Google ads

Selasa, 23 Agustus 2016

Uji antimalaria secara in vitro dan in vivo



Antimalaria
Anti malaria adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel tunggul (Protozoa) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang menggigit pada malam hari dengan posisi menjungkit. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit yang bernama Plasmodium. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi parasit tersebut. Di dalam tubuh manusia, parasit Plasmodium akan berkembang biak di organ hati kemudian menginfeksi sel darah merah. Pasien yang terinfeksi oleh malaria akan menunjukan gejala awal menyerupai influenza, namun bila tidak diobati maka dapat terjadi komplikasi yang berujung pada kematian. Penyakit ini paling banyak terjadi di daerah tropis dan subtropics dimana parasit Plasmodium dapat berkembang baik begitu pula dengan vektor nyamuk Anopheles. Penyakit malaria memiliki 3 jenis, dan masing–masing disebabkan oleh spesies parasit yang berbeda. Gejala tiap–tiap jenis biasanya berupa meriang, panas dingin, menggigil dan keringat dingin. Adapun jenis penyakit malaria :
a.       Malaria Tropika
Malaria tropika, disebabkan oleh plasmodium falcifarum merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Gejala yang timbul adalah serangan demam tidak menentu disertai nyeri kepala hebat, bila terjadi kerusakan eritrosit dalam jumlah besar dan kemudian menyumbat pembuluh kapiler ke otak, maka dapat menimbulkan kematian dalam beberapa hari. Sifat dari penyakit ini tidak residif (dapat sembuh total, tidak berulang kambuh)
b.      Malaria Tertiana
Malaria tertiana adalah jenis malaria yang paling ringan. Malaria tertiana disebabkan oleh plasmodium vivax dan ovale, dimana penderita merasakan demam berkala yang timbul 3 hari sekali. Sifat dari penyakit ini sering kambuh (residif) karena adanya bentuk exo eritrocyt sekunder
c.       Malaria Kwartana
Malaria kwartana disebabkan oleh plasmodium malariae. Gejala yang timbul adalah demam berkala setiap 4 hari sekali. Sifat dari penyakit ini adalah residitif (sering kambuh) karena adanya bentuk exo eritrosit sekunder.
Uji antimalaria secara in vitro
            Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengetahui pengaruh obat terhadap p. faciparum secara in vitro, antara lain metode yang dikembangkan oleh Rieckmann. Dalam metode ini sampel darah penderita ditambahkan kedalam microplate yang mengandung obat dengan beberapa dosis. Kerugian dengan teknik ini hanya dapat mengamati parasit di dalam stadium cincin yang bersikulasi di dalam darah tepi dan kesimpulan diambil dengan mengukur hambatan maturasi pada stadium schizon dari parasit.
            Metode yang saat ini sering digunakan adalah yang dikembangkan oleh Desjardins et al, 1979 dengan mengukur inkorporasi dari hipoksantin oleh parasit. Metode ini sangat cepat, sensitif dan objektif. Metode lain ialah dengan mengidentifikasi produksi laktat dehidrogenase parasit sebagai indikator pertumbuhan parasit. Metode ini tidak memerlukan radioisotop dan dapat dipergunakan pada daerah endermik. Media kultur yang digunakan untuk pengujian yaitu plasmodium falciparum. Kultur terdiri atas sel darah merah dan medium komplit sehingga hematokrit menjadi 2,5%. Pelarut yang digunakan biasanya etanol, air atau DMSO. Adapun pengujian antimalaria secara in vitro yaitu schizoni maturation test, metode up take 3H-Hipoksantin, dan metode PLDH (Syamsudin, 2008).

Uji antimalaria secara in vivo
            Pengujian secara in vivo menggunakan rodent sebagai hewan uji. Untuk penapisan antimalaria banyak digunakan hewan coba mencit yang diinfeksi dengan plasmodium berghei. Adapun teknik pengujian antimalaria secara in vivo yaitu primary biological assessment, secondary biological assessment (dengan dose ranging test, onset of activity and recrudescence, prophylactic test)  dan tertiary biological assessment (Syamsudin, 2008).

Tidak ada komentar:

Google Ads