Google ads

Minggu, 25 Oktober 2015

Batasan dan Ruang Lingkup Kimia Medisinal



Batasan kimia medisinal menurut Burger (1970) adalah Ilmu pengetahuan yang merupakan cabang dari ilmu kimia dan biologi dan digunakan untuk memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat. Sebagai dasar adalah mencoba menetapkan hubungan struktur kimia dan aktivitas biologis obat, serta menghubungkan perilaku biodinamik melalui sifat-sifat fisik dan kereaktifan kimia senyawa obat. Kimia medisinal melibatkan isolasi, karakterisasi dan sintesis senyawa-senyawa yang digunakan dalam bidang kedokteran untuk mencegah dan mengobati penyakit serta memelihara kesehatan.
Batasan kimia medisinal menurut The International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC, 1974) adalah Ilmu pengetahuan yang mempelajari penemuan, pengembangan, identifikasi dan interpretasi cara kerja senyawa biologis aktif (obat) pada tingkat molekul. Kimia medisinal juga melibatkan tentang studi, identifikasi, dan sintesis produk metabolisme obat dan senyawa yang berhubungan dengan obat tersebut.
Batasan kimia medisinal menurut Taylor dan Kennewell (1981) adalah Studi kimiawi senyawa atau obat yang dapat memberikan efek menguntungkan dalam sistem kehidupan, dan melibatkan studi hubungan struktur kimia senyawa dengan aktivitas biologis serta mekanisme cara kerja senyawa pada sistem biologis dalam usaha mendapatkan efek pengobatan yang maksimal dan memperkecil efek samping yang tidak menguntungkan.
Ruang lingkup bidang kimia medisinal menurut Burger (1970), adalah :
1.    Isolasi dan identifikasi senyawa aktif dalam tanaman yang secara empirik telah digunakan untuk pengobatan.
2.    Sintesis struktur analog dari bentuk dasar senyawa yang mempunyai aktivitas pengobatan potensial.
3.    Mencari struktur induk baru dengan cara sintesis senyawa organik, dengan ataupun tanpa berhubungan dengan zat aktif alamiah.
4.    Menghubungkan struktur kimia obat dengan mekanisme kerjanya.
5.    Mengembangkan rancangan obat.
6.    Mengembangkan hubungan struktur kimia dan aktivitas biologis melalui sifat fisiko kimia dengan bantuan analisis statistik.
Beberapa abad yang lalu, pada periode perkembangan bahan obat organik, telah banyak perhatian diberikan untuk mencari kemungkinan adanya hubungan antara struktur kimia, sifat-sifat kima fisika dan aktivitas biologi senyawa aktif atau obat. Pada abad ke 19, bahan alamiah yang secara empirik telah digunakan oleh manusia untuk pengobatan, mulai dikembangkan lebih lanjut dengan cara isolasi zat aktif, diidentifikasi struktur kimianya dan kemudian diusahakan untuk dapat dibuat secara sintetik. Telah pula dilakukan berbagai modifikasi struktur zat aktif, dengan cara sintesis, dalam usaha mendapatkan senyawa baru dengan aktivitas yang lebih tinggi (Ahmad, 2012).

 Berdasarkan sumbernya obat yang ada dewasa ini digolongkan menjadi tiga jenis yaitu :
1.    Obat alamiah (herbal)
Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara di dunia. Menurut WHO, negaranegara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer (WHO, 2003). Obat yang terdapat di alam, banyak terdapat pada tanaman, contohnya : quinina dan atropina, pada hewan, contoh : minyak ikan dan hormon, serta mineral, contoh : belerang (S) dan kalium bromida (KBr) (Ahmad, 2012). Selain itu terdapat juga pada hewan (minyak ikan dan hormon), serta mineral (belerang dan kalium bromida) (Siswandono, 1998).
2.    Obat semisintetik
Obat semi sintetik ialah obat hasil modifikasi yang bahan dasarnya berasal dari bahan obat yang terdapat secara alami, contoh : penisilin disintesis menjadi ampisilin (Siswandono, 1998), morfin disintesis menjadi kodein, diosgenin disintesis menjadi progesteron (Ahmad, 2012).
3.    Obat sintetik
Obat sintetik adalah obat yang bahan dasarnya tidak berkhasiat, setelah disintesis akan mendapatkan senyawa dengan khasiat farmakologis tertentu, contoh : obat-obat golongan analgetik-antipiretika (parasetamol), antihistamin (CTM), dan diuretika (Siswandono, 1998).
Obat yang berasal dari alam sudah banyak dibuat secara sintetik, seperti metilsalisilat, kamfer, mentol dan asam amino. Ada pula beberapa senyawa alamiah yang digunakan sebagai obat, yang tidak dapat dibuat secara sintetik atau biaya produksinya terlalu mahal sehingga diproduki dengan cara isolasi dari sumber alam, contoh : glikosida jantung, kuinin, atropine dan insulin (sekarang sudah diproduksi dari sel bakteri E.coli dengan teknik rekayasa genetika) (Ahmad, 2012).
Dewasa ini diperkirakan lebih dari 6 juta senyawa kimia yang sudah diidentifikasi, dan jumlah tersebut terus bertambah sekitar 120.000 senyawa kimia baru setiap tahun. Dari jumlah tersebut telah digunakan secara umum sebagai obat sekitar 5000 jenis, sebagai bahan tambahan makanan sekitar 4500 jenis, dan sebagai pestisida sekitar 2000 jenis (Ahmad, 2012).
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat, didapatkan bahwa struktur kimia obat ternyata dapat menjelaskan sifat-sifat obat dan terlihat bahwa unit-unit struktur atau gugus-gugus molekul obat berkaitan dengan aktivitas biologisnya. Untuk mencari hubungan antara struktur kimia dan aktivitas biologis dapat dilakukan terutama dengan menghubungkan gugus fungsional tertentu dengan respons biologis. Hal ini kadang-kadang mengalami kegagalan karena terbukti bahwa senyawa dengan unit struktur kimia sama belum tentu menunjukkan aktivitas biologis sama, sebaliknya aktivitas biologis sama sering diperlihatkan oleh senyawa-senyawa dengan struktur kimia yang berbeda (Ahmad, 2012).
Contoh senyawa dengan gugus fungsional sama dan mempunyai aktivitas biologis sama :
1.    Turunan fenol, contoh : fenol, kresol, eugenol dan timol, mengandung gugus fungsi hidroksil fenol dan berkhasiat sebagai antiseptik.
2.    Turunan sulfonamide, contoh: sulfanilamid, sulfaguanidin, dan sulfametoksazol, mengandung gugus fungsi sulfonamide dan berkhasiat sebagai antibakteri (Ahmad, 2012).
Senyawa dengan unit struktur sama tetapi dapat memberikan aktivitas biologis bermacam-macam adalah obat turunan sulfonamida, yang dapat berkhasiat sebagai antibakteri (sulfanilamid atau trisulfa), diuretic (hidroklorotiazid), antilepra (dapson), antimalaria (sulfadoksin), urikosurik (probenesid) dan antidiabetes (karbutamid) (Ahmad, 2012).
Turunan senyawa dengan gugus fungsi yang sama dapat memberikan respon biologis yang sama oleh karena bekerja pada reseptor yang sama atau mempengaruhi proses biokimia yang sama pula. Sebagai contoh pada turunan fenol, gugus fungsi hidroksi pada fenol dapat menyebabkan koagulasi dan denaturasi protein sel bakteri, sedang pada turunan sulfonamide, gugus fungsi sulfonamida bekerja secara penghambatan bersaing (inhibitor kompetitif) dengan asam p-aminobenzoat, suatu senyawa yang diperlukan untuk pembentukan asam dihidropteroat, yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan sel bakteri (Ahmad, 2012).
Turunan senyawa dengan struktur kimia yang berbeda dapat memberikan respon biologis yang sama oleh karena aktivitas turunan tersebut tidak tergantung pada struktur kimia yang spesifik, tetapi lebih tergantung pada sifat fisiko kimia, seperti kelarutan dan aktivitas termodinamika senyawa obat. Hal ini terjadi pada senyawa yang berstruktur tidak spesifik, seperti pada contoh obat anastesi sistemik (Ahmad, 2012).
Untuk obat diuretik dapat menghasilkan respon farmakologis yang sama karena masing-masing turunan mempengaruhi proses biokimia yang berbeda, jadi mekanisme kerjanya berbeda, tetapi efek biologis yang ditimbulkan sama, yaitu diuresis. Fenomena ini menunjang pengertian bahwa mekanisme kerja obat pada tingkat molekul dapat melalui beberapa jalur, dan ini memberi penjelasan mengapa obat dengan tipe struktur berbeda dapat menunjukkan aktivitas farmakologis yang sama (Ahmad, 2012).
Senyawa dengan unit struktur kimia yang sama tetapi dapat memberikan aktivitas biologis bermacam-macam oleh karena unit struktur tersebut, dengan sedikit perubahan struktur, ternyata dapat berinteraksi dengan reseptor yang berbeda sehingga menimbukan respons farmakologis yang berbeda pula, seperti pada contoh obat turunan sulfonamide. Tidak semua senyawa obat dapat dijelaskan dengan hubungan struktur dan aktivitasnya. Seringkali kegagalan untuk mendapatkan hubungan antara struktur kimia, sifat fisiko kimia dan aktivitas biologis obat disebabkan oleh sifat sistem biologis tubuh yang sangat kompleks dan banyaknya faktor yang mempengaruhi aktivitas obat. Keragaman aktivitas biologis senyawa organik, baik yang mempunyai hubungan struktur maupun tidak, ternyata sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisiko kimia. Sifat-sifat tersebut ditentukan oleh jumlah, jenis dan susunan atom dalam senyawa kimia obat (Ahmad, 2012).
Sifat-sifat fisiko kimia merupakan dasar yang sangat penting untuk menjelaskan aktivitas biologis obat, karena dua alasan utama yaitu :
1.    Sifat kimia fisika memegang peranan penting dalam pengangkutan obat untuk mencapai reseptor. Sebelum mencapai reseptor, molekul obat harus melalui bermacam-macam sawar membran, berinteraksi dengan senyawa-senyawa dalam cairan luar dan dalam sel serta biopolimer. Di sini sifat kimia fisika berperan dalam proses absorpsi dan distribusi obat, sehingga kadar obat pada waktu mencapai reseptor cukup besar.
2.    Hanya obat yang mempunyai struktur dengan kespesifikan yang tinggi saja yang dapat berinteraksi dengan reseptor biologis. Oleh karena itu sifat kimia fisika obat harus menunjang orientasi spesifik molekul pada permukaan reseptor (Ahmad, 2012).
Sifat kimia fisika penting yang berhubungan dengan aktivitas biologis antara lain adalah kelarutan, koefisien partisi, adsorpsi, aktivitas permukaan, derajat ionisasi, isosterisme, ikatan kimia, seperti ikatan-ikatan kovalen, ion, hidrogen, dipol-dipol,van der Waal’s, dan hidrofobik, jarak antar atom dari gugus-gugus fungsional, potensial redoks, pembentukan kelat dan konfigurasi molekul dalam ruang (isomer). Dalam keadaan tertentu sifat-sifat tersebut dikaitkan dengan fungsi kimia yang khas, seperti tetapan disosiasi (pKa), atau kadang-kadang dikaitkan dengan sifat molekul keseluruhan, seperti kelarutan dalam lemak/air (log P). Pada proses distribusi obat, penembusan membran biologis terutama dipengaruhi oleh sifat lipofil molekul obat, seperti kelarutan dalam lemak/air, sifat elektronik obat, seperti derajat ionisasi, dan suasana pH. Proses interaksi obat dengan reseptor spesifik dipengaruhi oleh tipe ikatan kimia, interaksi hidrofob, kerapatan elektron, ukuran molekul obat dan efek stereokimia sehingga sifat-sifat lipofil, elektronik dan sterik dari molekul obat sangat menunjang proses interaksi tersebut (Ahmad, 2012).
Sifat-sifat lipofil, elektronik dan sterik suatu gugus atau senyawa dapat dinyatakan dalam berbagai macam parameter sifat kimia fisika dan parameterparameter tersebut digunakan untuk menghubungkan secara kuantitatif struktur kimia dan aktivitas biologis obat (Hubungan Kuantitatif Struktur-Aktivitas = HKSA atau Quantitative Structure-Activity Relationships = QSAR). Hubungan kuantitatif struktur-aktivitas merupakan bagian penting dari kimia medisinal dalam usaha mendapatkan suatu obat baru dengan aktivitas yang dikehendaki dan biaya yang lebih ekonomis (Ahmad, 2012).
Pengetahuan tentang proses metabolisme senyawa obat didalam tubuh juga sangat dibutuhkan dalam kimia medisinal oleh karena banyak senyawa yang diberikan dalam bentuk pra-obat dan kemudian dalam tubuh mengalami metabolisme menghasilkan senyawa aktif. Proses metabolisme juga berperan untuk menilai dan memperkirakan efikasi dan keamanan obat, dan sebagai dasar penjelasan terjadinya efek samping dan toksisitas senyawa obat (Ahmad, 2012).
Metode pengembangan obat melalui modifikasi molekul dengan optimalisasi senyawa penuntun (lead compound) dan rancangan obat yang rasional juga merupakan tahap penting dalam usaha mencari dan menemukan senyawa baru yang lebih aktif, lebih selektif dengan efek samping dan toksisitas yang rendah (Ahmad, 2012).
Perkembangan Kimia Medisinal
1.      Dari Tahun 300 BC sampai 1860 AD
Merupakan hal yang biasa bahwa para filoso zaman dulu dan para muridnya menjadi orang pertama sebagai ilmuwan dalam bidang pengobatan, tetapi dalam kehidupan ilmu pengetahuan percobaan-percobaannya, pengamatannya dan interpretasinya harus disesuaikan dengan teori pendidikan agar para peneliti dapat menemukan gambaran yang murni dan tidak atas dasar ketakhayulan sehingga tidak terjadi salah pengertian tentang fenomena alam dan tanpa praduga yang berlebihan tentang nilai terapetik (Wolff, 1994).
Sekalipun demikian pekerjaan spesifik pada abad pertengahan dan bahkan pada 350 tahun pertama dari abad modern ini tulisan tentang masalah itu merupakan suatu referensi yang menawan dan banyak diminati. Hanya beberapa pustaka yang terpilih, termasuk yang dapat menerangkan walaupun sudah kuno, ialah suatu pengobatan tradisional yang tidak menentu. Diantara bahan kuno pertama yang ditemukan ialah “Chiang Shang” di Cina (2735 BC) yang kemudian ternyata di tanaman tersebut berkhasiat anti malaria Dichorn febrifuga dan mahuang sebagai stimulant dan peluruh keringat yang sekarang dikenal dengan Ephedra sinici (dan spesies lainnya (Nagai, 1887). “Ebers Papyrus” (Mesir ± 1550 BC), Penggunaan “squill” untuk tokinum jantung dan sebuah prekusor dari pengobatan dengan digitalis (Withering, 1937). Ipccacc dari spesies Bazilian Cephalis digunakan anti amuba dan Chenopodium anthelminticium dituliskan dalam berbagai istilah dalam bahasa Ibrani, Meksiko dan oleh para dokter di Roma. Salah satu kemoterapi yang terbesar ditemukannya penggunaan kulit kina oleh orang Indian Amerika bagian Selatan, seperti dituliskan pertama kali oleh Calencka pada tahun 1663, dan dilaporkan oleh Herman van der Heyden sebagai Pulvus indicus pada tahun 1643. Para penambang perak di Pegunungan Andean mengunyah daun Coca sebagai stimulant dan penambah rasa nyaman. Selama upacara agama mereka juga memakan jamur yang mengandung senyawa bersifat psikometri dan halusinogenik. Anggur yang beracun, oleh orang Indian Amerika bagian Selatan dicampur dengan resin yang mengandung kurare (aurari, dan uria berarti burung dan eor membunuh) pertama digunakan untuk melapisi ujung panah dalam permainan perburuan dan perang antar suku (Wolff, 1994).
Di India menghidangkan anggur kepada tamunya diberi bius dengan Datura Stramonium sehingga bila orang tersebut akan dirampok tidak akan melawan. Datura berisi atropine dan skopolamin. Tanaman yang mirip dengan itu, bila di bakar di atas api dengan penyangga tiga kaki dari kayu, oleh pendeta wanita di lemari tempat sabda dewa Apollo di candi Dewi di Delphi; pendeta wanita yang mabuk oleh uap pembakaran, mengucapkan sesuatu yang tak berujung pangkal yan ditafsirkan sebagai sabda para dewa. Biji dari suatu tanaman yang disebut “bayangan malam maut” adalah sebuah tanaman yang beralkaloid dinamakan aetropa belladonna (Atripos pohon nasib yang tertua, memotong benang kehidupan), yang sering sebagai sumber malapetaka keracunan, tetapi juga untuk melebarkan pupil mata dan mata yang berkedip-kedip dari wanita Italia (Bella Donna). Contoh lain tanaman obat kuno adalah “autumn crocus” (meadow, saffron, Colchium autamnale) yang telah dianjurkan sebagai obat nyeri pada sendi oleh Alexander dari Tralles dalam abad ke enam A.D., dan untuk penyakit tulang akut oleh Barn Anton von Stork (1763) Benjamin Franklin mendengar cara pengobatan tersebut dan melaporkan kepada dokter di Amerika (Wolff, 1994).
Sirup buah poppy disebut-sebut sebagai suatu analgetika oleh Theophratus (abad ketiga B.C.), ternyata telah diketahui sebelumnya. Seorang ahli kimia Swiss Philipus Paracelsus (1493-1541) meramu laudanum suatu larutan opium pekat yang telah dibersihkan. Merokok opium menjadi suatu kebiasaan pada abad ke VIII, tetapi hanya beberapa saat setelah terjadi penyalahgunaan itu. Dengan kepercayaan akan kemampuan kuratif dari ramuan tanaman yang dianjurkan oleh Galenus (131-200 A.D.) akhirnya berkurang, ketika seorang ahli kimia dari Arabia di abad ke XIII menolak ide khayalan dari filofos zaman batu yang mengharapkan kelangsungan hidup secara terus menerus dan menyeluruh seluruh kehidupan yang enak atau nyaman. Basilus Valentinus (± 1460) dan kemudian Paracelsus percaya juga bahwa senyawa kimia organik, seperti misalnya garam sulfur dan merkuri merupakan prinsip hipotesisnya. Elemen yang terakhir dikenal dengan nama kolomel, yang kemudian sangat popular dalam bentuk “Guy’s Hospital Pills” (kolomel, gitalis, dan squil) dan menyambung pada aksi diuretika pada sistem pengobatan modern (Wolff, 1994).
Perkembangan mikroskopis pembedahan anatomi, dan ilmu fisika, secara bersama mendorong dengan kuat untuk mengetahui sirkulasi darah, pernapasan, dan sekresi yang ternyata merupakan fenomena yang mekanismenya melibatkan reaksi biokimia yang dikendalikan oleh kekuatan yang tak terukur. Hal ini memerlukan kelahiran ilmu kimia organik yang telah terkonsep dari kekuatan aneh yang menggolongkan produk-produk nabati dalam hal yang sama seperti kimia organik. Pembakuan dari kemurnian dan potensi dibukukan dalam pompendia material medica yang menyebabkan disusunnya acuan kerja, Farmakope-Farmakope, edisi yang pertama di Florence (1498), Nuremberg (1535), Augsburg (1564), London (1618), dan Bassel (1561). Obat baru menunjukkan penampilan dan sifat fisiologis yang menonjol dan dari aktivitasnya mulai nampak jelas (Wolff, 1994).
2.      Riset obat-obatan pada abad terakhir
Studi tentang kemoterapi anti protozoa mengalami perkembangan, sekitar 1890, dan anti malaria sintetik yang pertama, berkembang bersama obat hipnotik, anti-inflamasi, adrenergik, kholonergik, hormon dan obat lain. Kemudian diikuti penemuan-penemuan yang lebih baik seperti antibakteria, antibiotika, antihistaminika, vitamin dan hormon-hormon, berkembang lebih maju. Setelah perang dunia ke II perencanaan dan perkembangan penelitian obat-obatan terpusat pada 3 pokok utama; ialah obat-obatan antituberkulosis, hormon dan kontrasepsi, antipsikotika, anksiolitika, dan antidepresan psikofarmakologik (Ahmad, 2012).
Penggunaan metode-metode canggih seperti analisis spektroskopi untuk elusidasi rumus struktur senyawa, pemakaian senyawa bertanda isotop, analisis secara otomatis, dan pemisahan menggunakan kromatografi dan cara partisi lainnya, membuka jalan untuk mempelajari bahan kimia dalam jumlah sangat kecil. Kemajuan cara monitoring biologi dari berbagai macam aktivitas obat menambah perkembangan ilmu itu, yang mulai meletakkan dasar biokimia kepada immunologi dan cara aksi biologi yang kompleks dari suatu obat (Ahmad, 2012).
Perkembangan ilmu biokimia dan biologi molekuler dan antagonisme metabolit dalam obat-obatan, membuka jalan secara bertahap untuk pengobatan kanker dan penyakit mental dengan cara kemoterapi. Walaupun percobaan dan penelitian biokimia mutakhir secara mengejutkan selama empat dekade terakhir, proses pemikiran intelektual tentang praduga rancangan obat mengalami kemajuan dengan diikuti banyak kebimbangan dan keraguan yang
merupakan ciri khas dan filosofi dari perkembangan ilmu pengetahuan (Ahmad, 2012).
S.C.F Hahnemann (1775-1843), penemu hemopati (mengobati penyakit dengan sedikit cara pemberian obat) percaya bahwa obat harus berlawanan dengan penyakit, dan hanya gejala-gejalanya dapat diobati, bukan penyebabnya. Larutan obat harus diencerkan sampai batas yang diizinkan, karena mengandung senyawa aktif dalam kadar tinggi dari obat tersebut akan menyebabkan keracunan, reaksi itu sama dengan penyakitnya. Dalam waktu yang persamaan dengan Hahnemann, Samuel Thomson (1769-1843) menyatakan bahwa semua penyakit adalah efek dari penyebab umum dan dihilangkan dengan suatu yang umum sebagai penyembuh. Ide itu terwujud segera setelah penyebab dari beberapa penyakit diketahui. Salah satu dari kenyataan itu dibuktikan oleh Louis Pasteur (1822-1895) yang menemukan parasit patogenik sebagai penyebab penyakit infeksi, kemudian mempersiapkan cara untuk menyembuhkan penyakit itu dengan zat kimia (secara kemoterapi). Pendapat Thomson tentang penyebab yang umum masih terdengar oleh Ehrlich yang berambisi untuk menemukan suatu pengobatan untuk semua penyakit infeksi (Ahmad, 2012).
Reaktivitas dari senyawa kimia berubah bila struktur kimia berubah. Atas dasar itu, perubahan struktur kimia akan membawa perubahan sifat biologis. Seorang ahli farmakologi Inggris Fraser dan seorang ahli kimia Scotlandia Crum-Brown mengatakan bahwa respon biologis merupakan fungsi dari struktur kimia suatu senyawa. Pendapatnya dibuktikan secara matematik tetapi tidak berhasil, namun diungkapkan lagi oleh Charles Richet ahli fisiologi Perancis (1893), dan Hans Horst Meyer seorang farmakolog dan Charles Overton yang menggolongkan aktivitas narkotik menurut perbandingan kelarutannya dalam darah dan lemak (air dan pelarut organik) (Ahmad, 2012).
Paul Erlich (1854-1915) seorang dokter Jerman dan ahli immunologi yang beralih menjadi ahli kimia, merupakan eksponen nyata pertama dari penelitian obat yang kita ketahui sekarang. Dia mendefinisikan beberapa sarana intelektual dari ilmu kimia medisinal, misalnya dengan ada dan terlihatnya fungsi reseptor untuk senyawa obat dan metabolitnya. Molekul obat dikelompokkan berdasarkan gugus farmakofornya, suatu istilah dipinjam dari kromofor dari zat warna. Zat warna menarik Ehrlich, karena dalam sifat zat warna (pewarna) merupakan suatu alat analisis yang baik di dalam pelajaran biologi, dan zat warna itu dapat menghasilkan pewarnaan secara selektif untuk beberapa sel, tapi tidak untuk sel yang lain. Sejak itu terjadi peluang untuk menghasilkan model binatang bagi infeksi klinis, dengan menginfeksi organisme patogen pada hewan uji, zat warna ternyata pada kondisi tertentu dapat dipakai sebagai senyawa kemoterapi pada penyakit infeksi (Ahmad, 2012).
Toksisitas dari zat pewarna kepada organisme patogen dapat ditingkatkan dengan cara membuat senyawa homolog atau turunannya yang mengandung unsur atau elemen yang toksin. Arsen yang telah diketahui mempunyai sifat antitripanosoma, apabila berhubungan dengan inti senyawa aromatik akan merupakan salah satu harapan yang logis, dan dalam arsfenamin sebuah senyawa yang mempunyai zat warna azo berwarna kuning pucat, dimana nitrogen digantikan oleh arsen, adalah pertama kali diciptakan secara klinis yang sangat berguna sebagai obat antispirocheta. Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa metabolit arsfenamin adalah bentuk aktif obat, hal ini membuka peluang untuk mempelajari metabolisme senyawa obat secara detail dan komperehensif (Ahmad, 2012).
3.      Perkembangan obat pada era modern
Gagasan bahwa zat pewarna kemungkinan berguna untuk melawan infeksi bakteri, bertahan selama 20 tahun dan mencapai puncaknya sampai ditemukan secara selektif zat warna merah potensial sebagai antibakteri. Begitu pula sifat-sifat bakteriostatik obat adalah metabolit zat warna, misalnya sulfonamide. Senyawa ini memberi pelajaran tentang biokimia medisinal dalam beberapa hal. Pertama senyawa ini telah disintesis selama 29 tahun sebelum ditemukan aktivitas antibakteri. Dalam hal yang sama telah ditemukan beberapa obat lain seperti bakteriostatik 4-aminosalisilat. Hal ini mengundang perhatian untuk memanfaatkan interpretasi secara dini dari kemampuan aktivitas biologis dari senyawa yang telah diketahui berdasarkan pada hubungan metabolit biokimia senyawa analog sterik, dan senyawa-senyawa yang mempunyai kerapatan elektron terlokalisasi yang sangat menarik dalam tipe struktur kimianya (Wolff, 1994).
Kedua, pengamatan terhadap sulfonamida ternyata bersifat antagonis terhadap p-aminobenzoat. Penelitian ini melahirkan suatu pengertian dari aksi biokimia dari berbagai macam obat, misalnya obat melakukan antagonisme kompetitif atau non kompetitif kepada substrat biokimia terutama yang ikut berperan dalam proses biosintetis. Efek dari obat tidak selalu pada substrat tetapi dapat terjadi pada enzim yang mengkatalisis pada reaksi kimia berikutnya. Obat aktif terhadap enzim yang esensial dari zat asing atau neoplastik sel ganas yang berhubungan dengan biosintesis asam nukleat, protein, enzim, dan konstituen lain dari subseluler organel telah berhasil dengan baik. Kekhususannya dapat dinaikkan oleh munculnya perbedaan kecil antara isoenzim dari parasit yang lebih kuat berpengaruh. Kelainan seperti tersebut mungkin juga turut ambil bagian dalam aksi khusus secara relatif dari obat fungsional yang menimbulkan efek samping dari organ yang berbeda (Wolff, 1994).
Ahli kimia medisinal menganggap bahwa konsep tentang interferensi obat dengan biokonversi dari substrat dalam reaksi enzimatis telah mempunyai efek pengalaman yang berharga. Hal ini telah memberi kemungkinan pada ide rancangan obat yang berdasarkan pada struktur dari substrat yang diketahui, seperti asam amino, karbohidrat, hormon, nukleotida, vitamin, biokatalis yang lain, amina biogenik, dan modulator lain dari neurotransmiter, kandungan lipid, steroid postaglandin, dan lain sebagainya. Modifikasi molekuler dari struktur ini sering menghasilkan senyawa antagonis. Apabila sebuah obat aktif tidak menyatu dengan substrat enzimatik, asumsi dapat dijelaskan bahwa perubahannya itu karena konformasi dari substrat dengan modifikasi allosterik pada enzim. Apabila efek obat berlangsung lama seperti yang diinginkan maka dipilih perubahan enzim inhibitor yang bersifat irreversibel, senyawa seperti itu sebagian besar berupa senyawa alkil yang membentuk ikatan hidrogen atau ikatan hidrofobik (Wolff, 1994).
Sulfanilamida dan senyawa antihistamin dari tahun 1940 yang pertama digunakan untuk tes kesahihan dari aturan biosterik di dalam merancang obat. Untuk memodifikasi senyawa induk yang berguna secara biologis tetapi dapat dimanfaatkan untuk tujuan terapeutik, ahli kimia dihadapkan pada berbagai pertimbangan untuk membuat molekul sejenis itu. Seperti Marcelin Bertholat menyatakan bertahun-tahun yang lalu bahwa ilmu kimia mempunyai seni; kemampuan untuk berkreatif tetapi menakutkan dan mengerikan. Dalam kata-kata Aldous Huxley “Ilmu pengetahuan adalah pengurangan dari peristiwa unik yang membingungkan untuk membuat satu kesatuan dari sejumlah sistem simbol dan teknologi adalah seni untuk mengontrol dan mengorganisasikan peristiwa unik. Konsep dari isosetrik bermaksud untuk menerangkan kesamaan antara berbagai pilihan dari molekul untuk mengontrol perbedaannya. Hal itu dipraktikkan pada penelitian obat-obatan oleh Hans Erlenmeyer dan batasannya telah berkembang secara bertahap hingga era modern sekarang ini (Wolff, 1994).
Mengkombinasikan intuisi dengan pengalaman yang didapat, berfikir panjang tentang bioisosterik telah mendesak dua generasi kimia medisinal, untuk menahan sejumlah analogi yang dipelajari dalam kursus dari modifikasi molekuler. Aturan yang sama menuntun dan mengarahkan ahli kimia medisinal dalam menentukan variasi dari senyawa induk yang mengatur perkembangan selektivitas lain dari material yang toksin. Dalam hal ini termasuk insektisida penarik dan penolak insekta, pestisida, herbisida, fungisida, flavoran dedoran, dan bahan kimia industri yang toksik, yang harus diganti dengan senyawa baru yang kurang toksin tanpa menghilangkan sifat-sifatnya, bahkan lebih menguntungkan bagi industri dan kondisi lingkungan (Wolff, 1994).
Sejak lebih kurang 1964 Hansch, Free, Wilson, dan lain-lain, telah mencoba untuk hal tersebut walaupun tak seluruhnya berhasil, dengan intuisi yang telah menduga adanya modifikasi molekuler senyawa obat. Mereka memulai dengan metode percobaan Hammett yang menegaskan konstanta substitusi untuk atom dan gugus, dan dengan suatu persamaan yang mendesak Hammett untuk menghitung harga subtituen lain yang belum dideterminasikan sebelumnya. Dengan membandingkan harga ketetapan seperti itu dengan koefisien partisi dari senyawa di antara air dan pelarut organik, Hansch menunjukkan bahwa intensitas dari aktivitas biologi senyawa tertentu cenderung paralel terhadap koefisien partisi. Potensi maksimum dari sederet turunan obat yang mempunyai kolerasi dengan aturan dari elektronik, sterik, dan faktor hidrofobik apabila obat berinteraksi dengan reseptornya. Peranan bidang kimia organik fisis dalam rancangan obat masih terus dikembangkan. Bidang ini ternyata dapat memberikan pemecahan terbaik dalam proses penghambatan (inhibisi) enzim oleh calon obat yang mempunyai hubungan struktur dalam percobaan secara in vitro, dan menjadi kurang memuaskan dalam lingkungan biologis (kondisi in vivo) karena faktor yang kompleks dalam tubuh, dan masalah ini merupakan tantangan tersendiri bagi para ahli biokimia dan kimia medisinal untuk terus melakukan kajian secara holistik tentang senyawa kimia obat (Wolff, 1994).
Penemuan Antibiotik Penisilin
Indikasi pertama bahwa jamur menghasilkan senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri muncul sekitar setengah abad lebih awal dari penemuan antibiotik prontosil. Akan tetapi, senyawa yang bertanggung jawab untuk aktivitas tersebut, yaitu penisilin, tidak benar-benar diisolasi hingga akhir 1930-an dan dikembangkan untuk penggunaan klinis hingga awal 1940-an. Stabilitasnya yang buruk dan waktu paruh biologisnya yang pendek mendorong pengembangan suatu deretan senyawa garam yang diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut. Penemuan metode untuk memproduksi inti penisilin beberapa tahun kemudian mendorong sintesis analog induk dengan manipulasi rantai samping amida yang ditujukan untuk mengatasi masalah tersebut serta keterbatasan spektrum antibakteri penisilin alam terhadap organisme gram positif. Pecarian intensif terhadap jamur yang menghasilkan antibiotik, sebagian besar pada sampel tanah, menghasilkan penemuan beta laktam sefalosporin C yang aktif melawan bakteri gram negatif; pengembangan metode-metode untuk mendapatkan inti sefem menghasilkan analog yang efektif secara klinis. Jumlah analog penisilin dan sefalosporin yang sangat banyak, yang berbeda hanya pada substiuen amida, hanya akan dibahas secara singkat karena sebagian besar senyawa kimia bergantung pada metode pembuatan rantai samping. Adapun bentuk struktur dari penisilin adalah sebagai berikut :


Toksisitas obat ini yang sangat rendah pada spesies mamalia secara langsung disebabkan oleh mekanisme beta laktam sebagai golongan yang menghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa bakteri, seperti halnya tumbuhan, bergantung pada dinding sel untuk integritas strukutrnya; membran sel yang berbeda secara fundamental dengan dinding sel memnuhi fungsi ini pada spesies tingkat tinggi. Bagian yang kursial pada dinding sel sebagian besar terdiri atas peptidoglikan taut-silang; sebagian besar taut-silang pada peptidoglikan ini dihasilkan oleh rantai peptida yang terdiri atas fragmen-fragmen D-alanin. Secara singkat, beta laktam bekerja sebagai substrat palsu pada pembentukan tautan-silang peptida. Gugus beta laktam yang sangat reaktif menyebabkan blokade ireversibel, sebagai efeknya, menghambat pembentukan dinding sel yang dibutuhkan untuk replikasi bakteri. Fakta bahwa stereokimia penisilin menyerupai stereokimia D-asam amino lebih lanjut mengurangi toksisitasnya karena biokimia spesies eukriotik didasarkan hampir hanya pada L-asam amino. Selain itu, sejumlah kecil individu mengalami reaksi alergi, yang dapat mendekati katastropik, terhadap golongan obat ini.

  Pengertian dan Penggunaan Antibiotik Penisilin
Antibiotik merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi. Kelompok antibiotik -laktam sangat penting dalam terapi pengobatan. Salah satu antibiotik kelompok ini adalah penisilin, yang ditemukan Alexander Fleming pada tahun 1929 (Crueger dan Crueger, 1982). Antibiotik ini spesifik menghambat sintesis dinding sel bakteri dan telah banyak digunakan untuk terapi pengobatan penyakit infeksi (Susanti dan Ariani, 2004).
Penisilin merupakan salah satu dari deretan senyawa yang saling berhubungan erat yang diisolasi dari fermentasi Penicillium Notatum. Senyawa ini juga dikenal dengan penisilin G atau benzil penisilin, sifatnya sangat tidak stabil dan dengan cepat tereliminasi dari tubuh. Penisilin merupakan kelompok antibiotik yang ditandai oleh adanya cincin β-laktam dan diproduksi oleh beberapa jamur (eukariot) yang terdiri dari genus Penicillium dan Aspergillus, serta oleh beberapa prokariot tertentu (Madigan dkk., 2000). Sifat unik pada masing-masing penisilin ditentukan oleh adanya rantai samping yang berbeda-beda. Secara kimiawi penisilin tergolong dalam antibiotik β-laktam (Pelczar dan Chan, 1988).
Omura (1995) di dalam Demain (1996) menyatakan bahwa kira-kira 10.000 metabolit sekunder telah ditemukan struktur kimianya yang tersusun oleh cincin β-laktam, peptida siklik yang terdiri dari asam amino dan senyawa nonprotein, gula dan nukleosida, ikatan tidak jenuh dari poliasetilen dan polien, serta cincin makrolida besar.
Antibiotik penisilin pada awalnya digunakan untuk mengobati penyakit infeksi yang banyak terjadi pada saat perang dunia kedua. Namun beberapa tahun kemudian, pengobatan penyakit infeksi dengan antibiotik ini tidak efisien lagi, karena banyak mikroorganisme telah menjadi resisten. Oleh karena itu, dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dikembangkan antibiotik-antibiotik baru melalui modifikasi struktur penisilin agar efektifitas antibiotik ini dapat diperoleh kembali (Wilson, 1982).
Berbagai turunan penisilin telah dibuat dan digunakan. Dalam proses pembuatan turunan antibiotik, banyak dilibatkan gen pengkode enzimenzim tertentu, contohnya gen penisilin V asilase (PVA) yang banyak ditemukan pada bakteri dan jamur. Enzim ini merupakan kunci dalam pembuatan antibiotik -laktam semisintetik karena dapat menghidrolisis penisilin V untuk menghasilkan senyawa antara yaitu asam 6-amino penisilanat (6-APA), suatu senyawa antara untuk memproduksi penisilin semisintetik, diantaranya metilsilin, kloksasilin, ampisilin dan karbenisilin (Hammond, 1978). Senyawa 6-APA yang diperoleh melalui proses hidrolisis enzimatis ini, ikatan amida pada rantai sampingnya terputus.
Kloning gen PVA telah banyak dilakukan. Kloning gen yang mengkode PVA dari Bacillus sphaericus dan ekspresinya dalam Escherichia coli dan Bacillus subtilis telah diteliti (Olson, et al., 1985). Strain lokal Bacillus sp. BAC4 selain memproduksi penisilin G asilase (PGA) juga menghasilkan PVA.

Menurut Waluyo (2004), sifat-sifat yang dimiliki oleh penisilin adalah sebagai berikut:
1.    Menghambat atau membunuh patogen tanpa merusak inang (host).
2.    Bersifat bakteriosidal dan bukan bakteriostatik.
3.    Tidak menyebabkan resistensi pada kuman.
4.    Berspektrum luas, yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif.
5.    Tidak bersifat alergenik atau menimbulkan efek samping bila digunakan dalam jangka waktu yang lama.
6.    Tetap aktif di dalam plasma, cairan badan, atau eksudat.
7.    Larut di dalam air dan bersifat stabil.
8.    Bacteriosidal level, di dalam tubuh cepat dicapai dan dapat bertahan untuk waktu yang lama.

Menurut Todar (2000), penisilin dapat dibagi menjadi tiga golongan utama, yaitu:
1.    Penisilin alami, seperti Penisilin G (Benzylpenicillin) dan Penisilin V (Phenoxymethylpenicillin) yang diproduksi melalui fermentasi Penicillium chrysogenum, yang efektif melawan Streptococcus, Gonococcus, dan Staphylococcus. Penisilin G dan Penisilin V termasuk ke dalam spektrum sempit (narrow spectrum) karena tidak efektif melawan bakteri Gram-negatif.
2.    Penisilin biosintetik, diproduksi dengan cara melakukan rekayasa pada penisilin untuk menghasilkan penisilin yang mampu melawan aktivitas bakteri Gram-negatif.
3.    Penisilin semisintetik, banyak dari campuran ini telah dikembangkan untuk mempunyai keuntungan atau manfaat yang berbeda dari Penisilin G, seperti spektrum aktivitas ditingkatkan (efektivitas melawan bakteri Gram-negatif).
Mekanisme kerja penisilin adalah dengan mengganggu sintesis dinding sel, khususnya ketika proses transpeptidasi pada sintesis peptidoglikan dinding sel. Pada proses ini, penisilin memiliki struktur yang sama dengan struktur D-alanil-D-alanin terminal pada peptidoglikan, sehingga enzim transpeptidase bereaksi dengan penisilin. Hal ini membuat struktur peptidoglikan yang dibentuk menjadi tidak sempurna dan melemahkan kekuatan dinding sel pada bakteri (Todar, 2000).
Penisilin semisintetik kebanyakan diproduksi dari asam 6-amino penisilinat atau 6-Aminopenicillanic acid (6-APA), inti molekul penisilin yang dihasilkan terutama dengan deasetilasi enzimatik penisilin alami. Perkembangan tentang pengetahuan mengenai jalur biosintesis memungkinkan dilakukannya optimasi yang membuat ruahan produk semaksimal mungkin. Enzim yang digunakan merupakan enzim dengan memiliki mekanisme kerja N-deasilasi pada struktur antibiotik β-laktam, umumnya digunakan enzim penisilin asilase (Todar, 2000).
Penisilin asilase merupakan enzim anggota serin hidrolase dengan mekanisme aksi transfer gugus asil dari satu nukleofil ke lainnya, mengkatalisis reaksi deasilasi penisilin menjadi 6-APA. Enzim penisilin asilase diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu: penisilin G asilase, penisilin V asilase dan ampisilin asilase yang dikelompokkan berdasarkan spesifisitas substratnya (Todar, 2000).
Penisilin G asilase dihasilkan oleh bakteri, aktivitas mengkatalisis hidrolisis dari benzilpenisilin (penisilin G atau Pen-G) lebih cepat daripada fenoksimetil penisilin (penisilin V atau Pen-V). Penisilin V asilase umumnya dihasilkan oleh fungi, beberapa spesies bakteri dan ragi tertentu, aktivitas mengkatalisis hidrolisis dari penisilin V lebih cepat dari penisilin G. Ampisilin asilase secara spesifik memiliki kemampuan untuk mengkatalisis hidrolisis ampisilin. Salah satu contoh dari penggunaan enzim penisilin asilase yang banyak digunakan adalah penisilin G asilase dalam industri farmasi untuk memproduksi 6-APA dari penisilin G, dengan pengeluaran yang mencapai 10-30 ton per tahun di seluruh dunia. Penisilin G asilase umum digunakan dalam konversi antibiotik β-laktam karena merupakan ide baru dalam perindustrian yang lebih aman dan ramah lingkungan (Todar, 2000).
Penghasil penisilin asilase dalam hidrolisis penisilin G umumnya berasal dari bakteri-bakteri, seperti; Bacillus megaterium, Streptomyces lavendulae, Achromobacter sp., Bovista plumbea, Kluyvera atrophila, Pseudomonas melanogenum, Fusarium sp., dan Chainia (Cascaval, et al., 2002). Salah satu bakteri yang telah dilaporkan menghasilkan enzim penisilin asilase dengan stabilitas yang tinggi, terutama kaitannya dengan pengaruh suhu adalah Alcaligenes faecalis (t1/2 15 menit, suhu 55°C). Kerja penisilin asilase dipengaruhi banyak faktor, penisilin asilase memiliki kondisi optimal untuk mengkatalisis konversi penisilin G. Enzim ini memiliki pH optimal dalam range 6-8 dengan suhu kerja optimal pada suhu 35-40°C. Laju reaksi enzim penisilin asilase juga dipengaruhi oleh hambatan substrat dan produk reaksinya, pada konsentrasi substrat tinggi, konversi hanya mencapai 60- 80% bergantung pada pH reaksi dan konsentrasi substrat. Konsentrasi substrat yang tinggi dapat menghambat laju reaksi secara uncompetitive. Kedua produk, yaitu 6-APA sebagai produk yang diinginkan dan PAA (Asam fenil asetat) sebagai produk samping, menghambat laju reaksi kerja enzim secara non-kompetitif dan secara kompetitif (Wolff, 1994).


Penulis : 

Puri Triasih (Mahasiswi Kimia UMRI)















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A., 2012. Pendekatan Biokimia dan Medisinal Senyawa Kimia Obat. Makassar : Dua Satu Press.
Burger, A., 1970, Medical Chemestry,Third Edition, hal 682-683, Willey Intersierce, New York-London-Sydney-Toronto.
Crueger, W. and Crueger. 1982. Biotechnology; A Text Book on Industrial. Translae by T. DBook. Science Tech.
Hammond, S.M. and P.A. Lambert. 1978. Antibiotics and Antimicrobial Action. New York: Edward Arnold.
Katzung, G.B., (2002) Farmakologi Dasar Dan Klinik. Penterjemah: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. hal. 457-458.
Madigan, M. T., J. M. Martinko & J. Parker. 2010. Brock biology of microorganisms. Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River: xix + 991 hlm.
N. Nagai. 1887. Pharm. Ztg., 32, 700.
Olsson, A., H. Thomas, N. Bjorn, U. Mathias, and G. Sten. 1985. Molecular cloning of Bacillus sphaericus penicillin V amidase gene and its expression in Escherichia coli and Bacillus subtilis. Applied and Environmental Microbiology 49: 1084-1089.
Omura, S., & Tanaka, 1984, Biochemistry, Regulation and Genetics of Macrolide Production, dalam Omura S. (Ed.) Macrolide Antibiotics Chemistry, Biology and Practise, Academic Press., Orlando.
Pelczar, M. J., & Chan, E. C. S., 1988, Dasar-Dasar Mikrobiologi, Alih Bahasa Hadioetomo, R. S., Imas, T., Tjitrosomo, S. S., dan Angka, S. L., UI Press, Jakarta.
R. Buchheim, 1876. Arch. Exp. Pathol. Pharmakol. 5 : 261.
Sebayang, F. 2005. Amobilisasi enzim penisilin asilase dari E.coli B1O4 dengan poliakrilamida. Jurnal Komunikasi Penelitian .17 (3): 1-3.
Siswandono dan Soekardjo. 1998. Prinsip-Pinsip Rancangan Obat. Airlangga University Press. Surabaya.
Susanti, E.V.N, dan Ariani, S.R.D., 2004. Kloning Gen Penisilin V Asilase dari Bacillus sp BAC4 Melalui Pembuatan Pustaka Genom. ISSN: 1412-033X. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Todar, K. 2000. Staphylococcus, University of Wsconsin-Madison Department of Bacteriology. http://www.textbookofbacteriology.net/ken_todar.html. Diakses tanggal 20 April 2015.
Waluyo, L. 2008. Tekhnik Metode Dasar Mikrobiologi. Penerbit Universita Muhammadiyah Malang (UMM Press). Malang.
WHO, 2003, Traditional medicine, http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs134/en/, diakses 20 April 2006.
Wilson, L. and L. Gisvold. 1982. Textbook of Organic Medicinal and Pharmaceutical Chemistry. Philadelphia: Harper and Row Publishers, Inc.
Withering, W., 1937. An Account of the Foxglove and Some of Its Medicinal Uses; With Practical Remarks on Dropsy and Other Diseases. London : C.G.J.
Wolff, M.E., 1994. Asas-Asas Kimia Medisinal Terjemahan Edisi Keempat. Yogyakarta : UGM Press.

Tidak ada komentar:

Google Ads