Kimia medisinal adalah ilmu pengetahuan yang merupakan
cabang ilmu kimia dan biologi, digunakan umtuk memahami dan menjelaskan
mekanisme kerja obat pada tingkat molekul.Batasan Kimia Medisinal menurut
Burger (1970) adalah:Ilmu pengetahuan yang merupakan cabang dari ilmu kimia
dan biologi, dan digunakan untuk memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat.Batasan
Kimia Medisinal menurut IUPAC (1974) adalah:Ilmu pengetahuan yang
mempelajari penemuan, pengembangan, identifikasi dan interpretasi cara
kerja senyawa biologis aktif (obat) pada tingkat molekul.Batasan Kimia
Medisinal menurut Taylor dan Kennewell (1981) adalah:Studi kimiawi
senyawa atau obat yang dapat memberikan efek menguntungkan dalam sistem
kehidupan dan melibatkan studi hubungan struktur kimia senyawa dengan aktivitas
biologis serta mekanisme cara kerja senyawa pada sistem biologis, dalam usaha
mendapatkan efek pengobatan yang maksimal dan memperkecil efek samping yang
tidak menguntungkan. Kimia Medisinal (Medicinal Chemistry)
disebut pula Kimia Farmasi (Pharmaceutical Chemistry), Farmakokimia (Farmacochemie,
Pharmacochemistry) dan kimia terapi (Chimie Therapeutique)
Ruang lingkup bidang kimia
medisinal menurut Burger (1980)
adalah:
1.
Isolasi dan identifikasi senyawa aktif dalam tanaman
yang secara empirik telah digunakan untuk pengobatan.
2.
Sintesis struktur analog dari bentuk dasar senyawa
yang mempunyai aktivitas pengobatan potensial.
3.
Mencari struktur induk baru dengan cara sintesis
senyawa organik, dengan ataupun tanpa berhubungan dengan zat aktif alamiah.
4.
Menghubungkan struktur kimia obat dengan cara
kerjanya.
5.
Mengembangkan rancangan obat.
6.
Mengembangkan hubungan struktur kimia dan aktivitas
biologis melalui sifat kimia fisika dengan bantuan statistik.
Metabolisme
obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa obat oleh organisme dan pada
umumnya dilakukan melalui proses enzimatik. Proses metabolisme obat merupakan
salah satu hal penting dalam penentuan durasi dan intensitas khasiat
farmakologis obat. Obat – obatan dimetabolisme secara dengan cara oksidasi,
reduksi, hidrolisis, hidrasi, konjugasi, kondensasi atau isomerasi yang
tujuannya supaya sisa obat mudah dibuang oleh tubuh lewat urin atau empedu.
Kecepatan metabolisme tiap – tiap orang berbeda tergantung dari faktor ginetik,
penyakit yang menyertai dan adanya interaksi antar obat – obatan. Dengan
bertambahnya umur, kemampuan metabolisme hati menurun karena menurunnya volume
dan aliran darah ke hati. Ginjal adalah tempat utama “ekskresi” atau pembuangan
obat. Sedangkan biller system membantu ekskresi untuk obat – obatan yang tidak
diabsorbsi kembali ke system pencernaan. Di dalam tubuh obat dapat berikatan
dengan protein darah, jaringan dan lemak, dan juga obat – obatan di metabolisme
dengan cara reaksi konjugasi yaitu reaksi penggabungan molekul obat dan hasil
metabolisme pada reaksi oksidasi, reduksi dan
hidrolisis yang mengubah obat menjadi senyawa lain dengan senyawa
pengkojugasi endogen di dalam tubuh.
1.1
Hubungan
pra – obat, metabolisme dan aktivitas obat
Proses metabolisme
dapat mempengaruhi aktivitas biologis, masa kerja dan toksisitas obat sehingga
pengetahuan tentang metabolisme obat dan senyawa organik asing lain
(xenobiotika) sangat penting dalam bidang kimia medisinal.
Suatu obat dapat menimbulkan respons
biologis dengan melalui dua jalur, yaitu:
a.
Obat aktif setelah masuk ke peredaran darah, langsung
berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis.
b.
Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah mengalami
proses metabolisme menjadi obat aktif, berinteraksi dengan reseptor dan
menimbulkan respons biologis (bioaktivasi).
Metabolisme obat adalah
mengubah senyawa yang relatif non polar, menjadi senyawa yang lebih polar
sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh. Faktor – faktor yang mempengaruhi
metabolisme obat adalah :
a.
Faktor genetik atau keturunan
Perbedaan individu pada proses
metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan ikut berperan terhadap adanya
perbedaan kecepatan metabolisme obat.
b.
Perbedaan spesies dan galur
Pada proses metabolisme obat,
perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur kemungkinan sama atau
sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada perbedaan yang cukup besar pada
reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan dilakukan terhadap tipe
resksi metabolik atau perbedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau
perbedaan kuantitatif.
c.
Perbedaan jenis kelamin
Pada beberapa spesies binatang
menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat.
d.
Perbedaan umur
Bayi dalam kandungan dan bayi yang
baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati yang diperlukan untuk memetabolisme
obat relatif masih sedikit sehingga sangat peka terhadap obat.
e.
Penghambatan enzim metabolisme
Pemberian terlebih dahulu atau
secara bersama-sama suatu senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme
dapat meningkatkan intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat dan
kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan toksisitas.
f.
Induksi enzim metabolisme
Peningkatan aktivitas enzim
metabolisme obat-obat tertentu atau proses induksi enzim mempercepat proses
metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam plasma sehingga efek
farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat. Induksi
enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan
metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif.
g.
Faktor – faktor lain
Diet makanan, keadaan kekurangan
gizi, ganguan keseimbangan hormon, kehamilan, pengikatan obat oleh protein
plasma, distribusi obat dalam jaringan dan keadaan patologis hati.
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara
pemberian pada umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk
sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa
biotransformasi, obat diekskresikan dari dalam tubuh. (Arief,2000)
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia
obat yang terjadi di dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim (Syarif,1995). Metabolisme
obat mempunyai dua efek penting, yaitu :
1.
Obat menjadi lebih hidrofilik-hal ini mempercepat
ekskresinya melalui ginjal karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah
direabsorpsi dalam tubulusginjal.
2.
Metabolit umumnya kurang aktif daripada obat asalnya.
Akan tetapi, tidak selalu seperti itu, kadang-kadang metabolit sama aktifnya
(atau lebih aktif) daripada obat asli. Sebagai contoh, diazepam (obat yang
digunakan untuk mengobati ansietas) dimetabolisme menjadi nordiazepam dan
oxazepam, keduanya aktif. (Neal,2005).
Enzim yang berperan dalam dalam biotransformasi obat
dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yaitu :
1.
Enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum
endoplasma halus (yang pada isolasi invitro membentuk kromosom )
2.
Enzim non mikrosom.
Kedua enzim
metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat dalam
sel jaringan lain, misalnya: ginjal, paru-paru, epitel saluran cerna dan
plasma. Di lumen saluran cerna juga terdapat enzim non mikrosom yang dihasilkan
flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi glukoronida, sebagian besar
reaksi oksidasi obat, serta reksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan enzim non
mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi,
reaksi reduksi dan hidrolisis (Gordon dan Skett,1991).
Walaupun antara metabolisme dan
biotransformasi sering dibedakan, sebagian ahli mengatakan bahwa istilah
metabolisme hanya diperuntukkan bagi perubahan- perubahan biokimia atau
kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa endogen, sedangkan
biotransformasi adalah peristiwa yang sama bagi senyawa eksogen (xenobiotika)
(Anonim,1999).
Pada
dasarnya,tiap obat merupakan zat asing bagi badan yang tidak diinginkan, maka
badan berusaha merombak zat tadi menjadi metabolit sekaligus bersifat hidrofil
agar lebih lancar diekskresi melalui ginjal. Jadi reaksi biotransformasi adaah
merupakan peristiwa detoksifikasi (Anief,1984).
Obat lebih
banyak dirusak di hati meskipun setiap jaringan mempunyai sejumlah kesanggupan
memetabolisme obat. Kebanyakan biotransformasi metabolik obat terjadi pada
titik tertentu antara absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik dan pembuangannya
melalui ginjal. Sejumlah kecil transformasi terjadi di dalam usus atau dinding
usus. Umumnya semua reaksi ini dapat dimasukkan ke dalam dua katagori utama,
yaitu reaksi fase 1 dan fase 2 (Katzung, 1989).
Reaksi metabolisme obat dan senyawa
organik asing ada dua tahap, yaitu :
-
Reaksi fasa I atau reaksi fungsionalisme
-
Reaksi fasa II atau reaksi konjugasi
Reaksi fasa
I
Reaksi fasa
I dapat dicapai dengan :
-
Memasukkan gugus fungsional yang bersifat polar, OH,
COOH, NH2 secara langsung, contohnya hidroksilasi senyawa
aromatik dan alifatik. Yang termasuk dalam reaksi fasa I adalah oksidasi,
reduksi dan hidrolisis
-
Memodifikasi gugus-gugus fungsional yang ada dalam
struktur molekul, contoh : reduksi gugus keton atau aldehid menjadi alkohol,
oksidasi alkohol menjadi asam karboksilat, hidrolisis ester dan amida
menghasilkan gugus – gugus COOH, OH, NH2;
reduksi senyawa azo dan nitro menjadi gugus NH2; dealkilasi oksidatif
dari atom N, O dan S menghasilkan gugus NH2, OH dan SH
Reaksi fasa I terbagi 3yaitu :
1.
Reaksi oksidasi meliputi :
- Oksidasi
gugus aromatik, ikatan rangkap, atom C benzilik dan alilik, atom C dari gugus
karbonil dan imin.
- Oksidasi
atom C alifatik dan alisiklik
- Oksidasi
sistem C-N, C-O dan C-S
- Oksidasi
alkohol dan aldehid
- Reaksi
oksidasi lain-lain
Merupakan
reaksi yang paling umum terjadi. Reaksi ini terjadi pada berbagai molekul
menurut proses khusus tergantung pada masing-masing struktur kimianya, yaitu
reaksi hidroksilasi pada golongan alkil, aril, dan heterosiklik; reaksi
oksidasi alkohol dan aldehid; reaksi pembentukan N-oksida dan sulfoksida;
reaksi deaminasi oksidatif; pembukaan inti dan sebagainya(Anonim,1999).
Reaksi oksidasi dibagi menjadi dua, yaitu oksidasi yang melibatkan sitokrom P-450
(enzim yang bertanggungjawab terhadap reaksi oksidasi) dan oksidasi yang tidak
melibatkan sitokrom P-450. Ezim sitokrom P – 450 adalah suatu
heme protein, dinamakan sitokrom P – 450 karena bentuknya yang tereduksi yaitu
(Fe++).RH dapat membentuk kompleks dengan karbon monoksida (CO) yang diukur
dengan spektofotometer yang memberikan panjang gelombang maksimum (λmaks)
450 nm.
Oksidasi
senyawa aromatik (arena) menghasilkan metabolisme arenol. Proses ini melibatkan
pembentukan senyawa antara epoksida (arena oksida) yang segera mengalami
penataulangan menjadi arenol.
2.
Reaksi reduksi meliputi :
- Reduksi
aldehid dan keton
- Reduksi
senyawa ozo dan nitro
- Reaksi
reduksi lainnya
Reduksi aldehid, azo
dan nitro, dimana reaksi ini kurang penting dibanding reaksi oksidasi. Reduksi
terutama berperan pada nitrogen dan turunannya (azoik dan nitrat),
kadang-kadang pada karbon. (Anonim, 1999). Hanya beberapa obat yang mengalami
metabolisme dengan jalan reduksi, baik dalam letak mikrosomal maupun non
mikrosomal
3.
Reaksi hidrolisis (deesterefikasi) meliputi :
-
Reaksi hidrolisis ester dan hamida
-
Reaksi epoksida dan arena oksida
Pada
reaksi ini proses lain yang menghasilkan senyawa yang lebih polar adalah
hidrolisis dari ester dan amida oleh enzim. Esterase yang terletak baik
mikrosomal dan nonmikrosomal akan menghidrolisis obat yang mengandung gugus
ester. Di hepar,lebih banyak terjadi reaksi hidrolisis dan terkonsentrasi,
seperti hidrolisis peptidin oleh suatu enzim. Esterase non mikrosomal terdapat
dalam darah dan beberapa jaringan (Anief,1995)
Reaksi Fasa
II
Reaksi ini terjadi
dalam hati dan melibatkan konjugasi suatu obat atau metabolit fase I nya dengan
zat endogen. Konjugat yang dihasilkan hampir selalu kurang aktif dan merupakan
molekul polar yang mudah diekskresi oleh ginjal (Neal, 2005). Reaksi konjugasi
bekerja pada berbagai substrat alamnya dengan proses enzimatik terikat pada
gugus reaktif yang telah ada sebelumnya atau terbentuk pada fase I. reaksi yang
terjadi pada fase II ini ini meliputi konjugasi glukoronidasi, asilasi,
metilasi, pembentukan asam merkapturat, dan konjugasi
sulfat (Gordon dan Skett, 1991).
Reaksi Fasa II dapat dicapai dengan :
-
Konjugasi asam glukuronat
-
Konjugasi sulfat
-
Konjugasi dengan glisin dan glutamin
-
Konjugasi dengan glutation atau asam merkapturat
-
Konjugasi dengan metilasi dan asetilasi
Tujuan dari reaksi ini adalah untuk mengikat gugus
fungsional yang merupakan hasil metabolisme reaksi fase 1 dengan senyawa
endogen yang mudah terionisasi dan bersifat polar misalnya asam glukoronat,
glisin dan glutamin yang menghasilkan konjugat yang mudah untuk larut dalam
air. Pada reaksi fasa II ini senyawa induk yang sudah mengandung mengandung
gugus fungsional seperti OH, COOH, NH2, secara langsung terkonjugasi oleh enzim – enzim pada fasa 2, konjugasi dengan
glutation atau asam merkapturat bertujuan untuk melindungi tubuh dari senyawa
atau metabolisme reaktif yang bersifat toksik. Hasil konjugasi yang terbentuk
(konjugat) dapat kehilangan toksisitasnya dan aktivitasnya yang kemudian
diekskresikan melalui urin. Reaksi metilasi dan asetilasi bertujuan membuat
senyawa menjadi tidak aktif
·
Konjugasi dengan asam glukoronat
Konjugasi dengan asam glukoronat merupakan cara
konjugasi umum dalam proses metabolisme. Hampir semua obat mengalami konjugasi
ini karena sejumlah besar gugus fungsional obat dapat berkombinasi secara
enzimatik dengan asam glukoronat dan tersedianya D-asam glukoronat dalam jumlah
yang cukup pada tubuh (Siswandono dan Soekardjo,2000). Koenzim antara (UDPGA :
uridine diphosphoglucorinic acid) bereaksi dengan obat dengan bantuan enzim UDP
glukoronosil-transferase (UGT) untuk memindahkan glukoronida ke atom O pada
alkohol, fenol, atau asam karboksilat; atau atom S pada senyawa tiol; atau atom
N pada senyawa – senyawa amina dan
sulfonamida.
·
Metilasi
Reaksi metilasi
mempunyai peran penting pada proses biosintesis beberapa senyawa endogen,
seperti norepinefrin, epinefrin, dan histaminserta untuk proses bioinaktivasi
obat. Koenzim yang terlibat pada reaksi metilasi adalah
S-adenosil-metionin(SAM). Reaksi ini dikatalis oleh enzim metiltransferase yang
terdapat dalam sitoplasma dan mikrosom (Siswandono dan Soekardjo,2000).
·
Konjugasi Sulfat
Terutama terjadi pada
senyawa yang mengandung gugus fenol dan kadang-kadang juga terjadi pada senyawa
alkohol, amin aromatik dan senyawa N-hidroksi. Konjugasi sulfat pada umumnya
untuk meningkatkan kelarutan senyawa dalam air dan membuat senyawa menjadi
tidak toksik (Siswandono dan Soekardjo,2000).
·
Asetilasi
Merupakan
jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amin primer, sulfonamida,
hidrasin, hidrasid, dan amina alifatik primer. Fungsi utama asetilasi adalah
membuat senyawa inaktif dan untuk detoksifikasi (Siswandono dan
Soekardjo,2000).
Tidak semua
obat dimetabolisme melalui kedua fase tersebut ada obat yang mengalami reksi
fase I saja(satu atau beberapa macam reaksi ) atau reaksi fase II saja (satu
atau beberapa macam reaksi), tetapi kebanyakan obat dimetabolisme melalui
beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi beberapa macam
metabolit. Misalnya, fenobarbital membutuhkan reaksi fase I sebagai persyaratan
reaksi konjugasi.
Glukuronid
merupakan metabolit utama dari obat yang mempunyai gugus fenol, alkohol, atau
asam karboksilat. Metabolit ini biasanya tidak aktif dan cepat diekskresi
melalui ginjal dan empedu. Glukuronid yang diekskresi melalui empedu dapat
dihidrolisis oleh enzim β-glukuronidase yang dihasilkan oleh bakteri usus
dan obat dibebaskan dapat diserap kembali. Sirkulasi enterohepatik ini memperpanjang
kerja obat (Syarif, 1995).
Kecepatan
biotransformasi umumnya bertambah bila konsentrasi obat meningkat, hal ini
berlaku sampai titik dimana konsentrasi menjadi demikian tinggi hingga seluruh
molekul enzim yang melakukan pengubahan ditempati terus-menerus oleh molekul
obat dan tercapai kecepatan biotransformasi yang konstan (Tan Hoan Tjay dkk.,
1978). Disamping konsentrasi adapula beberapa faktor lain yang dapat
mempengaruhi kecepatan biotransformasi, yaitu:
a.
Faktor Intrinsik
Meliputi sifat yang dimiliki obat seperti sifat
fisika-kimia obat, lipofilitas, dosis, dan cara pemberian. Banyak obat,
terutama yang lipofil dapat menstimulir pembentukan dan aktivitas enzim-enzim
hati. Sebaliknya dikenal pula obat yang menghambat atau menginaktifkan
enzim tersebut, misalnya anti koagulansia, antidiabetika oral, sulfonamide,
antidepresiva trisiklis, metronidazol, allopurinol dan disulfiram (Tan Hoan
Tjay dkk, 1978).
b.
Faktor Fisiologi
Meliputi sifat – sifat yang dimiliki mahluk hidup
seperti : jenis atau spesies, genetik, umur dan jenis kelamin.
·
Perbedaan spesies dan granular
Dalam proses
metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur
kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada perbedaan
yang cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh
perbedaan spesies dan galur terhadap metabolisme obat sudah banyak
dilakukan yaitu pada tipe reaksi metabolik atau perbedaan kualitatif dan pada
kecepatan metabolismenya atau perbedaan kuantitatif (Siswandono dan
Soekardjo,2000).
·
Faktor genetik
Perbedaan individu pada
proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan.
Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan berperan terhadap kecepatan
metabolisme obat (Siswandono dan Soekardjo,2000).
·
Perbedaan umur
Pada usia tua,
metabolisme obat oleh hati mungkin menurun, tapi biasanya yang lebih penting
adalah menurunnya fungsi ginjal. Pada usia 65 tahun, laju filtrasi Glomerulus
(LFG) menurun sampai 30% dan tiap 1 tahun berikutnya menurun lagi 1-2% (sebagai
akibat hilangnya sel dan penurunan aliran darah ginjal). Oleh karena itu ,orang
lanjut usia membutuhkan beberapa obat dengan dosis lebih kecil daripada orang
muda (Neal,2005).
·
Perbedaan jenis kelamin
Pada beberapa spesies
binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolisme
obat. Pada manusia baru sedikit yang diketahui tentang adanya pengaruh
perbedaan jenis kelamin terhadap metabolisme obat. Contoh: nikotin dan asetosal
dimetabolisme secara berbeda pada pria dan wanita.
c.
Faktor Farmakologi
Meliputi inhibisi enzim oleh
inhibitor dan induksi enzim oleh induktor. Kenaikan aktivitas enzim menyebabkan
lebih cepatnya metabolisme (deaktivasi obat). Akibatnya, kadar dalam plasma
berkurang dan memperpendek waktu paro obat. Karena itu intensitas dan efek
farmakologinya berkurang dan sebaliknya.
d.
Faktor Patologi
Menyangkut
jenis dan kondisi penyakit. Contohnya pada penderita stroke, pemberian
fenobarbital bersama dengan warfarin secara agonis akan mengurangi efek anti
koagulasinya (sehingga sumbatan pembuluh darah dapat dibuka). Demikian pula
simetidin (antagonis reseptor H2) akan menghambat aktivitas sitokrom P-450
dalam memetabolisme obat-obat lain.
e.
Faktor Makanan
Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan
protein. Makanan panggang arang dan sayur mayur cruciferous diketahui
menginduksi enzim CYP1A, sedang jus buah anggur diketahui menghambat
metabolisme oleh CYP3A terhadap substrat obat yang diberikan secara bersamaan.
f.
Faktor Lingkungan
Adanya insektisida dan logam-logam
berat. Perokok sigaret memetabolisme beberapa obat lebih cepat daripada
yang tidak merokok, karena terjadi induksi enzim. Perbedaan yang demikian
mempersulit penentuan dosis yang efektif dan aman dari obat-obat yang mempunyai
indeks terapi sempit.
·
Jenis fenobarbital
·
Jenis metilkolantrena
Untuk terapi
dengan obat, induktor enzim memberi akibat sebagai berikut :
·
Pada pengobatan
jangka panjang dengan induktor enzim terjadi penurunan konsentrasi bahan obat
yang dapat mencapai tingkat konsentrasi dalam plasma pada awal pengobatan
dengan dosis tertentu.
·
Kadar bahan
berkhasiat tubuh sendiri dalam plasma dapat menurun sampai dibawah angka
normal.
·
Pada pemberian bersama
dengan obat lain terdapat banyak interaksi obat yang kadang-kadang berbahaya.
Selama pemberian induktor enzim, konsentrasi obat kedua dalam darah dapat juga
menurun sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang
sama (Ernst Mutschler,1991)
Banyak contoh obat yang setelah mengalami proses
metabolisme di tubuh menghasilkan metabolit aktif. Senyawa induk obat tersebut
disebut pra-obat, yang pada in vitro tidak menimbulkan aktivitas biologis.
Pra-obat bersifat labil, di dalam tubuh (in vivo) mengalami perubahan, melalui
proses kimia atau enzimatik, menjadi senyawa aktif, kemudian berinteraksi
dengan reseptor menghasilkan respons farmakologis.
Penemuan bahwa efek obat kadang-kadang ditimbulkan
oleh metabolitnya, mempunyai peran penting dalam penggunaan metabolit itu sendiri
sebagai obat, oleh karena :
a.
Metabolit kemungkinan menimbulkan toksisitas atau efek
samping lebih rendah dibanding pra-obat.
b.
Secara umum metabolit mengurangi variasi respons
klinik dalam populasi yang disebabkan perbedaan kemampuan metabolisme oleh individu-individu
atau oleh adanya penyakit tertentu.
Senyawa yang pertama kali digunakan di klinik sebagai
prekursor adalah arsfenamin, untuk pengobatan sifilis. Penelitian lebih lanjut
menunjukkan bahwa bentuk metabolitnya yaitu oksofenarsin mempunyai aktivitas
lebih besar terhadap mikroorganisme. Oksofenarsin kemudian digunakan sebagai
pengganti arsfenamin karena selain lebih aktif, toksisitasnya juga lebih rendah.
Kloralhidrat, senyawa hipnotik, pada
manusia dimetabolisme menjadi senyawa aktif trikloroetanol, bentuk glukuronida
dan asam trikloroasetat. Sekarang digunakan trikloroetanol atau garamnya asam
trikloroetanol fosfat (triklofos) sebagai pengganti kloralhidrat, karena
kloralhidrat mempunyai rasa tidak enak dan menimbulkan efek samping iritasi saluran
cerna. Penemuan zat warna azo prontosil merupakan awal dari pengobatan infeksi
dengan turunan sulfonamida. Pada in vitro prontosil tidak aktif terhadap
mikroorganisme tetapi pada in vivo aktif. Penemuan bahwa prontosil adalah
pra-obat dan bentuk yang mendapatkan turunan sulfonamida yang lebih unggul,
dengan cara modifikasi molekul sulfanilamid. Sampai sekarang telah tersedia
berbagai macam turunan sulfonamida yang digunakan sebagai obat antiinfeksi,
seperti sulfadiadzin, sulfametoksazol, dan sulfaguanidin. Obat antimalaria
pamakuin dan paludrin adalah pra-obat, keduanya diubah oleh enzim tubuh menjadi
bentuk metabolit yang aktif terhadap parasit malaria. Pamakuin mengalami
dealkilasi dan dioksidasi menjadi bentuk kuinon, yang secara in vivo 16 kali lebih
aktif dibanding senyawa induknya.
Paludrin (klorguanil = proguanil)
dimetabolisis membentuk cincin tertutup yang aktif yaitu turunan dihidrotriazin
(sikloguanil). Ada hubungan struktur yang jelas antara metabolit aktif
sikloguanil dan obat antimalaria pirimetamin, dan keduanya mempunyai mekanisme
kerja serupa paludrin. Sikloguanil kemudian digunakan sebagai antimalaria,
dalam bentuk garam embonat atau pamoat, dan diberikan secara injeksi
intramuscular dosis tunggal dalam bentuk suspense dalam minyak. Pemberian garam
tersebut memberikan perlindungan terhadap infeksi malaria selama beberapa
bulan, karena senyawa mempunyai kelarutan dalam lemak yang tinggi dan
dilepaskan secara perlahan-lahan dari depo, kemudian termetabolisis melepaskan
obat aktif. Metsuksimid atau obat antiepilepsi dimana obatnya berhubungan
dengan kadar metabolit dalam plasma. Obat mengalami demetilasi dalam tubuh
menjadi metabolit aktif yang mempunyai aktivitas 700 kali lebih besar
dibandingkan dengan senyawa induknya. Dengan cara yang sama metilfenobarbital
diubah menjadi metabolit aktif fenobarbital, sementara primidon dioksidasi
menjadi fenobarbital. Asetosal adalah pra-obat dari asam salisilat, yang
menimbullkan efek iritasi terhadap mukosa saluran cerna lebih kecil dibanding
asam salisilat.
Fenilbutazon (butazolidin) pada in vivo
diubah menjadi dua bentuk hidroksilasi, yaitu pada cincin benzen, menghasilkan
oksifenbutazon, dan pada atom C rantai samping. Obat ini digunakan terutama
sebagai antiradang, dan bentuk yang aktif adalah oksifenbutazon. Fenilbutazon
juga digunakan sebagai urikosurik untuk pengobatan penyakit pirai, dan yang
aktif adalah bentuk hidroksilasi pada atom C rantai samping. Pengamatan bahwa
substitusi pada rantai samping fenilbutazon dapat meningkatkan efek urikosurik,
mempunyai peranan penting pada penemuan obat baru yang lain, seperti
sulfinpirazon. Fenasetin, obat anelgesik dan antipiretik, terutama
dimetabolisis dalam tubuh menjadi metabolit aktif, N-asetil-p-aminofenol
(asetaminofen) dan dalam jumlah kecil metabolit glukuronida dari
2-hidroksifenasetin yang tidak aktif.Sekarang fenasetin digunakan oleh
asetaminofen karena bersifat nefrotoksik dan menimbulkan efek samping
methemoglobin yang lebih besar dibanding asetaminofen.
1.2
Rancangan
pra – obat untuk mengembangkan sifat fisika dan biologis obat
Sifat
fisika dan biologis obat yang tidak diinginkan, seperti bau dan rasa yang tidak
enak, efek iritasi pada saluran cerna, dan absorbs dalam usus yang rendah,
kemungkinann dapat diperbaiki atau dihilangkan melalui modifikasi kimia molekul
senyawa induk, dengan cara membentuk pra-obat yang tidak aktif. Setelah
diabsorbsi, pra-obat mengalami hidrolisis atau reduksi di hati oleh enzim-enzim
tubuh menghasilkan obat aktif. Enzim-enzim yang terlibat dalam aktivasi pra-obat
antara lain adalah α-kimotripsin, tripsin, elastase, karboksilesterase, dan
lipase. Enzim-enzim tersebut mampu menghidrolisis ester atau ikatan peptida
pra-obat, menghasilkan senyawa aktif.
Zimogen
merupakan prekursor dari enzim-enzim α-kimotripsin, tripsin, dan elastase.
Zimogen dihasilkan oleh pankreas dan bersifat tidak aktif. Setelah memasuki
duodenum zimogen diubah oleh enzim preoteolik menjadi enzim-enzim aktif, yang
dapat memecah protein dan polipeptida melalui proses hidrolisis ikatan peptida.
Ikatan peptida dari sisi karboksil dari triptofan, tirosin, dan fenilalanin
lebih cepat dihidrolisis oleh α-kimotripsin dibanding ikatan peptida yang
berdekatan dengan residu hidrofob, seperti pada leusin dan metionin, atau pada
ikatan peptida lain yang ada dalam struktur peptida. Ester dan turunan amida
dari triptofan, tirosin, dan fenilalanin juga merupakan substrat yang baik dari
enzim α-kimotripsin. Contohnya yaitu pada p-nitrofenilasetat, substrat tidak
khas yang mempunyai gugus penarik electron kuat, dengan mudah dihidrolisis oleh
α-kimotripsin. Tripsin secara cepat menghidrolisis ikatan-ikatan peptida
turunan ester dan amida dari L-asam amino dasar, seperti arginin dan lisin,
sedang enzim elastase menunjukkan kekhasan yang tinggi terhadap turunan asam
amino yang tidak bermuatan dan asam amino rantai samping non-aromatik, seperti
glisin, alanin, valin, leusin, dan sering.
Enzim
karboksilesterase, teruatama yang terdapat di hati, ginjal, duodenum, dan otak,
dengan cepat menghidrolisis ester-ester, dan dengan kecepatan yang lebih rendah
pada beberapa amida-amida. Karboksilesterase lebih efisien untuk menghidrolisis
ester-ester tidak khas dibanding α-kimotripsin, dengan kecepatan 104
- 105 lebih besar.Enzim lipase pancreas yang terdapat saluran cerna
dapat menghidrolisis ester-ester yang tidak larut sempurna dalam air. Telah
banyak pengetahuan tentang proses metabolism yang terjadi dalam tubuh. Obat
sebagai subyek akan diubah menjadi produk biologis yang aktif. Dalam hal
tertenntu, pengetahuan ini merangsang ahli kimia medicinal untuk melakukan manipulasi
kimia yang lebih baik agar menghasilkan obat yang secara terapetik aktif dan
mempunyai penampilan yang lebih baik dibanding senyawa induk.
Manipulasi kimia mungkin dirancang untuk memperpendek
atau meningkatkan masa kerja senyawa induk, dengan cara modifikasi senyawa
induk dan meramalkan hal-hal yang mempengaruhi kecepatan metabolismenya.
Modifikasi ini dapat mempengaruhi lama obat dalam plasma dan menjaga agar kadar
obat tetap berada di atas nilai ambang yang bertanggung jawab pada efek farmakologis.
Pendekatan yang lebih rasional pada pengembangan
obat-obat ini hanya untuk obat-obat yang telah ada atau pada tipe-tipe dasar
obat dengan aktivitas yang telah diketahui. Hal ini berarti untuk mendapatkan
aktivitas biologis yang diinginkan, senyawa induk sebagai jalur pengembangan
produk terapetik, menjadi lebih dapat diterima dan lebih meyakinkan dibanding
sebelumnya.
Pengembangan pra-obat digunakan untuk meingkatkan
absorbsi obat dalam saluran cerna, menghilangkan sifat fisik, seperti bau dan
rasa yang tidak menyenangkan, untuk pengaturan obat pada tempat yang spesifik
dalam tubuh, untuk meningkatkan kelarutan obat, untuk memperpendek masa kerja
obat, untuk memperpanjang masa kerja obat, dan untuk meningkatkan kestabilan
obat.
II.
KESIMPULAN
Metabolisme paling
sering terjadi pada hati, kulit, ginjal dan paru – paru dan untuk sebagian
kecil di jaringan atau organ lain. Pada umumnya metabolisme itu melakukan
transformasi agar xenobiotik (bahan asing/racun) menjadi lebih polar
sehingganya lebih mudah diekskresikan lewat ginjal ataupun empedu. Perbedaan
metabolisme dalam tubuh akan menentukan efek biologis, sehingganya akibat dari
proses metabolisme itu akan terjadi beberapa kemungkinan, yaitu :
-
Dikumulasi/disimpan
-
Dikeluarkan atau diekskresikan dengan
atau tanpa transformasi
-
Mengalami perubahan biokima yakni
termetabolisme di dalam sel, terutama sel parenkym hati untuk detoksifikasi.
Penulis : Setiadi Wirawan Yudistira (Mahasiswa UMRI)
DAFTAR
PUSTAKA
·
Anief,Moh, 1984, Ilmu Farmasi, Ghalia Indonesia,
Jakarta
·
Anief,Moh,Prof,Drs,Apt.,Prinsip Utama Dalam Farmakologi,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
·
Anief,Moh,1995,Perjalanan Dan Nasib Obat Dalam Badan,
Gadjah Mada Univ Press, Yogyakarta
·
Anonim,1999,Majalah Farmasi Indonesia Vol 10 No 04, Mandiri
Jaya Offest, Yogyakarta
·
Devissaguet,.J.Aiache JM,1993,Farmasetika 2
Biofarmasetika, Airlangga
·
Gibson,G.Gordon Dan Paul Skett,199,Pengantar
Metabolisme Obat, UI Press, Jakarta
·
Katzung,Bertramg,1989,Farmakologi Dasar Dan Klinik,EGC,Jakarta
·
Mutscler Ernst,1991,Dinamika Obat, UI Press, Jakarta
·
Neal,M.J,2005,At A Glance, Farmakologi Medis Edisi
Kelima, Erlangga, Jakarta
·
Syarif,Amin,1995,Farmakologi Dan Terapi,Edisi IV,
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
·
Siswandono dan Soekardjo,Bambang,2000, Kimia
Medisinal, Airlangga University Press, Jakarta
·
Tjay,Tan Hoan,Dkk, 1978, Obat - obat Penting Edisi IV,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar