Google ads

Selasa, 20 Oktober 2015

“Ikatan Kimia Pada Interaksi Obat Dengan Reseptor”



Respon biologis merupakan akibat interaksi molekul obat dengan gugus fungsional molekul reseptor. Interaksi ini dapat berlangsung karena kekuatan ikatan kimia tertentu. Tipe ikatan kimia yang terlibat dalam  interaksi obat reseptor antara lain adalah ikatan- ikatan kovalen, ion-ion yang saling memperkuat (reinforce ions), ion (elektrostatik), hidrogen, ion- dipol,dipol- dipol, van der waal’s, ikatan hidrofob, dan transfer  muatan.
Pada umumnya ikatan obat reseptor bersifat reversible sehingga obat segera meninggalkan reseptor bila kadar obat dalam cairan  luar sel menurun. Untuk ini ikatan yang terlibat dalam  interaksi obat-reseptor harus relatif  lemah  tetapi masih cukup kuat untuk berkompetisi dengan lain-lain ikatan dengan tempat kehilangan . Pada interaksi obat dengan  reseptor, senyawa dapat menggabungkan beberapa ikatan yang lemah, seperti ikatan hidrogen, ion, ion-dipol, dipol-dipol, transfer  muatan, hidrofob, dan ikatan van der Wall’s, sehingga secara total menghasilkan ikatan yang cukup kuat dan stabil. Untuk suatu tujuan tertentu, misal diinginkan efek berlangsung lama dan  ireversibel, seperti pada obat antibakteri dan antikanker, diperlukan ikatan yang lebih kuat yaitu ikatan kovalen.
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat berubah akibat adanya obat lain, makanan atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki atau efek yang tidak dikehendaki yang lazimnya menyebabkan efek samping obat atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat didalam plasma, atau sebaliknya menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal (Gitawati, 2008)

2.2. Interaksi obat- reseptor
Tipe ikatan kimia yang terlibat dalam interaksi obat reseptor antara lain adalah ikatan kovalen, ikatan ion-ion (reinforce ions), ikatan ion (elektrostatik), ikatan hidrogen, ikatan ion-dipol, ikatan dipol-dipol, ikatan van der waal’s, ikatan  hidrofob dan transfer muatan.
2.2.1.      Ikatan Kovalen
Ikatan  kovalen terbentuk bila ada dua atom saling menggunakan sepasang elektron secara bersama-  sama. Ikatan ini merupakan ikatan yang paling kuat dengan rata rata kekuatan ikatan 100 kkal/mol. Pada suhu normal ikatan bersifat ireversibel dan hanya dapat pecah bila ada pengaruh katalisator enzim tertentu. Umumnya ikatan ini digunakan untuk tujuan terapi tertentu.
Contoh Obat yang mekanisme kerjanya melibatkan ikatan kovalen diantaranya :
1.Turunan Nitrogen Mustar
 Turunan ini merupakan senyawa pengalkilasi yang pada umumnya digunakan sebagai obat antikanker. Contoh obat: mekloretamin, siklofosfamid,klorambusil dan tiotepa. Adapun mekanisme kerja obat turunan nitrogen mustar  yaitu senyawa melepaskan ion Cl- membentuk kation antara yang tidak stabil yaitu ion etilen imonium, diikuti pemecahan cincin membentuk ion karbonium yang bersifat reaktif.

Ion ini dapat bereaksi melalui reaksi alkilasi dengan gugus-gugus donor elektron, seperti gugus-gugus karboksilat, fosfat dan sulfhidril pada struktur asam amino, asam nukleat dan protein yang sangat dibutuhkan untuk proses biosintesis sel. Akibatnya pembentukan sel menjadi terganggu dan pertumbuhan sel kanker dihambat.


1.      Turunan antibiotika beta laktam
Turunan ini seperti obat golongan penisilin dan sefalosporin yang mengandung cincin beta lactam  yang merupakan senyawa pengasilasi kuat dan mempunyai kespesifikan tinggi terhadap gugus amino serin dari enzim transpeptidase yaitu enzim yang mengkatalisis tahap akhir sintesis dinding sel. Reaksi asilasi ini menyebabkan kekuatan dinding sel bakteri menjadi lemah dan mudah terjasi lisis sehingga bakteri mengalami kematian.


3. Senyawa organofosfat
Senyawa organofosfat suatu insektisida dapat berinteraksi dengan gugus serin yang merupakan bagian fungsional dari sisi aktif enzim asetilkolinesterase.Sehingga dapat menyebabkan penumpukann asetilkolin yang bersifat toksik pada serangga.
           

Diisopropilfluorofosfat (DFP) bersifat toksik dan dapat berinteraksi dengan enzim asetilkolinesterase, baik pada manusia maupun serangga, sehingga jarang digunakan sebagai insektisida. Namun DFP masih banyak digunakan sebagai miotik dengan masa kerja yang panjang untuk pengobatan glaucoma. Sedangkan malation bersifat sangat khas terhadap enzim asetilkolinesterease serangga, sehingga banyak digunakan dalam bidang pertanian sebagai insektisida.



4. Senyawa asam organik dan Hg organik
Turunan As-organik yang digunakan sebagai antibakteri, seperti salvarsan dan karbarsan, dan turunan Hg-organik, seperti merkaptomerin dan klormerodrin. Obat diuretik, dapat mengikat gugus sulfhidril dari enzim atau sisi reseptor, membentuk ikatan kovalen, dan menghasilkan hambatan yang bersifat ireversibel sehingga enzim tidak dapat bekerja normal.

Gambar 5. Reaksi antara asam organic dan Hg organic dengan gugus sulfhidril enzim

5. Senyawa etakrinat
Asam etakrinat merupakan senyawa diuretik, strukturnya mengandung gugus α, β-keton tidak jenuh, dapat membentuk ikatan  kovalen dengan gugus SH dari enzim yang bertanggung jawab terhadap produksi energi yang diperlukan untuk penyerapan kembali ion Na+ ditubulus renalis. Ion Na+ yang tidak diserap kembali, kemudian dikeluarkan dengan diikuti sejumlah air sehingga terjadi efek diuresus.
           
           
2.2.2. Ikatan Ion- Dipol Dan Dipol- Dipol
   Adanya perbedaan keelektronegatifan atom c dengan atom yang lain seperti o dan n, akan membentuk distribusi elektron tidak simetrik atau dipol, yang mampu membentuk ikatan dengan ion atau dipol lain, baik yang mempunyai daerah kerapatan elektron tinggi maupun yang rendah. Gugus-gugus yang bmempunyai fungsi dipolar antara lain gugus karbonil, ester, amida, eter, dan nitril.gugus tersebut sering didapatkan pada senyawa yang berstruktur khas.



Contoh pada interaksi ini, yaitu turunan metadon senyawa narkotik analgesik, strukturnya mengandung gugus n-basa dan karbonil yang dalam larutan dapat membentuk siklik akibat adanya daya tarik menarik dipol-dipol.


Bila gugus C=O dihilangkan atau diganti dengan gugus lain, misalnya CH2, aktivitas analgesiknya akan hilag. Hal ini disebabkan oleh hilangnya daya tarik menarik dipole- dipole dan kemampuan membentuk siklik, sehingga senyawa tidak dapat berinteraksi secara serasi dengan reseptor analgesik.

2.2.3. Ikatan Hidrogen
   Ikatan hidrogen adalah suatu ikatan antara atom H yang mempunyai muatan positif parsial dengan atom lain yang bersifat elektronegatif dan mempunyai sepasang elektron bebas dengan oktet lengkap seperti O, N, F. Atom yang bermuatan positif parsial dapat berinteraksi dengan atom negatif parsial dari molekul atau atom lain yang berbeda ikatan kovalennya dalam satu molekul.
Ikatan hidrogen dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Ikatan hidrogen intramolekul yaitu ikatan yang terjadi dalam satu molekul.
b.       Ikatan hidrogen intermolekul, yaitu ikatan hidrogen yang terjadi antar molekul-molekul.
c.        Kekuatan  ikatan intermolekul lebih lemah dibanding ikatan intramolekul. Ikatan hidrogen dapat mempengaruhi sifat-sifat kimia, fisika senyawa seperti titik didih, titik lebur, kelarutan dalam air, kemampuan pembentukan kelat dan keasaman. Adapun contohnya, yaitu:
1.      Turunan pirazolon
1-fenil-3-metil-5-pirazolon mempunyai ikatan hidrogen intermolekul dan dapat membentuk polimer linier dan menghasilkan tenaga ikat antar molekul yang besar.
2.      Turunan asam hidroksibenzoat
   Asam orto-hidroksibenzoat mempunyai ikatan hidrogen intramolekul dan secara efektif mengurangi aktivitas gugus OH dan COOH terhadap molekul air sehingga kelarutan dalam air menurun. Bentuk orto mempunyai keasaman lebih tinggi dan kemampuan membentuk kelat lebih besar dibandingkan bentuk meta dan para. Bentuk meta dan para hidroksibenzoat dapat membentuk ikatan hidrogen intermolekul sehingga mempunyai kelarutan dalam air lebih besar dibandingkan bentuk orto. Perubahan sifat kimia fisika tersebut berpengaruh terhadap aktivitas analgesik dan antibakteri turunan hidroksi benzoat.

3.      Turunan ester asam hidroksibanzoat
Metil ester orto-hidroksibenzoat (metil salisilat) dapat membentuk ikatan hidrogen intramolekul, gugus hidroksi fenol terlindung sehingga efek antibakterinya lemah. Metil ester para-hidroksibenzoat (nipagin) dapat membentuk ikatan hidrogen intermolekul. Penggabungan melalui ikatan hidrogen dapat membentuk senyawa dimer dengan gugus hidroksi fenol masih bebas sehingga senyawa dapat berfungsi sebagai antibakteri.

4.      Turunan benzotiadiazin dan sulfamilbenzoat
Obat diuretik turunan benzotiadiazin seperti klorotiazid, hidroklorotiazid dan hidroflumetiazid serta turunan sulfamilbenzoat seperti furosemide dan klortalidon dapat memberikan efek diuretik karena mengandung gugus sulfamil bebas yang mampu menduduki sisi aktif enzim sehingga dapat menghambat enzim karbonik anhydrase melalui mekanisme penghambatan bersaing.
Ikatan  hidrogen memegang peranan penting pada proses reproduksi sel. Ikatan hidrogen juga membantu kestabilan konformasi α-heliks peptida- peptida dan interaksi pasangan basa khas seperti purin dan pirimidin pada ADN. Obat antikanker tertentu seperti golongan senyawa pengalkilasi, dapat mengalkilasi pasangan basa ADN dan mencegah pembentukan ikatan hidrogen sehingga replikasi normal dari ADN tidak terjadi. Senyawa pengalkilasi dapat mengikat asam nukleat dan protein secara ireversibel sehingga dapat menghambat proses biosintesis protein sel dan berfungsi sebagai obat antikanker. Contoh: mekloretamin, klorambusil, melfalam, siklofosfamid, busulfan, tiotepa, antibiotika bleomisin dan mitomisin C.
           

2.2.4. Ikatan Van Der Waals
            Ikatan van der Waals terdapat diantara semua atom , bahkan atom gas mulia, dan didasarkan atas keterpolaran- pengimbasan asimetri dalam awan electron atom oleh inti atom tetangganya (yaitu muatan positif). Ini setara dengan pembentukan terimbas oleh suatu dipole. Namun, meskipun antaraksi sipol- dipole terimbas itu membentuk tarikan setempat sementara antara kedua atom itu, antaraksi nonkovalen ini berkurang sangat cepat. Setiap ikatan van der Waals memberikan energy yang sangat rendah bagi suatu sistem, tetapi sebagian besar gaya van der Waals dapat menumpuk menjadi energy yang sangat besar. Dalam membrane fosfolipid, pada ekor hidrokarbon bagian lipidnya, gugus-gugus –CH2 saling tarik dengan kekuatan kira-kira 33 Kj/mol, asalkan mereka bertindihan rapat.
Jika ekor fosfolipid ini dipisahkan seccara paksa dengan ikatan rangkap cis atau dengan rantai alkil bercabang, gaya tarik menarik ini turun sampai 10-12 kJ/mol. Substituent lipofil polar sangat meningkatkan antaraksi van der Waals. Jadi, hidrokarbon terhalogenasi seperti halotan atau metoksifluran merupakan anestetika yang lebih mampu dibandingkan dengan xenon atau siklopropan yang nonpolar, karena terikat lebih baik pada lipid jaringan saraf (Nogrady, 1992).
Intensitas iktan van der Waals (V) dapat dihitung melalui persamaan sebagai berikut:

V= -A + B
      r6   r12
Dimana :
A dan B tetapan khas struktur elektronik atom
r adalah jarak yang memisahkan dua pusat atom
            Meskipun secara individu lemah tetapi hasil penjumlahan ikatan van der Waals merupakan faktor pengikat yang cukup bermakna, terutama untuk senyawa yang mempunyai BM tinggi. Ikatan van der Waals terlibat pada interaksi cincin benzene dengan daerah bidang datar reseptor dan pada interaksi rantai hidrokarbon dengan makromolekul protein atau reseptor.

2.2.5. Ikatan Ion
            Ikatan ion terbentuk diantara ion- ion bermuatan berlawanan. Antaraksi elektrostatiknya sangat kuat (Nogrady, 1992). Kekuatan tarik menarik akan makin berkurang bila jarak antar ion makin jau dan pengurangan tersebut berbanding ter\balik dengan jaraknya.
Energi (E) dari ikatan ion dpat dihitung melalui persamaan sebagai berikut:
E = q’ x q’’
                                                        D x r
Dimana:
q’ dan q’’ adalah muatan ion 1 dan 2
D adalah tetapan dielektrik medium
r adalah jarak antar ion
            Protein dan asam nukleat mempunyai gugus kation dan anion potensial tetapi hanya beberapa saja yang dapat terionisasi pada Ph fisiologis. Gugus kation protein berupa gugus amino yang terdapat pada asam- asam amino seperti lisin, glutamine, asparagin, arginin, glisin, dan histidin. Gugua anion protein berupa gugus karboksilat pada asam aspartat dan glutamate, gugus sulfhidril pada sistein dan metionin, gugus fosforil pada asam nukleat. Obat-obat yang mengandung gugus kation potensial, yaitu R3NH+, R4N+ dan R2C = NH2+. Gugus anion potensial, yaitu RCOO-, RSO3- dan RCOS- dapat membentuk ikatan ion dengan gugus- gugus reseptor atau protein yang muatannya berlawanan. Kemampuan interaksi gugus- gugus yang muatannya berlawanan tersebut tergantung pada susunan makromolekul reseptor.

2.2.6. Ikatan Hidrofob
            Ikatan hidrofob mempunyai peranan penting, antara lainuntuk memantapkan konformasi protein, dalam pengangkutan lipid oleh protein plasma, dan untuk mengikat steroid pada reseptornya. Konsep mengenai gaya tak langsung ini, yang untuk pertama kali diperkenalkan oleh Kauzman dalam bidang kimia protein, menerangkan juga tentang kelarutan renah hidrokarbon dalam air karena ketidakmampuannya membentuk ikatan hydrogen dengan molekul air, sehingga molekul air menjadi lebih tersusun disekitar molekul hidrokarbon, membentuk antar0muka pada tingkat molekul, yang dapat dibandingkan dengan perbatasan gas-cairan. Peningkatan struktur pelarut yang dihasilkan itu membuat tingkat penataan lebih sempurna dalam sistem tersebut dibandingkan dengan yang terdapat dalam air ruah, dan dengan demikian entropi hilang. Bila beberapa struktur hidrokarbon- apakah itu dua rantai samping protein atau molekul heksana yang terdispersi dalam air berkumpul, mereka akan ‘meremas keluar’ molekul air yang tersusun rapi diantara struktur tersebut. Karena air yang didesak tadi tidaklagi merupakan bagian daerah perbatasan, maka ia kembali ke struktur yang tidak tersusun, dan hasilnya adalah penambahan entropi. Perubahan ini cukup untuk menurunkan energy bebas pada sistem itu untuk seetiap gugus metilena, dan setara dengan ikatan karena ia mempermudah penggabungan struktur hidrofob. Biasanya, begitu rantai hidrokarbon itu cukup berdekatan, gaya van der Waals akan mempengaruhinya. Kesahihan konsep ikatan hidrofob itu akhir- akhir ini mulai dipertanyakan (Albert, 1985)
            Ikatan  hidrofobik merupakan salah satu kekuatan penting pada proses penggabungan daerah nonpolar molekul obat dengan daerah nonpolar reseptor biologis. Daerah nonpolar mol O yang tidak larut dalam air dan mol- mol air disekelilingnya, akan bergabung melalui nikatan hidroge membentuk struktur quasi crystalline bila dua daerah nonpolar, seperti gugus hidrokarbon mol O dan daerah nonpolar reseptor, bersama- sama berada dalam lingkungan air, maka akn mengalami suatu penekanan sehingga jumlah mol air yang kontak dengan daerah- daerahn nonpolar tersebut menjadi berkurang. Akibatnya, struktur quasi crystalline akan pecah menghasilkan entropi yang tinggi yang digunakan untuk isolasi struk nonpolar. Energy bebas yang tinggi ini dapat menstabilkan mol air sehingga tidak kontak dengan daerah nonpolar. Penggabungan demikian disebut sebagai ikatan hidrofob.
           

2.2.7. Alih Muatan
            Istilah ‘alih muatan’ mengacu pada antaraksi berturut-turut antara dua molekul, dapat berkisar mulai dari antaraksi dipolar donor- akseptoryang sangat lemah sampai kepada antaraksi yang menghasilkan pembentukan pasangan ion, tergantung pada tingkat pemindahan electron. Kompleks alih muatan (AM) dibentuk oleh molekul donor yang kaya electron dan akseptor yang langka electron. Yang khas adalah bahwa molekul donor merupakan senyawa heterosiklik kaya electron π (furan, pirol, tiofen) senyawa aromatic bersubstituen pemberi electron, dan senyawa yang mempunyai pasangan electron bebas yang tak berikatan. Molekul akseptor adalah sistem langka elektron π seperti purin dan pirimidin, senyawa aromatic bersubstituen penarik electron dan tetrasianoetilena. Contoh klasik pembuatan kompleks AM terjadi dalam larutan iodine (akseptor) dalam sikloheksena (donor), larutan menjadi berwarna coklat yang disebabkan oleh pergeseran spectrum absorpsinya.

Warna coklat itu bukan warna dalam arti fisik, tetapi lebih merupakan hasil pita absorpsi yang sangat lebar, meliputi kira- kira 200 nm dalam spectrum tampak, dan timbul sebagai hasil hasil perubahan elektronik dalam kompleks AM. Sebaliknya, perlu diingat kembali bahwa larutan iodine dalam CCl4 suatu pelarut lembam berwarna ungu.
            Antaraksi obat reseptor sering  melibatkan pembentukan kompleks AM. Contohnya, reaksi obat anti malaria dengan reseptornya dan reaksi beberapa antibiotika yang terselip dalam AND, pembentukan neutrotransmitter seperti norepinefrin dan serotonin dengan ATP yang tersimpan dalam sinapsis, dan mungkin lebih banyak contoh lain. Energy AM berbanding lurus dengan potensial pengionan donor dan afinitas electron reseptor, tetapi biasanya tidak lebih tinggi dari kira- kira 30 Kj/mol (Nogrady, 1992).

2.3. Interaksi farmakokinetik obat dengan reseptor
Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B)dengan satu dari dua mekanisme berikut:
1.      Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan jaringan (interaksi farmakodinamik)
2.      Mempengaruhii konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi farmakokinetik)
a.       Interaksi ini pening secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit (misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan memyebabkan kehilangan efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas)
b.      Interaksi ini peninf secara klinis mungkin karena kurva dosis- respon curam (sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan perubahan efek secara substansial).
c.       Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit besar konsentrasi plasma obat- obat yang relative tidak toksik seperti penisilin hamper tidak menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar.
d.      Sejumlah obat memiliki hubungan dosis- respon yang curam dan batas terapi yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai contohnya obat antitrombotik, antidistrimik, antiepilepsi, litium, sejumlah antineoplastik dan obat- obat imunosupresan.
Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbs, distribusi, metabolism dan ekskresi obat lainnya sehingga meingkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologinya. Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe, yaitu:
a.       Interaksi pada absorbsi obat
         I.    Efek perubahan pH gastrointestinal
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi

    II.   Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri.
 III.   Perubahan motilitas gastrointestinal
Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya.
 IV.   Induksi atau inhibisi protein transporter obat
Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah P-glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati digoksin
    V.   Malabsorbsi dikarenakan obat
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat.

b.      Interaksi Pada Distribusi Obat
I.       Interaksi ikatan protein
Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul- molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi.
II.    Induksi dan inhibisi protein transport obat
Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS.


c.       Interaksi Pada Metabolisme Obat
I. Perubahan pada metabolisme fase pertama
Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450.
II. Induksi enzim
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya.
III. Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis.
IV. Faktor genetik dalam metabolisme obat
Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari gejala.
V. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi
Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya.


d.      Interaksi pada ekskresi obat
I. Perubahan pH Urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat.
II. Perubahan ekskresi aktif tubular renal
Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan transporter anion organik.
III. Perubahan aliran darah renal
Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang.

2.4. Reseptor dan aksi obat
2.4.1        Kerja Obat Yang Diperantarai Oleh Reseptor
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya, mencetuskan perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan respons biologis yang khas untuk obat tersebut. Interaksi antara obat dengan enzim biotransformasi juga merupakan interaksi yang khas karena mengakibatkan perubahan struktur makromolekul reseptor sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi fisiologis yang dapat diamati sebagai respons biologis.
Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional, yaitu tempat terikatnya obat untuk menimbulkan respons. Sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endogen (hormon dan neurotransmitor. Komponen yang paling penting dalam reseptor obat adalah protein (misalnya : asetilkolinesterase, Na+ -, K+ -ATP ase dsb). Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat , contohnya untuk obat sitostatika (pembunuh sel kanker).
Ikatan antara obat dengan reseptor, berupa ikatan ion, ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik, ikatan van der Walls atau ikatan kovalen ( jarang ). Umumnya merupakan campuran berbagai ikatan tersebut diatas. Ikatan antara obat daengan reseptor, misalnya ikatan antara substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah ( ikatan ion, ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik, ikatan van der Walls ) dan jarang berupa ikatan kovalen. Hubungan Struktur dan Aktifitas Biologik: Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan aktifitasnya terhadap reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat (misal : perubahan stereoisomer ) dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur dan aktifitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru.

2.4.2        Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai Reseptor
Beberapa obat tertentu dapat menimbulkan efek tanpa berikatan dengan reseptor.  Mekanismenya ada berbagai cara, yaitu mengubah atau mempengaruhi sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil, masuk kedalam komponen sel.
Mekanisme Kerja Obat Mengubah atau mempengaruhi sifat cairan tubuh yaitu,
pengubahan sifat osmotik, contohnya obat-obat diuretik osmotik ( manitol )  yang  meningkatkan osmolaritas filtrat glomerulus sehingga terjadi efek diuretk, obat-obat katartik osmotik atau pencahar (MgSO4), gliserol untuk mengurangi udema serebral.
Pengubahan sifat asam-basa, contohnya: obat-obat antasida untuk menetralkan asam lambung,  NH4Cl  untuk mengasamkan urin,  natrium bikarbonat untuk membasakan urin, asam- asam organik sebagai antiseptik saluran kemih atau sebagai spermisida topical dalam saluran vagina.Perusakan nonspesifik membran sel ( sebagai antiseptik dan desinfektan ), contohnya, yaitu detergen merusak integritas membran lipoprotein, halogen, peroksida dan oksidator lain (merusak zat organik ), denaturan merusak integritas dan kapasitas fungsional membran sel, partikel subseluler dan protein. Gangguan fungsi membran, contohnya anestesi umum dengan eter, halotan atau metoksifluran, bekerja dengan melarut dalam lemak membran sel di SSP sehingga eksitabilitas menurun.
Mekanisme kerja  interaksi dengan molekul kecil atau ion dengan molekul pengkhelat (chelating agent).  Contohnya CaNa2 EDTA. yang mengikat logam Pb menjadi khelat yang inaktif, misal pemberian larutan CaNa2 -EDTA pada keracunan Pb, Penisilamin  mengikat Cu 2+ bebas, Dimerkasol untuk keracunan logam- logam berat. Khelat yang terbentuk larut dalam air sehingga mudah dikeluarkan lewat ginjal. Mekanisme kerja masuk ke dalam komponen sel
obat-obat analog purin atau pirimidin, dapat bergabung dengan asam nukleat, sehingga mengganggu fungsinya ( obat-obat antimetabolit ), cotohnya:  6-merkaptopurin, 5-fluorourasil, flusitosin yang merupakan obat-obat anti kanker.

Penulis :
Necis Wanita Raja Gukguk
Mahasiswi UMRI
 
Daftar Pustaka


A, Albert.1985.selectivity toxicity,ed. 7. Chapman and Hall: London
Nogrady, Thomas. 1992. Kimia Medisinal
P, Andrews. 1986. Functional groups, drug – receptor interactions and drug design/trends pharmacol. Sci. 7: 148- 51.
Putra, Effendy. 2010. Ikatan Yang Terlibat Pada Interaksi Obat- Reseptor. Jakarta

Tidak ada komentar:

Google Ads