A.
Diabetes
Mellitus (DM)
1.
Definisi
Diabetes
mellitus ialah suatu penyakit degenaratif (pemunduran) yang ditandai oleh
berbagai gejala sebagai akibat kadar gula darah yang tinggi. Walaupun penyakit
ini mudah diketahui dengan cara memeriksakan kadar gula darah, namun pada tahap
permulaan perjalanan penyakit, gejala yang dirasakan bukanlah sesuatu yang amat
mengganggu pasien, bahkan kadangkala tidak menunjukkan gejala yang khas (Tara, 2007).
Gula
darah mengacu kepada glukosa yang terdapat dalam darah. Glukosa diangkut
melalui aliran darah dari usus ke sel-sel tubuh. Glukosa ini merupakan “bahan
bakar” untuk menghasilkan energi. Glukosa darah meningkat atau menurun
mengikuti jenis makanan yang dikonsumsi tubuh. Normalnya, glukosa darah akan
naik apabila kita makan makanan manis atau makanan berkarbohidrat tinggi (nasi,
roti, atau kentang). Kira-kira 2 jam kemudian, pada tubuh orang sehat, kenaikan
glukosa darah akan diikuti oleh kenaikan produksi insulin. Glukosa darah paling
rendah pada pagi hari, sebelum kita makan apa-apa (Wicak, 2009).
Menurut
Russel (2011) kriteria kadar gula darah yaitu :
1)
Kadar gula setelah
puasa
a. Normal : di bawah 100 mg/dl
b. Pradiabetes : 100 – 126 mg/dl
c. Diabetes : di atas 126 mg/dl
2)
Kadar gula 2 jam
setelah makan
a. Normal
: di bawah 140 mg/dl
b. Pradiabetes : 140 – 200 mg/dl
c. Diabetes
: di atas 200 mg/dl
Tabel 2.1. Pengukuran Gula Darah
|
|
Bukan DM
|
Belum Pasti DM
|
DM
|
Kadar gula darah sewaktu mg/dl
|
Plasma vena
|
< 100
|
100-199
|
≥ 200
|
|
Darah kapiler
|
< 90
|
90-199
|
≥ 200
|
Kadar gula darah puasa mg/dl
|
Plasma vena
|
< 100
|
100-125
|
≥ 126
|
|
Darah kapiler
|
< 90
|
90-99
|
≥ 100
|
Sumber : PERKENI 2006
Diabetes
mellitus juga merupakan keadaan ketika kadar gula dalam darah tinggi melebihi
kadar gula normal. Penyakit ini biasanya disertai berbagai kelainan metabolisme
akibat gangguan hormonal dalam tubuh. Kadar gula yang tinggi ini disebut
sebagai kondisi hiperglikemia. DM yang juga populer dengan nama kencing manis
itu adalah suatu kondisi yang diderita oleh seseorang karena kekurangan hormon
insulin (Widjadja, 2009).
Kekurangan
hormon insulin yang terjadi disebabkan oleh kurang aktifnya produksi hormon
insulin dari sel kelenjar langerhans di organ pankreas. Berkurangnya produksi
ini bisa karena menyusutnya jumlah sel penghasil hormon insulin sejak seseorang
dilahirkan (bawaan atau keturunan). Serta dapat juga akibat serangan virus atau
penyakit degenaratif. Seseorang dapat juga terkena walaupun hormon insulinnya
cukup. Kejadian ini muncul karena reaksi tubuh terhadap kehadiran insulin
kurang efisien atau tubuh tidak mampu menggunakan ketersediaan hormon tersebut
dengan semestinya, sehingga tubuh tidak mampu mengoksidasi glukosa menjadi
energi. Keadaan ini biasanya menyerang umur ≥30 tahun, karena faktor
degenarasi, kurang olahraga, dan kegemukan (Widjadja, 2009).
Insulin dihasilkan oleh kelenjar pankreas.
Kelenjar pankreas letaknya dilekukan usus dua belas jari dan sangat penting
untuk menjaga keseimbangan kadar glukosa darah normal. Bila terjadi gangguan
pada kerja insulin, baik secara kuantitas maupun kualitas, keseimbangan
(glukosa darah yang 60-120 mg/dl waktu puasa dan di bawah 140 mg/dl 2 jam
sesudah makan) atau dalam kondisi normal ini, akan terganggu, dan kadar glukosa
darah cenderung naik (Misnadiarly, 2006).
Kriteria
diagnostik Diabetes Mellitus dan gangguan toleransi glukosa (Misnadiarly, 2006) :
1. Kadar glukosa
darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dI, atau
2. Kadar glukosa
darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dI, atau
3.
Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dI pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada
Tes Toleransi Glukosa Oral.
2.
Jenis
Penyakit DM
a. Diabetes
Mellitus Tipe 1
Diabetes
mellitus yang bergantung dengan insulin atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) disebabkan kekurangan
produksi insulin. DM ini dapat terjadi karena kerusakan sel beta langerhans di
kelenjar pankreas akibat proses kekebalan tubuh terjadi pembunuhan sel tubuh
oleh sistem imunitasnya sendiri. Penderita DM jenis ini mencapai 10 persen dari
jumlah penderita penyakit ini (Widjadja, 2009).
1) Biasanya
terdiagnosis di bawah 35 tahun.
2) Tidak
gemuk.
3) Gejala
timbul mendadak (akut)
Kebanyakan
orang dengan DM tipe 1 hidup sehat dan aktif sebelum gejala diabetes
berkembang. Kerusakan sel beta di mulai beberapa tahun sebelum gejala DM
muncul. Jika hampir semua sel rusak, maka gejala hiperglikemia datang dengan
cepat. Tidak ada yang dapat kita lakukan untuk menghentikan proses ini ataupun
mencegahnya (Tara, 2007).
Menurut
Russsel (2011) ada beberapa penyebab pankreas tidak dapat menghasilkan cukup
insulin pada penderita diabetes tipe 1, antara lain karena :
1.
Faktor
keturunan atau genetika
Jika salah satu atau kedua orang tua menderita diabetes, maka anak akan
berisiko terkena diabetes.
2.
Autoimunitas
Autoimunitas yaitu tubuh alergi terhadap salah satu jaringan atau jenis
selnya sendiri dalam hal ini, yang ada dalam pankreas. Tubuh kehilangan kemampuan
untuk membentuk insulin karena sistem kekebalan tubuh menghancurkan sel-sel
yang memproduksi insulin.
3.
Virus
atau zat kimia
Virus atau zat kimia yang menyebabkan kerusakan pada pulau sel
(kelompok-kelompok sel) dalam pankreas tempat insulin dibuat. Semakin banyak
pulau sel yang rusak, semakin besar kemungkinan seseorang menderita diabetes.
b. Diabetes
Mellitus Tipe 2
Diabetes
mellitus yang tidak bergantung pada insulin atau Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) akibat kegagalan
relatif sel beta langerhans di kelenjar pankreas sehingga produksi insulin yang
terjadi dengan kualitas rendah tidak mampu merangsang sel tubuh agar menyerap
gula darah, misalnya karena obesitas, pola makan yang tidak benar. Jenis ini
paling banyak dijumpai, dapat mencapai 80% lebih dari keseluruhan penderita DM (Widjadja,
2009).
1) Biasanya
terdiagnosis di atas 40 tahun.
2) Biasanya
gemuk.
3) Gejalanya
timbul perlahan-lahan (kronis).
Menurut
WHO (2000), diabetisi tipe 2 adalah yang terbanyak diantara tipe-tipe DM
lainnya. Kalangan professional menyatakan bahwa di Indonesia diabetisi tipe 2
mencapai 85-90% dari total diabetisi. Untuk itu diperlukan upaya pengendalian
DM tipe 2, terutama melalui upaya pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
DM tipe 2 (Depkes RI, 2008).
DM
tipe 2 cenderung diturunkan dalam keluarga. Tetapi tidak berarti jika keluarga
diabetes, maka Anda pasti akan mendapatkan diabetes juga. Anda hanya mempunyai
kecenderungan untuk mendapatkan diabetes. Banyak juga orang yang mempunyai
kecenderungan namun diabetesnya tidak berkembang. DM tipe 2 biasanya datang di
atas usia 40 tahun (Tara, 2007).
Menurut
Russel (2011) ada beberapa penyebab utama diabetes tipe 2 yaitu :
1. Faktor
keturunan
Apabila orang
tua atau saudara sekandung yang menderita diabetes.
2. Pola
makan atau gaya hidup yang tidak sehat
Banyaknya gerai
makanan cepat saji (fast food) yang menyajikan makanan berlemak
dan tidak sehat.
3. Kadar
kolesterol tinggi
4. Jarang
berolahraga
5. Obesitas
atau kelebihan berat badan
Sekitar
setengah orang dari DM tipe 2 adalah gemuk berlebihan. Sel-sel lemak yang
membesar tidak memberikan respon yang baik terhadap kerja insulin, sehingga
pankreas akan membuat insulin lebih banyak lagi. Kebutuhan tambahan pada
pankreas dapat menyebabkan diabetes pada beberapa wanita selama kehamilan, dan
hilang setelah melahirkan. Tapi kemudian dalam hidupnya diabetes ini mungkin
akan muncul kembali (Tara, 2007).
c. Diabetes
Mellitus disebabkan oleh penyakit lain
Diabetes
mellitus ini disebabkan penyakit lain, misalnya sirosis hati, penyakit kelenjar
pankreas, infeksi, obat-obatan, dan lain-lain. Penderita DM jenis ini paling
sedikit dijumpai, tidak mencapai 10% dari penderita DM keseluruhan (Widjadja, 2009).
Kerusakan
pada pankreas yang memproduksi insulin, umpamanya, dapat mengakibatkan
bermacam-macam dampak, termasuk penyakit diabetes. Mutasi gen juga
kadang-kadang mengganggu sel beta pankreas dan membuatnya gagal menghasilkan
insulin secara teratur sesuai kebutuhan tubuh, sehingga mengakibatkan
terjadinya penyakit diabetes. Konsumsi obat-obatan secara tidak tepat mungkin
pula membawa risiko timbulnya diabetes (Wicak,
2009).
d. Diabetes
Mellitus Gestasional
Diabetes
dapat seketika diderita oleh ibu hamil yang sebelumnya tidak diketahui
menderita diabetes (dikenal dengan gestational
diabetes atau GDM). Data menunjukkan bahwa 2% - 5% ibu hamil terserang
diabetes. Lazimnya diabetes jenis ini hilang setelah persalinan, tetapi 20% -
50% ibu-ibu yang menderita diabetes pada saat hamil tetap mengidap penyakit ini
kemudian sebagai diabetes tipe 2 (Wicak, 2009).
Diabetes
Mellitus gestasional dimana gejala-gejala yang muncul menyertai penyakit ini
adalah polifagia (makan banyak), poliuria (kencing banyak), dan polidipsia
(minum banyak). Kondisi lain yang muncul biasanya dapat berupa penurunan berat
badan, gatal, kesemutan, mata kabur, mudah lelah, luka yang tidak sembuh, dan
sering timbul infeksi kulit (Widjadja, 2009).
3.
Penyebab
DM
Pola
hidup dan makan sekarang ini disinyalir menjadi pemicu timbulnya DM. Berikut
ini beberapa penyebab DM yaitu (Mistra, 2006) :
a. Diabetes
mellitus merupakan penyakit degeneratif yang disebabkan perubahan gaya hidup
tidak sehat, lingkungan dan usia.
b. Pola
makan yang berubah ke arah makanan cepat saji (instan) yang memiliki gengsi dan
lemak tinggi dibandingkan makanan alamiah.
c. Perokok.
d. Ada
riwayat keluarga yang ada terkena DM (turunan)
e. Stress
menghadapi hidup atau persoalan lain.
f. Kegemukan.
g. Kerusakan
kelenjar pankreas (tidak lagi memproduksi hormon insulin atau sedikit
memproduksi hormon tersebut).
4.
Epidemiologi
DM
a. Distribusi menurut orang
Berdasarkan proses timbulnya penyakit Diabetes Mellitus dapat
disimpulkan bahwa orang yang berisiko mengalami Diabetes Mellitus adalah mereka
yang memiliki riwayat Diabetes dari keluarga. Pasien Diabetes Mellitus tipe 2
umumnya dewasa usia 40-an dan mengalami kegemukan (obesitas), tidak aktif dan
jarang berolahraga. Sedangkan pada Diabetes Mellitus tipe 1 biasanya terdapat
pada anak-anak dan remaja , salah satu penyebabnya adalah seringnya
mengkonsumsi fast food. Ibu yang
melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4 kg juga berisiko mengalami DM.
Apabila dipresentasikan berdasarkan jumlah penderita dengan jumlah
penduduk, maka pada usia sebelum 20 tahun angka kejadian DM diperkirakan 0,19%
dan diatas usia 20 tahun diperkirakan mencapai 8,6%, sedang pada usia di atas
65 tahun 20,1 %. Bila melihat presentasi tersebut, bisa dibilang cukup tinggi.
Sedangkan untuk jenis kelamin tidak mengalami perbedaan yang signifikan (Ehsa, 2010).
b.
Distribusi menurut tempat
Sekitar 8,4 juta orang pada tahun 2000 dan diperkirakan terus
meningkat dari tahun ke tahun yaitu sebanyak 21,3 juta orang penderita orang
penderita Diabetes Mellitus. Prevalensi DM tertinggi berada pada daerah
Kalimantan Barat dan Maluku Utara (11,1%), Riau (10,4%), NAD (8,5%),
NTT(1,8%),dan Papua (1,7%).Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 DM sebesar 1,2 %. Tahun 2001
(7,5%), tahun 2003 (14,7%), diperkotaan sebesar 7,2% dari pedesaan (Ehsa, 2010).
c.
Distribusi menurut waktu
Lamanya seseorang menderita penyakit dapat memberikan gambaran
mengenai tingkat patogenesitas penyakit tersebut. Peningkatan angka kesakitan
Diabetes Mellitus dari waktu ke waktu lebih benyak disebabkan oleh faktor
herediter, life style (kebiasaan
hidup) dan faktor lingkungannya. Komplikasi Diabetes Mellitus dengan penyakit
lain terkait dengan lamanya seseorang menderita Diabetes Mellitus, semakin lama
seseorang menderita Diabetes Mellitus maka komplikasi penyakit Diabetes Mellitus
juga akan lebih mudah terjadi (Ehsa, 2010).
5.
Gejala-gejala
DM
Ada 3 gejala
klasik diabetes mellitus (Trias-POLI) yaitu (Tara, 2007) :
1. Sering
Kencing (POLIURIA)
Glukosa
yang banyak larut di dalam air seni akan mengakibatkan pasien banyak kencing.
Gejala ini yang paling sering ditemui. Pasien tidak hanya sering kencing tetapi
jumlah air seninya pun akan banyak. Pada orang normal, kadar glukosa dalam
darah yang masih dapat dipertahankan oleh ginjal adalah sekitar 160-180 mg/dl,
bila nilai ini dilampaui maka ginjal akan berusaha untuk mengeluarkannya
melalui air seni. Secara kimiawi glukosa akan menarik air dan akan keluar
bersama-sama. Maka tinggi kadar glukosa dalam darah makin banyak air seni yang
akan diproduksi.
2. Banyak
Minum (POLIDIPSIA)
Gejala
ini sebenarnya merupakan jawaban atau reaksi terhadap gejala sering kencing
(poliuria). Bila badan mengalami kekurangan cairan maka secara otomatis isyarat
akan dikirim ke otak sebagai pusat pengendalian sehingga akan timbul perasaan
haus atau tenggorokan terasa kering. Selanjutnya orang itu akan semakin banyak
dan semakin sering minum.
3. Banyak
Makan (POLIFAGIA)
Gejala
ini kadang-kadang tidak terlalu menonjol, karena orang yang makan banyak tentu
tidak akan mengeluh bahwa ia makan lebih banyak dari biasanya. Hal ini terjadi
karena habisnya cadangan glukosa dalam sel-sel tubuh, walaupun kadar glukosa
dalam darah sebenarnya cukup tinggi. Tetapi sel tubuh tidak dapat memanfaatkan
glukosa yang ada dalam peredaran darah itu karena jumlah hormon insulin yang
tidak mencukupi (yang fungsinya memasukkan glukosa ke dalam sel).
Selain
itu, ada beberapa gejala lain yang dapat dirasakan selain TRIAS POLI di atas
seperti (Mistra, 2006) :
1.
Berat badan menurun
walaupun makan dalam porsi yang tetap.
2.
Kadang, berat badan
cenderung bertambah.
3.
Gatal-gatal pada
kelamin luar.
4.
Sering kesemutan pada
salah satu sisi bagian tubuh, bisa sisi kiri atau sisi kanan terutama terasa
pada kaki dan tangan.
5.
Penglihatan kabur dan
akibatnya sering berganti kacamata.
6.
Melahirkan bayi dengan
berat lebih dari 4 kg.
7.
Mudah timbul bisul atau
abses dengan kesembuhan yang lama.
8.
Gairah seksual menurun
dan cenderung impotensi.
9.
Jika ada luka terutama
di kaki biasanya akan sulit sembuh (ganggren) dan cenderung terus melebar
sehingga dapat diamputasi atau berakhir pada kematian.
10. Para
ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau
melahirkan dengan berat bayi > 4 kg (Widjadja,
2009).
11. Gigi
mudah goyah dan mudah lepas (Widjadja, 2009).
12. Bila
tidak lekas diobati akan timbul rasa mual bahkan penderita akan jatuh koma
(tidak sadarkan diri) dan disebut koma
diabetik.
Koma
diabetik adalah koma pada Diabetisi akibat kadar
glukosa darah terlalu tinggi, biasanya melebihi (600 mg/dl). Dalam praktek,
gejala dan penurunan berat badan inilah yang paling sering menjadi keluhan
utama penderita untuk pergi berobat ke dokter (Tjokroprawiro,
2007).
6.
Komplikasi
DM
a) Komplikasi
Akut
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia
merupakan salah satu komplikasi akut yang tidak jarang terjadi dan sering kali
membahayakan hidup penderitanya serta ditandai kadar gula yang melonjak turun
di bawah 50-60 mg/dl. Komplikasi ini dapat disebabkan faktor eksogen maupun
endogen (Misnadiarly,
2006).
Faktor
eksogen di antaranya akibat pemakaian insulin atau obat hipoglikemia oral yang
tidak terkontrol dan tidak diikuti asupan kalori yang memadai. Di negara maju,
hipoglikemia sering ditemukan pada penderita diabetes yang menggunakan insulin
atau obat hipoglikemia oral bersamaan dengan alkohol yang berlebihan tanpa
asupan kalori yang baik (Misnadiarly, 2006).
Menurut Garnadi (2007), hipoglikemia biasanya disebabkan
karena:
a. Asupan
kalori (makanan) kurang, terlalu ketat dalam membatasi asupan makanan, asupan
makanan berkurang karena sakit, kesibukan yang menyebabkan lupa makan.
b. Kelebihan
dosis suntikan insulin.
c. Aktifitas
yang berlebih namun asupan kalori kurang, misalnya setelah aktifitas berat atau
olahraga.
d. Pengidap
DM mengalami sakit lain selain DM yang menyebabkan tubuh butuh ekstra energi
atau sakit menyebabkan asupan makanan menjadi kurang.
Menurut Garnadi
(2007), gejala-gejala hipoglikemia yaitu :
a. Lapar,
mual, lemas
b. Pusing,
tekanan darah menurun
c. Mata
berkunang-kunang
d. Gelisah,
sulit berfikir, sulit bicara
e. Tampak
pucat, keringat dingin, tubuh gemetar dan berdebar-debar
f. Pada
keadaan berat tidak sadar (koma) dan kejang-kejang.
2. Hiperglikemi
Menurut
Garnadi (2007), keadaan hiperglikemi akut terjadi bila kadar gula darah sangat
tinggi diatas normal. Hiperglikemi disebabkan karena:
a. Asupan
makanan (energi) yang terlalu banyak, misalnya sepulang dari pesta, pengidap
tidak mengontrol makanannya.
b. Berhenti
atau lupa minum obat diabetes oral.
c. Berhenti
atau lupa menyuntikan insulin pada pengidap yang mendapatkan terapi insulin.
d. Adanya
stress fisik yang cukup berat karena pengidap mendapatkan penyakit lain,
misalnya serangan jantung.
3. Infeksi
Menurut
Misnadiarly (2006), pengidap diabetes
cenderung terkena infeksi karena 3 alasan utama yaitu :
a. Bakteri
tumbuh baik jika kadar glukosa darah tinggi.
b. Mekanisme
pertahanan tubuh rendah pada orang yang terkena diabetes.
c. Kompilkasi
terkait diabetes yang meningkatkan risiko infeksi.
Infeksi
yang pada umumnya menyerang pengidap diabetes termasuk infeksi kulit, infeksi
saluran kencing, penyakit pada gusi, tuberkulosis, dan beberapa jenis infeksi
jamur (Misnadiarly, 2006).
b. Komplikasi
Kronis
1) Penyakit
jantung dan pembuluh darah
DM
merupakan faktor risiko untuk menimbulkan penyakit jantung koroner (PJK). PJK
dapat menyebabkan gagal jantung. Kerusakan pembuluh darah menyebabkan aliran
darah berkurang. Apabila mengenai pembuluh darah kaki dapat terjadi diabetik. Gejala
awalnya luka sukar sembuh pada kaki yang berlanjut menjadi borok. Bila borok
menyebar dapat mengancam untuk dilakukan tindakan amputasi kaki (Garnadi, 2007).
Kelebihan
glukosa darah akan menekan dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah
secara alamiah membangun dinding lebih kuat. Namun dinding pembuluh darah yang
semakin tebal membuat pembuluh darah menjadi semakin kaku dan tidak elastis
lagi serta terganggu fungsinya, alih-alih menjadi lebih baik (Wicak, 2009).
Lama-kelamaan
pembuluh darah justru rusak atau tersumbat. Jika aliran darah mampet dan tidak lancar,
kita menyaksikan bahwa komplikasi diabetes ternyata dapat mengakibatkan
penderitanya menjadi berpenyakit jantung atau cardiovascular (Wicak, 2009).
2) Kerusakan
pada ginjal (Nefropati diabetik)
Nefropati
diabetik adalah gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput penyaring
darah. Diabetes mempengaruhi pembuluh darah kecil ginjal akibatnya efisiensi
ginjal untuk menyaring darah terganggu. Pasien dengan nefropati menunjukan
gambaran gagal ginjal menahun seperti lemas, mual, pucat sampai keluhan sesak
napas akibat penimbunan cairan. Adanya gagal ginjal dibuktikan dengan kenaikan
kadar kreatinin yang berkisar antara 2-7,1% pasien Diabetes Mellitus (Misnadiarly, 2006).
3) Kerusakan
Saraf (Neuropati)
Gula
darah tinggi menghancurkan serat saraf dan satu lapisan lemak di sekitar saraf.
Saraf yang rusak tidak bisa mengirimkan sinyal ke otak dengan baik, sehingga
akibatnya bisa kehilangan indera perasa, meningkatnya indera perasa atau nyeri
di bagian yang terganggu. Kerusakan saraf tepi tubuh lebih sering terjadi.
Kerusakan dimulai dari jempol kaki serta berlanjut hingga telapak kaki dan
seluruh kaki yang menimbulkan mati rasa, kesemutan, seperti terbakar, rasa
sakit, rasa tertusuk, atau kram pada otot kaki (Misnadiarly,
2006).
4) Kerusakan
pada mata (Retinopati diabetik)
Diabetes
juga dapat menimbulkan gangguan pada mata berupa retinopati diabetik. Keadaan ini, disebabkan rusaknya pembuluh
darah yang memberi makan retina. Bentuk kerusakan bisa bocor dan keluar cairan
atau darah yang membuat retina bengkak atau timbul endapan lemak yang disebut
eksudat (Russel, 2011).
5)
Diabetic
Ketoacidosis
Diabetic Ketoacidosis
(DKA) adalah komplikasi akut yang dialami penderita diabetes karena tubuh
keracunan keton. Hal ini terjadi, sebab tubuh yang kekurangan insulin memerintahkan
hati agar mengurai lemak menjadi keton untuk dipergunakan sebagai bahan bakar.
Apabila kejadian ini berlangsung secara periodik, tidak akan menimbulkan
masalah. Pada kasus DKA, hati terus menerus mengubah lemak menjadi keton,
sehingga keton tersebut menurunkan ph darah. Analisis urin akan menunjukkan
kandung keton (Wicak, 2009).
Gejala
DKA, antara lain, wajah pucat, jantung berdebar cepat, penderitanya mengalami
dehidrasi, dan sesak nafas; juga merasa sakit pada bagian perut. Penderita DKA
mesti segera ditolong secara medis. DKA lebih sering terjadi pada penderita
diabetes Tipe 1 daripada Tipe 2 (Wicak, 2009).
7.
Pencegahan
DM
a) Pencegahan
Primer
Pencegahan
primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok
risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk
menderita DM. Tentu saja untuk pencegahan primer ini harus dikenal
faktor-faktor yang berpengaruh pada timbulnya DM dan upaya yang perlu dilakukan
untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut (Misnadiarly,
2006).
Penyuluhan
sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer. Masyarakat luas melalui
lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus diikutsertakan.
Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti Departemen
Kesehatan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan perlu memasukkan upaya
pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan pendidikan kesehatan (Misnadiarly,
2006).
b) Pencegahan
Sekunder
Pencegahan
sekunder merupakan upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan
tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Deteksi
dini dilakukan dengan pemeriksaan penyaring, namun kegiatan tersebut memerlukan
biaya besar. Memberikan pengobatan penyakit sejak awal berarti mengelola DM
dengan baik agar timbul penyulit lanjut DM. Dalam mengelola pasien DM, sejak
awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya
komplikasi. Penyuluhan mengenai DM dan pengelolaannya memegang peran penting
untuk meningkatkan kepatuhan pasien berobat (Misnadiarly,
2006).
c) Pencegahan
Tersier
Jika penyakit menahun DM ternyata terjadi juga, maka
pengelola harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.
Sebagai contoh obat aspirin dosis rendah (80-325 mg) dapat dianjurkan untuk
diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah mempunyai makroangiopati (pembuluh
darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak, pembuluh darah kapiler
retina mata, pembuluh darah kapiler ginjal) (Misnadiarly,
2006).
Penyakit
DM dapat dicegah dengan cara menghilangkan atau menghindari faktor risiko yang
dapat diubah, yaitu sebagai berikut (Sutedjo,
2010) :
1. Mengatur pola makan, lebih-lebih bagi seseorang yang sudah
memiliki faktor risiko yang tidak dapat diubah, yaitu usia mendekati 40 tahun
dan ada riwayat keturunan DM. Pola makan yang baik yaitu makanan alami tinggi
serat dan tinggi protein.
2. Mencegah
kegemukan dengan olahraga teratur dan menyeimbangkan antara aktivitas dengan
pola makan.
Manfaat olahraga
yang dilakukan secara rutin dan teratur bagi penderita DM adalah :
a) Menurunkan
kadar gula darah.
b) Memperlancar
peredaran darah sehingga retensi insulin berkurang dan sensitivitas atau
kepekaan insulin bertambah.
c) Menurunkan
berat badan, mencegah kegemukan yang akan memperberat peningkatan kebutuhan
insulin.
d) Mengurangi
terjadinya komplikasi yang berkaitan dengan peningkatan lemak darah, dengan
cara memperbaiki metabolisme lemak dan meningkatkan kadar HDL sebagai faktor
pelindung dari kejadian penyakit jantung koroner.
e) Mempertahankan
tekanan darah agar tidak bertambah dan mengurangi hiperkoagulasi dalam pembuluh
darah yang menyebabkan sumbatan.
3. Menghindari
konsumsi obat yang menjadikan kadar gula darah tinggi (diabetogenik atau antagonistik
insulin) jangka panjang, misalnya: glukagon, adrenalin, ekstrak tiroid, dan
obat kontrasepsi hormonal.
4. Konseling
perkawinan untuk menghindari perkawinan antara wanita dan pria yang keduanya
mempunyai dominasi menurunkan penyakit DM tipe I maupun II.
B.
Faktor
Risiko DM
1.
Faktor
risiko tidak dapat diubah
a. Umur
Diabetes
Mellitus dapat menyerang segala usia dan tingkat sosial ekonomi. Di Indonesia
terdapat 1,2-2,3% penderita DM dari seluruh penduduk yang berusia di atas 15
tahun (Tara, 2007).
Biasanya
untuk diabetes mellitus tipe II terjadi pada usia > 40 tahun. Tingginya usia
seiring dengan banyaknya paparan yang mengenai seseorang dari unsur-unsur di
lingkungannya terutama makanan (Sutedjo, 2010).
b. Jenis
Kelamin
Pasien
perempuan ternyata lebih peduli pada kondisi badannya (berat badan)
dibandingkan laki-laki. Penelitian ini dilaporkan oleh Bell, Summerson,
Spangler & Konen, (1998). Pada pasien perempuan itu, pertambahan lemak
tubuh berkorelasi positif dengan stres dan berkorelasi negatif dengan emosi
positif (gembira,dll). Pada gilirannya stres dan emosi negatif itu bisa memicu
perilaku yang justru menambah lemak (Tara, 2007).
Menurut Wicak (2009) bahwa
perbedaan jenis kelamin tidak ada data akurat yang dapat memastikan bahwa
laki-laki atau perempuan yang lebih rentan terserang diabetes. Angka-angka pada
suatu wilayah berbeda dengan wilayah lain, sehingga tidak dapat ditarik suatu
kesimpulan. Baik pria maupun wanita dianggap memiliki risiko sama besar terserang
diabetes. Namun ada catatan bahwa pada wilayah yang angka penderita diabetesnya
tinggi, pria lebih mudah terserang diabetes, terutama pria berusia lanjut;
sedangkan pada wilayah yang angka penderita diabetesnya rendah, justru wanita
lebih mudah terserang diabetes.
c. Riwayat
Keluarga
Risiko
mendapatkan diabetes mellitus akan tinggi bila ada anggota keluarga (ayah, ibu)
dengan riwayat diabetes mellitus. Faktor keturunan saja tidak cukup untuk
menjadikan seseorang mengidap diabetes bila tidak didukung oleh berbagai faktor
risiko lainnya. Jadi walaupun orang tua mengidap DM belum tentu anaknya
mengidap DM (Garnadi, 2007).
Faktor
keturunan memang memegang peranan penting pada kejadian penyakit ini. Hal ini
dikuatkan oleh timbulnya penyakit ini dalam keluarga. Apabila orang tua (salah
satu atau keduanya) menderita diabetes, maka kemungkinan anak-anaknya menderita
penyakit ini lebih besar. Namun demikian kini telah diketahui bahwa terdapat
faktor-faktor lain juga disamping keturunan yang dapat mencetuskan penyakit
ini, seperti infeksi oleh virus, kegemukan, kesalahan pada pola makan, proses
menua, stress, minum obat-obatan yang mempunyai efek samping menaikkan kadar
glukosa darah dan lain-lain (Tara, 2007).
Dalam penelitian ini, peneliti tidak meneliti
faktor risiko riwayat keluarga. Karena faktor genetik hanya diturunkan oleh
keluarga yang mempunyai hubungan darah (ayah). Sehingga untuk mengurangi bias
penelitian ini, peneliti tidak mencantumkan faktor risiko riwayat keluarga.
2.
Faktor
risiko dapat diubah
a. Berat
badan lebih (Indeks Massa Tubuh/IMT)
Indeks massa tubuh (IMT) atau Body Mass
Indeks (BMI), adalah hasil pengukuran
berat badan dibagi dengan tinggi
badan. Yang memberikan gambaran akurat
tentang lemak tubuh.
IMT yang dianggap normal
adalah antara 18,6-24,9
sedangkan IMT yang melebihi
dari 25 berarti
kelebihan berat badan,
dan nilai yang >29
didefinisikan sebagai obesitas
(Freeman dan Junge, 2008).
Berat
badan lebih atau obesitas terjadi bila makanan yang dimakan mengandung energi
melebihi kebutuhan tubuh, sehingga kelebihan energi tersebut akan disimpan
tubuh sebagai cadangan energi dalam bentuk lemak yang mengakibatkan seseorang
menjadi gemuk. Bila makan berlebih dalam jangka waktu lama, cadangan lemak yang
ditimbun menjadi lebih banyak lagi sehingga seseorang menjadi obesitas (Depkes RI, 2008).
Ada beberapa
faktor yang mendasari seseorang makan berlebih antara lain:
1) Kecemasan
atau pada orang yang cenderung depresi sering mencari ketenangan dengan makan
banyak.
2) Kebiasaan
ngemil (makan diluar jam makan) goreng-gorengan atau makanan jajanan yang
mengandung tinggi kalori dan protein.
3) Mengikuti
gaya hidup modern (life style), makan
berlebih dan kurang olahraga atau aktivitas fisik.
Kelebihan
berat badan merupakan salah satu faktor risiko DM. Cara sederhana untuk
mengetahui kelebihan berat badan adalah dengan mengukur Indeks Massa Tubuh
(IMT). Penggunaan IMT disini hanya berlaku untuk orang dewasa > 18 tahun dan
tidak dapat diterapkan untuk pengukuran status gizi bayi anak, remaja dan ibu
hamil serta olahragawan (Depkes RI, 2008).
Batas
ambang IMT untuk orang Indonesia dikategorikan merujuk WHO yang telah
dimodifikasi bedasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa
Negara berkembang.
Rumus mencari
IMT yaitu :
IMT = Berat
Badan (Kg)
Tinggi Badan (m2)
Tabel 2.2. Batas Ambang
IMT
KATEGORI
|
IMT
|
|
Kurus
|
Kekurangan berat badan tingkat berat
|
< 17,0
|
Kekurangan berat badan tingkat ringan
|
17,0 – 18,4
|
|
Normal
|
18,5 – 25,0
|
|
Kegemukan
|
Kelebihan berat badan tingkat ringan
|
> 25,0 – 27,0
|
Kelebihan berat badan tingkat berat
|
> 27,0
|
Sumber
: Pedoman Praktis memantau status gizi orang dewasa, Depkes RI 1994.
b. Aktivitas
Fisik
Kebugaran
jasmani dapat menggambarkan kondisi fisik seseorang untuk mampu melakukan
kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari. Makin tinggi tingkat
kebugaran jasmani seseorang makin tinggi kemampuan fisik dan produktivitas
kerjanya, misalnya seseorang masih sanggup melakukan aktivitas fisik rutin dan
mengisi waktu senggangnya serta masih memiliki cukup tenaga untuk menghadapi
hal-hal yang bersifat mendadak. Selain itu masih mampu mengatasi stress
lingkungan yang dapat mengganggu kesehatannya (Depkes
RI, 2008).
Latihan
fisik/olahraga pada diabetisi dapat menyebabkan peningkatan pemakaian glukosa
darah oleh otot yang aktif sehingga latihan fisik/olahraga secara langsung
dapat menyebabkan penurunan kadar lemak tubuh, mengontrol kadar glukosa darah,
memperbaiki sensitivitas insulin, menurunkan stress, mencegah terjadinya DM
tipe 2 pada penderita gangguan toleransi glukosa dan lain-lain (Depkes RI, 2008).
Penggolongan
aktifitas fisik menurut WHO, yang sesuai dengan pengendalian faktor risiko DM
adalah dengan melakukan latihan fisik sedang sampai berat selama 30 menit atau
lebih secara terus menerus dan dilakukan seminggu 3 (tiga) kali (selang sehari)
merupakan aktivitas fisik yang dapat meningkatkan kebugaran jasmani (Depkes,
2008).
c. Kebiasaan
Merokok
Rokok
merupakan produk utama dari tembakau yang mengandung unsur tar termasuk
golongan senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon, mengandung nikotin CO, HCN,
dan benzopyrene (Depkes RI, 2008).
Aktivitas
perokok dapat dibagi dua golongan, yakni : perokok aktif dan perokok pasif
(bukan perokok, tetapi secara teratur kontak dengan lingkungan yang berasap
rokok). Perokok pasif menghisap asap rokok 75% dari asap rokok yang dikeluarkan
perokok aktif. Diabetisi yang merokok cenderung mengalami penyakit yang
berkaitan dengan pembuluh darah sehingga lebih banyak mengalami komplikasi
seperti kebutaan, impotensi, gagal ginjal dan tindakan amputansi (Depkes RI, 2008).
d. Pola
Makan
Konsumsi
makanan yang tidak seimbang, tinggi gula dan rendahnya serat juga merupakan
faktor risiko dari DM. Perencanaan makanan yang dianjurkan seimbang dengan
komposisi energi yang dihasilkan oleh karbohidrat, protein dan lemak, seperti :
karbohidrat = 45-65%, protein = 10-20% dan lemak = 20-25% (Depkes RI, 2008).
Pergeseran
pola makan dalam masyarakat kita seiring dengan kemajuan teknologi, membuat
kita beralih dari mengonsumsi makanan tradisional ke makanan siap saji yang
kaya lemak jenuh. Makan tidak lagi memikirkan menu sehat melainkan asal kenyang
dan enak. Jadwal makan pun tidak teratur, kadang tidak sempat sarapan, kadang
tidak makan siang (Waluyo, 2009).
Dalam penelitian
ini, peneliti tidak memasukkan faktor risiko pola makan. Karena keterbatasan
yang dimiliki peneliti, selain itu peneliti tidak mengetahui ukuran yang pasti
tentang pola makan yang salah sebagai faktor risiko Diabetes Mellitus.
e. Kadar
Kolesterol
Menurut Hardjono (2009), kadar lemak darah
yang paling sehat adalah :
1. Kolesterol
total di bawah 200 mg/dL.
2. Kolesterol
LDL (kolesterol yang tidak baik) di
bawah 130 mg/dL.
3. Kolesterol
HDL (kolesterol yang baik) lebih dari 35 mg/dL.
4. Trigliserida
di bawah 200 mg/dL.
Orang
yang memiliki diabetes biasanya memiliki kadar kolesterol tinggi dan/atau kadar
trigleserida yang tinggi. Tubuh menggunakan kolesterol untuk membangun dinding
sel dan memproduksi berbagai vitamin dan hormon. Tubuh menggunakan trigliserida
sebagai timbunan lemak.
Timbunan
lemak akan membuat tubuh merasa hangat, melindungi organ tubuh dan merupakan
cadangan energi bagi tubuh. Pada saat timbunan lemak tak terkendali, mereka
berkumpul dan mengeras menjadi plak arteri yang menghalangi aliran darah menuju
jantung (Hardjono,
2009).
Tabel 2.3. Standar
Kadar Lemak Darah
Profil Lemak
|
Diinginkan
mg/dl
|
Diwaspadai
mg/dl
|
Berbahaya
mg/dl
|
Kolesterol Total
|
<
200
|
200-239
|
>240
|
Kolesterol LDL
|
<130
|
130-159
|
>160
|
Kolesterol HDL
|
>45
|
36-44
|
<35
|
Trigliserida
|
<200
|
200-399
|
>400
|
Sumber: Konsesus Nasional Pengelolaan Dislipidemia Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar