Dasar dari uji
sitotoksik adalah kemampuan sel untuk bertahan hidup karena adanya senyawa
toksik yang diberikan. Kemampuan sel untuk bertahan hidup dapat diartikan
sebagai tidak hilangnya metabolik atau proliferasi dan dapat diukur dari
bertambahnya jumlah sel, naiknya jumlah protein, atau DNA yang disintesis.
Salah satu dari uji sitotoksik adalah mengukur kemampuan sel kanker untuk
bertahan hidup karena adanya senyawa uji yang di berikan. Dua metode umum yang
digunakan untuk uji sitoksik adalah motode perhitungan langsung (direct counting) dengan motode
kolorimetrik, dimana pereaksi MTT ini merupakan garam tetrazolium yang dapat
dipecah menjadi Kristal formazan oleh sistem suksinat tetrazolium reduktase
yang terdapat dalam jalur respirasi sel pada mitokondria yang aktif pada sel
yang masih hidup. Kristal formazan ini memberi warna ungu yang dapat dibaca
absorbansinya dengan ELISA reader.
Penetapan
jumlah sel yang bertahan hidup pada uji sitoksik dapat dilakukan berdasarkan
dengan adanya kerusakan membran meliputi perhitungan sel-sel yang mengambil (up take) atau dengan bahan pewarna
seperti biru tripan. Sedangkan perubahan morfologi diketahui dengan mikroskop
elektron.
Uji
sitotoksik digunakan untuk menentukan parameter nilai IC50. Nilai IC50
menunjukan nilai konsentrasi yang menghasilkan hambatan poliferasi sel sebesar
50% dan menunjukan potensi ketoksikan suatu senyawa terhadap sel. Nilai ini
merupakan patokan untuk melakukan uji pengamatan kinetika sel. Nilai IC50 dapat
menunjukan potensi suatu senyawa sebagai sitotoksik. Semakin besar harga IC50
maka senyawa tersebut semakin tidak toksik. Akibat dari uji sitotoksik dapat
memberiakan informasi langsung tentang perubahan yang terjadi pada fungsi sel
secara spesifik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar