Google ads

Tampilkan postingan dengan label Bioassay. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bioassay. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 Agustus 2016

Evaluasi Potensi Antioksidan dari Ekstrak



Uji Total Fenolik
            Konsentrasi fenolat dalam ekstrak ditentukan dengan metode dari Singleton dan Rossi (1965) yang telah dimodifikasi. Konsentrasi yang berbeda dari ekstrak dicampurkan dengam 1 mL dari reagen Folin-Ciocalteu yang telah diencerkan sebanyak 10 kali dan 1 mL natrium karbonat jenuh. Campuran dibiarkan bereaksi selama 30 menit pada suhu 30°C dan diukur absorbansi pada panjang gelombang 765 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Kemudian jumlah fenolat dihitung menggunakan kurva standar asam galat dan hasilnya digambarkan sebagai ekuivalen mg asam galat/ekstrak.

Uji Penangkapan Radikal DPPH
       Aktivitas penangkapan radikal diukur secara in vitro menggunakan uji 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). Konsentrasi ekstrak yang bervariasi diambil sebanyak 2,5 mL dicampurkan dengan 5 mL larutan DPPH 0,1 mM. Campuran dikocok dengan baik dan diinkubasi selama 20 menit di tempat gelap. Absorbansi sampel diukur pada panjang gelombang 517 nm menggunakan spektrofotometer. Aktivitas radikal dari ekstrak pada konsentrasi yang berbeda ditentukan dan dibandingkan dengan butil hidroksi anisol (BHA) yang digunakan sebagai standar. Larutan DPPH tanpa ekstrak/standar membentuk kontrol. Aktivitas penangkapan radikal DPPH dinyatakan sebagai berikut:
% Penangkapan radikal DPPH = 100 x (A0-As) / A0
dengan A0 sebagai absorbansi kontrol dan As merupakan absorbansi sampel. Semua sampel dianalisis sebanyak 3 kali pengulangan dan aktivitas radikal dihitung menggunakan rataan standar deviasi (SD).

Total Kapasitas Antioksidan
  Total kapasitas antioksidan dari berbagai ekstrak dievaluasi menggunakan metode phosphomolybdenum dari Prieto (1999) yang telah dimodifikasi. Sebanyak 300 mg ekstrak dilarutkan dalam campuran 2 mL larutan reagen (asam sulfat 0,6 M, natrium fosfat 28 mM, dan amonium molibdat 4 mM) dan diinkubasi pada suhu 95°C selama 90 menit. Setelah sampel didinginkan pada temperatur kamar, absorbansi larutan diukur pada 695 nm terhadap reagen kosong yang hanya berisi masing-masing pelarut.

Rabu, 24 Agustus 2016

Uji Sitotoksik



Dasar dari uji sitotoksik adalah kemampuan sel untuk bertahan hidup karena adanya senyawa toksik yang diberikan. Kemampuan sel untuk bertahan hidup dapat diartikan sebagai tidak hilangnya metabolik atau proliferasi dan dapat diukur dari bertambahnya jumlah sel, naiknya jumlah protein, atau DNA yang disintesis. Salah satu dari uji sitotoksik adalah mengukur kemampuan sel kanker untuk bertahan hidup karena adanya senyawa uji yang di berikan. Dua metode umum yang digunakan untuk uji sitoksik adalah motode perhitungan langsung (direct counting) dengan motode kolorimetrik, dimana pereaksi MTT ini merupakan garam tetrazolium yang dapat dipecah menjadi Kristal formazan oleh sistem suksinat tetrazolium reduktase yang terdapat dalam jalur respirasi sel pada mitokondria yang aktif pada sel yang masih hidup. Kristal formazan ini memberi warna ungu yang dapat dibaca absorbansinya dengan ELISA reader.
            Penetapan jumlah sel yang bertahan hidup pada uji sitoksik dapat dilakukan berdasarkan dengan adanya kerusakan membran meliputi perhitungan sel-sel yang mengambil (up take) atau dengan bahan pewarna seperti biru tripan. Sedangkan perubahan morfologi diketahui dengan mikroskop elektron.
            Uji sitotoksik digunakan untuk menentukan parameter nilai IC50. Nilai IC50 menunjukan nilai konsentrasi yang menghasilkan hambatan poliferasi sel sebesar 50% dan menunjukan potensi ketoksikan suatu senyawa terhadap sel. Nilai ini merupakan patokan untuk melakukan uji pengamatan kinetika sel. Nilai IC50 dapat menunjukan potensi suatu senyawa sebagai sitotoksik. Semakin besar harga IC50 maka senyawa tersebut semakin tidak toksik. Akibat dari uji sitotoksik dapat memberiakan informasi langsung tentang perubahan yang terjadi pada fungsi sel secara spesifik.

Selasa, 23 Agustus 2016

Uji antimalaria secara in vitro dan in vivo



Antimalaria
Anti malaria adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel tunggul (Protozoa) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang menggigit pada malam hari dengan posisi menjungkit. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit yang bernama Plasmodium. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi parasit tersebut. Di dalam tubuh manusia, parasit Plasmodium akan berkembang biak di organ hati kemudian menginfeksi sel darah merah. Pasien yang terinfeksi oleh malaria akan menunjukan gejala awal menyerupai influenza, namun bila tidak diobati maka dapat terjadi komplikasi yang berujung pada kematian. Penyakit ini paling banyak terjadi di daerah tropis dan subtropics dimana parasit Plasmodium dapat berkembang baik begitu pula dengan vektor nyamuk Anopheles. Penyakit malaria memiliki 3 jenis, dan masing–masing disebabkan oleh spesies parasit yang berbeda. Gejala tiap–tiap jenis biasanya berupa meriang, panas dingin, menggigil dan keringat dingin. Adapun jenis penyakit malaria :
a.       Malaria Tropika
Malaria tropika, disebabkan oleh plasmodium falcifarum merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Gejala yang timbul adalah serangan demam tidak menentu disertai nyeri kepala hebat, bila terjadi kerusakan eritrosit dalam jumlah besar dan kemudian menyumbat pembuluh kapiler ke otak, maka dapat menimbulkan kematian dalam beberapa hari. Sifat dari penyakit ini tidak residif (dapat sembuh total, tidak berulang kambuh)
b.      Malaria Tertiana
Malaria tertiana adalah jenis malaria yang paling ringan. Malaria tertiana disebabkan oleh plasmodium vivax dan ovale, dimana penderita merasakan demam berkala yang timbul 3 hari sekali. Sifat dari penyakit ini sering kambuh (residif) karena adanya bentuk exo eritrocyt sekunder
c.       Malaria Kwartana
Malaria kwartana disebabkan oleh plasmodium malariae. Gejala yang timbul adalah demam berkala setiap 4 hari sekali. Sifat dari penyakit ini adalah residitif (sering kambuh) karena adanya bentuk exo eritrosit sekunder.
Uji antimalaria secara in vitro
            Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengetahui pengaruh obat terhadap p. faciparum secara in vitro, antara lain metode yang dikembangkan oleh Rieckmann. Dalam metode ini sampel darah penderita ditambahkan kedalam microplate yang mengandung obat dengan beberapa dosis. Kerugian dengan teknik ini hanya dapat mengamati parasit di dalam stadium cincin yang bersikulasi di dalam darah tepi dan kesimpulan diambil dengan mengukur hambatan maturasi pada stadium schizon dari parasit.
            Metode yang saat ini sering digunakan adalah yang dikembangkan oleh Desjardins et al, 1979 dengan mengukur inkorporasi dari hipoksantin oleh parasit. Metode ini sangat cepat, sensitif dan objektif. Metode lain ialah dengan mengidentifikasi produksi laktat dehidrogenase parasit sebagai indikator pertumbuhan parasit. Metode ini tidak memerlukan radioisotop dan dapat dipergunakan pada daerah endermik. Media kultur yang digunakan untuk pengujian yaitu plasmodium falciparum. Kultur terdiri atas sel darah merah dan medium komplit sehingga hematokrit menjadi 2,5%. Pelarut yang digunakan biasanya etanol, air atau DMSO. Adapun pengujian antimalaria secara in vitro yaitu schizoni maturation test, metode up take 3H-Hipoksantin, dan metode PLDH (Syamsudin, 2008).

Uji antimalaria secara in vivo
            Pengujian secara in vivo menggunakan rodent sebagai hewan uji. Untuk penapisan antimalaria banyak digunakan hewan coba mencit yang diinfeksi dengan plasmodium berghei. Adapun teknik pengujian antimalaria secara in vivo yaitu primary biological assessment, secondary biological assessment (dengan dose ranging test, onset of activity and recrudescence, prophylactic test)  dan tertiary biological assessment (Syamsudin, 2008).

Google Ads