Google ads

Senin, 11 Januari 2016

Tuberkulosis



A.    Tuberkulosis
1.      Pengertian Tuberkulosis
TBC (Tuberkulosis) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Kebanyakan TBC menyerang paru-paru, namun juga dapat menyerang bagian tubuh lain seperti selaput otak, kulit, tulang, kelenjer getah bening, dan bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).
2.      Epidemiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia.
Namun bila dilihat dari jumlah pendduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia Tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul (Avicenna, 2009).
3.      Penyebab Tuberkulosis
Penyebab TBC adalah Mycobacterium tuberculosi, sejenis kuman berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi kuman dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab (Depkes RI, 2006).
4.      Penularan Tuberkulosis
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB.
Proses terjadinya infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering disbanding orang lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA) (Departemen Ilmu Penyakit Dalam, 2006).
5.      Riwayat Terjadinya Tuberkulosis
a.       Infeksi Primer :
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru.
Yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran linfe akan membawa kuma TB ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4 - 6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur).
Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
b.      Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB) :
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Pusat Informasi penyakit Infeksi, 2007).
6.      Komplikasi pada Penderita Tuberkulosis
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :
a.       Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas.
b.      Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
Bronkiectasis dan Fibrosis pada paru. Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit. Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh.
Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik (Pusat Informasi penyakit Infeksi, 2007).
7.      Keluhan dan Gejala TB Paru
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam – macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan.
Keluhan yang terbanyak adalah :
a.       Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang – kadang panas badan dapat mencapai 40-41◦C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar.
Tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
b.       Batuk/batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk – produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu – minggu atau berbulan – bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-prodiktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
c.       Sesak nafas
Pada penyakit yang ringan (baru kambuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yng infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru – paru.
d.      Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke plura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu Pasien menarik/melepaskan nafasnya.
e.       Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dan lain – lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Departemen Ilmu Penyakit Dalam, 2006).
8.      Penetapan Diagnosa TB Paru
a.                             Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasus – kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik.

Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, karena hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara anam-nesis dan pemeriksaan fisik, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigaidengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif (Departemen Ilmu Penyakit Dalam, 2006).
b.                            Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak – anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal di atas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negative (Departemen Ilmu Penyakit Dalam, 2006).
c.                             Pemeriksaan darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-kadang meragukan, tidak sensitif, tidak juga spesifik. Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibwah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Jika penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal, dan jumlah limfosit masih tinggi.
Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Bisa juga didapatkan anemia ringan dengan gambaran normokron dan normositer, gama globulin meningkat dan kadar natrium darah menurun (Departemen Ilmu Penyakit Dalam, 2006).
f.       Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif.
Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoieh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (bronchn alveolar lavage).
BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin
Bila sputum sudah didapat. kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman BTA dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50% pasien BTA positif tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam sputum mereka. Kritewia sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditetnukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Penemuan penderita Tuberkulosis (Departemen Ilmu Penyakit Dalam, 2006).
9.      Klasifikasi Penyakit
a.       Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :
1)   Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru)dan kelenjer pada hilus.
2)   Tuberkulosis Extra Paru. Tuberrkulosis extra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjer limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain – lain.
b.      Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB paru :
1)   Tuberkulosis paru BTA positif
a)         Sekurang – kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilny BTA positif.
b)        1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c)         1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d)        1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2)   Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif, kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi :
a)     Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
b)      Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c)      Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d)     Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
c.       Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
1)   TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
2)   Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
3) TB extra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu :
a)  TB extra paru ringan, misalnya : TB kelenjer limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjer adrenal.
b) TB extra paru berat, misalnya : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuriotis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
d.      Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu :


1)   Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2)                                        Kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan senbuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan dan kultur).
3)                                        Pengobatan setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4)                                        Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5)                                        Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6)                                        Lain – lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006).
10.  Faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru BTA positif
a.       Faktor Umur.
Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS.
Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Prabu, 2008).
Menurut penelitian syamsuardi (2008), distribusi kejadian TB paru terbanyak pada umur produktif (16-55 tahun) 59,5%. 
b.      Faktor Jenis Kelamin.
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita.
Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru (Prabu, 2008).
c.       Imunisai/Kekebalan
Pencegahan dengan Imunisasi atau vaksinasi merupakan tindakan yang mengakibatkan seseorang mempunyai ketahanan tubuh yang lebih baik, sehingga mampu mempertahankan diri terhadap penyakit atau masuknya kuman dari luar. Vaksinasi terhadap penyakit tuberkulosis adalah vaksinasi Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Pemberian imunisasi BCG merupakan bagian dari faktor imunisasi yang dianalisa untuk memprediksi kejadian TB paru BTA positif.
Hasil penelitian Murniasih dan Livana (2007), menunjukkan Adanya hubungan antara pemberian imunisasi BCG dengan kejadian Tuberkulosis Paru pada anak balita. Hal ini ditunjukkan dengan nilai OR < 1 yaitu, OR= 0,489, yang berarti penderita Tuberkulosis Paru tidak mendapatkan imunisasi BCG lebih besar 0,489 kali dibanding  yang tidak menderita Tuberkulosis Paru.


d.      Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat (Prabu, 2008).
Menurut penelitian Desri (2008), menyatakan bahwa kebanyakan kasus TB paru BTA positif 50%  dari kalangan yang berpendidikan rendah yaitu yang berpendidikan SD dan SMP.
e.       Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
Hasil penelitian Desri menunjukkan bahwa pada kelompok responden dengan jenis pekerjaan yang berisiko tinggi (supir, buruh/tukang, pensiunan, dan belum bekerja) 74,1 % menderita TB paru. Sedangkan responden dengan jenis pekerjaan yang berisiko sedang (karyawan, PNS/TNI, polri, pedagang, dan wiraswasta) terdapat 25,9% menderita TB paru.
Penelitian ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan berpotensi bagi terjadin ya TB paru. Potensi tersebut terjadi lebih karena jenis pekerjaan berhubungan dengan tingkat penghasilan seseorang sehingga dapat memenuhi kebutuhan intake zat – zat gizi untuk meningkatkan daya tahan tubuhterhadap serangan bibit penyakit.
f.       Kebiasaan Merokok
Bahaya merokok terhadap kesehatan tubuh telah diteliti oleh banyak orang. Efek-efek yang merugikan akibat merokok pun sudah diketahui dengan jelas. Banyak penelitian membuktikan bahwa kebiasaan merokok meningkatkan risiko timbulnya berbagai penyakit.
Seperti penyakit jantung dan gangguan pembuluh darah, kanker paru-paru, kanker rongga mulut, kanker laring, kanker osefagus, bronkhitis, tekanan darah tinggi, impotensi, serta gangguan kehamilan dan cacat pada janin (Admin, 2010).
                        Tipe – tipe perokok :
1)      Perokok ringan
Perokok ringan menghabiskan rokok sekitar 10 batang dengan selang waktu 60 menit dari bangun pagi.
2)      Perokok sedang
Perokok sedang menghabiskan rokok 11 – 21 batang dengan selang waktu 31-60 menit setelah bangun pagi.

3)      Perokok berat
Perokok berat merokok sekitar 21- 30 batang sehari dengan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara 6 - 30 menit.
4)      Perokok sangat berat
Mereka yang dikatakan perokok sangat berat adalah bila mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang perhari dan selang merokoknya lima menit setelah bangun pagi.
Hasil penelitian Syamsuardi (2008) menunjukkan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian TB paru. Individu yang perokok 3,8 kali kemungkinan risiko terjadinya TB paru dibandingkan dengan individu yang tidak merokok.
g.      Riwayat Penyakit Lain
Penyakit lain khususnya penyakit infeksi seperti HIV/AIDS lebih mudah terserang penyakit TB Paru karena penderita mengalami daya tahan tubuh menurun sehingga tidak dapat mengendalikan kuman yang masuk ke dalam tubuh.Di beberapa negara di Afrika sub-Sahara 20-70% pasien dengan tuberkulosis menunjukkan HIV positif.
Keadaan atau penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang mungkin sehubungan dengan tuberkulosis paru antara lain ISPA, efusi pleura serta tuberkulosis paru yang kembali aktif.
Penyakit lain yang mempengaruhi TB Paru juga adalah penyakit kronis lain (seperti Diabetes Melitus). Penelitian Umar dengan penelitian prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa penderita yang memiliki penyakit kronis selain TB Paru 0,3 kali lebih sulit sembuh dari pada penyakit akut pada penyakit TB Paru.
h.      Kepadatan hunian
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
Menurut penelitian Novita (2008), menjelaskan hubungan kepadatan penghuni serumah dengan kejadian Tb paru BTA positif, diperoleh dari OR = 1,19.  Hal ini berarti bahwa kejadian TB Paru BTA positif pada rumah yang penghuninya padat berisiko 1,19 kali dibandingkan dengan rumah yang tidak padat penghuninya akan menjadi faktor resiko untik menderita penyakit TB paru BTA positif.


i.        Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya.
Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang (Prabu, 2008).
Hasil penelitian Adnani dan Mahastuti (2006), menunjukkan dari analisa tabulasi silang diperoleh odds ratio sebesar 5,17 ( 95%CI 1,55-17,20) dengan hasil OR tersebut dapat diinterpretasikan bahwa risiko untuk menderita TBC Paru 5 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat.
j.        Ventilasi
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60% (Prabu, 2008).
Hasil penelitian Desri (2008) menunjukkan terdapat hubungan bermakna anatara ventilasi kamar tidur dengan kejadian TBC paru BTA positif dengan diperoleh nilai OR = 4,2 yang berarti kejadian TB paru BTA positif pada ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan, berisiko 4,2 kali dibandingkan dengan ventilasi kamar tidur yang memenuhi syarat.
k.      Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
Hasil penelitian Syamsuardi (2008), dari hasil uji nstatistik nilai p = 0,00 (p <0,05) yang berarti ada hubungan kelembaban dengan kejadian TB paru dengan nilai OR 0,076 yang artinya kelembaban kamar yang memenui syarat kesehatan 0,076 kali lebih lambat untuk kejadian TB paru dibandingkan dengan kelembaban yang tidak meemnuhi syarat kesehatan.
l.        Status Gizi
Hasil penelitian Desri (2008) menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai risiko TB paru BTA positif. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit. Terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian TB paru pada kasus kontak dengan nilap P <0,05 dan OR = 6,563. Artinya kejadian Tbparu BTA positif pada mereka dengan status gizi kurang (IMT , 18,5) berisiko 5,32 kali dibandingkan dengan mereka yang status gizi baik.
11.  Penemuan Penderita Tuberkulosis
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB.
Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan penderita TB :
a.    Penemuan pasien TB dilakukan secara aktif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan, di dukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
b.    Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
c.    Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif (Depkes RI, 2006).
12.  Risiko Penularan
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk Of Tuberculosis Infection) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI (Annual Risk Of Tuberculosis Infection) sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi.
 Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TBC, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TBC (Depkes RI, 2008).
13.  Pengobatan TB
Pengobatan TB paru menggunakan obat antituberkulosis (OAT) dengan strategi Directly Observed Treatments Shortcourse (DOTS). Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

Tidak ada komentar:

Google Ads