Sifat
kelarutan pada umumnya berhubungan dengan kelarutan senyawa dalam media yang
berbeda dan bervariasi diantara dua hal yang ekstrem, yaitu polar, seperti air
dan
pelarut non polar seperti
lemak.
Sifat hidrofilik atau lipofobik berhubungan dengan
kelarutan dalam air, sedangkan sifat lipofilik atau hidrofobik berhubungan
dengan kelarutan dalam lemak. Gugus yang dapat meningkatkan kelarutan molekul
dalam air disebut gugus hidrofilik
(lipofobik atau polar) sedangkan gugus yang dapat meningkatkan kelarutan
molekul dalam lemak disebut gugus
lipofilik (hidrifobik atau nonpolar).
Tabel.1
Contoh Gugus hidrofilik dan lipofilik
Sifat
|
Gugus
|
|
Hidrofilik
(makin ke
kanan makin menurun)
|
Kuat
|
-OSO2ONa,
-COONa, -SO2Na, -OSO2H
|
Sedang
|
-OH, -SH,
-O, =C=O, -CHO, -NO2, -NH2, -NHR, -NR2, -CN,
-CNS,
-COOH, -COOR, -OPO3H2, -OS2O2H
|
|
Ikatan tak
jenuh
|
-C=CH,
-CH=CH2
|
|
Lipofilik
|
Rantai
hidrokarbon alifatik,alkil,aril,hidrokarbon,polisiklik
|
Gugus halogen mempunyai sifat yang khas, walaupun
mempunyai efek elektronegatif relatif kuat tetapi bila disubtitusikan pada
cincin aromatik akan bersifat lipofilik. Subtitusi pada rantai alifatik
gugus –I, -Br, -CL akan besifat lipofilik, sedangkan gugus F bersifat
hidrofilik. Hubungan sifat hidrofilik dan lipofilik dari senyawa dapat dilihat
pada Gambar dibawah ini.
Sifat kelarutan pada umumnya berhubungan dengan
aktivitas biologis dari senyawa seri homolog. Sifat keturunan juga berhubungan
erat dengan proses absorpsi obat. Hal ini penting karena intensitas aktivitas
biologis obat tergantung pada derajat absorpsinya. Overton (1901) mengemukakan konsep bahwa kelarutan senyawa
organik dalam lemak berhubungan dengan mudah atau tidaknya penembusan membran
sel. Senyawa non polar bersifat mudah larut dalam lemak, mempunyai nilai
koefisien partisi lemak/air besar sehingga mudah menembus membran sel secara
difusi pasif. makin besar nilai koefisin
partisi (P) kloroform/air dari bentuk tak terionisasi turunan barbiturat, makin
besar presentasi obat yang diabsorpsi. Terlihat bahwa makin besar nilai
koefisien partisi (P) kloroform/air dari bentuk tak terionisasi turunan
barbiturat, makin besar besar presentasi obat yang diabsorpsi.
ASPEK FARMAKOKINETIKA
Farmakokinetika dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan
tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Dala
arti sempit farmakokinetika khususnya mempelajari perubahan-perubahan
konsentrasi dari obat dan metabolitnya didalam darah dan jaringan sebagai
fungsi dari waktu (Tjay dan Rahardja, 2002).
2.1.1
Absorpsi
Yang dimaksud dengan
absorpsi suatu obat ialah pengambilan obat dari permukaan tubuh ke dalam aliran
darah atau ke dalam sistem pembuluh limfe. Dari aliran darah atau sistem pembuluh
limfe terjadi distribusi obat ke dalam organisme keseluruhan. Absorpsi, distribusi
dan ekstraksi tidak mungkin melalui membran dapat terjadi sebagai difusi, difusi
terfasilitasi, transport aktif, pinositosis
atau fagositosis. Absorpsi kebanyakan obat terjadi secara pasif melalui difusi.
Ø Transport
pasif
Transport pasif tidak memerlukan
energi, sebab hanya dengan proses difusi obat dapat berpindah dari daerah
dengan kadar konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang rendah. Terjadi selama
molekul-molekul kecil dapat berdifusi sepanjang membran dan berhenti bila
konsentrasi pada kedua sisi membran seimbang.
Ø Transport
aktif
Transport aktif membutuhkan energi untuk menggerakkan
obat dari daerah dengan konsentrasi obat rendah ke daerah dengan konsentrasi
obat tinggi.
Ø Pinositosis
Pinositosis adalah bentuk tranfer aktif yang unik dimana
sel ‘menelan’ partikel obat. Biasanya terjadi pada obat-obat larut lemak (vit
A, D, E, K).
Ø Faktor yang
mempengaruhi penyerapan
ü Aliran darah
ke tempat absorpsi
ü Total luas
permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi
ü Waktu kontak
permukaan absorpsi
2.1.2
Distribusi
Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan
ditransfer lebih lanjut bersama aliran darah dalam sistem sirkulasi. Akibat
perubahan konsentrasi darah terhadap jaringan, bahan obat meninggalkan pembuluh
darah dan terdistribusi ke dalam jaringan (Mutscler, 1985).
Pada tahap distribusi ini penyebarannya sangat peka
terhadap berbagai pengaruh yang terkait dengan tahap penyerapan dan tahap yang
terjadi sesudahnya yaitu peniadaan, serta terkait pula dengan komposisi
biokimia serta keadaan fisiopatologi subyeknya, disamping itu perlu diingat
kemungkinan adanya interaksi dengan molekul lainnya. Pada tahap ini merupakan
fenomena dinamik, yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan penurunan kadar
zat aktif. Pengertian akumulasi dan penimbunan terutama penimbunan bahan
toksik, harus dijajaki dari sudut pandang dinamik, maksudnya melihat perbedaan
antara kecepatan masuk dan kecepatan keluar. Sebenarnya penimbunan bahan toksik
merupakan efek racun dan hasil fatal sebagai akibat lambat atau sangat
lambatnya laju pengeluaran dibandingkan laju penyerapan (Aiache,1993).
2.1.3
Metabolisme
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi lalu
diangkut melalui sistem pembuluh porta (vena portae), yang merupakan suplai
darah utama dari daerah lambung usus ke hati. Dalam hati, seluruh atau sebagian
obat mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan hasil perubahannya
(metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif, dimana proses ini disebut proses
diaktivasi atau bioinaktivasi (pada obat dinamakan first pass effect). Tapi
adapula obat yang khasiat farmakologinya justru diperkuat (bioaktivasi), oleh
karenanya reaksi-reaksi metabolisme dalam hati dan beberapa organ lain lebih
tepat disebut biotransformasi (Tjay dan Rahardja, 2002).
Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu
induksi enzim yang dapat meningkatkan kecepatan biotransformasi. Selain itu
inhibisi enzim yang merupakan kebalikan dari induksi enzim, biotranformasi obat
diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat, menimbulkan efek
menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga berpengaruh
terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh sistem
enzim yang sama (contoh alkohol dan barbiturat). Perbedaan individu juga
berpengaruh terhadap metabolisme karena adanya genetic polymorphism, dimana
seseorang mungkin memiliki kecepatan metabolisme berbeda untuk obat yang sama
(Hinz, 2005).
Bila obat diberikan per oral, maka availabilitas
sistemiknya kurang dari 1 dan besarnya bergantung pada jumlah obat yang dapat
menembus dinding saluran cerna (jumlah obat yang diabsorpsi) dan jumlah obat
yang mengalami eliminasi presistemik (metabolisme lintas pertama) di mukosa
usus dan dalam hepar (Setiawati,2005).
Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever
(hepar) sebelum masuk ke dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya
otak, jantung, paru-paru dan jaringan lainnya). Di dalam lever terdapat enzim
khusus yaitu sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi bentuk
metabolitnya. Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan
dengan cepat diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat dan lain-lain.
Hal ini akan secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat
yang mengalami first pass metabolism akan kurang bioavailabilitasnya sehingga
efek yang di hasilkan juga berkurang (Hinz, 2005).
Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu
Nonsynthetic Reactions (Reaksi Fase I) dan Synthetic Reaction (Reaksi Fase II).
Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, hidrolisa, alkali, dan
dealkilasi. Metabolitnya bisa lebih aktif dari senyawa asalnya. Umumnya tidak
dieliminasi dari tubuh kecuali dengan adanya metabolisme lebih lanjut. Reaksi
fase II berupa konjugasi yaitu penggabungan suatu obat dengan suatu molekul
lain. Metabolitnya umumnya lebih larut
dalam air dan mudah diekskresikan (Hinz, 2005). Metabolit umumnya merupakan suatu bentuk yang
lebih larut dalam air dibandingkan molekul awal. Perubahan sifat fisiko kimia
ini paling sering dikaitkan dengan penyebaran kuantitatif metabolit yang dapat
sangat berbeda dari zat aktifnya dengan segala akibatnya. Jika metabolit ini
merupakan mediator farmakologik, maka akan terjadi perubahan, baik berupa peningkatan
maupun penurunan efeknya (Aiache, 1993).
2.1.4
Eksresi
Pengeluaran
obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air
seni disebut ekskresi. Lazimnya tiap obat diekskresi berupa metabolitnya dan hanya
sebagian kecil dalam keadaan asli yang utuh. Tapi adapula beberapa cara lain yaitu
melalui kulit bersama keringat, paru-paru melalui pernafasan dan melalui hati
dengan empedu (Tjay dan Rahardja, 2002). Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya
tergantung pada kecepatan metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini menentukan
kecepatan eliminasi obat yang dinyatakan dengan pengertian plasma half-life
eliminasi (waktu paruh) yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam plasma pada
fase eliminasi menurun sampai separuhnya. Kecepatan eliminasi obat dan plasma t1/2-nya
tergantung dari kecepatan biotransformasi dan ekskresi. Obat dengan metabolisme
cepat half lifenya juga pendek. Sebaliknya zat yang tidak mengalami
biotransformasi atau yang resorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan sendirinya
t1/2- nya panjang
(Waldon, 2008).
AKTIVITAS BIOLOGIS SENYAWA SERI HOMOLOG
Pada beberapa seri homolog senyawa sukar terdisosiasi,
yang perbedaan struktur hanya menyangkut perbedaaan jumlah dan panjang rantai
atom C, intensitas aktivitas biologisnya tergantung pada jumlah atom C.
Contoh
senyawa seri homolog:
1.
n-Alkohol,
alkilresorsinol, alkilfenol, dan alkilkresol (antibakteri)
2.
Ester asam
para-amonibenzoat (anestesi setempat)
3.
Alkil
4,4-stilbenediol (hormon estrogen)
Makin panjang rantai samping atom C, makin bertambah
bagian molekul yang bersifat non polar dan terjadi perubahan sifat fisik,
seperti kenaikan titik didih, berkurangnya kelarutan dalam air, meningkatnya
koefisien partisi lemak/air, tegangan permukaan dan kekentalan. Perubahan sifat
fisik ini diikuti dengan peningkatan aktivitas biologis sampai tercapainya
aktivitas maksimum. Bila panjang rantai atom C terus ditingkatkan akan terjadi
penurunan aktivitas secara drastis. Hal ini disebabkan dengan makin
bertambahnya jumlah atom C, makin berkurang kelarutan senyawa dalam air, yang
berarti kelarutan dalam cairan luar sel juga berkurang, sedang kelarutan
senyawa dalam cairan luar sel berhubungan dengan proses transpor obat ke tempat
aksi atau reseptor. Oleh karena itu kelarutan dan koefisien partisi lemak/air
merupakan sifat fisik penting senyawa seri homolog untuk menghasilkan aktivitas
biologis. Hal diatas digambarkan dalam bentuk grafik oleh Ferguson, dengan
memplot log kadar toksi terhadap dua mikroorganisme dan log kelarutan dari
n-alkohol,
Contoh seri
homolog:
Seri homolog
n-alkohol
Seri homolog n-alifatik primer, pada jumlah atom C1-C7
menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap Bacillus typhosusyang
semakin meningkat dan mencapai maksimum pada jumlah atom C=8 (oktanol). Hal ini
disebabkan makin panjang rantai ataom C, makin bertambah bagian molekul yang
bersifat non polar, koefisien partisi lemak/air meningkat, penembusan senyawa
membran bakteri meningkat, sehingga aktivitas antibakterijuga meningkat, sampai
tercapai aktivitas maksimum. Pada jumlah atom C lebih besar 8, aktivitas
menurun secara drastis. Hal ini disebabkan senyawa mempunyai kelarutan dalam
air sangat kecil, yang berarti senyawa praktis tidak larut dalam cairan luar
sel, sedang kelarutan senyawa dalam cairan luar sel berhubungan dengan proses
transpor obat ke tempat aksi atau reseptor. Terhadap Staphylococcus aureus
aktivitas mencapai maksimum pada jumlah atom C=5 (amilalkohol). Rantai alkohol
yang bercabang, seperti alkohol sekunder dan tersier, mempunyai kelarutan dalam
air lebih besar, nilai koefisien partisi lemak/air lebih rendah dibandingkan
alkohol primer sehingga aktivitas antibakterinya lebih kecil.
Seri homolog
4-n-alkilresorsinol
Aktivitas antibakteri seri homolog 4-n-alkilresorsino
terhadap Bacillus typhosus mencapai maksimum pada jumlah atom C=6,
yaitu 4-n-heksilresorsinol (pada Gambar), sedang terhadap Staphylococcus
aureus aktivitas mencapai maksimum jumlah atom C=9,(4-n-nonil-resorsinol).
Hal tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan sensitivitas dari senyawa seri
homolog terhadap kuman yang berbeda.
Seri homolog
ester asam para-hidroksibenzoat
Hubungan perubahan struktur seri homolog ester asam
para-hidroksibenzoat (PHB),dengan nilai koefisein partisi lamak/air dan
aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dapat
dilihat pada tabel.
Ester PBH
|
Koefisien Partisi
|
Koefisien Fenol terhadap Staphylococcus aureus
|
Metil
Etil
n-Propil
Isopropil
Alil
n-Butil
Benzil
|
1,2
3,4
13
7,3
7,6
17
119
|
2,6
7,1
15
13
12
37
83
|
Dari tabel terlihat bahwa turunan Isopropil dan alil
mempunyai koefisein fenol yang lebih rendah dibandingkan turunan n-propil,
karena adanya percabangan dan ikatan rangkap akan menurunkan nilai koefisien
partisi lemak/air, penembusan membran bakteri menjadi menurun, sehingga
aktivitas antibakterinya juga menurun. Juga terlihat bahwa makin besar nilai
koefisien partisi lemak/air, makin meningkat aktivitas antibakteri senyawa, dan
belum mencapai keadaan optimum.
HUBUNGAN KOEFISIEN PARTISI DENGAN EFEK ANESTESI
SISTEMIK
Koefisien partisi pertama kali dihubungkan dengan
aktivitas biologis, yaitu efek hipnotik dan anestesi, obat-obat penekan sistem
saraf pusatoleh Overton dan Mayer (1899). Mereka memberikan tiga postulat yang
berhubungan dengan efek anestesi suatu senyawa, yang dikenal dengan teori lemak, sebaga berikut:
a.
Senyawa kimia yang tidak reaktif dan mudah larut dalam
lemak, seperti eter,hidrokarbon dan hidrokarbon terhalogenasi, dapat memberikan
efek narkosis pada jaringan hidup sesuai dengan kemampuannya untuk
terdistribusi ke dalam jaringan sel.
b.
Efek terlihat jelas terutama pada sel-sel yang banyak
mengandung lemak, seperti saraf pusat.
c.
Efisiensi anestesi atau hipnotik tergantung pada
koefisien partisi lemak/air atau distribusi senyawa dalam fasa lemak dan fasa
air jaringan.
Dari postulat di atas disimpulkan bahwa ada hubungan
antara aktivitas anestesi dengan koefisien partisi lemak/air. Teori lama hanya
mengemukakan afinitas suatu senyawa terhadap tempat aksi untuk reseptor saja,
dan tidak menunjukkan bagaimana mekanisme kerja biologisnya dan juga tidak
dapat menjelaskan mengapa suatu senyawa yang mempunyai koefisien partisi
lemak/air tinggi tidak selalu dapat menimbulkan efek anestesi. Teori anestesi
diatas kemungkinan dilengkapi dengan teori-teori anestesi sistemik lain, yang
berdasarkan sifat fisik yang lain yaitu ukuran molekul (teori Wulf-Featherstone) dan
pembentukan mikrokristal hidrat (teori Pauling).
2.4
PRINSIP FERGUSON
Banyak senyawa kimia dengan struktur berbeda tetapi
mempunyai sifat fisik yang sama, sepert eter,kloroform dan nitrogen oksida,
dapat menimbulkan efek narkosis atau anestesi sistemik. Hal ini menunjukkan
bahwa sifat fisik lebih berperan dibandingkan sifat kimia. Dari percobaan
diketahui bahwa efek anestesi cepat terjadi dan dipertahankan pada tingkat yang
sama asalkan ada cadangan obat dalam cairan tubuh. Bila cadangan itu habis maka
efek anestesi segara berakhir. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada keseimbangan
kadar obat pada fasa eksternal atau cairan luar sel dan biofasa, yaitu fasa
pada tempat aksi obat dalam organisme. Pada banyak senyawa seri homolog
aktivitas akan meningkat sesuai dengan kenaikan jumlah atom C.
Fuhner (1904),
mendapatkan bahwa untuk mencapai aktivitas sama, anggota seri homolog yang lebh
tinggi memerlukan kadar lebih rendah, sesuai parsamaan deret ukur sebagai
berikut:
1/31,1/32,1/33,1/34,......1/3n
Hal tersebut
terjadi pada seri homolog obatpenekan sistem saraf pusat, seperti turunan
alkohol,keton, amin, ester, uretan dan hidrokarbon. Perubahan sifat fisik
tertentu dari suatu seri homolog , seperti tekanan uap, kelarutan dalam air,
tegangan permukaan dan distribusi dalam pelarut yang saling tidak campur,
kadang-kadang juga sesuai dengan deret ukur. Nilai logaritma sifat-sifat fisik
non-alkohol primer bila dihubungkan dengan jumlah atom C ternyata memberikan
hubungan yang linier
Menurut Ferguson,
kadar molar toksik sangat ditentukan oleh keseimbangn distribusi pada
fasa-fasa yang heterogen, yaitu fasa eksternal, yang kadar senyawanya dapat
diukur dan biofasa. Farguson menyatakan bahwa sebenarnya tidak perlu menentukan
kadar obat biofasa atau reseptor karena pada keseimbangan kecenderungan obat
untuk meninggalkan biofasa dan fasa eksternal adalah sama, walaupun kadar obat
dalam masing-masing fasa mungkin berbeda. Kecenderungan obat untuk meninggalkan
fasa disebut aktivitas termodinamik.
Untuk
menjelaskan kecenderungan obat dalam meninggalkan biofasa dan fasa eksternal,
derajat kejenuhan masing-masing fasa merupakan pendekatan yang cukup beralasan.
Aktivitas termodinamik (a) dari obat yang berupa gas atau uap dapat dihitung
melalui persamaan sebagai berikut:
a=Pt/Ps
Ket :
Pt :
tekanan persial senyawa dalam larutan, yang diperlukan untuk menimbulkan efek
biologis
Ps
: tekanan uap jenuh senyawa
Aktivitas
termodinamik (a) dari obat yang berupa larutan dapat dihitung melalui persamaan
sebagai berikut:
a= St/S0
Ket :
St
: kadar molar senyawa yang diperlukan untuk menimbulkan efek biologis
S0
: kelarutan senyawa
Karena harga Ps dan So tetap
maka dimungkinkan untuk menentukan dan mengamati perubahan Pt dan St.
Bila senyawa mempunyai tekanan parsial tinggi atau kadar dalam fasa eksternal
tinggi maka perbandingan Pt/Ps dan St/S0
besar, biasanya berkisar antara 1-0,01, hal ini berarti senyawa didistribusikan
ke seluruh organisme tanpa diikat secara tetap dalam sel dan keseimbangan
terjadi pada fasa eksternal dan biofasa. Demikian pula sebaliknya nila
perbandingan Pt/Ps atau St/S0 rendah,
biasanya kurang dari 0,01, senyawa akan terikat pada reseptor tertentu dalam
sel organisme dan keseimbangan anatara obat dan reseptor terjadi pada sel atau
di dalamnya. Contoh hubungan penghambat enzim suksinat dehidrogenase oleh
beberapa senyawa dengan aktivitas termodinamik dapat dilihat pada tabel ini.
Tabel :
Penghambat enzim suksinat dehidrogenase dan aktivitas termodinamik
Senyawa
|
Kadar molar yang menyebabkan penghambat 50% masukan
oksigen
|
Aktivitas termodinamik
|
1.
Etiluretan
2.
Feniluretan
3.
Propionitril
4.
Valeronitril
5.
vanilin
|
0,65
0,003
0,48
0,08
0,011
|
0,117
0,20
0,24
0,36
0,0002
|
Pada tabel terlihat hubungan bahwa senyawa 1 sampai 4,
menunjukkan aktivitas termodinamik yang lebih besar dari 0,01 dan aktivitas
biologis dihasilkan oleh sifat kimia fisika dari senyawa dan struktur senyawa
bersifat tidak spesifik. Vanilin mempunyai nilai aktivitas termodinamik sangat
rendah, lebih kecil dari 0,01 dan diduga aktivitas biologisnya dihasilkan oleh
struktur kimia obat yang spesifik. Berdasarkan model kerja farmakologisnya,
secara umum obat dibagi menjadi dua golongan yaitu senyawa berstruktur tidak
spesifik dan senyawa berstruktur spesifik.
Senyawa Berstruktur Tidak Spesifik
Senyawa berstruktur tidak spesifik adalah senyawa
dengan truktur kimia bervariasi, tidak berinteraksi dengan reseptor spesifik,
dan aktivitas biologisnya tidak secara langsung dipengaruhi oleh struktur kimia
tetapi lebih dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia fisika, seperti derajat
ionisasi, kelarutan, aktivitas termodinamik, tegangan permukaan dan redoks
potensial. Terlihat bahwa efek biologis karena akumulasi obat pada daerah yang
penting dari sel sehingga menyebabkan ketidakteraturan rantai proses
metabolisme. Senyawa berstruktur tidak spesifik menunjukkan aktivitas fisik denga
karakteristik sebagai berikut:
a.
Efek biologis berhubungan langsung dengan aktivitas
termodinamik, dan memerlukan dosis yang relatif besar.
b.
Walaupun perrbedaan struktur kimia besar, asal
aktivitas termodinamik hampir sama akan memberikan efek yang sama.
c.
Ada keseimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa
eksternal.
d.
Bila terjadi keseimbangan, aktivitas termodinamik
masing-masing fasa harus sama.
e.
Pengukuran aktivitas termodinamik pada fasa ekternal
juga mencerminkan aktivitas termodinamik biofasa.
f.
Senyawa dengan derajat kejenuhan yang sama, mempunyai
aktivitas termodinamik sama sehingga derajat efek biologis sama pula. Oleh
karena itu larutan jenuh dari senyawa dengan sruktur yang berbeda dapat
memberikan efek biologis yang sama.
Obat
anestesi sistemik
Yang berupa gas atau uap, seperti etil klorida,
asetilen, nitrogen oksida, eter dan kloroform. Kadar isoanestesi bervariasi
antara 0,05-100% sedang aktivitas termodinamik variasinya berkisar anatara
0,01-0,05% seperti pada tabel berikut:
Tabel : Hubungan kadar isoanestesi
beberapa obat anestesi, yang berupa uap atau gas, dengan aktivitas
termodinamik, pada manusia (pada suhu 37°C).
Nama Gas/Uap
|
P uap (Ps) mm
|
Kadar Anestesi
|
P parsial (Pt) mm
|
(a)
(Pt/Ps)
|
Nitrogen
Oksida
Etilen
Asetilen
Etil Klorida
Etil eter
Vinil eter
Etil
bromida
Kloroform
|
59.300
49.500
51.700
1.780
830
760
725
324
|
100
80
65
5
5
4
1,9
0,5
|
760
610
495
38
38
30
14
4
|
0,01
0,01
0,01
0,02
0,05
0,01
0,02
0,01
|
2.3.3 Insektisida
Yang mudah menguap dan bakterisida tertentu, seperti
timol, fenol, kresol, n-alkohol dan resorsinol
Contoh : hubungan kadar bakterisid
dari beberapa insektisida yang mudah menguap terhadap Salmonella typhosa dengan
aktivitas termodinamik pada tabel berikut:
Nama Obat
|
Kadar bakterisid (St) Molar
|
Kalarutan (So) molar, 25°C
|
(a)
(St/So)
|
Timol
Oktanol
o-Kresol
Fenol
Anilin
Sikloheksanol
Metilpropilketon
Metiletilketon
Butiraldehid
Propaldehid
Resorsinol
Aseton
Matanol
|
0,0022
0,0034
0,039
0,097
0,17
0,18
0,39
0,25
0,39
1,08
3,09
3,89
10,8
|
0,0057
0,004
0,23
0,90
0,40
0,38
0,70
3,13
0,51
2,88
6,08
-
-
|
0,38
0,88
0,17
0,11
0,44
0,47
0,56
0,40
0,76
0,37
0,54
0,40
0,33
|
Pada tabel ini terlihat bahwa seri homolog n-alkohol
primer kadar antbakteri dari metanol sampai oktanol berkisar antara 10,8-0,0034
molar sedang aktivitas termodinamiknya antara 0,33-0,88. Dengan membandingkan
nilai St dan So dari metanol dan oktanoldapat diketahui
bahwa obat yang aktivitasnya tinggi mempunyai kelarutan dalam air rendah atau
kelarutan dalam lemak besar.
Senyawa Berstruktur Spesifik
Senyawa berstruktur spesifik adalah senyawa yang
memberikan efeknya dengan mengikat reseptor atau aseptor yang spesifik.
Mekanisme
kerjanya dapat melalui salah satu cara berikut ini:
a.
Bekerja pada enzim, yaitu dengan cara pengaktifan, penghambatan
atau pengaktifan kembali enzim-enzim tubuh.
b.
Antagonis, yaitu antagonis kimia, fungsional,
farmakologis atau antagonis metabolik.
c.
Menekan
fungsi gen, yaitu dengan menghambat biosintesis asam nukleat atau sintesis
protein.
d.
Bekerja pada membran, yaitu dengan mengubah membran
sel dan mempengaruhi sistem transpor membran sel.
Aktivitas biologis senyawa berstruktur spesifik tidak
bergantung pada aktivitas termodinamik, nilai a lebih kecil dari 0,01 , tetapi
lebih bergantung pada struktur kimia yang spesifik. Kereaktifan kimia, bentuk,
ukuran, dan pengaturan stereokimia molekul, distribusi gugus fungsional, efek
induksi dan resonansi, distribusi elektronik dan interaksi dengan reseptor
mempunyai eran yang menentukan untuk terjadinya aktivitas biologis.
Senyawa
berstruktur spesifik mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a.
Efektif pada kadar yang rendah.
b.
Melibatkan
keseimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal.
c.
Melibatkan ikatan-ikatan kimia yang lebih kuat
dibandingkan ikatan pada senyawa yang berstruktur tidak spesifi.
d.
Pada keadaan
kesetimbangan aktivitas biologisnya maksimal.
e.
Sifat fisik dan kimia sama-sama berperan dalan
menentukan efek biologis.
f.
Secara umum mempunyai struktur dasar karakteristik
yang bertanggung jawab terhadap efek biologis senyawa analog.
g.
Sedikit perubahan struktur dapat mempengaruhi secara
drastis aktivitas biologis obat
Contoh obat berstruktur spesifik antara lain :
Analgesik (morfin), antihistamin (difenhidramin), diuretika penghambat monoamin
oksidase (asetazolamid) dan β – adrenergik (salbutamol). Pada senyawa
berstruktur spesifik sedikit perubahan struktur kimia dapat berpengaruh
terhadap aktivitas biologisnya.
Perbedaan antara senyawa berstruktur spesifik dan
nonspesifik tidak cukup dipandang dari satu atau dua perbedaan
karakteristik senyawa tetapi harus dipandang sifat atau karakteristik secara
keseluruhan. Sering pada obat tertentu tidak mempunyai struktur yang mirip
tetapi menunjukkan efek farmakologis yang sama, dan perubahan sedikit struktur
tidak mempengaruhi efek. Sebagai contoh adalah obat diuretik yang mempunyai
struktur kimia sangat bervariasi, contoh turunan merkuri organik, turunan
sulfamid, turunan tiazid, dan spironolakton. Sedikit modifikasi struktur tidak
mempengaruhi aktivitas diuretik dari masing-masing turunan. Ini merupakan salah
satu karakteristik dari senyawa berstruktur spesifik.
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa obat diuretik
menghasilkan respons farmakologis yang sama tetapi masing-masing turunan
mempengaruhi proses biokimia yang berbeda, jadi mekanisme aksinya berbeda.
Turunan merkuri organik, seperti klormerodrin, bekerja sebagai
diuretik dengan mengikat gugus SH enzim Na, K-dependent ATP-ase, yang
bertanggung jawab terhadap produksi energi yang diperlukan untuk reabsorpsi Na
di membran tubulus, turunan sulfamid, seperti asetazolamid, bekerja dengan menghambat enzim karbonik anhidrase,
turunan tiazid seperti hidroklorotiazid,
menghambat reabsorpsi Na tubulus ginjal, dan spironolakton bekerja sebagai antagonis aldosteron, senyawa yang
mengatur keseimbangan elektrolit dalam tubuh.
Fenomena di atas menunjang pengertian bahwa mekanisme
aksi obat pada tingkat molekul dapat melalui beberapa jalan, dan ini memberikan
penjelasan mengapa obat dengan tipe struktur berbeda dapat menunjukkan respons
farmakologis yang sama. Sebanarnya sulit memisahkan antara senyawa berstruktur
tidak spesifikdan spesifik karena banyak senyawa yang berstruktur spesifik, seperti
antibiotika turunan penisilin, tidak berinteraksi secara spesifik dengan
reseptor pada tubuh manusia, tetapi beinteraksi dengan reseptor spesifik yang
terlibat pada proses pembentukan dinding sel bakteri. Jadi aktivitas
antibakterinya terutama ditentukan oleh sifat kimia fisika seperti sifat
lipofilik dan elektronik yang berperan pada proses distribusi obat sehingga
senyawa dapat mencapai jaringan target dengan kadar yang cukup besar.
Penulis :
FATH YUNIKA LESTARI
Mahasiswi UMRI
DAFTAR
PUSTAKA
Aiache, J.M.
(1993). Farmasetika 2 Biofarmasi.
Edisi ke-2. Penerjemah: Dr. Widji Soeratri. Surabaya: Penerbit Airlangga
University Press. Hal. 7.
Mutschler,
E., 1991, Dinamika Obat, Edisi V,
diterjemahkan oleh Widianto M.B., dan Rantai, A.S., 623-625, Penerbit TA
Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Setiawati,
A. (2007). Farmakokinetik Klinik.
Dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Penerbit Bagian farmakologi
Fakultas Kedokteraan UI.
Siswandono.
2009. Hubungan Struktur, Kelarutan Dan
Aktivitas Biologis Obat. Laboratorium Kimia Medisinal.
Tjay, T.H.,
Rahardja, K. (2002). Obat-obat Penting :
Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi VI. Jakarta: Penerbit
PT. Elex Media Komputindo.
Waldon, D.J.
(2008). Pharmacokinetic and Drug
Metabolism. Cambridge: Amgen, Inc.,
One Kendall Square, Building 1000, USA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar