Batasan kimia medisinal menurut Burger (1970) adalah Ilmu pengetahuan yang merupakan cabang
dari ilmu kimia dan biologi dan digunakan untuk memahami dan menjelaskan
mekanisme kerja obat. Sebagai dasar adalah mencoba menetapkan hubungan struktur
kimia dan aktivitas biologis obat, serta menghubungkan perilaku biodinamik
melalui sifat-sifat fisik dan kereaktifan kimia senyawa obat. Kimia medisinal
melibatkan isolasi, karakterisasi dan sintesis senyawa-senyawa yang digunakan
dalam bidang kedokteran untuk mencegah dan mengobati penyakit serta memelihara
kesehatan.
Batasan kimia medisinal menurut
The International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC, 1974)
adalah Ilmu pengetahuan yang mempelajari penemuan, pengembangan,
identifikasi dan interpretasi cara kerja senyawa biologis aktif (obat)
pada tingkat molekul. Kimia medisinal juga melibatkan tentang studi, identifikasi,
dan sintesis produk metabolisme obat dan senyawa yang berhubungan dengan
obat tersebut.
Batasan kimia medisinal menurut
Taylor dan Kennewell (1981) adalah Studi kimiawi
senyawa atau obat yang dapat memberikan efek menguntungkan dalam sistem
kehidupan, dan melibatkan studi hubungan struktur kimia senyawa dengan aktivitas
biologis serta mekanisme cara kerja senyawa pada sistem biologis dalam usaha
mendapatkan efek pengobatan yang maksimal dan memperkecil efek samping yang
tidak menguntungkan.
Ruang
lingkup bidang kimia medisinal menurut Burger (1970), adalah :
1. Isolasi
dan identifikasi senyawa aktif dalam tanaman yang secara empirik telah digunakan
untuk pengobatan.
2. Sintesis
struktur analog dari bentuk dasar senyawa yang mempunyai aktivitas pengobatan
potensial.
3. Mencari
struktur induk baru dengan cara sintesis senyawa organik, dengan ataupun tanpa
berhubungan dengan zat aktif alamiah.
4. Menghubungkan
struktur kimia obat dengan mekanisme kerjanya.
5. Mengembangkan
rancangan obat.
6. Mengembangkan
hubungan struktur kimia dan aktivitas biologis melalui sifat fisiko kimia dengan
bantuan analisis statistik.
Beberapa
abad yang lalu, pada periode perkembangan bahan obat organik, telah banyak
perhatian diberikan untuk mencari kemungkinan adanya hubungan antara struktur
kimia, sifat-sifat kima fisika dan aktivitas biologi senyawa aktif atau obat.
Pada abad ke 19, bahan alamiah yang secara empirik telah digunakan oleh manusia
untuk pengobatan, mulai dikembangkan lebih lanjut dengan cara isolasi zat aktif,
diidentifikasi struktur kimianya dan kemudian diusahakan untuk dapat dibuat secara
sintetik. Telah pula dilakukan berbagai modifikasi struktur zat aktif, dengan cara
sintesis, dalam usaha mendapatkan senyawa baru dengan aktivitas yang lebih tinggi
(Ahmad, 2012).
Berdasarkan
sumbernya obat yang ada dewasa ini digolongkan menjadi tiga jenis yaitu :
1.
Obat alamiah
(herbal)
Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara
di dunia. Menurut WHO, negaranegara di Afrika, Asia dan Amerika Latin
menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima.
Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk
pengobatan primer (WHO, 2003). Obat yang terdapat di alam, banyak
terdapat pada tanaman, contohnya : quinina dan atropina, pada hewan, contoh :
minyak ikan dan hormon, serta mineral, contoh : belerang (S) dan kalium bromida
(KBr) (Ahmad, 2012). Selain itu terdapat juga pada hewan (minyak ikan dan
hormon), serta mineral (belerang dan kalium bromida) (Siswandono, 1998).
2.
Obat semisintetik
Obat
semi sintetik ialah obat hasil modifikasi yang bahan dasarnya berasal dari
bahan obat yang terdapat secara alami, contoh : penisilin disintesis menjadi
ampisilin (Siswandono, 1998), morfin disintesis menjadi kodein, diosgenin
disintesis menjadi progesteron (Ahmad, 2012).
3.
Obat sintetik
Obat
sintetik adalah obat yang bahan dasarnya tidak berkhasiat, setelah disintesis
akan mendapatkan senyawa dengan khasiat farmakologis tertentu, contoh :
obat-obat golongan analgetik-antipiretika (parasetamol), antihistamin (CTM),
dan diuretika (Siswandono, 1998).
Obat
yang berasal dari alam sudah banyak dibuat secara sintetik, seperti metilsalisilat,
kamfer, mentol dan asam amino. Ada pula beberapa senyawa alamiah yang digunakan
sebagai obat, yang tidak dapat dibuat secara sintetik atau biaya produksinya
terlalu mahal sehingga diproduki dengan cara isolasi dari sumber alam, contoh :
glikosida jantung, kuinin, atropine dan insulin (sekarang sudah diproduksi dari
sel bakteri E.coli dengan teknik rekayasa genetika) (Ahmad, 2012).
Dewasa
ini diperkirakan lebih dari 6 juta senyawa kimia yang sudah diidentifikasi, dan
jumlah tersebut terus bertambah sekitar 120.000 senyawa kimia baru setiap
tahun. Dari jumlah tersebut telah digunakan secara umum sebagai obat sekitar
5000 jenis, sebagai bahan tambahan makanan sekitar 4500 jenis, dan sebagai
pestisida sekitar 2000 jenis (Ahmad, 2012).
Perkembangan
ilmu pengetahuan semakin pesat, didapatkan bahwa struktur kimia obat ternyata
dapat menjelaskan sifat-sifat obat dan terlihat bahwa unit-unit struktur atau
gugus-gugus molekul obat berkaitan dengan aktivitas biologisnya. Untuk mencari
hubungan antara struktur kimia dan aktivitas biologis dapat dilakukan terutama
dengan menghubungkan gugus fungsional tertentu dengan respons biologis. Hal ini
kadang-kadang mengalami kegagalan karena terbukti bahwa senyawa dengan unit
struktur kimia sama belum tentu menunjukkan aktivitas biologis sama, sebaliknya
aktivitas biologis sama sering diperlihatkan oleh senyawa-senyawa dengan
struktur kimia yang berbeda (Ahmad, 2012).
Contoh
senyawa dengan gugus fungsional sama dan mempunyai aktivitas biologis sama :
1. Turunan
fenol, contoh : fenol, kresol, eugenol dan timol, mengandung gugus fungsi
hidroksil fenol dan berkhasiat sebagai antiseptik.
2. Turunan
sulfonamide, contoh: sulfanilamid, sulfaguanidin, dan sulfametoksazol,
mengandung gugus fungsi sulfonamide dan berkhasiat sebagai antibakteri (Ahmad,
2012).
Senyawa
dengan unit struktur sama tetapi dapat memberikan aktivitas biologis bermacam-macam
adalah obat turunan sulfonamida, yang dapat berkhasiat sebagai antibakteri
(sulfanilamid atau trisulfa), diuretic (hidroklorotiazid), antilepra (dapson),
antimalaria (sulfadoksin), urikosurik (probenesid) dan antidiabetes
(karbutamid) (Ahmad, 2012).
Turunan
senyawa dengan gugus fungsi yang sama dapat memberikan respon biologis yang
sama oleh karena bekerja pada reseptor yang sama atau mempengaruhi proses
biokimia yang sama pula. Sebagai contoh pada turunan fenol, gugus fungsi hidroksi
pada fenol dapat menyebabkan koagulasi dan denaturasi protein sel bakteri, sedang
pada turunan sulfonamide, gugus fungsi sulfonamida bekerja secara penghambatan
bersaing (inhibitor kompetitif) dengan asam p-aminobenzoat, suatu senyawa yang
diperlukan untuk pembentukan asam dihidropteroat, yang sangat diperlukan untuk
pertumbuhan sel bakteri (Ahmad, 2012).
Turunan
senyawa dengan struktur kimia yang berbeda dapat memberikan respon biologis
yang sama oleh karena aktivitas turunan tersebut tidak tergantung pada struktur
kimia yang spesifik, tetapi lebih tergantung pada sifat fisiko kimia, seperti
kelarutan dan aktivitas termodinamika senyawa obat. Hal ini terjadi pada senyawa
yang berstruktur tidak spesifik, seperti pada contoh obat anastesi sistemik
(Ahmad, 2012).
Untuk
obat diuretik dapat menghasilkan respon farmakologis yang sama karena masing-masing
turunan mempengaruhi proses biokimia yang berbeda, jadi mekanisme kerjanya
berbeda, tetapi efek biologis yang ditimbulkan sama, yaitu diuresis. Fenomena
ini menunjang pengertian bahwa mekanisme kerja obat pada tingkat molekul dapat
melalui beberapa jalur, dan ini memberi penjelasan mengapa obat dengan tipe
struktur berbeda dapat menunjukkan aktivitas farmakologis yang sama (Ahmad,
2012).
Senyawa
dengan unit struktur kimia yang sama tetapi dapat memberikan aktivitas biologis
bermacam-macam oleh karena unit struktur tersebut, dengan sedikit perubahan
struktur, ternyata dapat berinteraksi dengan reseptor yang berbeda sehingga
menimbukan respons farmakologis yang berbeda pula, seperti pada contoh obat
turunan sulfonamide. Tidak semua senyawa obat dapat dijelaskan dengan hubungan
struktur dan aktivitasnya. Seringkali kegagalan untuk mendapatkan hubungan
antara struktur kimia, sifat fisiko kimia dan aktivitas biologis obat disebabkan
oleh sifat sistem biologis tubuh yang sangat kompleks dan banyaknya faktor yang
mempengaruhi aktivitas obat. Keragaman aktivitas biologis senyawa organik, baik
yang mempunyai hubungan struktur maupun tidak, ternyata sangat dipengaruhi oleh
sifat-sifat fisiko kimia. Sifat-sifat tersebut ditentukan oleh jumlah, jenis
dan susunan atom dalam senyawa kimia obat (Ahmad, 2012).
Sifat-sifat
fisiko kimia merupakan dasar yang sangat penting untuk menjelaskan aktivitas
biologis obat, karena dua alasan utama yaitu :
1. Sifat
kimia fisika memegang peranan penting dalam pengangkutan obat untuk mencapai
reseptor. Sebelum mencapai reseptor, molekul obat harus melalui bermacam-macam
sawar membran, berinteraksi dengan senyawa-senyawa dalam cairan luar dan dalam
sel serta biopolimer. Di sini sifat kimia fisika berperan dalam proses absorpsi
dan distribusi obat, sehingga kadar obat pada waktu mencapai reseptor cukup
besar.
2. Hanya
obat yang mempunyai struktur dengan kespesifikan yang tinggi saja yang dapat
berinteraksi dengan reseptor biologis. Oleh karena itu sifat kimia fisika obat harus
menunjang orientasi spesifik molekul pada permukaan reseptor (Ahmad, 2012).
Sifat
kimia fisika penting yang berhubungan dengan aktivitas biologis antara lain
adalah kelarutan, koefisien partisi, adsorpsi, aktivitas permukaan, derajat
ionisasi, isosterisme, ikatan kimia, seperti ikatan-ikatan kovalen, ion,
hidrogen, dipol-dipol,van der Waal’s, dan hidrofobik, jarak antar atom dari
gugus-gugus fungsional, potensial redoks, pembentukan kelat dan konfigurasi
molekul dalam ruang (isomer). Dalam keadaan tertentu sifat-sifat tersebut
dikaitkan dengan fungsi kimia yang khas, seperti tetapan disosiasi (pKa), atau
kadang-kadang dikaitkan dengan sifat molekul keseluruhan, seperti kelarutan
dalam lemak/air (log P). Pada proses distribusi obat, penembusan membran
biologis terutama dipengaruhi oleh sifat lipofil molekul obat, seperti
kelarutan dalam lemak/air, sifat elektronik obat, seperti derajat ionisasi, dan
suasana pH. Proses interaksi obat dengan reseptor spesifik dipengaruhi oleh
tipe ikatan kimia, interaksi hidrofob, kerapatan elektron, ukuran molekul obat
dan efek stereokimia sehingga sifat-sifat lipofil, elektronik dan sterik dari
molekul obat sangat menunjang proses interaksi tersebut (Ahmad, 2012).
Sifat-sifat
lipofil, elektronik dan sterik suatu gugus atau senyawa dapat dinyatakan dalam
berbagai macam parameter sifat kimia fisika dan parameterparameter tersebut
digunakan untuk menghubungkan secara kuantitatif struktur kimia dan aktivitas
biologis obat (Hubungan Kuantitatif Struktur-Aktivitas = HKSA atau Quantitative
Structure-Activity Relationships = QSAR). Hubungan kuantitatif struktur-aktivitas
merupakan bagian penting dari kimia medisinal dalam usaha mendapatkan suatu
obat baru dengan aktivitas yang dikehendaki dan biaya yang lebih ekonomis
(Ahmad, 2012).
Pengetahuan
tentang proses metabolisme senyawa obat didalam tubuh juga sangat dibutuhkan
dalam kimia medisinal oleh karena banyak senyawa yang diberikan dalam bentuk
pra-obat dan kemudian dalam tubuh mengalami metabolisme menghasilkan senyawa
aktif. Proses metabolisme juga berperan untuk menilai dan memperkirakan efikasi
dan keamanan obat, dan sebagai dasar penjelasan terjadinya efek samping dan
toksisitas senyawa obat (Ahmad, 2012).
Metode
pengembangan obat melalui modifikasi molekul dengan optimalisasi senyawa
penuntun (lead compound) dan rancangan obat yang rasional juga merupakan
tahap penting dalam usaha mencari dan menemukan senyawa baru yang lebih aktif,
lebih selektif dengan efek samping dan toksisitas yang rendah (Ahmad, 2012).
Perkembangan
Kimia Medisinal
1. Dari
Tahun 300 BC sampai 1860 AD
Merupakan hal yang
biasa bahwa para filoso zaman dulu dan para muridnya menjadi orang pertama
sebagai ilmuwan dalam bidang pengobatan, tetapi dalam kehidupan ilmu pengetahuan
percobaan-percobaannya, pengamatannya dan interpretasinya harus disesuaikan
dengan teori pendidikan agar para peneliti dapat menemukan gambaran yang murni
dan tidak atas dasar ketakhayulan sehingga tidak terjadi salah pengertian
tentang fenomena alam dan tanpa praduga yang berlebihan tentang nilai terapetik
(Wolff, 1994).
Sekalipun
demikian pekerjaan spesifik pada abad pertengahan dan bahkan pada 350 tahun
pertama dari abad modern ini tulisan tentang masalah itu merupakan suatu
referensi yang menawan dan banyak diminati. Hanya beberapa pustaka yang terpilih,
termasuk yang dapat menerangkan walaupun sudah kuno, ialah suatu pengobatan
tradisional yang tidak menentu. Diantara bahan kuno pertama yang ditemukan
ialah “Chiang Shang” di Cina (2735 BC) yang kemudian ternyata di tanaman
tersebut berkhasiat anti malaria Dichorn febrifuga dan mahuang sebagai
stimulant dan peluruh keringat yang sekarang dikenal dengan Ephedra sinici (dan
spesies lainnya (Nagai, 1887). “Ebers Papyrus” (Mesir ± 1550 BC), Penggunaan
“squill” untuk tokinum jantung dan sebuah prekusor dari pengobatan dengan
digitalis (Withering, 1937). Ipccacc dari spesies Bazilian Cephalis digunakan
anti amuba dan Chenopodium anthelminticium dituliskan dalam berbagai
istilah dalam bahasa Ibrani, Meksiko dan oleh para dokter di Roma. Salah satu
kemoterapi yang terbesar ditemukannya penggunaan kulit kina oleh orang Indian
Amerika bagian Selatan, seperti dituliskan pertama kali oleh Calencka pada
tahun 1663, dan dilaporkan oleh Herman van der Heyden sebagai Pulvus indicus
pada tahun 1643. Para penambang perak di Pegunungan Andean mengunyah daun
Coca sebagai stimulant dan penambah rasa nyaman. Selama upacara agama mereka
juga memakan jamur yang mengandung senyawa bersifat psikometri dan
halusinogenik. Anggur yang beracun, oleh orang Indian Amerika bagian Selatan
dicampur dengan resin yang mengandung kurare (aurari, dan uria berarti
burung dan eor membunuh) pertama digunakan untuk melapisi ujung panah
dalam permainan perburuan dan perang antar suku (Wolff, 1994).
Di
India menghidangkan anggur kepada tamunya diberi bius dengan Datura Stramonium
sehingga bila orang tersebut akan dirampok tidak akan melawan. Datura berisi
atropine dan skopolamin. Tanaman yang mirip dengan itu, bila di bakar di atas
api dengan penyangga tiga kaki dari kayu, oleh pendeta wanita di lemari
tempat sabda dewa Apollo di candi Dewi di Delphi; pendeta wanita yang mabuk
oleh uap pembakaran, mengucapkan sesuatu yang tak berujung pangkal yan
ditafsirkan sebagai sabda para dewa. Biji dari suatu tanaman yang disebut
“bayangan malam maut” adalah sebuah tanaman yang beralkaloid dinamakan aetropa
belladonna (Atripos pohon nasib yang tertua, memotong benang kehidupan),
yang sering sebagai sumber malapetaka keracunan, tetapi juga untuk melebarkan
pupil mata dan mata yang berkedip-kedip dari wanita Italia (Bella Donna).
Contoh lain tanaman obat kuno adalah “autumn crocus” (meadow, saffron, Colchium
autamnale) yang telah dianjurkan sebagai obat nyeri pada sendi oleh
Alexander dari Tralles dalam abad ke enam A.D., dan untuk penyakit tulang akut
oleh Barn Anton von Stork (1763) Benjamin Franklin mendengar cara pengobatan
tersebut dan melaporkan kepada dokter di Amerika (Wolff, 1994).
Sirup
buah poppy disebut-sebut sebagai suatu analgetika oleh Theophratus (abad ketiga
B.C.), ternyata telah diketahui sebelumnya. Seorang ahli kimia Swiss Philipus
Paracelsus (1493-1541) meramu laudanum suatu larutan opium pekat yang telah
dibersihkan. Merokok opium menjadi suatu kebiasaan pada abad ke VIII, tetapi hanya
beberapa saat setelah terjadi penyalahgunaan itu. Dengan kepercayaan akan kemampuan
kuratif dari ramuan tanaman yang dianjurkan oleh Galenus (131-200 A.D.)
akhirnya berkurang, ketika seorang ahli kimia dari Arabia di abad ke XIII menolak
ide khayalan dari filofos zaman batu yang mengharapkan kelangsungan hidup
secara terus menerus dan menyeluruh seluruh kehidupan yang enak atau nyaman.
Basilus Valentinus (± 1460) dan kemudian Paracelsus percaya juga bahwa senyawa
kimia organik, seperti misalnya garam sulfur dan merkuri merupakan prinsip hipotesisnya.
Elemen yang terakhir dikenal dengan nama kolomel, yang kemudian sangat popular
dalam bentuk “Guy’s Hospital Pills” (kolomel, gitalis, dan squil) dan menyambung
pada aksi diuretika pada sistem pengobatan modern (Wolff, 1994).
Perkembangan
mikroskopis pembedahan anatomi, dan ilmu fisika, secara bersama mendorong
dengan kuat untuk mengetahui sirkulasi darah, pernapasan, dan sekresi yang
ternyata merupakan fenomena yang mekanismenya melibatkan reaksi biokimia yang
dikendalikan oleh kekuatan yang tak terukur. Hal ini memerlukan kelahiran ilmu
kimia organik yang telah terkonsep dari kekuatan aneh yang menggolongkan
produk-produk nabati dalam hal yang sama seperti kimia organik. Pembakuan dari
kemurnian dan potensi dibukukan dalam pompendia material medica yang
menyebabkan disusunnya acuan kerja, Farmakope-Farmakope, edisi yang pertama di
Florence (1498), Nuremberg (1535), Augsburg (1564), London (1618), dan Bassel
(1561). Obat baru menunjukkan penampilan dan sifat fisiologis yang menonjol dan
dari aktivitasnya mulai nampak jelas (Wolff, 1994).
2. Riset
obat-obatan pada abad terakhir
Studi tentang
kemoterapi anti protozoa mengalami perkembangan, sekitar 1890, dan anti malaria
sintetik yang pertama, berkembang bersama obat hipnotik, anti-inflamasi,
adrenergik, kholonergik, hormon dan obat lain. Kemudian diikuti
penemuan-penemuan yang lebih baik seperti antibakteria, antibiotika,
antihistaminika, vitamin dan hormon-hormon, berkembang lebih maju. Setelah
perang dunia ke II perencanaan dan perkembangan penelitian obat-obatan terpusat
pada 3 pokok utama; ialah obat-obatan antituberkulosis, hormon dan kontrasepsi,
antipsikotika, anksiolitika, dan antidepresan psikofarmakologik (Ahmad, 2012).
Penggunaan
metode-metode canggih seperti analisis spektroskopi untuk elusidasi rumus
struktur senyawa, pemakaian senyawa bertanda isotop, analisis secara otomatis,
dan pemisahan menggunakan kromatografi dan cara partisi lainnya, membuka jalan
untuk mempelajari bahan kimia dalam jumlah sangat kecil. Kemajuan cara
monitoring biologi dari berbagai macam aktivitas obat menambah perkembangan ilmu
itu, yang mulai meletakkan dasar biokimia kepada immunologi dan cara aksi biologi
yang kompleks dari suatu obat (Ahmad, 2012).
Perkembangan ilmu biokimia
dan biologi molekuler dan antagonisme metabolit dalam obat-obatan, membuka
jalan secara bertahap untuk pengobatan kanker dan penyakit mental dengan cara
kemoterapi. Walaupun percobaan dan penelitian biokimia mutakhir secara mengejutkan
selama empat dekade terakhir, proses pemikiran intelektual tentang praduga
rancangan obat mengalami kemajuan dengan diikuti banyak kebimbangan dan
keraguan yang
merupakan
ciri khas dan filosofi dari perkembangan ilmu pengetahuan (Ahmad, 2012).
S.C.F
Hahnemann (1775-1843), penemu hemopati (mengobati penyakit dengan sedikit cara
pemberian obat) percaya bahwa obat harus berlawanan dengan penyakit, dan hanya
gejala-gejalanya dapat diobati, bukan penyebabnya. Larutan obat harus
diencerkan sampai batas yang diizinkan, karena mengandung senyawa aktif dalam
kadar tinggi dari obat tersebut akan menyebabkan keracunan, reaksi itu sama dengan
penyakitnya. Dalam waktu yang persamaan dengan Hahnemann, Samuel Thomson
(1769-1843) menyatakan bahwa semua penyakit adalah efek dari penyebab umum dan
dihilangkan dengan suatu yang umum sebagai penyembuh. Ide itu terwujud segera
setelah penyebab dari beberapa penyakit diketahui. Salah satu dari kenyataan
itu dibuktikan oleh Louis Pasteur (1822-1895) yang menemukan parasit patogenik
sebagai penyebab penyakit infeksi, kemudian mempersiapkan cara untuk menyembuhkan
penyakit itu dengan zat kimia (secara kemoterapi). Pendapat Thomson tentang
penyebab yang umum masih terdengar oleh Ehrlich yang berambisi untuk menemukan
suatu pengobatan untuk semua penyakit infeksi (Ahmad, 2012).
Reaktivitas
dari senyawa kimia berubah bila struktur kimia berubah. Atas dasar itu,
perubahan struktur kimia akan membawa perubahan sifat biologis. Seorang ahli
farmakologi Inggris Fraser dan seorang ahli kimia Scotlandia Crum-Brown mengatakan
bahwa respon biologis merupakan fungsi dari struktur kimia suatu senyawa.
Pendapatnya dibuktikan secara matematik tetapi tidak berhasil, namun diungkapkan
lagi oleh Charles Richet ahli fisiologi Perancis (1893), dan Hans Horst Meyer
seorang farmakolog dan Charles Overton yang menggolongkan aktivitas narkotik
menurut perbandingan kelarutannya dalam darah dan lemak (air dan pelarut organik)
(Ahmad, 2012).
Paul
Erlich (1854-1915) seorang dokter Jerman dan ahli immunologi yang beralih
menjadi ahli kimia, merupakan eksponen nyata pertama dari penelitian obat yang
kita ketahui sekarang. Dia mendefinisikan beberapa sarana intelektual dari ilmu
kimia medisinal, misalnya dengan ada dan terlihatnya fungsi reseptor untuk
senyawa obat dan metabolitnya. Molekul obat dikelompokkan berdasarkan gugus farmakofornya,
suatu istilah dipinjam dari kromofor dari zat warna. Zat warna menarik Ehrlich,
karena dalam sifat zat warna (pewarna) merupakan suatu alat analisis yang baik
di dalam pelajaran biologi, dan zat warna itu dapat menghasilkan pewarnaan
secara selektif untuk beberapa sel, tapi tidak untuk sel yang lain. Sejak itu terjadi
peluang untuk menghasilkan model binatang bagi infeksi klinis, dengan menginfeksi
organisme patogen pada hewan uji, zat warna ternyata pada kondisi tertentu
dapat dipakai sebagai senyawa kemoterapi pada penyakit infeksi (Ahmad, 2012).
Toksisitas
dari zat pewarna kepada organisme patogen dapat ditingkatkan dengan cara
membuat senyawa homolog atau turunannya yang mengandung unsur atau elemen yang
toksin. Arsen yang telah diketahui mempunyai sifat antitripanosoma, apabila
berhubungan dengan inti senyawa aromatik akan merupakan salah satu harapan yang
logis, dan dalam arsfenamin sebuah senyawa yang mempunyai zat warna azo
berwarna kuning pucat, dimana nitrogen digantikan oleh arsen, adalah pertama
kali diciptakan secara klinis yang sangat berguna sebagai obat antispirocheta.
Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa metabolit arsfenamin adalah bentuk
aktif obat, hal ini membuka peluang untuk mempelajari metabolisme senyawa obat secara
detail dan komperehensif (Ahmad, 2012).
3. Perkembangan
obat pada era modern
Gagasan
bahwa zat pewarna kemungkinan berguna untuk melawan infeksi bakteri, bertahan
selama 20 tahun dan mencapai puncaknya sampai ditemukan secara selektif zat
warna merah potensial sebagai antibakteri. Begitu pula sifat-sifat bakteriostatik
obat adalah metabolit zat warna, misalnya sulfonamide. Senyawa ini memberi
pelajaran tentang biokimia medisinal dalam beberapa hal. Pertama senyawa ini
telah disintesis selama 29 tahun sebelum ditemukan aktivitas antibakteri. Dalam
hal yang sama telah ditemukan beberapa obat lain seperti bakteriostatik
4-aminosalisilat. Hal ini mengundang perhatian untuk memanfaatkan interpretasi
secara dini dari kemampuan aktivitas biologis dari senyawa yang telah diketahui
berdasarkan pada hubungan metabolit biokimia senyawa analog sterik, dan senyawa-senyawa
yang mempunyai kerapatan elektron terlokalisasi yang sangat menarik dalam tipe
struktur kimianya (Wolff, 1994).
Kedua,
pengamatan terhadap sulfonamida ternyata bersifat antagonis terhadap p-aminobenzoat.
Penelitian ini melahirkan suatu pengertian dari aksi biokimia dari berbagai
macam obat, misalnya obat melakukan antagonisme kompetitif atau non kompetitif
kepada substrat biokimia terutama yang ikut berperan dalam proses biosintetis.
Efek dari obat tidak selalu pada substrat tetapi dapat terjadi pada enzim yang
mengkatalisis pada reaksi kimia berikutnya. Obat aktif terhadap enzim yang esensial
dari zat asing atau neoplastik sel ganas yang berhubungan dengan biosintesis asam
nukleat, protein, enzim, dan konstituen lain dari subseluler organel telah berhasil
dengan baik. Kekhususannya dapat dinaikkan oleh munculnya perbedaan kecil
antara isoenzim dari parasit yang lebih kuat berpengaruh. Kelainan seperti tersebut
mungkin juga turut ambil bagian dalam aksi khusus secara relatif dari obat fungsional
yang menimbulkan efek samping dari organ yang berbeda (Wolff, 1994).
Ahli
kimia medisinal menganggap bahwa konsep tentang interferensi obat dengan
biokonversi dari substrat dalam reaksi enzimatis telah mempunyai efek
pengalaman yang berharga. Hal ini telah memberi kemungkinan pada ide rancangan obat
yang berdasarkan pada struktur dari substrat yang diketahui, seperti asam
amino, karbohidrat, hormon, nukleotida, vitamin, biokatalis yang lain, amina
biogenik, dan modulator lain dari neurotransmiter, kandungan lipid, steroid
postaglandin, dan lain sebagainya. Modifikasi molekuler dari struktur ini
sering menghasilkan senyawa antagonis. Apabila sebuah obat aktif tidak menyatu
dengan substrat enzimatik, asumsi dapat dijelaskan bahwa perubahannya itu
karena konformasi dari substrat dengan modifikasi allosterik pada enzim.
Apabila efek obat berlangsung lama seperti yang diinginkan maka dipilih
perubahan enzim inhibitor yang bersifat irreversibel, senyawa seperti itu
sebagian besar berupa senyawa alkil yang membentuk ikatan hidrogen atau ikatan
hidrofobik (Wolff, 1994).
Sulfanilamida
dan senyawa antihistamin dari tahun 1940 yang pertama digunakan untuk tes
kesahihan dari aturan biosterik di dalam merancang obat. Untuk memodifikasi
senyawa induk yang berguna secara biologis tetapi dapat dimanfaatkan untuk
tujuan terapeutik, ahli kimia dihadapkan pada berbagai pertimbangan untuk membuat
molekul sejenis itu. Seperti Marcelin Bertholat menyatakan bertahun-tahun yang
lalu bahwa ilmu kimia mempunyai seni; kemampuan untuk berkreatif tetapi menakutkan
dan mengerikan. Dalam kata-kata Aldous Huxley “Ilmu pengetahuan adalah
pengurangan dari peristiwa unik yang membingungkan untuk membuat satu kesatuan
dari sejumlah sistem simbol dan teknologi adalah seni untuk mengontrol dan mengorganisasikan
peristiwa unik. Konsep dari isosetrik bermaksud untuk menerangkan kesamaan
antara berbagai pilihan dari molekul untuk mengontrol perbedaannya. Hal itu
dipraktikkan pada penelitian obat-obatan oleh Hans Erlenmeyer dan batasannya
telah berkembang secara bertahap hingga era modern sekarang ini (Wolff, 1994).
Mengkombinasikan
intuisi dengan pengalaman yang didapat, berfikir panjang tentang bioisosterik
telah mendesak dua generasi kimia medisinal, untuk menahan sejumlah analogi
yang dipelajari dalam kursus dari modifikasi molekuler. Aturan yang sama
menuntun dan mengarahkan ahli kimia medisinal dalam menentukan variasi dari
senyawa induk yang mengatur perkembangan selektivitas lain dari material yang
toksin. Dalam hal ini termasuk insektisida penarik dan penolak insekta,
pestisida, herbisida, fungisida, flavoran dedoran, dan bahan kimia industri yang
toksik, yang harus diganti dengan senyawa baru yang kurang toksin tanpa menghilangkan
sifat-sifatnya, bahkan lebih menguntungkan bagi industri dan kondisi lingkungan
(Wolff, 1994).
Sejak
lebih kurang 1964 Hansch, Free, Wilson, dan lain-lain, telah mencoba untuk hal
tersebut walaupun tak seluruhnya berhasil, dengan intuisi yang telah menduga
adanya modifikasi molekuler senyawa obat. Mereka memulai dengan metode
percobaan Hammett yang menegaskan konstanta substitusi untuk atom dan gugus,
dan dengan suatu persamaan yang mendesak Hammett untuk menghitung harga
subtituen lain yang belum dideterminasikan sebelumnya. Dengan membandingkan
harga ketetapan seperti itu dengan koefisien partisi dari senyawa di antara air
dan pelarut organik, Hansch menunjukkan bahwa intensitas dari aktivitas biologi
senyawa tertentu cenderung paralel terhadap koefisien partisi. Potensi maksimum
dari sederet turunan obat yang mempunyai kolerasi dengan aturan dari elektronik,
sterik, dan faktor hidrofobik apabila obat berinteraksi dengan reseptornya. Peranan
bidang kimia organik fisis dalam rancangan obat masih terus dikembangkan.
Bidang ini ternyata dapat memberikan pemecahan terbaik dalam proses
penghambatan (inhibisi) enzim oleh calon obat yang mempunyai hubungan struktur
dalam percobaan secara in vitro, dan menjadi kurang memuaskan dalam lingkungan
biologis (kondisi in vivo) karena faktor yang kompleks dalam tubuh, dan masalah
ini merupakan tantangan tersendiri bagi para ahli biokimia dan kimia medisinal
untuk terus melakukan kajian secara holistik tentang senyawa kimia obat (Wolff,
1994).
Penemuan Antibiotik Penisilin
Indikasi pertama bahwa
jamur menghasilkan senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri muncul
sekitar setengah abad lebih awal dari penemuan antibiotik prontosil. Akan
tetapi, senyawa yang bertanggung jawab untuk aktivitas tersebut, yaitu
penisilin, tidak benar-benar diisolasi hingga akhir 1930-an dan dikembangkan
untuk penggunaan klinis hingga awal 1940-an. Stabilitasnya yang buruk dan waktu
paruh biologisnya yang pendek mendorong pengembangan suatu deretan senyawa
garam yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut. Penemuan metode untuk
memproduksi inti penisilin beberapa tahun kemudian mendorong sintesis analog
induk dengan manipulasi rantai samping amida yang ditujukan untuk mengatasi
masalah tersebut serta keterbatasan spektrum antibakteri penisilin alam
terhadap organisme gram positif. Pecarian intensif terhadap jamur yang
menghasilkan antibiotik, sebagian besar pada sampel tanah, menghasilkan
penemuan beta laktam sefalosporin C yang aktif melawan bakteri gram negatif;
pengembangan metode-metode untuk mendapatkan inti sefem menghasilkan analog
yang efektif secara klinis. Jumlah analog penisilin dan sefalosporin yang
sangat banyak, yang berbeda hanya pada substiuen amida, hanya akan dibahas
secara singkat karena sebagian besar senyawa kimia bergantung pada metode
pembuatan rantai samping. Adapun bentuk struktur dari penisilin adalah sebagai
berikut :
Toksisitas obat ini
yang sangat rendah pada spesies mamalia secara langsung disebabkan oleh
mekanisme beta laktam sebagai golongan yang menghambat pertumbuhan bakteri. Hal
ini didasarkan pada fakta bahwa bakteri, seperti halnya tumbuhan, bergantung
pada dinding sel untuk integritas strukutrnya; membran sel yang berbeda secara
fundamental dengan dinding sel memnuhi fungsi ini pada spesies tingkat tinggi.
Bagian yang kursial pada dinding sel sebagian besar terdiri atas peptidoglikan taut-silang;
sebagian besar taut-silang pada peptidoglikan ini dihasilkan oleh rantai
peptida yang terdiri atas fragmen-fragmen D-alanin. Secara singkat, beta laktam
bekerja sebagai substrat palsu pada pembentukan tautan-silang peptida. Gugus
beta laktam yang sangat reaktif menyebabkan blokade ireversibel, sebagai
efeknya, menghambat pembentukan dinding sel yang dibutuhkan untuk replikasi
bakteri. Fakta bahwa stereokimia penisilin menyerupai stereokimia D-asam amino
lebih lanjut mengurangi toksisitasnya karena biokimia spesies eukriotik
didasarkan hampir hanya pada L-asam amino. Selain itu, sejumlah kecil individu
mengalami reaksi alergi, yang dapat mendekati katastropik, terhadap golongan
obat ini.
Antibiotik
merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi. Kelompok antibiotik ᵦ-laktam
sangat penting dalam terapi pengobatan. Salah satu antibiotik kelompok ini
adalah penisilin, yang ditemukan Alexander Fleming pada tahun 1929 (Crueger dan
Crueger, 1982). Antibiotik ini spesifik menghambat sintesis dinding sel bakteri
dan telah banyak digunakan untuk terapi pengobatan penyakit infeksi (Susanti
dan Ariani, 2004).
Penisilin merupakan salah satu dari
deretan senyawa yang saling berhubungan erat yang diisolasi dari fermentasi Penicillium Notatum. Senyawa ini juga
dikenal dengan penisilin G atau benzil penisilin, sifatnya sangat tidak stabil
dan dengan cepat tereliminasi dari tubuh. Penisilin merupakan kelompok
antibiotik yang ditandai oleh adanya cincin β-laktam dan diproduksi oleh
beberapa jamur (eukariot) yang terdiri dari genus Penicillium dan Aspergillus,
serta oleh beberapa prokariot tertentu (Madigan dkk., 2000). Sifat unik
pada masing-masing penisilin ditentukan oleh adanya rantai samping yang
berbeda-beda. Secara kimiawi penisilin tergolong dalam antibiotik β-laktam
(Pelczar dan Chan, 1988).
Omura
(1995) di dalam Demain (1996) menyatakan bahwa kira-kira 10.000 metabolit
sekunder telah ditemukan struktur kimianya yang tersusun oleh cincin β-laktam,
peptida siklik yang terdiri dari asam amino dan senyawa nonprotein, gula
dan nukleosida, ikatan tidak jenuh dari poliasetilen dan polien, serta cincin
makrolida besar.
Antibiotik
penisilin pada awalnya digunakan untuk mengobati penyakit infeksi yang banyak
terjadi pada saat perang dunia kedua. Namun beberapa tahun kemudian, pengobatan
penyakit infeksi dengan antibiotik ini tidak efisien lagi, karena banyak
mikroorganisme telah menjadi resisten. Oleh karena itu, dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, dikembangkan antibiotik-antibiotik baru melalui modifikasi
struktur penisilin agar efektifitas antibiotik ini dapat diperoleh kembali
(Wilson, 1982).
Berbagai
turunan penisilin telah dibuat dan digunakan. Dalam proses pembuatan turunan antibiotik,
banyak dilibatkan gen pengkode enzimenzim tertentu, contohnya gen penisilin V
asilase (PVA) yang banyak ditemukan pada bakteri dan jamur. Enzim ini merupakan
kunci dalam pembuatan antibiotik -laktam semisintetik karena dapat
menghidrolisis penisilin V untuk menghasilkan senyawa antara yaitu asam 6-amino
penisilanat (6-APA), suatu senyawa antara untuk memproduksi penisilin
semisintetik, diantaranya metilsilin, kloksasilin, ampisilin dan karbenisilin
(Hammond, 1978). Senyawa 6-APA yang diperoleh melalui proses hidrolisis
enzimatis ini, ikatan amida pada rantai sampingnya terputus.
Kloning
gen PVA telah banyak dilakukan. Kloning gen yang mengkode PVA dari Bacillus
sphaericus dan ekspresinya dalam Escherichia coli dan Bacillus
subtilis telah diteliti (Olson, et al., 1985). Strain lokal Bacillus
sp. BAC4 selain memproduksi penisilin G asilase (PGA) juga menghasilkan PVA.
Menurut
Waluyo (2004), sifat-sifat yang dimiliki oleh penisilin adalah sebagai berikut:
1. Menghambat
atau membunuh patogen tanpa merusak inang (host).
2. Bersifat
bakteriosidal dan bukan bakteriostatik.
3. Tidak
menyebabkan resistensi pada kuman.
4. Berspektrum
luas, yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positif dan bakteri
Gram-negatif.
5. Tidak
bersifat alergenik atau menimbulkan efek samping bila digunakan dalam jangka
waktu yang lama.
6. Tetap
aktif di dalam plasma, cairan badan, atau eksudat.
7. Larut
di dalam air dan bersifat stabil.
8. Bacteriosidal
level, di dalam tubuh cepat dicapai dan dapat bertahan
untuk waktu yang lama.
Menurut
Todar (2000), penisilin dapat dibagi menjadi tiga golongan utama, yaitu:
1. Penisilin
alami, seperti Penisilin G (Benzylpenicillin) dan Penisilin V (Phenoxymethylpenicillin)
yang diproduksi melalui fermentasi Penicillium chrysogenum, yang efektif
melawan Streptococcus, Gonococcus, dan Staphylococcus.
Penisilin G dan Penisilin V termasuk ke dalam spektrum sempit (narrow spectrum)
karena tidak efektif melawan bakteri Gram-negatif.
2. Penisilin
biosintetik, diproduksi dengan cara melakukan rekayasa pada penisilin untuk
menghasilkan penisilin yang mampu melawan aktivitas bakteri Gram-negatif.
3. Penisilin
semisintetik, banyak dari campuran ini telah dikembangkan untuk mempunyai
keuntungan atau manfaat yang berbeda dari Penisilin G, seperti spektrum
aktivitas ditingkatkan (efektivitas melawan bakteri Gram-negatif).
Mekanisme
kerja penisilin adalah dengan mengganggu sintesis dinding sel, khususnya ketika
proses transpeptidasi pada sintesis peptidoglikan dinding sel. Pada proses ini,
penisilin memiliki struktur yang sama dengan struktur D-alanil-D-alanin
terminal pada peptidoglikan, sehingga enzim transpeptidase bereaksi dengan
penisilin. Hal ini membuat struktur peptidoglikan yang dibentuk menjadi tidak
sempurna dan melemahkan kekuatan dinding sel pada bakteri (Todar, 2000).
Penisilin
semisintetik kebanyakan diproduksi dari asam 6-amino penisilinat atau 6-Aminopenicillanic
acid (6-APA), inti molekul penisilin yang dihasilkan terutama dengan
deasetilasi enzimatik penisilin alami. Perkembangan tentang pengetahuan
mengenai jalur biosintesis memungkinkan dilakukannya optimasi yang membuat
ruahan produk semaksimal mungkin. Enzim yang digunakan merupakan enzim dengan
memiliki mekanisme kerja N-deasilasi pada struktur antibiotik β-laktam, umumnya
digunakan enzim penisilin asilase (Todar, 2000).
Penisilin
asilase merupakan enzim anggota serin hidrolase dengan mekanisme aksi transfer
gugus asil dari satu nukleofil ke lainnya, mengkatalisis reaksi deasilasi
penisilin menjadi 6-APA. Enzim penisilin asilase diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok, yaitu: penisilin G asilase, penisilin V asilase dan ampisilin asilase
yang dikelompokkan berdasarkan spesifisitas substratnya (Todar, 2000).
Penisilin
G asilase dihasilkan oleh bakteri, aktivitas mengkatalisis hidrolisis dari benzilpenisilin
(penisilin G atau Pen-G) lebih cepat daripada fenoksimetil penisilin (penisilin
V atau Pen-V). Penisilin V asilase umumnya dihasilkan oleh fungi, beberapa
spesies bakteri dan ragi tertentu, aktivitas mengkatalisis hidrolisis dari
penisilin V lebih cepat dari penisilin G. Ampisilin asilase secara spesifik memiliki
kemampuan untuk mengkatalisis hidrolisis ampisilin. Salah satu contoh dari
penggunaan enzim penisilin asilase yang banyak digunakan adalah penisilin G
asilase dalam industri farmasi untuk memproduksi 6-APA dari penisilin G, dengan
pengeluaran yang mencapai 10-30 ton per tahun di seluruh dunia. Penisilin G
asilase umum digunakan dalam konversi antibiotik β-laktam karena merupakan ide
baru dalam perindustrian yang lebih aman dan ramah lingkungan (Todar, 2000).
Penghasil
penisilin asilase dalam hidrolisis penisilin G umumnya berasal dari
bakteri-bakteri, seperti; Bacillus megaterium, Streptomyces lavendulae, Achromobacter
sp., Bovista plumbea, Kluyvera atrophila, Pseudomonas melanogenum,
Fusarium sp., dan Chainia (Cascaval, et al., 2002). Salah satu
bakteri yang telah dilaporkan menghasilkan enzim penisilin asilase dengan stabilitas
yang tinggi, terutama kaitannya dengan pengaruh suhu adalah Alcaligenes
faecalis (t1/2 15 menit, suhu 55°C). Kerja penisilin asilase
dipengaruhi banyak faktor, penisilin asilase memiliki kondisi optimal untuk
mengkatalisis konversi penisilin G. Enzim ini memiliki pH optimal dalam range
6-8 dengan suhu kerja optimal pada suhu 35-40°C. Laju reaksi enzim penisilin
asilase juga dipengaruhi oleh hambatan substrat dan produk reaksinya, pada
konsentrasi substrat tinggi, konversi hanya mencapai 60- 80% bergantung pada pH
reaksi dan konsentrasi substrat. Konsentrasi substrat yang tinggi dapat
menghambat laju reaksi secara uncompetitive. Kedua produk, yaitu 6-APA
sebagai produk yang diinginkan dan PAA (Asam fenil asetat) sebagai produk
samping, menghambat laju reaksi kerja enzim secara non-kompetitif dan secara
kompetitif (Wolff, 1994).
Puri Triasih (Mahasiswi Kimia UMRI)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
A., 2012. Pendekatan Biokimia dan
Medisinal Senyawa Kimia Obat. Makassar : Dua Satu Press.
Burger,
A., 1970, Medical Chemestry,Third Edition, hal 682-683, Willey
Intersierce, New York-London-Sydney-Toronto.
Crueger, W.
and Crueger. 1982.
Biotechnology; A Text Book on Industrial.
Translae by T. DBook. Science Tech.
Hammond,
S.M. and P.A. Lambert. 1978. Antibiotics and Antimicrobial Action. New
York: Edward Arnold.
Katzung,
G.B., (2002) Farmakologi Dasar Dan Klinik. Penterjemah: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta: Penerbit
Salemba Medika. hal. 457-458.
Madigan,
M. T., J. M. Martinko & J. Parker. 2010. Brock biology of microorganisms.
Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River: xix + 991 hlm.
N.
Nagai. 1887. Pharm. Ztg., 32, 700.
Olsson,
A., H. Thomas, N. Bjorn, U. Mathias, and G. Sten. 1985. Molecular cloning of Bacillus sphaericus penicillin V
amidase gene and its expression in Escherichia
coli and Bacillus subtilis. Applied and Environmental
Microbiology 49: 1084-1089.
Omura,
S., & Tanaka, 1984, Biochemistry, Regulation and Genetics of Macrolide
Production, dalam Omura S. (Ed.) Macrolide Antibiotics Chemistry, Biology
and Practise, Academic Press., Orlando.
Pelczar,
M. J., & Chan, E. C. S., 1988, Dasar-Dasar Mikrobiologi, Alih Bahasa
Hadioetomo, R. S., Imas, T., Tjitrosomo, S. S., dan Angka, S. L., UI Press,
Jakarta.
R.
Buchheim, 1876. Arch. Exp. Pathol.
Pharmakol. 5 : 261.
Sebayang,
F. 2005. Amobilisasi enzim penisilin asilase dari E.coli B1O4 dengan
poliakrilamida. Jurnal Komunikasi Penelitian .17 (3): 1-3.
Siswandono
dan Soekardjo. 1998. Prinsip-Pinsip Rancangan Obat. Airlangga University
Press. Surabaya.
Susanti,
E.V.N, dan Ariani, S.R.D., 2004. Kloning Gen Penisilin V Asilase dari Bacillus sp BAC4 Melalui Pembuatan Pustaka Genom.
ISSN: 1412-033X. Surakarta :
Universitas Sebelas Maret.
Todar,
K. 2000. Staphylococcus, University of Wsconsin-Madison Department of Bacteriology.
http://www.textbookofbacteriology.net/ken_todar.html. Diakses tanggal 20 April
2015.
Waluyo,
L. 2008. Tekhnik Metode Dasar Mikrobiologi. Penerbit Universita Muhammadiyah
Malang (UMM Press). Malang.
WHO, 2003, Traditional medicine, http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs134/en/,
diakses 20 April 2006.
Wilson,
L. and L. Gisvold. 1982. Textbook of Organic Medicinal and Pharmaceutical
Chemistry. Philadelphia: Harper and Row Publishers, Inc.
Withering,
W., 1937. An Account of the Foxglove and
Some of Its Medicinal Uses; With Practical Remarks on Dropsy and Other
Diseases. London : C.G.J.
Wolff, M.E., 1994. Asas-Asas
Kimia Medisinal Terjemahan Edisi Keempat. Yogyakarta : UGM Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar