Ansel). Dapat juga dikatakan sediaan
cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang larut, misalnya terdispersi
secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang saling
bercampur. Cara penggunaannya yaitu larutan oral (diminum) dan larutan topikal
(kulit).
g. Suspensi
Merupakan sediaan
cair yang mengandung partikel padat tidak larut terdispersi dalam fase cair.
Macam suspensi antara lain: suspensi oral (juga termasuk susu/magma), suspensi
topikal (penggunaan pada kulit), suspensi tetes telinga (telinga bagian luar),
suspensi optalmik, suspensi sirup kering.
h. Emulsi Merupakan sediaan berupa campuran dari dua fase
cairan dalam sistem dispersi, fase cairan yang satu terdispersi sangat halus
dan merata dalam fase cairan lainnya, umumnya distabilkan oleh zat pengemulsi.
i. Galenik
Merupakan sediaan yang dibuat dari bahan baku yang
berasal dari hewan atau tumbuhan yang disari.
j. Extractum
Merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku
yang ditetapkan.
k. Infusa Merupakan sediaan cair yang dibuat dengan
mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 900 C
selama 15 menit.
l. Immunosera (Imunoserum)
Merupakan sediaan yang mengandung Imunoglobin khas yang
diperoleh dari serum hewan dengan pemurnian. Berkhasiat menetralkan toksin
kuman (bisa ular) dan mengikat kuman/virus/antigen.
m. Unguenta (Salep)
Merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk
pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Dapat juga dikatakan sediaan
setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obat
harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok.
n. Suppositoria Merupakan sediaan padat dalam berbagai
bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra, umumnya
meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. Tujuan pengobatan yaitu:
1) Penggunaan lokal memudahkan defekasi serta mengobati gatal, iritasi, dan
inflamasi karena hemoroid.
2) Penggunaan sistemik 􀃆 aminofilin dan teofilin untuk asma,
chlorprozamin untuk anti muntah, chloral hydrat untuk sedatif dan hipnotif,
aspirin untuk analgenik antipiretik.
o. Guttae (Obat Tetes)
Merupakan sediaan cairan berupa larutan, emulsi, atau
suspensi, dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, digunakan dengan cara
meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan
yang dihasilkan penetes beku yang disebutkan Farmacope Indonesia. Sediaan obat
tetes dapat berupa antara lain: Guttae (obat dalam), Guttae Oris (tets mulut),
Guttae Auriculares (tetes telinga), Guttae Nasales (tetes hidung), Guttae
Ophtalmicae (tetes mata).
p. Injectiones (Injeksi)
Merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi atau
suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu
sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit atau selaput lendir. Tujuannya yaitu kerja obat cepat serta
dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima pengobatan melalui mulut.
Cara pemberian obat serta tujuan
penggunaannya adalah sebagai berikut:
a. Oral Obat yang cara penggunaannya masuk
melalui mulut. Keuntungannya relatif aman, praktis, ekonomis. Kerugiannya
timbul efek lambat; tidak bermanfaat untuk pasien yang sering muntah, diare,
tidak sadar, tidak kooperatif; untuk obat iritatif dan rasa tidak enak
penggunaannya terbatas; obat yang inaktif/terurai oleh cairan lambung/ usus
tidak bermanfaat (penisilin G, insulin); obat absorpsi tidak teratur. Untuk
tujuan terapi serta efek sistematik yang dikehendaki, penggunaan oral adalah
yang paling menyenangkan dan murah, serta umumnya paling aman. Hanya beberapa
obat yang mengalami perusakan oleh cairan lambung atau usus. Pada keadaan
pasien muntah-muntah, koma, atau dikehendaki onset yang cepat, penggunaan obat
melalui oral tidak dapat dipakai.
b. Sublingual
Cara penggunaannya, obat ditaruh dibawah
lidah. Tujuannya supaya efeknya lebih cepat karena pembuluh darah bawah lidah
merupakan pusat sakit. Misal pada kasus pasien jantung. Keuntungan cara ini
efek obat cepat serta kerusakan obat di saluran cerna dan metabolisme di
dinding usus dan hati dapat dihindari (tidak lewat vena porta)
c.
Inhalasi
Penggunaannya dengan
Cara
disemprot (ke mulut). Misal obat asma. Keuntungannya yaitu absorpsi terjadi
cepat dan homogen, kadar obat dapat dikontrol, terhindar dari efek lintas
pertama, dapat diberikan langsung pada bronkus. Kerugiannya yaitu, diperlukan
alat dan metoda khusus, sukar mengatur dosis, sering mengiritasi epitel paru –
sekresi saluran nafas, toksisitas pada jantung. Dalam inhalasi, obat dalam
keadaan gas atau uap yang akan diabsorpsi sangat cepat melalui alveoli
paru-paru dan membran mukosa pada perjalanan pernafasan.
d. Rektal
Cara penggunaannya melalui dubur atau anus.
Tujuannya mempercepat kerja obat serta sifatnya lokal dan sistemik. Obat oral
sulit/tidak dapat dilakukan karena iritasi lambung, terurai di lambung, terjadi
efek lintas pertama. Contoh, asetosal, parasetamol, indometasin, teofilin,
barbiturat.
e. Pervaginam Bentuknya hampir sama dengan
obat rektal, dimasukkan ke vagina, langsung ke pusat sasar. Misal untuk
keputihan atau jamur.
f. Parentral Digunakan tanpa melalui mulut,
atau dapat dikatakan obat dimasukkan de dalam tubuh selain saluran cerna.
Tujuannya tanpa melalui saluran pencernaan dan langsung ke pembuluh darah.
Misal suntikan atau insulin. Efeknya biar langsung sampai sasaran.
Keuntungannya yaitu dapat untuk pasien yang tidak sadar, sering muntah, diare,
yang sulit menelan/pasien yang tidak kooperatif; dapat untuk obat yang
mengiritasi lambung; dapat menghindari kerusakan obat di saluran cerna dan
hati; bekerja cepat dan dosis ekonomis. Kelemahannya yaitu kurang aman, tidak
disukai pasien, berbahaya (suntikan – infeksi).
Istilah injeksi termasuk semua bentuk obat
yang digunakan secara parentral, termasuk infus. Injeksi dapat berupa larutan,
suspensi, atau emulsi. Apabila obatnya tidak stabil dalam cairan, maka dibuat
dalam bentuk kering. Bila mau dipakai baru ditambah aqua steril untuk
memperoleh larutan atau suspensi injeksi.
g. Topikal/lokal Obat yang sifatnya lokal. Misal tetes mata, tetes telinga,
salep.
h. Suntikan
Diberikan bila obat tidak diabsorpsi di saluran cerna
serta dibutuhkan kerja cepat.
Terapi Obat Pada Pasien-pasien Khusus
Farmakoterapi merupakan cabang ilmu
farmakologi yang mempelajari obat untuk mencegah, menegakkan diagnostik,
menyembuhkan penyakit, memulihkan (rehabilitasi) kesehatan, namun juga untuk
mencegah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu (misal: penggunaan obat-obat
KB, anastetika umum (hilangnya kesadaran dan respon aktif (nyeri), fisiologi
berubah, sehingga dioperasi tidak sakit)). Tujuan terapi adalah untuk
menyembuhkan, mengurangi rasa sakit, menghindari komplikasi, serta
memperpanjang masa hidup.
a. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien Hamil.
Penggunaan obat dapat mengakibatkan kecacatan
pada bayi atau mempengaruhi janin, apabila obat yang dikonsumsi oleh ibu hamil
tembus ke placenta.
Obat hanya diresepkan pada wanita hamil bila
manfaat yang diperoleh ibu diharapkan lebih besar dibanding resiko pada janin.
Sedapat mungkin dihindari penggunaan segala
jenis obat pada trimester pertama kehamilan Bila menggunakan obat saat hamil,
maka harus dipilih obat yang paling aman. Obat harus diresepkan pada dosis efektif
yang terendah dan untuk jangka waktu pemakaian yang sesingkat mungkin.
b. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien Menyusui
Obat yang diminum ibu menyusui dapat menembus
air susu sehingga diminum/terminum oleh bayi. Misal, wanita gondoyang minum
obat pada saat menyusui dan tidak dihentikan maka anaknya akan seperti kerdil
Sedapat mungkin menghindari penggunaan obat
pada wanita yang menyusui atau menghentikan pemberian air susu ibu (ASI) jika
pemakaian obat harus dilanjutkan. Jika penggunaan obat diperlukan, pakailah
obat dengan efek samping teraman, terutama obat-obatan yang memiliki ijin untuk
digunakan pada bayi. Apabila menggunakan obat selama menyusui, maka bayi harus
dipantau secara cermat terhadap efek samping yang mungkin terjadi. Mungkin
dapat dianjurkan kepada ibu untuk meminum obat segera setelah menyusui.
c. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien Anak
Obat pada anak dapat berpengaruh karena
organ-organ pada anak belum sempurna pertumbuhannya, sehingga obat dapat
menjadi racun dalam darah (mempengaruhi organ hati dan ginjal). Pada hati,
enzim-enzim belum terbentuk sempurna, sehingga obat tidak termotabolisme dengan
baik, mengakibatkan konsentrasi obat yang tinggi di tubuh anak. Pada ginjal,
bayi berumur 6 bulang, ginjal belum belum efisien mensekresikan obat sehingga
mengakibatkan konsentrasi yang tinggi di darah anak.
Dalam pengobatan, anak-anak tidak dapat
diperlakukan sebagai orang dewasa berukuran kecil. Penggunaan obat pada anak
merupakan hal yang bersifat khusus yang berkaitan dengan perbedaan laju
perkembangan organ, sistem dalam tubuh maupun enzim yang bertanggungjawab
terhadap metabolisme dan ekskresi obat. Farmakokinetika pada anak-anak berbeda
dengan orang dewasa. Dengan memahami perbedaan tersebut akan membantu farmasis
klinis dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan dosis, misalnya dalam
pengusulan dosis (mg/kg) maupun frekuensi pemberian obat yang berbeda antara
anak-anak dengan orang dewasa. Dosis bagi anak-anak sering sulit untuk
ditentukan. Pemanfaatan pengalaman klinis merupakan acuan terbaik dalam
menentukan dosis yang paling sesuai untuk bayi maupun anak-anak. Pemakaian obat
yang belum mempunyai ijin untuk digunakan pada anak, walaupun sering dijumpai,
harus dipantau secara ketat untuk memastikan bahwa keamanan pasien diutamakan.
Penyuluhan kepada pasien anak-anak maupun pengasuhnya dalam bahasa yang mudah
dimengerti akan membantu meningkatkan kepatuhan anak terhadap pengobatan.
d. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien Lansia
Terdapat perubahan-perubahan fungsi,
kemampuan organ menurun, dosis dalam darah meningkat sehingga menjadi racun,
serta laju darah dalam ginjal menurun. Proses penuaan akan mengakibatkan
terjadinya beberapa perubahan fisiologi, anatomi, psikologi, dan sosiologi.
Perubahan fisiologi yang terkait usia dapat menyebabkan perubahan yang bermakna
dalam penatalaksanaan obat. Farmasis sebaiknya perlu memiliki pengetahuan
menyeluruh tentang perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik yang
muncul. Peresepan yang tidak tepat dan polifarmasi merupakan problem utama
dalam terapi dengan obat pada pasien lanjut usia. Keahlian klinis farmasis,
termasuk evaluasi terhadap pengobatan, dapat digunakan untuk memperbaiki
pelayanan dalam bidang ini.
Tujuan terapi obat pada pasien lanjut usia
harus ditetapkan dalam rangka mengoptimalkan hasil terapi. Perbaikan kualitas
hidup, titrasi dosis, pemilihan obat, dan bentuk sediaan obat yang tepat serta
pengobatan penyebab penyakit bukan sekedar gejalanya merupakan semua tindakan
yang sangat diperlukan. Efek samping obat lebih sering terjadi pada populasi
lanjut usia. Pasien lanjut usia tiga kali lebih beresiko masuk rumah sakit
akibat efek samping obat. Hal ini berpengaruh secara bermakna terhadap segi
finansial seperti halnya implikasi teraupetik. Kepatuhan penggunaan obat sering
kali mengalami penurunan karena beberapa gangguan pada lanjut usia. Kesulitan
dalam hal membaca, bahasa, mendengar dan ketangkasan, semuanya dapat berperan
dalam masalah ini.
e. Terapi/penggunaan Obat pada Pasien
Gangguan Ginjal dan Hati Terjadi karena karena terjadi penurunan fungsi hati
dan ginjal. Uji fungsi ginjal hanya menggambarkan penyakit secara kasar/garis
besar, dan lebih dari setengah bagian ginjal harus mengalami kerusakan sebelum
terlihat nyata bukti kejadiannya gangguan ginjal. Bentuk gangguan ginjal yang
paling sering diakibatkan oleh obat adalah interstitial nefritis dan
glomerulonefritis. Penggunaan obat apa pun yang diketahui berpotensi
menimbulkan nephrotoksisitas sedapat mungkin harus dihindari pada semua
penderita gangguan ginjal.
Pada gagal ginjal, distribusi obat dapat
berubah karena terjadi fluktuasi derajat hidrasi atau oleh adanya perubahan
pada ikatan protein. Akan tetapi perubahan ikatan protein akan bermakna secara
klinis apabila:
1) Lebih dari 90% jumlah obat dalam plasma merupakan bentuk terikat
protein.
2) Obat terdistribusi ke jaringan harus dalam
jumlah yang kecil. Ekskresi adalah parameter farmakokinetika yang paling
terpengaruh oleh gangguan ginjal. Jika filtrasi glomeruler terganggu oleh
penyakit ginjal , maka klirens obat yang terutama tereliminasi melalui
mekanisme ini akan menurun dan waktu paruh obat dalam plasma menjadi lebih
panjang.
Penderita dengan ginjal yang tidak berfungsi
normal dapat menjadi lebih peka terhadap beberapa obat, bahkan jika
eliminasinya tidak terganggu. Anjuran dosis didasarkan pada tingkat keparahan
gangguan ginjal, yang biasanya dinyatakan dalam istilah laju filtrasi
glomeruler (LFG). Perubahan dosis yang paling sering dilakukan adalah dengan
menurunkan dosis atau memperpanjang interval pemberian obat, atau kombinasi
keduanya.
Penggolongan Obat pada Saluran Pencernaan
a. Antitukak Tukak lambung adalah suatu kondisi patologis
pada lambung, deudenum, esofagus bagian bawah, dan stoma gastroenterostomi
(setelah bedah lambung). Tujuan terapi tukak lambung adalah meringankan atau
menghilangkan gejala, mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi yang serius
(hemoragi, perforasi, obstruksi), dan mencegah kambuh.
b. Antispasmodik Antispasmodik merupakan dolongan obat yang
memiliki sifat sebagai relaksan otot polos. Termasuk dalam kelas ini adalah
senyawa yang memiliki efek antikolinergik (lebih tepatnya antimuskarinik) dan
antagonis reseptor-dopamin tertentu.
c. Antidiare
d. Pencahar Pencahar adalah obat yang digunakan untuk
memudahkan pelintasan dan pengeluaran tinja dari kolon dan rektum. Pencahar
umumnya harus dihindari, kecuali bila ketegangan akan memperparah suatu kondisi
(seperti pada angina) atau meningkatkan resiko pendarahan rektal (seperti pada
hemoroid). Pencahar juga bermanfaat pada konstipasi kerena obat, untuk
pengeluaran parasit setelah pemberian antelmenti, serta untuk membersihkan
saluran cerna sebelum pembedahan dan prosedur radiologi. Penyelahgunaan
pencahar dapat menyebabkan hipokalemia dan atonia kolon sehingga tidak
berfungsi.
e. Antihemoroid Gatal-gatal, rasa nyeri, dan ekskoriasi di
anus dan perianus yang lazim dijumpai pada pasien hemoroid, fistulas, dan
proktitis sebaiknya diobati dengan aplikasi salep dan supositoria. Pembersihan
lokal dengan hati-hati maupun penyesuaian diit guna menghindari tinja yang
keras, serta penggunaan pencahar pembentuk massa seperti bran dan diet residu
tinggi juga bermanfaat. Pada proktitis, tindakan-tindakan ini dapat menambah pengobatan
dengan kortikosteroid atau sulfasalazin.
f. Obat dengan Gangguan Sekresi Pencernaan Golongan dari obat dengan gangguan sekresi
pencernaan
Penggolongan Obat pada Antibiotika
Antibiotik adalah zat yang dihasilakn oleh
mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat pertumbuhan atau membasmi
mikroba jenis lain. Sedangkan antimikroba yaitu obat yang membasmi mikroba
khusunya mikroba yang merugikan manusia. Penggunaan antibiotik didasarkan pada:
a. Penyebab infeksi
Proses pemberian antibiotic yang paling baik adalah dengan melakukan
pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan kuman. Namun pada kenyataannya,
proses tersebut tidak dapat berjalan karena tidak mungkin melakukan pemeriksaan
kepada setiap pasien yang datang karena infeksi, dank arena infeksi yang berat
perlu penanganan segera maka pengambilan sample bahan biologic untuk
pengembangbiakan dan pemeriksaan kepekaan kuman dapat dilakukan setelah
dilakukannya pengobatan terhadap pasien yang bersangkutan.
b. Faktor pasien
Faktor pasien yang perlu diperhatikan dalam
pemberian antibiotic adalah fungsi organ tubuh pasien yaitu fungsi ginjal,
fungsi hati, riwayat alergi, daya tahan terhadap infeksi (status imunologis),
daya tahan terhadap obat, beratnya infeksi, usia, untuk wanita apakah sedang
hamil atau menyusui dan lain-lain.
• Fungsi Antibiotika
Antibiotika digunakan untuk mengobati
berbagai infeksi akibat kuman atau juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada
pembedahan besar. Secara provilaktis juga diberikan kepada pasien dengan sendi
dan klep jantung buatan, juga sebelum cabut gigi.
Mekanisme kerja yang terpenting pada
antibiotika adalah perintangan sintesa protein, sehingga kuman musnah atau
tidak berkembang lagi tanpa merusak jaringan tuan rumah. Selain itu, beberapa
antibiotika bekerja terhadap dinding sel dan membran sel. Namun antibiotika dapat digunakan sebagai non-terapeutis, yaitu
sebagai stimulans pertumbuhan pada binatang ternak.
-Penggunaan Antibiotik untuk Profilaksis
Profilaksis antibiotik diperlukan dalam keadaan sebagai
berikut:
a. Untuk melindungi seseorang yang terpajan kuman tertentu.
b. Mencegah endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup jantung
atau defek septum yang akan menjalani prosedur dengan resiko bakteremia,
misalnya ekstraksi gigi, pembedahan dan lain-lain.
c. Untuk kasus bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu
yang sering disertai infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat bila terjadi
infeksi pasca bedah.
- Antibiotik Kombinasi Antibiotik kombinasi
diberikan untuk 4 indikasi utama:
a. Pengobatan infeksi campuran, misalnya pasca bedah abdomen.
b. Pengobatan awal pada infeksi berat yang etiologinya belum jelas,
misalnya sepsis, meningitis purulenta.
c. Mendapatkan efek sinergi.
d. Memperlambat timbulnya resistensi, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis.
-Pengetahuan Farmakologi (Obat) bagi Rekam
Medis
Selama ini obat dalam pelayanan kesehatan
selalu disebut sebagai unsur penunjang walaupun hampir 80% pelayanan kesehatan
diintervensi dengan obat. Hubungan kemitraan, tidak lepas dari sejarah
pelayanan kefarmasian yang dititik beratkan pada produk (membuat, meracik)
serta menyerahkan obat kepada pasien. Hubungan interaksi langsung Apoteker
dengan pasien sangat jarang dan bahkan komunikasi antara Apoteker dengan staf
medik atau staf non-medis lainnya juga sangat kurang, padahal kemitraan dimulai
dengan komunikasi yang baik.
Penulis :
ERNA PUSPITA DEWI
(Mahasiswi Kimia UMRI)
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, C. Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press
Gunawan, Gan Sulistia. 2009. FarmakologidanTerapiedisi 5. Jakarta: DepartemenFarmakologidanTerapeutikFakultasKedokteranUniversitas Indonesia.
Gibson, G. Gordon and Skett, Paul. 1991. Pengantar Metabolisme Obat. Jakarta: UI-Press
Pramono, S. danKatno.2002. Tingkat ManfaatdanKeamananTanamanObatdanObatTradisional.BalaiPenelitianTanamanObatTawangmangu, FakultasFarmasi, UGM.
Siswandono, dan Bambang Soekarjo. 1995. Kimia Medisinal Edisi I. Airlangga university Press. Surabaya.
Tim Penyusun. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Departemen Farmakologi dan Terapeutik. Universitas Indonesia. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar