Google ads

Sabtu, 09 Januari 2016

Faktor-Faktor Yang Mungkin Berhubungan Dengan Hiperkolesterol



Faktor risiko kolesterol dibagi dua, yakni faktor risiko yang dapat   dikendalikan dan yang tidak dapat dikendalikan. Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan antara lain usia. Biasanya semakin bertambah usia, kadar kolesterol semakin tinggi. Selain itu, jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor. Biasanya wanita memiliki risko terkena kolesterol tinggi ketika masa menopause karena pada masa ini kadar LDL dalam tubuh wanita cenderung meningkat. Faktor genetik juga bisa menjadi faktor risiko yang mempengaruhi tingginya kadar HDL atau LDL seseorang (Arumdati, 2009).
Sementara itu, faktor risiko yang dapat dikendalikan antara lain faktor gaya hidup, seperti obesitas, kandungan gizi pada makanan yang kurang diperhatikan saat dikonsumsi, kurang aktivitas yang bisa memicu naiknya kadar kolesterol, dan merokok. Semua faktor ini dapat membantu pembentukan penumpukan lemak pada dinding arteri. Jika kolesterol yang menumpuk dalam darah semakin banyak, maka akan terjadi penyumbatan darah hingga berisiko penyakit jantung, stroke, dan penyakit kardiovaskular lainnya (Arumdati, 2009).

1.      Faktor Risiko Yang Tidak Dapat Dikendalikan
a.      Umur
Semakin bertambah  umur semakin bertambah  umur maka semakin tinggi risiko untuk menderita kadar kolesterol tinggi. Risiko paling tinggi pada umur 40 tahun keatas. Kadar kolesterol pada laki-laki dan perempuan mulai meningkat umur 20 tahun. Pada laki-laki kolesterol meningkat sampai umur 50 tahun. Pada perempuan sebelum menopause (45-50 tahun) lebih rendah dari pada laki-laki dengan umur yang sama. Setelah menopause kadar kolesterol perempuan meningkat menjadi lebih tinggi dari pada laki-laki (Karma, 2010).
Risiko penyakit jantung dan pembuluh darah meningkat pada usia diatas 55 tahun untuk laki-laki dan diatas 65 tahun untuk  perempuan. Pada usia > 18 tahun deteksi dini untuk mengetahui kadar kolesterol dalam darah sudah dapat ditegakkan. Karena pada usia tersebut kadar kolesterol dalam darah sudah mengalami peningkatan (Depkes RI, 2009).
b.      Jenis Kelamin
                        Sebelum  menopouse,  wanita  berisiko  dengan kolesterol lebih rendah dibanding pria. Tetapi setelah menopouse, kadar kolesterol  dalam tubuh wanita meningkat. Sebelum menopouse, wanita terlindungi dari LDL atau kolesterol jahat karena hormon estrogen   pada  wanita   cenderung  meningkatkan  kadar  HDL. Tetapi ketika memasuki masa menopouse, kadar estrogen dalam tubuh mulai menurun dengan drastis dan menyebabkan kadar LDL meningkat sementara HDL menurun (Arumdati, 2009).
Masa premenopause, perempuan dilindungi oleh hormon estrogen, sehingga dapat mencegah aterosklerosis. Estrogen dengan kolesterol bekerja dengan cara meningkatkan HDL dan menurunkan LDL pada darah. Setelah menopause, kadar estrogen pada perempuan akan menurun, sehingga terjadi hiperkolesterol dan aterosklerosis menjadi setara dengan laki-laki (Anies, 2010).
c.       Keturunan
Hampir 80% kolesterol di dalam darah diproduksi oleh tubuh. Faktor genetik   menyebabkan   produksi   kolesterol    setiap   orang   berbeda. Sehingga, sebagian orang mengalami hiperkolesterol meskipun hanya sedikit mengonsumsi makanan dengan kandungan kolesterol tinggi (Herliana dan Sitanggang, 2009).
Ada variasi kelainan genetis yang mempengaruhi tubuh menghasilkan lipid. Terkait dengan risiko penyakit jantung, kelainan lipid yang paling merusak  meningkatkan kadar LDL dan menurunkan kadar HDL. Riwayat keluarga terkait masalah jantung dapat meningkatkan   risiko   siapa   pun   untuk menderita penyakit jantung.
Namun, bagi orang dengan mutasi gen yang menyebabkan kadar kolesterol tinggi dan usia yang sangat muda, risikonya hampir pasti (Freeman dan Junge, 2008).
Dalam penelitian ini, peneliti tidak meneliti faktor risiko genetik. Karena faktor genetik hanya diturunkan oleh keluarga yang mempunyai hubungan darah (ayah). Sehingga untuk mengurangi bias penelitian ini, peneliti tidak mencantumkan faktor risiko genetik.
2.      Faktor Risiko Yang Dapat Dikendalikan
a.      Indeks Massa Tubuh (IMT)  
Indeks massa tubuh (IMT) atau Body Mass Indeks (BMI), adalah hasil pengukuran  berat  badan dibagi dengan tinggi badan. Yang memberikan  gambaran  akurat  tentang  lemak  tubuh.  IMT  yang dianggap  normal  adalah  antara  18,6-24,9  sedangkan  IMT  yang melebihi  dari  25  berarti  kelebihan  berat  badan,  dan  nilai yang >29 didefinisikan  sebagai  obesitas  (Freeman  dan  Junge, 2008).
Obesitas (kegemukan) berisiko tinggi terserang penyakit jantung. Kolesterol LDL hanya turun sedikit apabila berat badan turun 5-10 kg. Obesitas dapat meningkatkan kadar kolesterol dan LDL kolesterol (Yatim, 2010).
                                      Berat Badan (kg)
                        IMT =
                                      Tinggi Badan2 (m)
Tabel 2.2 Klasifikasi Obesitas Menurut WHO (1998)
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Kategori
< 18,5
Berat badan kurang
18,5-24,9
Berat badan normal
25-29,9
Berat badan lebih
30-34,9
Obesitas I
35-39,9
Obesitas II
>39,9
Sangat obesitas
sumber : Arumdati, 2009
Distribusi lemak tubuh berperan penting dalam peningkatan faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Penumpukan lemak di bagian sentral tubuh akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Lingkar perut > 90 cm untuk laki-laki dan > 80 cm untuk perempuan (obesitas sentral) akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah (Depkes RI, 2009).
b.      Lingkar Perut
Fakta menunjukkan bahwa distribusi lemak tubuh berperan penting dalam peningkatan faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Penumpukan lemak dibagian sentral tubuh akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Lingkar perut > 90 cm untuk laki-laki dan > 80 cm untuk perempuan (Obesitas Sentral) akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah (Depkes RI, 2009).

Lemak perut yang dikenal dengan istilah abdominal fat mencakup lemak subkutan (subcutaneous fat) dan lemak omentum (visceral fat) yang melingkupi lemak yang terletak di belakang rongga perut (retroperitoneal fat) serta organ-organ dalam perut. Penumpukan tersebut bukan hanya sebagai cadangan penyimpanan energi atau pembakaran karbohidrat yang berlebih, namun dari banyak riset yang dilakukan, sel-sel lemak terutama lemak di sekitar perut juga bersifat aktif secara biologis. Lemak di bagian perut lebih berbahaya, sebagian ahli lebih memilih penghitungan lingkar perut, pinggang atau pinggul pada wanita sebagai tolak ukur obesitas dari pada berat badan atau beberapa penghitungan indeks massa tubuh (BMI), dan patokan yang sering diambil untuk pria <90 cm dan wanita <80 cm (Daniel, 2010).
Penumpukan lemak di bagian perut merupakan salah satu penyebab munculnya berbagai penyakit.  Penumpukan lemak diperut  dapat mempengaruhi pelepasan hormon-hormon yang memiliki  hubungan respon sel terhadap penyebab penyakit termasuk insulin terhadap diabetes yang mengakibatkan resistensi insulin dalam   pengaturan kadar gula, selain itu beberapa bahan kimia yang   berkaitan dengan sistem imun, kardiovaskular (pembuluh darah). Dalam resiko penyakit-penyakit pembuluh darah seperti hipertensi, stroke dan penyakit jantung, penumpukan lemak dan ketidakseimbangan komposisi tadi akan dibarengi dengan peningkatan kolesterol yang bisa menumpuk sebagai plak di dinding-dinding pembuluh darah sehingga salurannya semakin sempit dan menghambat aliran darah. Akibatnya, jantung memompa darah lebih kuat sehingga terjadi hipertensi (tekanan darah tinggi) dan selanjutnya bisa menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Terhambatnya aliran darah dari dan ke jantung juga akan menyebabkan gangguan pada jantung dan otot-ototnya (Daniel, 2010).
c.       Pola Makan
Pola  hidup  sehat menjadi sesuatu yang sulit dilakukan saat    ini. Rutinitas  membuat pola makan menjadi tidak teratur dan  aktivitas fisik pun makin minim dilakukan. Kurang kesadaran terhadap pola hidup sehat menyebabkan berbagai masalah kesehatan rentan terjadi. Salah satunya, peningkatan kolesterol di dalam darah. Konsumsi daging, otak, jeroan, udang, dan makanan tinggi lemak lainnya dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam darah (Arumdati, 2009). 
Dalam penelitian ini, penelliti tidak memasukkan faktor risiko pola makan. Karena keterbatasan yang dimiliki peneliti, selain itu peneliti tidak mengetahui ukuran yang pasti tentang pola makan yang salah sebagai faktor risiko hiperkolesterol.



d.      Kebiasaan Merokok
Merokok dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular, dengan cara menurunkan kadar oksigen dan memicu proses kerusakan jantung. Beberapa penelitian dalam lingkup kecil juga menunjukkan bukti bahwa merokok dapat menurunkan kolesterol (HDL) dan meningkatkan kolesterol (LDL) (Ihsan, 2011).
Risiko penyakit jantung koroner pada perokok 2-4 kali lebih besar daripada yang bukan perokok. Kandungan zat racun dalam rokok antara lain tar, nikotin dan karbon monoksida. Rokok akan menyebabkan penurunan kadar oksigen dalam jantung, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, penurunan kadar kolesterol HDL, peningkatan penggumpalan darah, dan kerusakan endotel pembuluh darah koroner (Depkes RI, 2009).
e.       Aktivitas Fisik
Olahraga  aerobik,  yang menggerakkan  kelompok  otot besar    secara rutin dan berulang selama periode waktu yang panjang, dianggap sebagai jenis olahraga yang baik bagi jantung. Contohnya, jalan kaki dengan kecepatan sedang, jogging dan lari, bersepeda, berenang, tari aerobik olahraga dayung, ski lintas alam dan raket tunggal. Olahraga aerobik mengurangi risiko penyakit jantung dengan menurunkan trigliserida dan menaikkan kadar kolesterol HDL; dengan menurunkan tekanan darah, lemak tubuh, gula darah, dan stres mental; serta dengan menyeimbangkan kecenderungan darah untuk menggumpal (Freeman dan Junge, 2008).
                        Aktivitas fisik yang bersifat ringan (denyut jantung  meningkat sampai 10 kali permenit) sudah memberi dampak yang baik, tetapi harus dilakukan hampir setiap hari, sedangkan aktivitas fisik mingguan yang  bersifat  sedang  atau berat cukup dilakukan 2-3 kali seminggu,  yang penting teratur. Olahraga yang murah dan mudah seperti jalan kaki 6 kilometer per jam, senam aerobik beban sedang  (Senam   Jantung   Sehat),  menari,  dan  Olah   raga  bela  diri. Melakukan  kegiatan seperti naik tangga dua tingkat, membawa barang 10 kg, mencangkul dan kegiatan berkebun sudah cukup bermanfaat dalam upaya pencegahan kardiovaskuler. Aktivitas fisik sedang dalam bentuk apapun, asalkan mampu meningkatkan frekuensi nafas yang tidak sampai terengah-engah sudah cukup baik untuk mencegah penyakit jantung dan stroke (Kusmana,2009) .

Tidak ada komentar:

Google Ads