Indonesia
merupakan salah satu Negara yang memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang
cukup luas. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2004 adalah 5
juta hektar dengan produksi 11,08 juta ton per tahun. Indonesia pun menempati
produsen minyak mentah (CPO dan PKO) kedua terbesar di dunia.
Konversi
minyak kelapa sawit menjadi surfaktan yang merupakan pengembangan produk ke
arah hilir akan meningkatkan nilai tambah produk kelapa sawit. Pengembangan
agroindustri yang lebih berorientasi kea rah hilir merupakan strategi yang
harus dilaksanakan untuk beberapa jenis perkebunan yang berpotensi untuk
dikembangkan menjadi produk hilir yang berorientasi ekspor. Menurut Hambali et
al. (2004), surfaktan memiliki nilai tambah hampir delapan kali lipat bila
dibandingkan dengan minyak kelapa sawit mentah (CPO dan PKO).
Surfaktan
adalah bahan aktif permukan yang dapat diproduksi secara sintesis kimia maupun
biokimia. Karakteristik utama surfaktan adalah pada aktifitas permukaannya.
Surfaktan mampu meningkatkan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan antar
muka suatu cairan, meningkatkan kemampuan pembentukan emulsi minyak dalam air,
mengubah kecepatan agregasi partikel terdispersi yaitu dengan menghambat dan
mereduksi flokulasi dan coalescence partikel yang terdispersi sehingga
kestabilan partikel yang terdispersi semakin meningkat. Surfaktan juga mampu
mempertahankan gelembung atau busa yang terbentuk lebih lama.
Pada
umumnya surfaktan disintesisi dari turunan minyak bumi dan gas alam. Namun,
proses pembuatan surfaktan dari minyak bumi dan gas alam ini dapat menimbulkan
pencemaran terhadap lingkungan. Alternative yang dapat diambil adalah
penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku pembuatan surfaktan.
Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai salah satu surfaktan nabati, yaitu Surfaktan
Metil Ester Sulfonat (MES). Dimana surfaktan ini berbahan dasar dari minyak
kelapa sawit. Perlu diketahui bahwa MES adalah yang paling bersahabat dengan
lingkungan (ramah lingkungan) dari surfaktan anionik yang ada dalam deterjen.
MES mempunyai sifat detergensi yang baik bahkan pada jumlah yang sedikit,
dibanding dengan surfaktan anionik yang lain, seperti Linier Alkilbenzen
Sulfonat (LAS) dan Alkil Sulfat (AS).
MES
merupakan salah satu kelompok surfaktan anionik yang paling banyak digunakan.
Surfaktan ini dapat disintesis dari minyak nabati yaitu minyak sawit. Tanaman
Kelapa Sawit secara umum waktu tumbuh rata-rata 20 – 25 tahun. Pada tiga tahun
pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, hal ini dikarenakan kelapa sawit
tersebut belum menghasilkan buah. Kelapa sawit mulai berbuah pada usia empat
sampai enam tahun. Dan pada usia tujuh sampai sepuluh tahun disebut sebagai
periode matang , dimana pada periode tersebut mulai menghasilkan buah tandan
segar. Tanaman kelapa sawit pada usia 11-20 tahun mulai mengalami penurunan
produksi buah tandan segar. Dan terkadang pada usia 20-25 tahun tanaman kelapa
sawit mati. Semua komponen buah sawit dapat dimanfaatkan secara maksimal. Buah
sawit memiliki daging dan biji sawit (kernel), dimana daging sawit dapat diolah
menjadi CPO (crude palm oil) sedangkan buah sawit diolah menjadi PK (kernel
palm). Ekstraksi CPO rata-rata 20 % sedangkan PK 2.5%. Sementara itu serta dan
cangkang biji sawit dapat dipergunakan sebagai bahan bakar ketel uap.
Minyak
sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri melalui proses
penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO (Refined, Bleached and
Deodorized Palm Oil). Disamping itu CPO dapat diuraikan untuk produksi minyak sawit
padat (RBD Stearin) dan untuk produksi minyak sawit cair (RBD Olein). RBD Olein
terutama dipergunakan untuk pembuatan minyak goreng. Sedangkan RBD Stearin
terutama dipergunakan untuk margarin dan shortening, disamping untuk bahan baku
industri sabun dan deterjen.
Pemisahan
CPO dan PK dapat menghasilkan oleokimia dasar yang terdiri dari asam lemak dan
gliserol. Secara keseluruhan proses penyulingan minyak sawit tersebut dapat
menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% PFAD ( Palm Fatty Acid Distillate) dan
0.5% buangan.
Minyak
sawit merupakan minyak nabati yang diproduksi terbanyak nomor dua di dunia.
Karena kandungan asam lemak jenuhnya yang tinggi (hampir 50 persen), maka
minyak sawit kadang-kadang dianggap sama dengan lemak hewan yang juga jenuh
seperti mentega dan lard (lemak babi). Padahal, studi-studi pada hewan
percobaan dan juga pada manusia menunjukkan bahwa minyak sawit ini berbeda
dengan lemak yang bersifat hiperkolesterolemik (meningkatkan kolesterol)
seperti lard. Minyak sawit lebih tepat digolongkan sebagai minyak dengan kadar
lemak jenuh moderat karena perbandingan antara lemak jenuh dan tak jenuhnya
hampir seimbang. Dari segi ekonomi minyak sawit adalah yang termurah karena
memang Indonesia kaya akan perkebunan sawit.
Minyak
sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan
asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam
minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh), dan asam oleat, C18:1 (tidak
jenuh).
Selain
asam lemak, minyak sawit memiliki kandungan lain seperti karoten dan
fosfolipid.
Keberadaan
minyak kelapa sawit sebagai salah satu sumber minyak nabati relatif cepat
diterima oleh pasar domestik dan pasar dunia. Peningkatan konsumsi minyak
nabati dalam negeri terlihat dari tahun 1987 hingga tahun 1995, permintaan
lokal akan minyak nabati naik dengan laju rata-rata 5.6% per tahunnya.
Peningkatan ini sebagian disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk sebesar
1.98% dan peningkatan konsumsi minyak nabati per kapita sebesar 2.27%.
Sedangkan laju peningkatan permintaan akan minyak kelapa sawit adalah 9%
(hampir dua kali dari laju peningkatan permintaan akan minyak nabati).
Dalam
rangka mengantisipasi melimpahnya produksi CPO, maka diperlukan usaha untuk
mengolah CPO menjadi produk hilir. Pengolahan CPO menjadi produk hilir
memberikan nilai tambah tinggi. Produk olahan dari CPO dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu produk pangan dan non pangan. Produk pangan terutama minyak
goreng dan margarin. Produk non pangan terutama oleokimia yaitu ester, asam
lemak, surfaktan, gliserin dan turunan-turunannya.
Industri
penghasil oleokimia termasuk industri kimia agro (agrobased chemical industry)
yaitu industri yang mengolah bahan baku yang dapat diperbaharui (renewable),
merupakan industri yang bersifat resources-based industries dan mempunyai
peranan penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat luas (basic
needs) seperti kosmetika, produk farmasi dan produk konsumsi lainnya. Selain
itu industri tersebut berperan pula dalam pemerataan dan pertumbuhan ekonomi
(economic growth with equality) serta pemberdayaan ekonomi rakyat.
Sampai
saat ini beberapa produk industri bahan kimia khusus yang berbasis CPO
sepenuhnya masih tergantung impor, seperti produk isopropyl palmitat, isopropyl
miristat, asam palmitat dan asam oleat. Pengembangan industri bahan kimia
khusus di dalam negeri yang menghasilkan produk-produk tersebut mempunyai
prospek yang baik. Hal ini didukung potensi pasar dalam negeri cukup besar
seperti industri kosmetika yang berjumlah sekitar 600 perusahaan besar dan
kecil serta industri farmasi, yang sebagian besar membutuhkan produk-produk
kimia khusus yang berbasis CPO.
Produk
olahan CPO yang merupakan non pangan diantaranya adalah oleokimia. Salah satu
produk turunan oleokimia adalah ester, contohnya adalah metil ester yang
sekarang menjadi salah satu bahan dalam membuat surfaktan MES (Metil Ester
Sulfonat). Asam lemak metil ester mempunyai peranan utama dalam industri
oleokimia. Metil ester digunakan sebagai senyawa intermediate untuk sejumlah
oleokimia yaitu seperti fatty alcohol, alkanolamida, metil ester-sulfonat,
gliserol monostearat, surfaktan (salah satunya surfaktan Metil Ester Sulfonat),
gliserin, dan asam lemak lainnya. Perusahaan Lion of Japan bahkan telah
menggunakan metal ester untuk memproduksi sabun mandi yang berkualitas, selain itu
metil ester saat ini telah digunakan untuk membuat minyak diesel sebagai bahan
bakar alternatif.
Metil
ester mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan asam lemak, diantaranya
yaitu: 1) Pemakaian energi sedikit karena membutuhkan suhu dan tekanan lebih
rendah dibandingkan dengan asam lemak; 2) Peralatan yang digunakan murah. Metil
ester bersifat non korosif dan metil ester dihasilkan pada suhu dan tekanan
lebih rendah, oleh karena itu proses pembuatan metil ester menggunakan
peralatan yang terbuat dari karbon steel, sedangkan asam lemak bersifat korosif
sehingga membutuhkan peralatan stainless steel yang kuat; 3) lebih banyak
menghasilkan hasil samping gliserin yaitu konsentrat gliserin melalui reaksi
transesterifikasi kering sehingga menghasilkan konsentrat gliserin, sedangkan
asam lemak, proses pemecahan lemak menghasilkan gliserin yang masih mengandung
air lebih dari 80%, sehingga membutuhkan energi yang lebih banyak; 4) metil
ester lebih mudah didistilasi karena titik didihnya lebih rendah dan lebih
stabil terhadap panas; 5) dalam memproduksi alkanolamida, ester dapat
menghasilkan superamida dengan kemurnian lebih dari 90% dibandingkan dengan
asam lemak yang menghasilkan amida dengan kemurnian hanya 65-70%; 6). Metil
ester mudah dipindahkan dibandingkan asam lemak karena sifat kimianya lebih
stabil dan non korosif. Metil ester dihasilkan melalui reaksi kimia
esterifikasi dan transesterifikasi.
B. Teknologi Proses
1. Sifat Fisik Kimia Produk
Surfaktan
Metil Ester Sulfonat termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang
bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan.
Struktur kimianya dapat terlihat pada gambar berikut,
Menurut
Hui (1996), surfaktan anionik adalah bahan aktif permukaan yang bagian
hidrifobiknya berhubungan dengan gugus anion (ion negatif). Gugus anion
merupakan pembawa sifat aktif permukaan pada surfaktan anionik. Oleh karena
itu, Metil Ester Sulfona lebih baik terhadap keberadaan kalsium dan kandungan
garam alkali lebih rendah.
Menurut
Watkins (2001), jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
MES adalah kelompok minyak nabati seperti minyak kelapa, sawit, inti sawit,
stearin sawit, kedelai, atau tallow. Menurut Matheson (1996) dalam Hapsari
(2003), MES ini memperlihatkan karakteristik disperse yang baik, sifat
penyabunan yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi,
bersifat mudah didegradasi. Kelebihan dari MES ini yaitu pada konsentrasi MES
yang lebih rendah daya penyabunannya sama dengan petroleum sulfonat, dapat
mempertahankan aktifitas enzim.
MES
dari minyak nabati dengan ikatan atom karbon C10, C12, C14 biasa digunakan
untuk light duty diwashing detergent, sedangkan MES yang mempunyai ikatan atom
karbon C16-C18 biasa digunakan untuk detergen bubuk dan cair (Watkins,2001).
2. Teknologi Proses Produksi
Proses
produksi surfaktan Metil Ester Sulfonat dilakukan dengan mereaksikan metil
ester dengan pereaksi sulfonasi. Menurut Ghazali (2002), pereaksi tersebut
antara lain oleum (larutan S03 di dalam H2S04) dan sulfur trioksida (S03).
Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang
harus dipertimbangkan adalah rasio mol, waktu netralisasi, suhu reaksi,
konsentrasi gugus sulfat yang ditambahkan , jenis dan konsentrasi katalis, serta
pH dan suhu netralisasi.
Proses
pertama dilakukan dengan proses sulfonasi metil ester. Proses sulfonasi
dilakukan pada skala laboraturium (500 ml), dengan reaktor untuk mereaksi metil
ester minyak inti sawit sebagai bahan baku utama dengan reaktan natrium
bisulfit. Selanjutnya proses produksi dilakukan secara batch, dengan rasio mol
metil ester dan natrium bisulfit 1:1,5, suhu reaksi 100°C dan lama reaksi 4,5
jam. Proses dilanjutkan dengan pemurnian menggunakan methanol 30% pada suhu
50°C dengan lama reaksi 1,5 jam. Proses yang terakhir adalah netralisasi
menggunakan NaOH 20% (Pore, 1976) dan modifikasi (Hidayat, 2005). Namun, yang
harus diperhatikan setelah proses netralisasi dengan NaOH adalah terbentuknya
produk samping reaksi sulfonasinya yang akan menghasilkan garam alkali sehingga
dapat menurunkan biodegradabilitas dari surfaktan MES ini.
3. Teknologi Proses Produk Turunan
Hasil
turunan dari surfaktan Metil Ester Sulfonat ini salah satunya adalah sebagai
Oil Well Stimulation Agent. Komposisi Oil Well Stimulation Agent ini terdiri
dari bahan aktif Surfaktan MES, pelarut, Surfaktan nonionic (DEA), dan buthyl
cellosolve. Pembuatan Oil Well Stimulation Agent ini berdasarkan perbedaan
jenis pelarut dan konsentrasi MES. Formulasinya merujuk pada komposisi Oil Well
Stimulation Agent yang telah ada yaitu Stimsol, Tiorco, dan EOR 2095 yang
diproduksi oleh Witco Coorporation yaitu 50% surfaktan (bahan aktif), 40%
pelarut, dan 10% bahan aditif (7% surfaktan nonionic, 3% buthyl cellosolve).
Pelarut
Oil Well Stimulation Agent ini merupakan suatu bahan yang melarutkan bahan lain
untuk membentuk suatu larutan. Zat yang dilarutkan dalam pelarut disebut zat
terlarut. Sebagian besar pelarut membentuk larutan yang berupa cairan, namun
ada juga yang berupa gas atau padatan. Dalam pembuatan Oil Well Stimulation
Agent digunakan pelarut nonpolar untuk melarutkan bahan aktif dan bahan aditif.
Menurut Allen dan Roberts (1993), pelarut yang digunakan sebagai campuran Oil
Well Stimulation Agent ini adalah minyak tanah, solar, bensin, dan minyak
mentah.
C. Peluang Pasar dan Pemasaran
Pengembangan
produk turunan minyak sawit penting untuk dilakukan mengingat peningkatan nilai
tambah yang dapat diperoleh. Produk hilir sawit lanjutan yang dapat dihasilkan
melalui penerapan proses lanjutan terhadap produk-produk oleokimia yang telah
berkembang di Indonesia akan memberikan tambahan nilai tambah yang cukup besar.
Nilai tambah produk hilir sawit tersebut akan lebih besar dibandingkan nilai
tambah produk-produk oleokimia. Peluang pengembangan produk turunan (hilir)
minyak sawit mengingat lembaga-lembaga riset di Indonesia telah melakukan
riset-riset mengenai produk hilir sawit. Riset-riset produk hilir sawit yang
telah dikembangkan hingga skala produksi pilot plant oleh lembaga riset di
Indonesia sangat baik untuk diaplikasikan ke skala industri.
Produk
oleokimia sangat prospektif untuk dikembangkan sebagai salah satu jawaban
kurang prospektusnya harga CPO dan PKO karena berlawanan dengan kondisi
supply-demand minyak mentah nabati yang saat ini dan di masa yang akan datang
berada dalam posisi excess supply, kesetimbangan produk oleokimia dunia justru
diperkirakan masih akan berada dalam kondisi excess demand hingga beberapa
tahun mendatang. Kondisi excess demand pada produk oleokimia ini tentu
merupakan sebuah indikasi akan prospektifnya harga komoditi tersebut. Menurut
FAO, di pasar dunia saat ini terjadi pertumbuhan demand yang stabil atas
produk-produk oleokimia dengan pertumbuhan 3% per tahunnya. Diramalkan
pertumbuhan industri oleokimia yang terbesar akan terjadi di kawasan Asia.
Pertumbuhan industri oleokimia yang diperkirakan terjadi sangat pesat di
kawasan Asia sebenarnya tidak terlepas dari pertumbuhan produksi minyak nabati
(bahan baku industri oleokimia) yang sangat tinggi di kawasan tersebut.
Di
Jepang, perusahaan Lion telah menggunakan MES dalam bentuk bubuk deterjen sejak
awal 1990-an. Dalam beberapa tahun ini, Stephan Inc. (Amerika) telah
mengkomersialkan MES dengan Carbon 12-14, dan Huish Inc. (Amerika) akan segera
memulai menproduksi MES 82.000 ton per tahun dengan harga yang murah dari
persediaan oleokimia. Jika dibandingkan dengan alkilbenzen, persediaan dari LAS
berperan dalam penggunaan MES. Dalam keadaan ini, MES lebih ekonomis daripada
LAS. Pemakai-pemakai dengan ide produk yang ramah lingkungan tapi tidak
berkeinginan untuk membayar murah dengan produk seperti itu (Itsuo and Kazuo,
2002).
MES mungkin menawarkan kemungkinan
dari dua sisi tersebut, yaitu efisien dan ramah lingkungan. Seperti pada
surfaktan-surfaktan non-ionik, sementara AE (Alkil Etoksilat) umumnya lebih
mahal dari surfaktan anionik lainnya, MEE dapat diproduksi cukup murah karena
tidak butuh banyak fatty alkohol, seperti yang tadi disebutkan. Jadi
kesimpulannya, MES dan MEE berpotensi dalam deterjen untuk menggantikan LAS dan
AE (Itsuo and Kazuo, 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar