PP
No. 44 tahun 2010: Mengatur Prekursor Lebih
Ketat
Saat ini konsumen apotek tidak lagi bisa bebas membeli
cairan aceton (penghilang cat kuku), kristal Kalium Permanganat (larutannya
bersifat desinfektan/ untuk kompres luka), dan tablet ephedrin generik (obat
asma). Tentu banyak yang bertanya-tanya , mengapa obat yang tadinya
gampang diperoleh tiba-tiba berubah langka? Apakah obat tersebut sering disalah
gunakan sehingga diketatkan peredarannya ?
Benar. Zat-zat tersebut memang sering disalahgunakan.
Hanya saja penyalahgunaan dilakukan oleh pemilik pabrik narkoba dan ekstasi
gelap - bukan oleh remaja teler seperti lazimnya. Akibat sering
disalahgunakan sebagai bahan pemula pembuat narkotika dan ekstasi maka
peredaran zat tersebut dan beberapa bahan pemula lainnya kini diawasi sangat
ketat. Bahan-bahan yang terlibat dalam pembuatan obat terlarang tersebut
disebut Prekursor. Prekursor
sebagai bahan pemula
atau bahan kimia
banyak digunakan dalam berbagai
kegiatan baik pada
industri farmasi, industri non
farmasi, sektor pertanian
maupun untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengadaan Prekursor untuk
memenuhi kebutuhan industri farmasi, industri
non farmasi dan
kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi pada saat
ini baru diatur dalam
tingkat Peraturan Menteri. Kendatipun
Prekursor sangat dibutuhkan
di berbagai sektor apabila penggunaannya
tidak sesuai dengan
peruntukannya dan ketentuan
peraturan perundang-undangan atau disalahgunakan dalam pembuatan Narkotika
dan Psikotropika secara
gelap akan sangat merugikan dan membahayakan kesehatan.
Meningkatnya
penyalahgunaan Narkotika dan
Psikotropika dewasa ini sangat
erat kaitannya dengan
penggunaan alat-alat yang berpotensi dalam penyalahgunaan
Narkotika dan Psikotropika maupun Prekursor sebagai salah satu zat atau bahan
pemula atau bahan kimia yang
digunakan untuk memproduksi
Narkotika dan Psikotropika secara gelap.
Prekursor didefinisikan sebagai zat atau bahan pemula
atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika dan
psikotropika. Pengawasan dan pemantauan Prekusor tersebut selama ini dilakukan
oleh Badan POM berdasarkan Keputusan Badan POM RI No. HK 00.05.35.02771
tertanggal 4 September 2002.
Peningkatan penyalahgunaan Prekursor
dalam pembuatan
Narkotika dan Psikotropika telah menjadi ancaman yang sangat
serius yang dapat menimbulkan
gangguan bagi kesehatan,
instabilitas ekonomi,
gangguan keamanan, serta
kejahatan internasional oleh karena
itu perlu diawasi
secara ketat agar
dapat digunakan sesuai peruntukannya.
Pengendalian dan pengawasan
sebagai upaya pencegahan
dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran
gelap Prekursor sangat membutuhkan langkah-langkah konkrit,
terpadu dan terkoordinasi secara nasional,
regional maupun internasional, karena
kejahatan penyalahgunaan Prekursor pada
umumnya tidak dilakukan
oleh perorangan secara sendiri
melainkan dilakukan secara
bersama-sama, bahkan oleh sindikat
yang terorganisasi rapi
dan sangat rahasia.
Disamping itu kejahatan
Prekursor bersifat transnasional
dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih
termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan
Prekursor. Perkembangan kualitas kejahatan Prekursor
tersebut sudah menjadi
ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia.
Dalam upaya
melakukan pengendalian dan
pengawasan serta
penanggulangan penyalahgunaan Prekursor
karena menyangkut tugas dan
fungsi berbagai sektor
terkait diperlukan adanya
suatu Peraturan Pemerintah yang
menata secara menyeluruh pengaturan Prekursor.
Mengingat belakangan ini penyalahgunaan Prekursor
dalam pembuatan narkotika dan psikotropika telah menjadi ancaman yang sangat
serius yang dapat menimbulkan gangguan bagi kesehatan, instabilitas ekonomi,
gangguan keamanan, serta kejahatan internasional, pada 5 April 2010
Presiden DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 44 tahun 2010 tentang Golongan dan jenis Prekursor.
Pengaturan Prekursor oleh PP ini bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor, mencegah dan memberantas
peredaran gelap Prekursor, mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor,
dan menjamin ketersediaan Prekursor untuk industri farmasi, industri non
farmasi, dan pengembangan ilmu dan pengetahuan dan teknologi.
Dalam PP ini diatur tentang penggolongan dan jenis Prekursor,
mekanisme penyusunan rencana kebutuhan tahunan secara nasional, pengadaan,
impor dan ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, pengawasan serta
ketentuan sanksi. Menurut PP 44, Prekursor hanya dapat digunakan untuk
tujuan industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pengadaan
Prekursor untuk memenuhi
kebutuhan industri farmasi, industri
non farmasi dan
kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi pada saat
ini baru diatur dalam
tingkat Peraturan Menteri.
Kendatipun
Prekursor sangat dibutuhkan
di berbagai sektor apabila penggunaannya
tidak sesuai dengan
peruntukannya dan ketentuan
peraturan perundang-undangan atau disalahgunakan dalam pembuatan Narkotika
dan Psikotropika secara
gelap akan sangat merugikan dan membahayakan kesehatan.
Meningkatnya penyalahgunaan
Narkotika dan Psikotropika dewasa ini
sangat erat kaitannya
dengan penggunaan alat-alat
yang berpotensi dalam penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika maupun
Prekursor sebagai salah satu zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang digunakan
untuk memproduksi Narkotika
dan Psikotropika secara gelap.
Alat potensial yang
dapat disalahgunakan untuk
melakukan tindak pidana Narkotika
dan Psikotropika adalah
alat potensial yang diawasi
dan ditetapkan sebagai
barang di bawah
pengawasan Pemerintah,
antara lain: jarum
suntik, semprit suntik
(syringe), pipa pemadatan dan
anhidrida asam asetat.
Peningkatan
penyalahgunaan Prekursor dalam
pembuatan Narkotika dan Psikotropika telah menjadi ancaman yang sangat
serius yang dapat menimbulkan
gangguan bagi kesehatan, instabilitas ekonomi, gangguan
keamanan, serta kejahatan
internasional oleh karena itu
perlu diawasi secara
ketat agar dapat
digunakan sesuai peruntukannya.
Pengendalian dan pengawasan
sebagai upaya pencegahan
dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran
gelap Prekursor sangat membutuhkan langkah-langkah konkrit,
terpadu dan terkoordinasi secara nasional,
regional maupun internasional, karena
kejahatan penyalahgunaan
Prekursor pada umumnya
tidak dilakukan oleh perorangan secara
sendiri melainkan dilakukan
secara bersama-sama, bahkan oleh
sindikat yang terorganisasi
rapi dan sangat
rahasia. Disamping itu kejahatan
Prekursor bersifat transnasional
dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih
termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan
Prekursor. Perkembangan kualitas kejahatan Prekursor
tersebut sudah menjadi
ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia.
Dalam upaya melakukan
pengendalian dan pengawasan
serta penanggulangan
penyalahgunaan Prekursor karena
menyangkut tugas dan fungsi
berbagai sektor terkait
diperlukan adanya suatu
Peraturan Pemerintah yang menata secara menyeluruh pengaturan Prekursor.
Dalam Peraturan Pemerintah
ini diatur tentang
penggolongan dan jenis Prekursor,
mekanisme penyusunan rencana
kebutuhan tahunan secara nasional,
pengadaan, impor dan
ekspor, peredaran, pencatatan dan
pelaporan, pengawasan serta ketentuan sanksi.
PP no. 44 tahun 2010 dalam pasal 4 menyebut 23 zat sebagai Prekursor.
Zat-zat tersebut dikelompokkan kedalam 2 tabel (tabel I dan Tabel II). Zat-zat
yang terdapat dalam tabel I akan diawasi lebih ketat dibandingkan zat yang
terdapat dalam tabel II.
Berdasarkan pasal 5 PP no. 44 tahun 2010 tentang rencana
kebutuhan Prekursor tahunan, maka Menteri
berkoordinasi dengan menteri
terkait menyusun rencana kebutuhan
Prekursor untuk kepentingan industri
farmasi, industri non
farmasi, dan lembaga pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi setiap tahun. Rencana kebutuhan
tersebut disusun berdasarkan jumlah
persediaan, perkiraan
kebutuhan dan penggunaan
Prekursor secara nasional. Rencana kebutuhan Prekursor tersebut maka
Menteri melaporkan kepada badan
internasional di bidang Narkotika.
Untuk Pengadaan Prekursor berdasarkan pasal 6, pengadaan Prekursor
tersebut dilakukan melalui produksi dalam negeri dan impor dimana Prekursor tersebut hanya dapat
digunakan untuk tujuan
industri farmasi, industri non
farmasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan untuk produksi Prekursor berdasarkan pasal 7
hanya dapat diproduksi
oleh industri yang telah
memiliki izin sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Produksi Prekursor untuk
industri farmasi harus dilakukan dengan
cara produksi yang
baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Prekursor untuk industri
farmasi harus memenuhi standar Farmakope Indonesia dan
standar lainnya. Prekursor untuk industri
non farmasi harus memenuhi persyaratan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dimana
setiap Prekursor wajib
diberi label pada
setiap wadah atau kemasan. Label pada Prekursor tersebut harus berbentuk tulisan,
gambar, kombinasi tulisan
dan gambar, atau bentuk
lain yang disertakan
pada kemasan atau dimasukkan
dalam kemasan, ditempelkan, atau
merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya. Kemudian Prekursor wajib
disimpan pada tempat penyimpanan yang
aman dan terpisah
dari penyimpanan lain.
Dalam impor dan ekspor
Prekursor hanya dapat dilakukan oleh
badan usaha yang
memiliki izin usaha importir atau
eksportir. Impor dan
ekspor Prekursor tersebut harus
dilengkapi dengan dokumen yang
sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Setiap
melakukan kegiatan impor
dan ekspor Prekursor harus
memperoleh Surat Persetujuan Impor atau Surat Persetujuan
Ekspor.
Peredaran Prekursor Pasal 14
(1) Prekursor untuk
industri non farmasi
yang diproduksi dalam negeri
hanya dapat disalurkan kepada industri
non farmasi, distributor,
dan pengguna akhir.
(2) Prekursor
untuk industri non
farmasi yang diimpor hanya
dapat disalurkan kepada
industri non farmasi, dan
pengguna akhir.
(3) Prekursor
untuk industri farmasi
hanya dapat disalurkan kepada
industri farmasi dan distributor.
(4) Pedagang
Besar Bahan Baku
Farmasi, distributor atau importir
terdaftar dapat menyalurkan Prekursor kepada
lembaga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(5) Setiap kegiatan
penyaluran Prekursor tesebut harus dilengkapi dengan dokumen
penyaluran.
Penyerahan, pencatatan dan pelaporan Prekursor (Pasal 15 dan
Pasal 16) untuk penyerahan Prekusor dalam
rangka peredaran harus dilakukan
pencatatan dan pelaporan secara berkala. Dimana pencatatan tersebut sekurang-kurangnya
memuat:
a. jumlah Prekursor
yang masih ada
dalam persediaan;
b. jumlah dan
banyaknya Prekursor yang diserahkan; dan
c. keperluan atau
kegunaan Prekursor oleh pemesan.
Menteri melakukan pengawasan Prekursor tersebut bertujuan
untuk :
a. terpenuhinya Prekursor untuk
kepentingan industri farmasi dan non farmasi;
b. terpenuhinya Prekursor untuk
kepentingan pendidikan,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pelayanan
kesehatan;
c. pencegahan terjadinya
penyimpangan dan kebocoran Prekursor;
d. perlindungan kepada
masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor; e. pemberantasan peredaran gelap Prekursor.
Dalam rangka pengawasan,
Menteri dan Menteri terkait dapat mengambil tindakan
administratif. Tindakan administratif dapat
berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian
sementara kegiatan; atau
d. pencabutan izin.
Golongan
Dan Jenis Prekursor
TABEL I
|
TABEL II
|
Acetic Anhydride
|
Acetone
|
N-acetylanthranilic Acid
|
Anthranilic Acid
|
Ephedrine
|
Ethyl Ether
|
Ergometrine
|
Hydrochloric Acid
|
Ergotamine
|
Methyl ethyl ketone
|
Isosafrole
|
Phenylacetic Acid
|
Lysergic Acid
|
Piperidine
|
3,4-Methylenedioxyphenyl-2
propanone |
Sulphuric Acid
|
Norephedrine
|
Toluene
|
1-phenyl-2-propanone
|
|
Piperonal
|
|
Potasium Permanganat
|
|
Pseudoephedrine
|
|
Safrole
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar