A.
Tuberkulosis
1.
Pengertian
Tuberkulosis
TBC
(Tuberkulosis) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Kebanyakan
TBC menyerang paru-paru, namun juga dapat menyerang bagian tubuh lain seperti
selaput otak, kulit, tulang, kelenjer getah bening, dan bagian tubuh lainnya (Depkes
RI, 2006).
2.
Epidemiologi
Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO
jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus
TB di dunia.
Namun
bila dilihat dari jumlah pendduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di
Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia Tenggara yaitu 350 per 100.000
penduduk.
Diperkirakan
angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun.
Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB
terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39
orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu
83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan
peningkatan cepat kasus TB yang muncul (Avicenna,
2009).
3.
Penyebab
Tuberkulosis
Penyebab TBC adalah Mycobacterium tuberculosi, sejenis kuman berbentuk batang mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan karena itu disebut pula
Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung,
tetapi kuman dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab
(Depkes RI, 2006).
4.
Penularan
Tuberkulosis
Lingkungan hidup yang sangat padat dan
pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses
penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB.
Proses terjadinya infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis biasanya
secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling
sering disbanding orang lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui
inhalasi basil yang mengandung droplet
nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah
atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA) (Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, 2006).
5.
Riwayat
Terjadinya Tuberkulosis
a. Infeksi
Primer :
Infeksi primer terjadi saat seseorang
terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil
ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan
terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai
saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru.
Yang mengakibatkan peradangan di dalam
paru, saluran linfe akan membawa kuma TB ke kelenjar linfe disekitar hilus
paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi
sampai pembentukan kompleks primer adalah 4 - 6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan
terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur).
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur).
Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak
mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu
yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6
bulan.
b. Tuberkulosis
Pasca Primer (Post Primary TB) :
Tuberkulosis pasca primer biasanya
terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya
karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang
buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas
dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Pusat Informasi penyakit Infeksi,
2007).
6.
Komplikasi
pada Penderita Tuberkulosis
Komplikasi berikut sering terjadi pada
penderita stadium lanjut :
a. Hemoptisis
berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian
karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas.
b. Kolaps
dari lobus akibat retraksi bronkial.
Bronkiectasis dan
Fibrosis pada paru. Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan
jaringan paru. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
persendian, ginjal dan sebagainya. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio
Pulmonary Insufficiency).
Penderita yang mengalami komplikasi
berat perlu dirawat inap di rumah sakit. Penderita TB paru dengan kerusakan
jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah.
Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh.
Pada kasus seperti ini, pengobatan
dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simptomatis. Bila
perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik (Pusat Informasi
penyakit Infeksi, 2007).
7.
Keluhan
dan Gejala TB Paru
Keluhan yang dirasakan pasien
tuberkulosis dapat bermacam – macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru
tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan.
Keluhan yang terbanyak adalah :
a. Demam
Biasanya
subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang – kadang panas badan dapat
mencapai 40-41◦C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar.
Tetapi
kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam
influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan
demam. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat
ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
b. Batuk/batuk darah
Gejala
ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk
ini diperlukan untuk membuang produk – produk radang keluar.
Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru
ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu –
minggu atau berbulan – bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk
kering (non-prodiktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis
terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak
nafas
Pada
penyakit yang ringan (baru kambuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yng infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru – paru.
d. Nyeri
dada
Gejala
ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke plura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu Pasien menarik/melepaskan nafasnya.
e. Malaise
Penyakit
tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan,
badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot,
keringat malam, dan lain – lain. Gejala malaise
ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur
(Departemen Ilmu Penyakit Dalam, 2006).
8.
Penetapan
Diagnosa TB Paru
a.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan
umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena
anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan
fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasus –
kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik.
Demikian juga bila sarang penyakit
terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, karena
hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara
palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara anam-nesis dan pemeriksaan fisik, TB
paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Dalam
penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigaidengan
didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji
tuberkulin yang positif (Departemen Ilmu Penyakit Dalam, 2006).
b.
Pemeriksaan Radiologis
Pada
saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan
lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih dibandingkan
pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti
pada tuberkulosis anak – anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal di atas
diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan
pemeriksaan sputum hampir selalu negative (Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
2006).
c.
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena
hasilnya kadang-kadang meragukan, tidak sensitif, tidak juga spesifik. Pada
saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibwah
normal. Laju endap darah mulai meningkat. Jika penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit
kembali normal, dan jumlah limfosit masih tinggi.
Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Bisa
juga didapatkan anemia ringan dengan gambaran normokron dan normositer, gama
globulin meningkat dan kadar natrium darah menurun (Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, 2006).
f.
Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan
ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di
samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap
pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat
dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk
mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif.
Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan
sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan
refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik
eks-pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit.
Bila masih sulit, sputum dapat diperoieh dengan cara bronkoskopi diambil dengan
brushing atau bronchial washing atau BAL (bronchn alveolar lavage).
BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan
lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit
mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin
Bila
sputum sudah didapat. kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman BTA
dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar,
sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Diperkirakan di
Indonesia terdapat 50% pasien BTA positif tetapi kuman tersebut tidak ditemukan
dalam sputum mereka. Kritewia sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditetnukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Penemuan penderita
Tuberkulosis (Departemen Ilmu Penyakit Dalam, 2006).
9.
Klasifikasi
Penyakit
a. Klasifikasi
berdasarkan organ tubuh yang terkena :
1) Tuberkulosis
paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru)dan kelenjer pada hilus.
2) Tuberkulosis
Extra Paru. Tuberrkulosis extra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjer limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain – lain.
b. Klasifikasi
berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB paru :
1) Tuberkulosis
paru BTA positif
a)
Sekurang – kurangnya 2
dari 3 spesimen dahak SPS hasilny BTA positif.
b)
1 spesimen dahak SPS
hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c)
1 spesimen dahak SPS
hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d)
1 atau lebih spesimen
dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya
hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT.
2) Tuberkulosis
paru BTA negatif
Kasus
yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif, kriteria diagnostik TB
paru BTA negatif harus meliputi :
a) Paling
tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
b) Foto
toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan
(dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
c. Klasifikasi
berdasarkan tingkat keparahan penyakit
1) TB
paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
2) Bentuk
berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang
luas (misalnya proses “far advanced”),
dan atau keadaan umum pasien buruk.
3) TB extra-paru dibagi berdasarkan pada
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
a)
TB extra paru ringan, misalnya : TB kelenjer limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjer adrenal.
b) TB extra paru berat, misalnya :
meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuriotis eksudativa bilateral,
TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
d. Klasifikasi
berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi
berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien,
yaitu :
1) Baru
Adalah
pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).
2)
Kambuh (Relaps)
Adalah pasien
tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan senbuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA
positif (apusan dan kultur).
3)
Pengobatan setelah
putus berobat (Default)
Adalah pasien
yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4)
Gagal (Failure)
Adalah pasien
yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5)
Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien
yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6)
Lain – lain
Adalah semua kasus yang
tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik,
yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006).
10.
Faktor
– faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru BTA positif
a. Faktor Umur.
Beberapa
faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu umur, jenis
kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS.
Dari
hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan
orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi
tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden
tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia
diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50
tahun (Prabu, 2008).
Menurut
penelitian syamsuardi (2008), distribusi kejadian TB paru terbanyak pada umur
produktif (16-55 tahun) 59,5%.
b. Faktor Jenis Kelamin.
Di
benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996
jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah
penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada
wanita.
Antara
tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%,
sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak
terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian
besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru
(Prabu, 2008).
c. Imunisai/Kekebalan
Pencegahan
dengan Imunisasi atau vaksinasi merupakan tindakan yang mengakibatkan seseorang
mempunyai ketahanan tubuh yang lebih baik, sehingga mampu mempertahankan diri
terhadap penyakit atau masuknya kuman dari luar. Vaksinasi terhadap penyakit
tuberkulosis adalah vaksinasi Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Pemberian
imunisasi BCG merupakan bagian dari faktor imunisasi yang dianalisa untuk memprediksi
kejadian TB paru BTA positif.
Hasil
penelitian Murniasih dan Livana (2007), menunjukkan Adanya hubungan antara
pemberian imunisasi BCG dengan kejadian Tuberkulosis Paru pada anak balita. Hal
ini ditunjukkan dengan nilai OR < 1 yaitu, OR= 0,489, yang berarti penderita
Tuberkulosis Paru tidak mendapatkan imunisasi BCG lebih besar 0,489 kali
dibanding yang tidak menderita
Tuberkulosis Paru.
d. Tingkat Pendidikan
Tingkat
pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya
mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru,
sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk
mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat (Prabu, 2008).
Menurut
penelitian Desri (2008), menyatakan bahwa kebanyakan kasus TB paru BTA positif
50% dari kalangan yang berpendidikan
rendah yaitu yang berpendidikan SD dan SMP.
e. Pekerjaan
Jenis
pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu.
Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah
terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan
kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya
gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
Hasil
penelitian Desri menunjukkan bahwa pada kelompok responden dengan jenis
pekerjaan yang berisiko tinggi (supir, buruh/tukang, pensiunan, dan belum
bekerja) 74,1 % menderita TB paru. Sedangkan responden dengan jenis pekerjaan
yang berisiko sedang (karyawan, PNS/TNI, polri, pedagang, dan wiraswasta)
terdapat 25,9% menderita TB paru.
Penelitian
ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan berpotensi bagi terjadin ya TB paru.
Potensi tersebut terjadi lebih karena jenis pekerjaan berhubungan dengan
tingkat penghasilan seseorang sehingga dapat memenuhi kebutuhan intake zat –
zat gizi untuk meningkatkan daya tahan tubuhterhadap serangan bibit penyakit.
f. Kebiasaan Merokok
Bahaya merokok terhadap kesehatan tubuh telah diteliti
oleh banyak orang. Efek-efek yang merugikan akibat merokok pun sudah diketahui
dengan jelas. Banyak penelitian membuktikan bahwa kebiasaan merokok
meningkatkan risiko timbulnya berbagai penyakit.
Seperti penyakit
jantung dan gangguan pembuluh darah, kanker paru-paru, kanker rongga mulut,
kanker laring, kanker osefagus, bronkhitis, tekanan darah tinggi, impotensi, serta
gangguan kehamilan dan cacat pada janin (Admin, 2010).
Tipe
– tipe perokok :
1) Perokok ringan
Perokok ringan menghabiskan rokok
sekitar 10 batang dengan selang waktu 60 menit dari bangun pagi.
2)
Perokok sedang
Perokok sedang menghabiskan rokok 11 –
21 batang dengan selang waktu 31-60 menit setelah bangun pagi.
3) Perokok berat
Perokok berat merokok sekitar 21- 30
batang sehari dengan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara 6 - 30
menit.
4)
Perokok sangat berat
Mereka yang dikatakan perokok sangat berat adalah bila
mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang perhari dan selang merokoknya lima
menit setelah bangun pagi.
Hasil
penelitian Syamsuardi (2008) menunjukkan bahwa kebiasaan merokok merupakan
faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian TB paru. Individu yang perokok
3,8 kali kemungkinan risiko terjadinya TB paru dibandingkan dengan individu
yang tidak merokok.
g. Riwayat Penyakit Lain
Penyakit lain khususnya penyakit infeksi
seperti HIV/AIDS lebih mudah terserang penyakit TB Paru karena penderita
mengalami daya tahan tubuh menurun sehingga tidak dapat mengendalikan kuman
yang masuk ke dalam tubuh.Di beberapa negara di Afrika sub-Sahara 20-70% pasien
dengan tuberkulosis menunjukkan HIV positif.
Keadaan atau penyakit yang pernah
diderita oleh penderita yang mungkin sehubungan dengan tuberkulosis paru antara
lain ISPA, efusi pleura serta tuberkulosis paru yang kembali aktif.
Penyakit lain yang mempengaruhi TB Paru
juga adalah penyakit kronis lain (seperti Diabetes Melitus). Penelitian Umar
dengan penelitian prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun
2005 melaporkan bahwa penderita yang memiliki penyakit kronis selain TB Paru
0,3 kali lebih sulit sembuh dari pada penyakit akut pada penyakit TB Paru.
h. Kepadatan hunian
Luas
lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya
luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya
agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
Menurut
penelitian Novita (2008), menjelaskan hubungan kepadatan penghuni serumah
dengan kejadian Tb paru BTA positif, diperoleh dari OR = 1,19. Hal ini berarti bahwa kejadian TB Paru BTA
positif pada rumah yang penghuninya padat berisiko 1,19 kali dibandingkan
dengan rumah yang tidak padat penghuninya akan menjadi faktor resiko untik
menderita penyakit TB paru BTA positif.
i.
Pencahayaan
Untuk
memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum
20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka
dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh
bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah
yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Intensitas
pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux.,
kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup. Semua jenis
cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan
kuman untuk setiap jenisnya.
Cahaya
yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman
dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan
kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari
dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan
antar penghuni akan sangat berkurang (Prabu, 2008).
Hasil penelitian Adnani dan
Mahastuti (2006), menunjukkan dari analisa tabulasi
silang diperoleh odds ratio sebesar 5,17 ( 95%CI 1,55-17,20) dengan
hasil OR tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk menderita TBC Paru
5 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang ventilasinya
tidak memenuhi syarat.
j.
Ventilasi
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di
dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban
udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit dan penyerapan.
Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman
TB.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas
lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen
minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup)
5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban
udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban udara
optimum kurang lebih 60% (Prabu, 2008).
Hasil penelitian Desri (2008) menunjukkan terdapat
hubungan bermakna anatara ventilasi kamar tidur dengan kejadian TBC paru BTA
positif dengan diperoleh nilai OR = 4,2 yang berarti kejadian TB paru BTA
positif pada ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan,
berisiko 4,2 kali dibandingkan dengan ventilasi kamar tidur yang memenuhi
syarat.
k. Kelembaban
udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh
kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar
22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab.
Hasil penelitian Syamsuardi (2008), dari hasil uji
nstatistik nilai p = 0,00 (p <0,05) yang berarti ada hubungan kelembaban
dengan kejadian TB paru dengan nilai OR 0,076 yang artinya kelembaban kamar
yang memenui syarat kesehatan 0,076 kali lebih lambat untuk kejadian TB paru
dibandingkan dengan kelembaban yang tidak meemnuhi syarat kesehatan.
l.
Status Gizi
Hasil penelitian Desri (2008) menunjukkan bahwa orang
dengan status gizi kurang mempunyai risiko TB paru BTA positif. Kekurangan gizi
pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon
immunologik terhadap penyakit. Terdapat hubungan yang bermakna antara status
gizi dengan kejadian TB paru pada kasus kontak dengan nilap P <0,05 dan OR =
6,563. Artinya kejadian Tbparu BTA positif pada mereka dengan status gizi
kurang (IMT , 18,5) berisiko 5,32 kali dibandingkan dengan mereka yang status
gizi baik.
11.
Penemuan
Penderita Tuberkulosis
Kegiatan
penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama
dalam kegiatan program penanggulangan TB.
Penemuan
dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan
kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus
merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.
Strategi
penemuan penderita TB :
a. Penemuan
pasien TB dilakukan secara aktif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka
pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan, di dukung dengan penyuluhan
secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan
cakupan penemuan tersangka pasien TB.
b. Pemeriksaan
terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga
anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
c. Penemuan
secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif (Depkes RI, 2006).
12.
Risiko
Penularan
Resiko
penularan setiap tahun (Annual Risk Of
Tuberculosis Infection) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi
antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI (Annual
Risk Of Tuberculosis Infection) sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara
1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi.
Sebagian besar dari orang yang terinfeksi
tidak akan menjadi penderita TBC, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang
akan menjadi penderita TBC (Depkes RI, 2008).
13.
Pengobatan
TB
Pengobatan TB paru menggunakan obat antituberkulosis
(OAT) dengan strategi Directly Observed
Treatments Shortcourse (DOTS). Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan
pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar