Google ads

Jumat, 20 Maret 2015

Sindrom nefrotik



1.1         Definisi
Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala dan tanda klinis yang ditandai dengan gejala proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dan hiperkolestrolemia.(1)

1.2         Epidemiologi
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering ditemukan. Insiden SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.(2)

1.3         Klasifikasi
SN dibagi 2 yaitu primer/idiopatik, dan sekunder.(3)
1.        Sindrom nefrotik primer
Sindrom nefrotik yang terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering terjadi pada anak, termasuk sindrom nefrotik congenital yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia dibawah satu tahun.
SN Idiopatik
a.       SN lesi minimal
b.      Glomerulo sklerosis fokal
c.       SN membranosa
d.      SN membrano proliferative
e.       SN proliferatif


2.        Sindrom Nefrotik Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder timbul akibat penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti akibat efek samping obat (opiat, obat golongan sulfa dan obat probenesid).(4)
Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a.   Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema.
b.   Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.
c.   Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular.
d.   Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e.   Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

1.4         Patofisiologi(5)
Sebagian besar tanda-tanda patofisiologik sindrom nefrotik dapat langsung dihubungkan dengan meningkatnya permeabilitas glomerulus untuk protein. Membran basalis glomerulus biasanya bertindak sebagai filter dengan radius pori efektif 5,5 nm untuk molekul-molekul yang tidak bermuatan.
Ditahannya molekul-molekul kecil, terutama albumin, tampaknya sebagian ada hubungannya dengan muatan negatifnya. Sianoglikoprotein polianion telah diperlihatkan melapisi jonjot-jonjot kaki epitel. Bila residu-residu muatan ini telah dibuang oleh neurominidasse atau dinetralkan dengan polikation, akan terjadi kehilangan tonjol-tonjol kaki epitel. Lesi yang ditimbulkannya secara morfologik mirip dengan perubahan-perubahan pada “sindrom nefrotik lesi minimal”.
Pada penyakit perubahan minimal, proteinuria cenderung selektif dengan kehilangan albumin dan protein berbobot molekul rendah lainnya yang tak sebanding. Ini menunjukkan bahwa pembedaan ukuran sebagian dipertahankan oleh membran basalis glomerulus pada kelainan-kelainan membran basalis glomerulus dan pola yang terlihat akan diterangkan oleh perubahan ciri-ciri elektrokimiawi. Berbeda dengan hal ini, membran basalis pada kelainan-kelainan primer lain, misalnya glomerulosklerosis segemental fokal, tampaknya tidak selektif yang disertai dengan kebocoran molekul-molekul berbobot molekul lebih besar dan menunjukkan bertambah besarnya ukuran pori.
Bila kehilangan protein di urin melebihi kemampuan regeneratif hati, akan tejadi hipoalbuminemia dan selanjutnya akan terjadi edema melalui suatu proses yang kompleks. Menurunnya tekanan onkotik koloid menyebabkan gangguan pada gaya Starling di jaringan kapiler perifer, yang memngkinkan ekstravasai cairan dengan embentukan edema  dan penurunan volume cairan intravaskular. Menurunnya cairan intravaskular mengaktifkan sistem renin-angiostensin-aldosteron dan merangsang pelepasan hormon antidiuresi serta aktivitas saraf simpatik, sehingga menambah berat pembentukan edema dengan retensi garam da air oleh ginjal. Faktor-faktor lain mungkin terlibat karena beberapa pasien sindroma nefrotik mempunyai volume cairan intravaskular yang normal atau meningkat, sementara pasien analbuminemia bawaan tidak mengalami edema atau penurunan volume plasma.

1.5         Gejala Klinis(2)
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis. Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Dalam laporan ISKDC (International study of kidney diseases in children), pada SNKM ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.

1.6         Diagnosis(2)
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala :
1.    Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL.

1.7         Pemeriksaan Penunjang(2)
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:
1.      Urinalisis.
Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada infeksi saluran kemih.
2.      Protein urin kuantitatif
dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, LED).
b. Albumin dan kolesterol serum
c.  Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwartz
d. Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA.

1.8         Penatalaksanaan Penyakit
A.      Tata Laksana Umum(5)
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut :
1.        Pengukuran berat badan dan tinggi badan.
2.        Pengukuran tekanan darah.
3.        Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
4.        Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5.        Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.
Dietetik(5)
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diet rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/KgBB/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.


Diuretik(5)
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/KgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/KgBB/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), bia­sanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/KgBB se­lama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/KgBB. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/KgBB/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi de­kompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mence­gah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.
Imunisasi(5)
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid > 2 mg/KgBB/hari atau total > 20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.
B.       Pengobatan dengan Kortikosteroid
Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik(3) :
a.       Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
b.      Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
c.       Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
d.      Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun
e.       Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
f.       Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/KgBB/hari selama 4 minggu.

Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
1.    Terapi Inisial(5)
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/KgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/KgBB/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid

2.    Pengobatan SN Relaps(5)
Pengobatan SN Relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.

3.    Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid(5)
Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
a.        Pemberian steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/KgBB/hari secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/KgBB/hari setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/KgBB/hari alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/KgBB/hari, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/KgBB/hari secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/KgBB/hari alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/KgBB/hari dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/KgBB/hari di­berikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/KgBB/hari setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/KgBB/hari) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/KgBB/hari al­ternating, tetapi < 1,0 mg/KgBB/hari alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/KgBB/hari selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini :
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/KgBB/hari alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/KgBB/hari tetapi disertai:
a.   Efek samping steroid yang berat.
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, dan sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/KgBB/hari selama 8-12 minggu.

b.        Pemberian Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol  diberikan dengan dosis 2,5 mg/KgBB/hari dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.

c.         Pengobatan dengan sitostatik
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/KgBB/hari dalam dosis tunggal maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/KgBB/hari. Pemberian CPA oral se­lama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/KgBB/hari, dan dosis ini aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.

d.        Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi 4. terakhir).
·                                   Siklosporin
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/KgBB/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.

·                                   Miklofenat Mofetil=MMF
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/KgBB/hari bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.


4.    Pengobatan SN Dengan Kontraindikasi Steroid(5)
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).

5.    Pengobatan SN Resisten Steroid(5)
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis.
a. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan remisi.16 Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.
b. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pe­mantauan terhadap :
1.  Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
2.  Kadar kreatinin darah berkala.
3.  Biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.
c. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/KgBB (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam atau 6-12 kali pemberian.
d. Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia.

C.      TATA LAKSANA KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK(5)
1.      Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imu­noglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena (400mg/KgBB/hari). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis selama 7-10 hari, dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.

2.         Trombosis
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.

3.      Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan diet lemak. Pada SN resisten ste­roid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diet rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).

4.      Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
1.      Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia.
2.     Kebocoran metabolit vitamin D.
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/KgBB intravena.

5.     Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/KgBB dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/KgBB atau plasma 20 mL/KgBB (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/KgBB intravena.

6.      Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.
7.     Efek Samping Steroid
 Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan nafsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.

Tidak ada komentar:

Google Ads