PENDAHULUAN
Proses fermentasi dalam pengolahan pangan adalah proses pengolahan pangan dengan menggunakan aktivitas mikroorganisme secara terkontrol untuk meningkatkan keawetan pangan dengan diproduksinya asam dan/atau alkohol, untuk menghasilkan produk dengan karekateristik flavor dan aroma yang khas, atau untuk menghasilkan pangan dengan mutu dan nilai yang lebih baik. Contoh-contoh produk pangan fermentasi ini bermacam-macam; mulai dari produk tradisional (misalnya tempe, tauco, tape, dll) sampai kepada produk yang modern (misalnya salami dan yoghurt).
Proses fermentasi dalam pengolahan pangan mempunyai beberapa keuntungan-keuntungan, antara lain :
· proses fermentasi dapat dilakukan pada kondisi pH dan suhu normal, sehingga tetap mempertahankan (atau sering bahkan meningkatkan) nilai gizi dan organoleptik produk pangan,
· karakteristik flavor dan aroma produk yang dihasilkan bersifat khas, tidak dapat diproduksi dengan teknik/metoda pengolahan lainnya.
· memerlukan konsumsi energi yang relatif rendah karena dilakukan pada kisaran suhu normal,
· modal dan biaya operasi untuk proses fermentasi umumnya rendah, dan
· teknologi fermentasi umumnya telah dikuasi secara turun temurun dengan baik.
·
Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa proses fermentasi adalah proses yang memanfaatkan jasa mikroorganisme, maka pengendalian proses fermentasi pada dasarnya adalah pengendalian pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tersebut.
Faktor utama yang mengandalikan pertumbuhan mikroorganisme pada bahan pangan adalah :
· ketersediaan sumber-sumber karbon dan nitrogen yang akan digunakan oleh mikroorganisme tersebut untuk tumbuh dan berkembang-biak,
· ketersediaan zat gizi khusus tertentu yang merupakan persyaratan karakteristik bagi mikroorganisme tertentu untuk tumbuh dengan baik,
· nilai pH produk pangan,
· suhu inkubasi,
· kadar air, dan
· ada/tidaknya kompetisi dengan mikroorganisme lainnya.
Produk fermentasi dari biji-bijian cukup banyak dikenal. Sebagi contoh akan dikemukakan tempe, salah satu produk fermentasi tradisional yang cukup terkenal di Indonesia. Tempe merupakan sumber protein nabati yang sangat potensial. Pada umumnya bahan baku dari tempe adalah kacang kedelai dan produk tersebut dikenal dengan tempe kedalai. Bahan baku lainnya juga dapat digunakan untuk membuat tempe, terutama adalah koro benguk (tempe benguk), ampas tahun tempe gembus, kecipir (tempe kecipir), ampas kelapa (tempe bongkrek) dan lain-lainnya.
Tempe Bongkrek
Tempe bongkrek dibuat dari ampas kelapa, yang diperoleh dari sisa pembuatan minyak kelapa, sisa pembuatan dodol, atau bungkil kelapa dari pabrik. Cara pembuatan tempe bongkrek sederhana, yaitu ampas kelapa atau bungkil kelapa direndam semalam, setelah itu dicuci, diperas airnya, dan dikukus selama kurang lebih 1 jam. Selesai dikukus ampas kelapa dicampur dengan tempe yang mengandung kapang tempe atau kapang bongkrek : Rhizopus oligosporus atau Rhizopus oryzae. Campuran ini kemudian dibungkus dengan daun pisang atau dihamparkan diatas nyiru yang ditutup dengan daun pisang. Setelah dibiarkan 2 hari, ampas kelapa akan ditumbuhi kapang tempe.
Selama proses fermentasi tempe ampas kelapa, diperkirakan banyak jenis bakteri yang tumbuh dan terlibat dalam proses fermentasi tempe ampas kelapa diantaranya adalah bakteri asam laktat dan beberapa ragi. Masih sangat terbatas penelitian mengenai mikroflora dalam tempe ampas kelapa. Namun demikian bakteri yang penting untuk dibahas disini khususnya yang tumbuh pada tempe ampas kelapa dan mampu membentuk racun yang membahayakan kesehatan manusia. Meskipun wabah keracunan tempe ampas kelapa sudah dikenal sejak 1895 tetapi penelitian penyebabnya baru dimulai tahun 1930-an.
Dari kandungan nutrisi, tiap 100 gram tempe bongkrek bernilai 119 kalori, kandungan proteinnya 4,4 gram, lemak 3,5 gram, karbohidrat 18,3 gram, kalsium 27 milligram, fosfor 100 milligram, zat besi 2,6 milligram, vitamin B1 0,08 milligram.
Keracunan Tempe Bongkrek
Tempe bongkrek mematikan karena ter-kontaminasi oleh sejenis bakteri gram negatif yang tumbuh lebih cepat daripada kapang bongkrek. Bakteri yang mengeluarkan racun itu adalah Pseudomonas cocovenenans (cocovenenans artinya racun dari kelapa). Bakteri tersebut bekerja antagonistis tehadap kapang tempe, karena itu bila kapangnya tidak tumbuh dengan baik, kemungkinan besar ampas kelapa mengandung racun. Pada udara yang sangat lembab akan lebih menguntungkan pertumbuhan bakteri ampas kelapa, sedang sebaliknya udara kering menguntungkan bagi pertumbuhan kapang. Yang pertama kali mempelajari penyebab keracunan tempe bongkrek adalah Mertens dan van Veen dari Institut Eijkman.
Bakteri bongkrek hanya dapat tumbuh pada tempe bongkrek dan membentuk racun jika bahan dasar tempe adalah kelapa parut, ampas kelapa atau bungkil kelapa, sedangkan tempe dari kedelai atau oncom dari bungkil kacang tanah tidak beracun walaupun ditulari bakteri itu. Namun bungkil kacang tanah yang belum diberi ragi oncom, bisa beracun jika ditulari bakteri itu. Tempe bongkrek yang dibuat dari bungkil kelapa pabrik jarang ditumbuhi bakteri mematikan itu karena kadar lemaknya rendah. Tempe bongkrek yang terbuat dari kelapa parut dan ampas kelapa sisa perasan penduduk sendiri sering ditumbuhi bakteri itu karena masih mengandung banyak lemak.
Bakteri Pseudomonas cocovenenans bila tumbuh pada ampas kelapa akan memproduksi racun toxoflavin dan asam bongkrek. Ke2 racun itulah yang mematikan pemakan tempe bongkrek. Asam bongkrek adalah racun yang tidak berwarna. Toksoflavin antibiotik yang berwarna kuning, tampak jelas jika tempe bongkrek terkontaminasi racun itu. Asam bongkrek daya toksisitasnya lebih tinggi dibanding toksoflavin. Diperkirakan bahwa asam bongkrek merupakan penyebab utama dalam keracunan makanan tersebut. Toksoflavin sebagian besar akan rusak dilambung karena tidak tahan pH yang rendah (Van Dame et al., 1960).
1. Asam Bongkrek (3-Carboxymethyl-1,7 methoxy-6,18,21-trimethyldocosa-2,4,8,12,14,18,20 heptaenedioic Acid)
Mikroba Pseudomonas cocovenenans aktif memecahkan atau menghidrolisa gliserida (lipida) dari minyak kelapa menjadi gliserol dan asam lemak. Fraksi gliserol setelah mengalami reaksi-reaksi biokimia menjadi senyawa yang berwarna kuning yang disebut toksoflavin sedang asam lemaknya, khususnya asam oleat dapat menjadi asam bongkrek yang tidak berwarna. Mikroba Pseudomonas cocovenenans aktif memecahkan atau menghidrolisa gliserida (lipida) dari minyak kelapa menjadi gliserol dan asam.
Lemak --------asam lemak + gliserol
Gliserol --------toksoflavin (C7H7N5O2)
asam lemak------asam bongkrek (C28H38O7)
Asam bongkrek (bongkrek acid) adalah toksin pernapasan yang lebih mematikan daripada sianida. Racun ini mengganggu mekanisme kerja enzim yang memindahkan ATP dan ADP. ADP kemitokondria dan ATP keluar mitokondria, sehingga menganggu fosforilasi oksidatif. Banyak yang berpendapat bahwa terganggunya produksi ATP disebabkan oleh asam dari ampas kelapa melakukan penghambatan terhadap kerja enzim translokase pada membrana mitokondria. Enzim translokase berfungsi memberikan kemudahan–kemudahan bagi nukleotida sehingga dapat memasuki mitokondria dan adenin nukleotida diubah menjadi ATP. Dengan adanya gangguan atau penghambatan enzim translokase oleh asam dari ampas kelapa, maka akibatnya produksi ATP di dalam mitokondria terganggu.
Secara tepat masih belum dapat ditentukan di bagian mana asam dari ampas kelapa tersebut bereaksi dengan membran mitokondria. Karena kekurangan
ATP sebagai sumber energi, mitokondria tidak mampu lagi memproduksi ATP, maka cara lain yang biasanya ditempuh adalah melalui jalan glikolisis, akan tetapi
dengan jalan glikolisis jumlah ATP masih kurang cukup untuk memenuhi fungsi jantung secara normal. Dengan adanya kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya pemecahan glikogen yang tertimbun di hati, jantung dan di dalam daging.
Akibat pemecahan glikogen di berbagai tempat penimbunan tersebut terjadilah gejala hypoglycaemia yang hebat sehingga penderita akan meninggal. Mula–mula kadar gula akan mengalami peningkatan yang cukup tinggi, tergantung tersedianya glikogen, kemudian menurun sampai 50%, oleh karena itu orang yang keracunan asam bongkrek akan merasa tercekik lalu dari mulutnya akan keluar busa (Winarno, 1986).
Asam bongkrek bekerja secara akumulatif dan akan menyebabkan kematian mendadak setelah racunnya terkumpul didalam tubuh, racun itu tidak mudah diinaktifkan atau didetoksifikasi maupun diekskresi oleh tubuh. Didalam tubuh asam bongkrek menyebabkan peningkatan kadar gula dalam darah akibat mobilisasi glikognen dari hati dan otot. Setelah glikogen dalam otot dan hati habis segera gula dalam darah dihabiskan juga sampai yang keracunan meninggal.
2. Toxoflavin (1,6 Dimethylpyrimido(5,4-e)-as-triazine-5,7(1H,6H)-dione)
Sering pada proses pembuatan tempe ini terjadi kontaminasi dengan Clostridium botalinum, yaitu suatu kuman anaerob yang membentuk spora atau dan Bacterium cocovenenans yang mengubah gliserinum menjadi racun toksoflavin.
Toksoflavin adalah racun tempe ampas kelapa yang berwarna kuning. Warna kuning toksoflavin disebabkan karena adanya pembentukan pigmen. Sedang toksoflavin merupakan gugus prostetik dari pigmen tersebut. Pigmen tersebut hanya dibentuk bila mikroba Pseudomonas cocovenenans ditumbuhkan
pada media tertentu misalnya pada ampas kelapa. Rumus empiris toksoflavin yang disarankan oleh Van Veen dan Martens (1933 ) adalah C6H6N4O2.
Usaha-usaha untuk menghindari timbulnya racun pada pembuatan tempeh bongkrek:
1. Dengan penambahan kapang/jamur Monilla sitophila sebagai pengganti kapang bongkrek, bila terkontaminasi dengan bakteri bongkrek atau Pseudomonas cocovenenans tidak terbentuk racun, namun bukan tempe bongkrek yang dihasilkan melainkan oncom.
2. Dengan penambahan antibiotik Aureomycin dan Terramycin untuk mencegah pertumbuhan Bakteri bongkrek (namun karena mahal tidak digunakan lagi)
3. Dengan penambahan daun calincing atau (Oxalis sepium) yang sering digunakan untuk membuat sayur asam, daun calincing ini selain dapat menghambat pertumbuhan bakteri bongkrek, juga merupakan antidotum (penawar racun) keracunan asam bongkrek.
sayang penambahan daun segar pada pembuatan tempe bongkrek ini menyebabkan timbulnya warna hijau, dan rasanya agak asam, sehingga kurang disukai
4. Dengan penambahan garam dapur (NaCl) 1,5–2 % pada ampas kelapa, juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri bongkrek, sehingga bisa mencegah pembentukan asam bongkrek.
Cara uji mokroba
Secara visual :
Secara
visual kita dapat melihat apakah tempe bongkrek ini mengandung bakteri pathogen
pseudomonas cocovenans ditandai dari
warna kuning tempe bongkrek ini, dimana mikroba ini menghasilkan racun
toksoflavin yang bisa menyebabkan keracunan.
Secara uji lab:
(angka lempeng total)
b.Memasukkan
ke dalam tabung reaksi yang berisi aquadest steril sebanyak 9 ml kemudian
dikocok hingga terbentuk suspensi.
c.Memipet
1 ml suspense dari tabung 1, kemudian dimasukkan ke dalam tabung 2. Pengenceran
dilakukanhingga tabung 10-6.
d.
Mengambil masing-masing sampel pada pengenceran 10-5,10-6,
dari pengenceran tersebut sebanyak 1 ml suspensidipipet ke dalam cawan petri.
e.
Kemudian ke dalam cawan petri tersebut dimasukkan media PCA (Plate countagar) yang
telah didinginkansampai 500C sebanyak kurang lebih 15 ml.
f.
Setelah penuangan cawan petri digerakkan di atas meja secara hati-hati untuk
menyebarkan sel-sel mikroba secara merata.
g.
Setelah agar memadat, cawan-cawan tersebut diinkubasi selama kurang lebih 48
jam pada suhu 300C pada posisi terbalik.
N
=∑C[1×1 + 0,1×2 ×]
Keterangan
:
N
= jumlah koloni per ml
∑C
= jumlah koloni dari tiap-tiap petri
n1
= jumlah petri dari pengenceran koloni yang dihitung
n2
= jumlah petri dari pengenceran kedua
d=
pengenceran pertama yang dihitung
Jumlah
koloni = 1/pengenceran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar