Google ads

Rabu, 21 Oktober 2015

Hubungan Rancangan dan Modifikasi Struktur Terhadap Metabolisme dan Aktivitas Obat



Kimia medisinal adalah ilmu pengetahuan yang merupakan cabang ilmu kimia dan biologi, digunakan umtuk memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat pada tingkat molekul.Batasan Kimia Medisinal menurut Burger (1970) adalah:Ilmu pengetahuan yang merupakan cabang dari ilmu kimia dan biologi, dan digunakan untuk memahami dan menjelaskan mekanisme kerja obat.Batasan Kimia Medisinal menurut IUPAC (1974) adalah:Ilmu pengetahuan yang mempelajari  penemuan, pengembangan, identifikasi dan interpretasi cara kerja senyawa biologis aktif (obat) pada tingkat molekul.Batasan Kimia Medisinal menurut  Taylor dan Kennewell (1981) adalah:Studi kimiawi senyawa atau obat yang dapat memberikan efek menguntungkan dalam sistem kehidupan dan melibatkan studi hubungan struktur kimia senyawa dengan aktivitas biologis serta mekanisme cara kerja senyawa pada sistem biologis, dalam usaha mendapatkan efek pengobatan yang maksimal dan memperkecil efek samping yang tidak menguntungkan. Kimia Medisinal (Medicinal Chemistry) disebut pula Kimia Farmasi (Pharmaceutical Chemistry), Farmakokimia (Farmacochemie, Pharmacochemistry) dan kimia terapi (Chimie Therapeutique)
Ruang lingkup bidang kimia medisinal menurut Burger (1980) adalah:
1.           Isolasi dan identifikasi senyawa aktif dalam tanaman yang secara empirik telah digunakan untuk pengobatan.
2.           Sintesis struktur analog dari bentuk dasar senyawa yang mempunyai aktivitas pengobatan potensial.
3.           Mencari struktur induk baru dengan cara sintesis senyawa organik, dengan ataupun tanpa berhubungan dengan zat aktif alamiah.
4.           Menghubungkan struktur kimia obat dengan cara kerjanya.
5.           Mengembangkan rancangan obat.
6.           Mengembangkan hubungan struktur kimia dan aktivitas biologis melalui sifat kimia fisika dengan bantuan statistik.

Metabolisme obat adalah proses modifikasi biokimia senyawa obat oleh organisme dan pada umumnya dilakukan melalui proses enzimatik. Proses metabolisme obat merupakan salah satu hal penting dalam penentuan durasi dan intensitas khasiat farmakologis obat. Obat – obatan dimetabolisme secara dengan cara oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi, konjugasi, kondensasi atau isomerasi yang tujuannya supaya sisa obat mudah dibuang oleh tubuh lewat urin atau empedu. Kecepatan metabolisme tiap – tiap orang berbeda tergantung dari faktor ginetik, penyakit yang menyertai dan adanya interaksi antar obat – obatan. Dengan bertambahnya umur, kemampuan metabolisme hati menurun karena menurunnya volume dan aliran darah ke hati. Ginjal adalah tempat utama “ekskresi” atau pembuangan obat. Sedangkan biller system membantu ekskresi untuk obat – obatan yang tidak diabsorbsi kembali ke system pencernaan. Di dalam tubuh obat dapat berikatan dengan protein darah, jaringan dan lemak, dan juga obat – obatan di metabolisme dengan cara reaksi konjugasi yaitu reaksi penggabungan molekul obat dan hasil metabolisme pada reaksi oksidasi, reduksi dan  hidrolisis yang mengubah obat menjadi senyawa lain dengan senyawa pengkojugasi endogen di dalam tubuh.
1.1    Hubungan pra – obat, metabolisme dan aktivitas obat
Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktivitas biologis, masa kerja dan toksisitas obat sehingga pengetahuan tentang metabolisme obat dan senyawa organik asing lain (xenobiotika) sangat penting dalam bidang kimia medisinal.
Suatu obat dapat menimbulkan respons biologis dengan melalui dua jalur, yaitu:
a.         Obat aktif setelah masuk ke peredaran darah, langsung berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis.
b.         Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah mengalami proses metabolisme menjadi obat aktif, berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis (bioaktivasi).
Metabolisme obat adalah mengubah senyawa yang relatif non polar, menjadi senyawa yang lebih polar sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh. Faktor – faktor yang mempengaruhi metabolisme obat adalah :
a.       Faktor genetik atau keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat.
b.      Perbedaan spesies dan galur
Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada perbedaan yang cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan dilakukan terhadap tipe resksi metabolik atau perbedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan kuantitatif.
c.       Perbedaan jenis kelamin
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat.
d.      Perbedaan umur
Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati yang diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih sedikit sehingga sangat peka terhadap obat.
e.       Penghambatan enzim metabolisme
Pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek obat, memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan toksisitas.


f.       Induksi enzim metabolisme
Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau proses induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam plasma sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat. Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif.
g.      Faktor – faktor lain
Diet makanan, keadaan kekurangan gizi, ganguan keseimbangan hormon, kehamilan, pengikatan obat oleh protein plasma, distribusi  obat dalam jaringan dan keadaan patologis hati.

Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian pada umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresikan dari dalam tubuh. (Arief,2000) Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi di dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim (Syarif,1995). Metabolisme obat mempunyai dua efek penting, yaitu :
1.      Obat menjadi lebih hidrofilik-hal ini mempercepat ekskresinya melalui ginjal karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah direabsorpsi dalam tubulusginjal.
2.      Metabolit umumnya kurang aktif daripada obat asalnya. Akan tetapi, tidak selalu seperti itu, kadang-kadang metabolit sama aktifnya (atau lebih aktif) daripada obat asli. Sebagai contoh, diazepam (obat yang digunakan untuk mengobati ansietas) dimetabolisme menjadi nordiazepam dan oxazepam, keduanya aktif. (Neal,2005).
Enzim yang berperan dalam dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yaitu :
1.      Enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi invitro membentuk kromosom )
2.      Enzim non mikrosom.
Kedua enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat dalam sel jaringan lain, misalnya: ginjal, paru-paru, epitel saluran cerna dan plasma. Di lumen saluran cerna juga terdapat enzim non mikrosom yang dihasilkan flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi glukoronida, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, reaksi reduksi dan hidrolisis (Gordon dan Skett,1991).
 Walaupun antara metabolisme dan biotransformasi sering dibedakan, sebagian ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme hanya diperuntukkan bagi perubahan- perubahan biokimia atau kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa endogen, sedangkan biotransformasi adalah peristiwa yang sama bagi senyawa eksogen (xenobiotika) (Anonim,1999).
Pada dasarnya,tiap obat merupakan zat asing bagi badan yang tidak diinginkan, maka badan berusaha merombak zat tadi menjadi metabolit sekaligus bersifat hidrofil agar lebih lancar diekskresi melalui ginjal. Jadi reaksi biotransformasi adaah merupakan peristiwa detoksifikasi (Anief,1984).
Obat lebih banyak dirusak di hati meskipun setiap jaringan mempunyai sejumlah kesanggupan memetabolisme obat. Kebanyakan biotransformasi metabolik obat terjadi pada titik tertentu antara absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik dan pembuangannya melalui ginjal. Sejumlah kecil transformasi terjadi di dalam usus atau dinding usus. Umumnya semua reaksi ini dapat dimasukkan ke dalam dua katagori utama, yaitu reaksi fase 1 dan fase 2 (Katzung, 1989).

 
Reaksi metabolisme obat dan senyawa organik asing ada dua tahap, yaitu :
-            Reaksi fasa I atau reaksi fungsionalisme
-            Reaksi fasa II atau reaksi konjugasi

Reaksi fasa I
Reaksi fasa I dapat dicapai dengan :
-            Memasukkan gugus fungsional yang bersifat polar, OH, COOH, NH2 secara langsung, contohnya hidroksilasi senyawa aromatik dan alifatik. Yang termasuk dalam reaksi fasa I adalah oksidasi, reduksi dan hidrolisis
-            Memodifikasi gugus-gugus fungsional yang ada dalam struktur molekul, contoh : reduksi gugus keton atau aldehid menjadi alkohol, oksidasi alkohol menjadi asam karboksilat, hidrolisis ester dan amida menghasilkan gugus – gugus COOH, OH, NH2;  reduksi senyawa azo dan nitro menjadi gugus NH2; dealkilasi oksidatif dari atom N, O dan S menghasilkan gugus NH2, OH dan SH
Reaksi fasa I terbagi 3yaitu :
1.         Reaksi oksidasi meliputi :
-       Oksidasi gugus aromatik, ikatan rangkap, atom C benzilik dan alilik, atom C dari gugus karbonil dan imin.
-       Oksidasi atom C alifatik dan alisiklik
-       Oksidasi sistem C-N, C-O dan C-S
-       Oksidasi alkohol dan aldehid
-       Reaksi oksidasi lain-lain

Merupakan reaksi yang paling umum terjadi. Reaksi ini terjadi pada berbagai molekul menurut proses khusus tergantung pada masing-masing struktur kimianya, yaitu reaksi hidroksilasi pada golongan alkil, aril, dan heterosiklik; reaksi oksidasi alkohol dan aldehid; reaksi pembentukan N-oksida dan sulfoksida; reaksi deaminasi oksidatif;  pembukaan inti dan sebagainya(Anonim,1999). Reaksi oksidasi dibagi menjadi dua, yaitu oksidasi yang melibatkan sitokrom P-450 (enzim yang bertanggungjawab terhadap reaksi oksidasi) dan oksidasi yang tidak melibatkan sitokrom P-450. Ezim sitokrom P – 450 adalah suatu heme protein, dinamakan sitokrom P – 450 karena bentuknya yang tereduksi yaitu (Fe++).RH dapat membentuk kompleks dengan karbon monoksida (CO) yang diukur dengan spektofotometer yang memberikan panjang gelombang maksimum (λmaks) 450 nm.


 
Oksidasi senyawa aromatik (arena) menghasilkan metabolisme arenol. Proses ini melibatkan pembentukan senyawa antara epoksida (arena oksida) yang segera mengalami penataulangan menjadi arenol.


2.         Reaksi reduksi meliputi :
-       Reduksi aldehid dan keton
-       Reduksi senyawa ozo dan nitro
-       Reaksi reduksi lainnya
Reduksi aldehid, azo dan nitro, dimana reaksi ini kurang penting dibanding reaksi oksidasi. Reduksi terutama berperan pada nitrogen dan turunannya (azoik dan nitrat), kadang-kadang pada karbon. (Anonim, 1999). Hanya beberapa obat yang mengalami metabolisme dengan jalan reduksi, baik dalam letak mikrosomal maupun non mikrosomal

3.           Reaksi hidrolisis (deesterefikasi) meliputi :
-       Reaksi hidrolisis ester dan hamida
-       Reaksi epoksida dan arena oksida
Pada reaksi ini proses lain yang menghasilkan senyawa yang lebih polar adalah hidrolisis dari ester dan amida oleh enzim. Esterase yang terletak baik mikrosomal dan nonmikrosomal akan menghidrolisis obat yang mengandung gugus ester. Di hepar,lebih banyak terjadi reaksi hidrolisis dan terkonsentrasi, seperti hidrolisis peptidin oleh suatu enzim. Esterase non mikrosomal terdapat dalam darah dan beberapa jaringan (Anief,1995)
Reaksi Fasa II
Reaksi ini terjadi dalam hati dan melibatkan konjugasi suatu obat atau metabolit fase I nya dengan zat endogen. Konjugat yang dihasilkan hampir selalu kurang aktif dan merupakan molekul polar yang mudah diekskresi oleh ginjal (Neal, 2005). Reaksi konjugasi bekerja pada berbagai substrat alamnya dengan proses enzimatik terikat  pada gugus reaktif yang telah ada sebelumnya atau terbentuk pada fase I. reaksi yang terjadi pada fase II ini ini meliputi konjugasi glukoronidasi, asilasi, metilasi,  pembentukan asam merkapturat, dan konjugasi sulfat (Gordon dan Skett, 1991).
Reaksi Fasa II dapat dicapai dengan :
-            Konjugasi asam glukuronat
-            Konjugasi sulfat
-            Konjugasi dengan glisin dan glutamin
-            Konjugasi dengan glutation atau asam merkapturat
-            Konjugasi dengan metilasi dan asetilasi
Tujuan dari reaksi ini adalah untuk mengikat gugus fungsional yang merupakan hasil metabolisme reaksi fase 1 dengan senyawa endogen yang mudah terionisasi dan bersifat polar misalnya asam glukoronat, glisin dan glutamin yang menghasilkan konjugat yang mudah untuk larut dalam air. Pada reaksi fasa II ini senyawa induk yang sudah mengandung mengandung gugus fungsional seperti OH, COOH, NH2, secara langsung      terkonjugasi oleh enzim – enzim pada fasa 2, konjugasi dengan glutation atau asam merkapturat bertujuan untuk melindungi tubuh dari senyawa atau metabolisme reaktif yang bersifat toksik. Hasil konjugasi yang terbentuk (konjugat) dapat kehilangan toksisitasnya dan aktivitasnya yang kemudian diekskresikan melalui urin. Reaksi metilasi dan asetilasi bertujuan membuat senyawa menjadi tidak aktif

·      Konjugasi dengan asam glukoronat
Konjugasi dengan asam glukoronat merupakan cara konjugasi umum dalam proses metabolisme. Hampir semua obat mengalami konjugasi ini karena sejumlah besar gugus fungsional obat dapat berkombinasi secara enzimatik dengan asam glukoronat dan tersedianya D-asam glukoronat dalam jumlah yang cukup pada tubuh (Siswandono dan Soekardjo,2000). Koenzim antara (UDPGA : uridine diphosphoglucorinic acid) bereaksi dengan obat dengan bantuan enzim UDP glukoronosil-transferase (UGT) untuk memindahkan glukoronida ke atom O pada alkohol, fenol, atau asam karboksilat; atau atom S pada senyawa tiol; atau atom N  pada senyawa – senyawa  amina dan sulfonamida.


·      Metilasi
Reaksi metilasi mempunyai peran penting pada proses biosintesis beberapa senyawa endogen, seperti norepinefrin, epinefrin, dan histaminserta untuk  proses bioinaktivasi obat. Koenzim yang terlibat pada reaksi metilasi adalah S-adenosil-metionin(SAM). Reaksi ini dikatalis oleh enzim metiltransferase yang terdapat dalam sitoplasma dan mikrosom (Siswandono dan Soekardjo,2000).
·      Konjugasi Sulfat
Terutama terjadi pada senyawa yang mengandung gugus fenol dan kadang-kadang juga terjadi pada senyawa alkohol, amin aromatik dan senyawa N-hidroksi. Konjugasi sulfat pada umumnya untuk meningkatkan kelarutan senyawa dalam air dan membuat senyawa menjadi tidak toksik (Siswandono dan Soekardjo,2000).
·      Asetilasi
Merupakan jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amin primer, sulfonamida, hidrasin, hidrasid, dan amina alifatik primer. Fungsi utama asetilasi adalah membuat senyawa inaktif dan untuk detoksifikasi (Siswandono dan Soekardjo,2000).
Tidak semua obat dimetabolisme melalui kedua fase tersebut ada obat yang mengalami reksi fase I saja(satu atau beberapa macam reaksi ) atau reaksi fase II saja (satu atau beberapa macam reaksi), tetapi kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit. Misalnya, fenobarbital membutuhkan reaksi fase I sebagai persyaratan reaksi konjugasi.
Glukuronid merupakan metabolit utama dari obat yang mempunyai gugus fenol, alkohol, atau asam karboksilat. Metabolit ini biasanya tidak aktif dan cepat diekskresi melalui ginjal dan empedu. Glukuronid yang diekskresi melalui empedu dapat dihidrolisis oleh enzim β-glukuronidase yang dihasilkan oleh  bakteri usus dan obat dibebaskan dapat diserap kembali. Sirkulasi enterohepatik ini memperpanjang kerja obat (Syarif, 1995).
Kecepatan biotransformasi umumnya bertambah bila konsentrasi obat meningkat, hal ini berlaku sampai titik dimana konsentrasi menjadi demikian tinggi hingga seluruh molekul enzim yang melakukan pengubahan ditempati terus-menerus oleh molekul obat dan tercapai kecepatan biotransformasi yang konstan (Tan Hoan Tjay dkk., 1978). Disamping konsentrasi adapula beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi kecepatan biotransformasi, yaitu:
a.    Faktor Intrinsik
Meliputi sifat yang dimiliki obat seperti sifat fisika-kimia obat, lipofilitas, dosis, dan cara pemberian. Banyak obat, terutama yang lipofil dapat menstimulir pembentukan dan aktivitas enzim-enzim hati. Sebaliknya dikenal  pula obat yang menghambat atau menginaktifkan enzim tersebut, misalnya anti koagulansia, antidiabetika oral, sulfonamide, antidepresiva trisiklis, metronidazol, allopurinol dan disulfiram (Tan Hoan Tjay dkk, 1978).
b.    Faktor Fisiologi
Meliputi sifat – sifat yang dimiliki mahluk hidup seperti : jenis atau spesies, genetik, umur dan jenis kelamin.

·      Perbedaan spesies dan granular
Dalam proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada  perbedaan yang cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan  pengaruh perbedaan spesies dan galur terhadap metabolisme obat sudah  banyak dilakukan yaitu pada tipe reaksi metabolik atau perbedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolismenya atau perbedaan kuantitatif (Siswandono dan Soekardjo,2000).
·      Faktor genetik
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan berperan terhadap kecepatan metabolisme obat (Siswandono dan Soekardjo,2000).
·      Perbedaan umur
Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati mungkin menurun, tapi biasanya yang lebih penting adalah menurunnya fungsi ginjal. Pada usia 65 tahun, laju filtrasi Glomerulus (LFG) menurun sampai 30% dan tiap 1 tahun berikutnya menurun lagi 1-2% (sebagai akibat hilangnya sel dan penurunan aliran darah ginjal). Oleh karena itu ,orang lanjut usia membutuhkan beberapa obat dengan dosis lebih kecil daripada orang muda (Neal,2005).
·      Perbedaan jenis kelamin
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat. Pada manusia baru sedikit yang diketahui tentang adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap metabolisme obat. Contoh: nikotin dan asetosal dimetabolisme secara berbeda  pada pria dan wanita.

c.    Faktor Farmakologi
Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi enzim oleh induktor. Kenaikan aktivitas enzim menyebabkan lebih cepatnya metabolisme (deaktivasi obat). Akibatnya, kadar dalam plasma berkurang dan memperpendek waktu paro obat. Karena itu intensitas dan efek farmakologinya berkurang dan sebaliknya.
d.   Faktor Patologi
Menyangkut jenis dan kondisi penyakit. Contohnya pada penderita stroke,  pemberian fenobarbital bersama dengan warfarin secara agonis akan mengurangi efek anti koagulasinya (sehingga sumbatan pembuluh darah dapat dibuka). Demikian pula simetidin (antagonis reseptor H2) akan menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam memetabolisme obat-obat lain.
e.    Faktor Makanan
Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein. Makanan panggang arang dan sayur mayur cruciferous diketahui menginduksi enzim CYP1A, sedang jus  buah anggur diketahui menghambat metabolisme oleh CYP3A terhadap substrat obat yang diberikan secara bersamaan.
f.     Faktor Lingkungan
Adanya insektisida dan logam-logam berat. Perokok sigaret memetabolisme  beberapa obat lebih cepat daripada yang tidak merokok, karena terjadi induksi enzim. Perbedaan yang demikian mempersulit penentuan dosis yang efektif dan aman dari obat-obat yang mempunyai indeks terapi sempit.

Banyak obat mampu menaikkan kapasitas metabolismenya sendiri dengan induksi enzim (menaikkan kapasitas biosintesis enzim). Induktor dapat dibedakan menjadi dua menurut enzim yang di induksinya,antaralain :
·      Jenis fenobarbital
·      Jenis metilkolantrena
Untuk terapi dengan obat, induktor enzim memberi akibat sebagai berikut :
·      Pada pengobatan jangka panjang dengan induktor enzim terjadi penurunan konsentrasi bahan obat yang dapat mencapai tingkat konsentrasi dalam plasma pada awal pengobatan dengan dosis tertentu.
·      Kadar bahan berkhasiat tubuh sendiri dalam plasma dapat menurun sampai dibawah angka normal.
·      Pada pemberian bersama dengan obat lain terdapat banyak interaksi obat yang kadang-kadang berbahaya. Selama pemberian induktor enzim, konsentrasi obat kedua dalam darah dapat juga menurun sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama (Ernst Mutschler,1991)

Banyak contoh obat yang setelah mengalami proses metabolisme di tubuh menghasilkan metabolit aktif. Senyawa induk obat tersebut disebut pra-obat, yang pada in vitro tidak menimbulkan aktivitas biologis. Pra-obat bersifat labil, di dalam tubuh (in vivo) mengalami perubahan, melalui proses kimia atau enzimatik, menjadi senyawa aktif, kemudian berinteraksi dengan reseptor menghasilkan respons farmakologis.
Penemuan bahwa efek obat kadang-kadang ditimbulkan oleh metabolitnya, mempunyai peran penting dalam penggunaan metabolit itu sendiri sebagai obat, oleh karena :
a.         Metabolit kemungkinan menimbulkan toksisitas atau efek samping lebih rendah dibanding pra-obat.
b.        Secara umum metabolit mengurangi variasi respons klinik dalam populasi yang disebabkan perbedaan kemampuan metabolisme oleh individu-individu atau oleh adanya penyakit tertentu.
Senyawa yang pertama kali digunakan di klinik sebagai prekursor adalah arsfenamin, untuk pengobatan sifilis. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa bentuk metabolitnya yaitu oksofenarsin mempunyai aktivitas lebih besar terhadap mikroorganisme. Oksofenarsin kemudian digunakan sebagai pengganti arsfenamin karena selain lebih aktif, toksisitasnya juga lebih rendah.
Kloralhidrat, senyawa hipnotik, pada manusia dimetabolisme menjadi senyawa aktif trikloroetanol, bentuk glukuronida dan asam trikloroasetat. Sekarang digunakan trikloroetanol atau garamnya asam trikloroetanol fosfat (triklofos) sebagai pengganti kloralhidrat, karena kloralhidrat mempunyai rasa tidak enak dan menimbulkan efek samping iritasi saluran cerna. Penemuan zat warna azo prontosil merupakan awal dari pengobatan infeksi dengan turunan sulfonamida. Pada in vitro prontosil tidak aktif terhadap mikroorganisme tetapi pada in vivo aktif. Penemuan bahwa prontosil adalah pra-obat dan bentuk yang mendapatkan turunan sulfonamida yang lebih unggul, dengan cara modifikasi molekul sulfanilamid. Sampai sekarang telah tersedia berbagai macam turunan sulfonamida yang digunakan sebagai obat antiinfeksi, seperti sulfadiadzin, sulfametoksazol, dan sulfaguanidin. Obat antimalaria pamakuin dan paludrin adalah pra-obat, keduanya diubah oleh enzim tubuh menjadi bentuk metabolit yang aktif terhadap parasit malaria. Pamakuin mengalami dealkilasi dan dioksidasi menjadi bentuk kuinon, yang secara in vivo 16 kali lebih aktif dibanding senyawa induknya.
Paludrin (klorguanil = proguanil) dimetabolisis membentuk cincin tertutup yang aktif yaitu turunan dihidrotriazin (sikloguanil). Ada hubungan struktur yang jelas antara metabolit aktif sikloguanil dan obat antimalaria pirimetamin, dan keduanya mempunyai mekanisme kerja serupa paludrin. Sikloguanil kemudian digunakan sebagai antimalaria, dalam bentuk garam embonat atau pamoat, dan diberikan secara injeksi intramuscular dosis tunggal dalam bentuk suspense dalam minyak. Pemberian garam tersebut memberikan perlindungan terhadap infeksi malaria selama beberapa bulan, karena senyawa mempunyai kelarutan dalam lemak yang tinggi dan dilepaskan secara perlahan-lahan dari depo, kemudian termetabolisis melepaskan obat aktif. Metsuksimid atau obat antiepilepsi dimana obatnya berhubungan dengan kadar metabolit dalam plasma. Obat mengalami demetilasi dalam tubuh menjadi metabolit aktif yang mempunyai aktivitas 700 kali lebih besar dibandingkan dengan senyawa induknya. Dengan cara yang sama metilfenobarbital diubah menjadi metabolit aktif fenobarbital, sementara primidon dioksidasi menjadi fenobarbital. Asetosal adalah pra-obat dari asam salisilat, yang menimbullkan efek iritasi terhadap mukosa saluran cerna lebih kecil dibanding asam salisilat.
Fenilbutazon (butazolidin) pada in vivo diubah menjadi dua bentuk hidroksilasi, yaitu pada cincin benzen, menghasilkan oksifenbutazon, dan pada atom C rantai samping. Obat ini digunakan terutama sebagai antiradang, dan bentuk yang aktif adalah oksifenbutazon. Fenilbutazon juga digunakan sebagai urikosurik untuk pengobatan penyakit pirai, dan yang aktif adalah bentuk hidroksilasi pada atom C rantai samping. Pengamatan bahwa substitusi pada rantai samping fenilbutazon dapat meningkatkan efek urikosurik, mempunyai peranan penting pada penemuan obat baru yang lain, seperti sulfinpirazon. Fenasetin, obat anelgesik dan antipiretik, terutama dimetabolisis dalam tubuh menjadi metabolit aktif, N-asetil-p-aminofenol (asetaminofen) dan dalam jumlah kecil metabolit glukuronida dari 2-hidroksifenasetin yang tidak aktif.Sekarang fenasetin digunakan oleh asetaminofen karena bersifat nefrotoksik dan menimbulkan efek samping methemoglobin yang lebih besar dibanding asetaminofen.

1.2    Rancangan pra – obat untuk mengembangkan sifat fisika dan biologis obat
Sifat fisika dan biologis obat yang tidak diinginkan, seperti bau dan rasa yang tidak enak, efek iritasi pada saluran cerna, dan absorbs dalam usus yang rendah, kemungkinann dapat diperbaiki atau dihilangkan melalui modifikasi kimia molekul senyawa induk, dengan cara membentuk pra-obat yang tidak aktif. Setelah diabsorbsi, pra-obat mengalami hidrolisis atau reduksi di hati oleh enzim-enzim tubuh menghasilkan obat aktif. Enzim-enzim yang terlibat dalam aktivasi pra-obat antara lain adalah α-kimotripsin, tripsin, elastase, karboksilesterase, dan lipase. Enzim-enzim tersebut mampu menghidrolisis ester atau ikatan peptida pra-obat, menghasilkan senyawa aktif.
Zimogen merupakan prekursor dari enzim-enzim α-kimotripsin, tripsin, dan elastase. Zimogen dihasilkan oleh pankreas dan bersifat tidak aktif. Setelah memasuki duodenum zimogen diubah oleh enzim preoteolik menjadi enzim-enzim aktif, yang dapat memecah protein dan polipeptida melalui proses hidrolisis ikatan peptida. Ikatan peptida dari sisi karboksil dari triptofan, tirosin, dan fenilalanin lebih cepat dihidrolisis oleh α-kimotripsin dibanding ikatan peptida yang berdekatan dengan residu hidrofob, seperti pada leusin dan metionin, atau pada ikatan peptida lain yang ada dalam struktur peptida. Ester dan turunan amida dari triptofan, tirosin, dan fenilalanin juga merupakan substrat yang baik dari enzim α-kimotripsin. Contohnya yaitu pada p-nitrofenilasetat, substrat tidak khas yang mempunyai gugus penarik electron kuat, dengan mudah dihidrolisis oleh α-kimotripsin. Tripsin secara cepat menghidrolisis ikatan-ikatan peptida turunan ester dan amida dari L-asam amino dasar, seperti arginin dan lisin, sedang enzim elastase menunjukkan kekhasan yang tinggi terhadap turunan asam amino yang tidak bermuatan dan asam amino rantai samping non-aromatik, seperti glisin, alanin, valin, leusin, dan sering.
Enzim karboksilesterase, teruatama yang terdapat di hati, ginjal, duodenum, dan otak, dengan cepat menghidrolisis ester-ester, dan dengan kecepatan yang lebih rendah pada beberapa amida-amida. Karboksilesterase lebih efisien untuk menghidrolisis ester-ester tidak khas dibanding α-kimotripsin, dengan kecepatan 104 - 105 lebih besar.Enzim lipase pancreas yang terdapat saluran cerna dapat menghidrolisis ester-ester yang tidak larut sempurna dalam air. Telah banyak pengetahuan tentang proses metabolism yang terjadi dalam tubuh. Obat sebagai subyek akan diubah menjadi produk biologis yang aktif. Dalam hal tertenntu, pengetahuan ini merangsang ahli kimia medicinal untuk melakukan manipulasi kimia yang lebih baik agar menghasilkan obat yang secara terapetik aktif dan mempunyai penampilan yang lebih baik dibanding senyawa induk.
Manipulasi kimia mungkin dirancang untuk memperpendek atau meningkatkan masa kerja senyawa induk, dengan cara modifikasi senyawa induk dan meramalkan hal-hal yang mempengaruhi kecepatan metabolismenya. Modifikasi ini dapat mempengaruhi lama obat dalam plasma dan menjaga agar kadar obat tetap berada di atas nilai ambang yang bertanggung jawab pada efek farmakologis.
Pendekatan yang lebih rasional pada pengembangan obat-obat ini hanya untuk obat-obat yang telah ada atau pada tipe-tipe dasar obat dengan aktivitas yang telah diketahui. Hal ini berarti untuk mendapatkan aktivitas biologis yang diinginkan, senyawa induk sebagai jalur pengembangan produk terapetik, menjadi lebih dapat diterima dan lebih meyakinkan dibanding sebelumnya.
Pengembangan pra-obat digunakan untuk meingkatkan absorbsi obat dalam saluran cerna, menghilangkan sifat fisik, seperti bau dan rasa yang tidak menyenangkan, untuk pengaturan obat pada tempat yang spesifik dalam tubuh, untuk meningkatkan kelarutan obat, untuk memperpendek masa kerja obat, untuk memperpanjang masa kerja obat, dan untuk meningkatkan kestabilan obat.

II.      KESIMPULAN
Metabolisme paling sering terjadi pada hati, kulit, ginjal dan paru – paru dan untuk sebagian kecil di jaringan atau organ lain. Pada umumnya metabolisme itu melakukan transformasi agar xenobiotik (bahan asing/racun) menjadi lebih polar sehingganya lebih mudah diekskresikan lewat ginjal ataupun empedu. Perbedaan metabolisme dalam tubuh akan menentukan efek biologis, sehingganya akibat dari proses metabolisme itu akan terjadi beberapa kemungkinan, yaitu :
-          Dikumulasi/disimpan
-          Dikeluarkan atau diekskresikan dengan atau tanpa transformasi
-          Mengalami perubahan biokima yakni termetabolisme di dalam sel, terutama sel parenkym hati untuk detoksifikasi.

Penulis : Setiadi Wirawan Yudistira (Mahasiswa UMRI)


 DAFTAR PUSTAKA
·      Anief,Moh, 1984, Ilmu Farmasi, Ghalia Indonesia, Jakarta
·      Anief,Moh,Prof,Drs,Apt.,Prinsip Utama Dalam Farmakologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
·      Anief,Moh,1995,Perjalanan Dan Nasib Obat Dalam Badan, Gadjah Mada Univ Press, Yogyakarta
·      Anonim,1999,Majalah Farmasi Indonesia Vol 10 No 04, Mandiri Jaya Offest, Yogyakarta
·      Devissaguet,.J.Aiache JM,1993,Farmasetika 2 Biofarmasetika, Airlangga
·      Gibson,G.Gordon Dan Paul Skett,199,Pengantar Metabolisme Obat, UI Press, Jakarta
·      Katzung,Bertramg,1989,Farmakologi Dasar Dan Klinik,EGC,Jakarta
·      Mutscler Ernst,1991,Dinamika Obat, UI Press, Jakarta
·      Neal,M.J,2005,At A Glance, Farmakologi Medis Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta
·      Syarif,Amin,1995,Farmakologi Dan Terapi,Edisi IV, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
·      Siswandono dan Soekardjo,Bambang,2000, Kimia Medisinal, Airlangga University Press, Jakarta
·      Tjay,Tan Hoan,Dkk, 1978, Obat - obat Penting Edisi IV, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

Tidak ada komentar:

Google Ads