Google ads

Jumat, 25 Maret 2016

TUKAK PEPTIK





I.               Nama/Jenis Penyakit
Tukak Peptik atau disebut juga Peptic Ulcer Disease

II.            Pengertian/ Definisi Penyakit
Tukak peptik termasuk penyakit gangguan saluran pencernaan. Peptic ulcer disease (PUD) termasuk kelompok gangguan ulseratif pada saluran pencernaan bagian atas yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor defensif. Tukak berbeda dengan gastritis dan erosi dimana biasanya tukak dapat menyebar lebih dalam ke dalam mukosa muskularis. Tiga penyebab umum terbentuknya tukak peptik antara lain Helicobacter pylori (HP)-disertai tukak, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)-induksi tukak, dan gejala stress yang berhubungan dengan kerusakan mukosa (disebut juga stress tukak).
Beberapa perbandingan karakteristik bentuk- bentuk Tukak Peptik
Karakteristik
Induksi oleh H.pylori
Induksi oleh NSAID
SRMD (Stress related Mucosal Damage
Kondisi
Kronik
Kronik
Akut
Daerah kerusakan
Duodenum>lambung
Lambung>duodenum
Lambung>duodenum
pH intragastric
More dependent
Less dependent
Less dependent
Gejala
Biasanya nyeri epigastric
Seringkali tanpa gejala
Kebanyakan dipermukaan
Kedalaman tukak
Permukaan
Dalam
Permukaan yang lebih luar
Pendarahan GI
Beberapa, pembuluh tunggal
banyak, pembuluh tunggal
Banyak, permukaan mukosa kapilari



III.         Prevalensi
Tukak lambung merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita masyarakat saat ini, terutama masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan, menjadi penyebab mortalitas utama di negara – negara berkembang. Sebagai gambaran, prevalensi tukak lambung di Amerika Serikat mencapai 1.84% dari total penduduk, sedangkan prevalensi tukak lambung di negara berkembang mencapai 10% (Chany S., dkk, 2009; Bansal, dkk, 2009). Suyono (2001) menyatakan bahwa berdasarkan beberapa penelitian prevalensi tukak lambung di Indonesia berkisar antara 6-15% dengan penderita umumnya berusia 20 – 50 tahun.
Prevalensi H. Pylori bervariasi tergantung dari lokasi geografis, kondisi sosial ekonomi, etnik, dan usia. Di negara berkembang, prevalensi H. Pylori melebihi 80% pada usia dewasa dan berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah. Di negara industrialisasi, prevalensi H. Pylori pada dewasa antara 20% dan 50%. Sementara itu, di Amerika Serikat prevalensi tukak peptik oleh H. Pylori antara 30% sampai 40%, tetapi hal ini terjadi lebih tinggi pada kelompok etnik seperti pada orang berkulit hitam dan gelap.Selama beberapa tahun terakhir ini, insiden H. Pylori menurun secara drastis di negara berkembang, karena adanya peningkatan standar hidup dan kondisi sosial ekonomi.
Faktor lain yang mempengaruhi tukak peptik yang disebabkan oleh H. Pylori antara lain usia, jenis kelamin, dan kebiasaan merokok. Peningkatan prevalensi tukak peptik oleh H. Pylori meningkat seiring dengan pertambahan usia, tetapi infeksi terutama diperoleh selama masa bayi dan anak usia dini. Kecepatan infeksi tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin dan kebiasaan merokok.
Rata-rata insiden tahunan PUD (Peptic Ulcer Disease) adalah 0,10-0,19% berdasarkan diagnosa dokter dan 0,03-0,17% berdasarkan data rumah sakit. Prevalensi 1 tahun berdasarkan diagnosa dokter adalah 0,12-1,50% dan 0,10-0,19% berdasarkan data rumah sakit. Sebagian besar penelitian  menyebutkan terjadinya penurunan insiden atau prevalensi PUD dari waktu ke waktu.
Frekuensi
Prevalensi infeksi H. Pylori pada negara berkembang adalah 50-100%. Prevalensi tukak peptik meningkat pada negara berkembang.
Penyakit tukak peptik merupakan penyakit yang tidak umum bagi anak-anak, dengan estimasi frekuensi 1 kasus dari 2500 entri data. Estimasi prevalensi tukak peptik pada anak-anak di klinik anak umum adalah 1,7%.  Tukak peptik jarang terjadi pada balita dan anak < 10 tahun. Prevalensinya akan meningkat selama masa remaja.
Di Amerika Serikat, prevalensi infeksi H. pylori lebih tinggi pada orang kulit hitam dan Hispanics daripada orang kulit puith. Ratio laki-laki dan perempuan yang menderita tukak peptik adalah1,5 : 1. Insiden tukak peptik primer 2 sampai 3 kali lipat pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.

IV.         Patofisiologi
Tukak lambung dan usus 12 jari muncul karena ketidakseimbangan antara faktor agreseif (asam lambung dan pepsin) dan  mekanisme yang menjaga integritas mukosa (pertahanan dan perbaikan mukosa)

ASAM LAMBUNG DAN PEPSIN
Kerusakan mukosa berhubungan dengan sekresi asam lambung dan pepsin. HCl disekresi sel parietal yang mengandung reseptor histamin, gastrin dan asetilkolin. Asam (sebagaimana juga infeksi Helicobacter pylori dan penggunaan AINS) merupakan sebuah faktor independen yang berkontribusi pada disrupsi integritas mukosa. Peningkatan sekresi asam telah teramati pada pada pasien dengan dengan tukak usus 12 jari dan mungkin merupakan konsekuensi dari infeksi H. pylori

Pasien dengan ZES (Zollinger Ellison Syndrome) akan mengalami hipersekresi asam lambung karena tumor yang menghasilkan gastrin. Pasien dengan tukak lambung umumnya memiliki sekresi asam yang normal atau lebih rendah (hipoklorhidria).

Sekresi asam dinyatakan sebagai jumlah asam yang disekresikan dalam keadaan tertentu. Ada 2 nilai yang biasa dipakai, yaitu basal acid output (BAO), yaitu keluaran asam pada keadaan puasa dan maximal acid output (MAO), keluaran asam setelah stimulasi makanan. BAO dan MAO bervariasi tergantung waktu dan keadaan psikologis, umur, jenis kelamin, dan keadaan kesehatan individual. BAO mengikuti irama circadian, dengan sekresi asam tertinggi pada malam dan terendah di pagi hari. Peningkatan rasio BAO/MAO berarti keadaan hipersekretori basal seperti ZES.

Pepsinogen adalah prekursor inaktif dari pepsin, yang disekresikan oleh sel ketua yang berada di fundus lambung. Pepsin diaktivasi oleh ph Asam (pH optimalnya 1,8 – 3,5), inaktif secara reversibel pada pH 4, dan hancur irreversibel pada pH 7. Pepsin memainkan peran dalam aktivitas proteolitik yang terlibat dalam pembentukan tukak.


PERTAHANAN DAN PERBAIKAN MUKOSA
Mekanisme pertahanan dan perbaikan mukosa melindungi dari zat-zat eksogen dan endogen yang noxious. Mekanisme pertahanan mukosa meliputi sekresi mukus dan bikarbonat, pertahanan sel epitelial intrinsik dan aliran darah mukosa. Sifat kental dari barrier mukus-bikarbonat dan pH-nya yang mendekati netral melindungi lambung dari isi lambung yang bersifat asam,. Perbaikan mukosa setelah luka berhubungan dengan restitusi,pertumbuhan, dan regenerasi sel epitelial.

Penjagaan integritas dan perbaikan mukosa dimediasi oleh prostaglandin endogen. Proses ini seringkali disebut sebagai sitoproteksi, tapi pertahanan mukosa dan perlindungan mukosa merupakan istilah yang lebih tepat, karena prostaglandin mencegah luka mukosa yang dalam dan bukan kerusakan superfisial pada sel secara individual. Sitoproteksi adaptif, adaptasi jangka pendek sel mukosa terjad bila ada iritasi topikal ringan yang ditandai dengan hiperamia lambung dan sintesis prostaglandin yang meningkat . Fenonema ini membuat lambung berinisiatif menahan efek merusak dari iritan. Perubahan dalam pertahanan mukosa yang diinduksi H. pylori atau AINS adalah kofaktor yang paling penting dalam pembentukan tukak peptik.

HELICOBACTER PYLORI

Helicobacter pylori adalah bakteri mikroaerofilik berbentuk spiral, merupakan jenis gram-negatif yang sensitif terhadap pH, yang berada diantara lapisan mukus dan permukaan sel epitelial lambung, atau dimanapun yang ada sel epitel jenis gastrik. Kombinasi dari bentuk spiral dan flagellumnya membuatnya dapat bergerak dari lumen lambung, yang pH-nya rendah, ke lapisan mukus, yang pH lokalnya netral. Infeksi akut dibantu hipoklorhidria transient, yang membuat organisme dapat bertahan dalam jus lambung yang asam. Metode pasti bagaiamana H. pylori mulai menginduksi hipoklorhidria belum jelas. Ada teori yang menyebutkan bahwa H. pylori menghasilkan urease dalam jumlah banyak sehingga menghidrolisis urea dalam jus lambung dan mengubahnya menjadi ammonia dan karbon dioksida. Efek dapar lokal dari amonia menciptakan lingkungan mikro yang netral dan menyalut bakteri, sehingga melindunginya dari efek asam yang mematikan. H. pylori juga memproduksi protein penekan asam yang membuatnya dapat beradaptasi dengan lingkungan lambung yang asam. H. pylori menempel pada epitel jenis gastrik dengan pedestal adherence, yang mencegahnya lepas selama pertukaran sel dan sekresi mukus. Kolonisasi korpus (tubuh) lambung oleh H.pylori menyebabkan tukak lambung. Organisme antral dihipotesiskan mengonolisasi jaringan metaplastik lambung (yang diduga menyebabkan peningkatan sekunder pada perubahan dalam sekresi asam atau bikarbonat, sekresi produk dari H. pylori, ataupun respon inflamasi inang) dalam bulb usus 12 jari sehingga menyebabkan tukak usus 12 jari.

Sejumlah faktor bakteri dan inang berperan dalam kemampuan H. pylori untuk menyebabkan luka mukosa lambung-usus 12 jari. Mekanisme patogenik meliputi:
a. Kerusakan mukosa langsung
b. Pemengaruhan respon imun/inflamasi inang
c. Hipergastrinemia yang sehingga terjadi peningkatan sekresi asam. Sebagai tambahan, H. pylori meningkatkan konversi karsinogenik dari sel epitelial gastrik yang ada.

Kerusakan mukosa secara langsung, terjadi karena faktor virulensi (sitotoksin pembentuk vakuola, sitotoksin yang berhubungan dengan protein gen, dan faktor penekan pertumbuhan), enzim baktei yang ada (lipase, protease, dan urease) dan penempelan. Sekitar 50% strain H. pylori memproduksi racun protein (Vac A) yang menyebabkan pembentukan vakuola selular.

Strain dengan protein gen yang berhubungan dengan sitotoksin (cagA) menyebabkan tukak usus 12 jari. gastritis atropik dan kanker lambung. Lipase dan protease mendegradasi mukus lambung, amonia yang dihasilkan urease beracun bagi sel epitelial lambung, dan penempelan bakteri meningkatkan jumlah racun yang masuk sel epitelial lambung. Infeksi H. pylori mempengaruhi respon inflamasi inang dan merusak sel epitelial secara langsung melalui mekanisme imunitas yang dimediasi sel atau secara tak langsung melalui neutrofil atau makrofag teraktivasi yang mencoba memfagositosis bakteri atau produk bakteri. Infeksi H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung pada pasien penderita kanker lambung. Infeksi predominan antral menyebabkan hipergastrinemia dan peningkatan pengeluaran sekresi asam lambung. Mekanisme yang bertanggung jawab meliputi sitokin, seperti faktor nekrosis tumor-α yang dilepaskan dalam gastritis H. pylori; hasil dari H. pylori, seperti amonia dan berkurangnya eskpresi dari somastatin. Penyebab somastatin berkurang kurang jelas tapi sitokin mungkin terlibat. Infeksi predominan-korpus menyebabkan atropi gastrik dan mengurangi pengeluaran asam.   

PEPTIK ULCER YANG DIINDUKSI OLEH NSAID
NSAID menyebabkan kerusakan mukosa saluran cerna melalui dua mekanisme: iritasi topical karena NSAID sendiri bersifat asam dan inhibisi sistemik sintesis PG. Cyclooxygenase (COX) berperan dalam pembentukan PG. COX terdapat dalam dua bentuk: COX-1 dan COX-2. COX-1 menghasilkan PG yang dapat melindungi mukosa saluran cerna, sedangkan COX-2 merupakan enzim yang merespon stimulus inflamasi dan menghasilkan PG yang berhubungan dengan inflamasi. Penghambatan COX-1 dapat menyebabkan penurunan agregasi platelet dan terjadinya pendarahan mukosa saluran cerna.

V.            Etiologi
Tukak peptic atau Peptic Ulcer Disease (PUD) biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri Helicobacter pylori (H pylori) atau obat-obatan anti-inflamasi non-steroid (NSAID). Sebanyak 4/5 orang dari seluruh penderita ulkus gastric dan 95% dari penderita ulkus duodenal disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori (H pylori) sedangkan 20% dari penderita ulkus gastric dan 5% dari penderita ulkus duodenal disebabkan oleh NSAID. Lokasi tukak pada saluran cerna dipengaruhi oleh faktor-faktor etiologinya, misalnya Helycobacter pylori, obat-obatan NSAID, dan stress.

1.      Infeksi H pylori
Infeksi HP dapat menyebabkan gastritis kronik pada semua individu yang terinfeksi, dan secara kausal berhubungan dengan tukak peptik, kanker lambung, serta mucosaassociated lymphoid tissue (MALT) lymphoma. Meskipun begitu, hanya sejumlah kecil dari individu terinfeksi yang akan menunjukkan gejala tukak peptik (+20%) atau kanker lambung (<1%). Kofaktor spesifik host (penderita) dan strain HP yang bervariasi memegang peran penting dalam patogenesis tukak peptik dan kanker lambung.

Bakteri H.  pylori menyebar melalui 3 cara yaitu fecal-oral, oral-oral dan gastro-oral. Transmisi biasanya terjadi melalui fecal oral baik secara langsung ataupun secara tidak langsung melalui air atau makanan yang terkontaminasi feses disebabkan oleh sanitasi yang tidak baik. Biasanya jika dalam satu rumah terdapat seseorang yang terinfeksi H pylori, anggota keluarga lain di rumah tersebut kemungkinan besar dapat terinfeksi pula. Faktor resiko juga akan meningkat pada kondisi rumah yang sangat padat, sumber air tidak bersih dan konsumsi sayuran mentah. Karena bakteri ini terdapat pada saliva penderita, bakteri ini juga dapat menyebar melalui kontak mulut misalnya saat berciuman. Transmisi melalui gastro-oral terjadi misalnya melalui muntahan atau endoskop yang tidak disterilisasi dengan baik.

Bakteri ini hidup di permukaan mukosa sepanjang lambung dan duodenum dan menghasilkan urease, enzim yang menetralkan asam lambung sehingga membuat asam lambung menjadi kurang asam. Untuk mengatasi ini, lambung menghasilkan lebih banyak asam lambung sehingga mengiritasi lambung. Helicobacter pylori (H pylori) juga melemahkan system pertahanan di lambung dan menyebabkan inflamasi. Pasien dengan tukak peptic yang disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori (H pylori) harus dihilangkan dari lambung untuk mengobatinya. Diduga terdapat korelasi infeksi H pylori terhadap pendarahan. Namun begitu, eradikasi H pylori terbukti menurunkan kemungkinan pendarahan pada penderita tukak peptic. Prevalensi H pylori bermacam-macam bergantung pada lokasi geografis, kondisi sosioekonomi, etnis dan usia. Pada negara sedang berkembang, prevalensi H pylori lebih dari 80% pada orang dewasa dan berhubungan dengan kondisi sosioekonomi yang rendah. Pada negara industri, prevalensi infeksi H pylori pada orang dewasa berkisar antara 20-50%.

2.      Penggunaan NSAIDs (non-steroidal anti-inflammatory drugs)
NSAID adalah salah satu obat yang diresepkan secara luas terutama untuk orang usia lanjut (>60 tahun). Terdapat hubungan yang luar biasa antara penggunaan NSAID non selektif (termasuk aspirin) terhadap luka pada saluran GI. NSAID dapat menurunkan kemampuan lambung untuk dapat melindungi lapisan mukosa yang membuat lambung lebih mudah dirusak oleh asam lambung. NSAID juga dapat mempengaruhi aliran darah ke lambung dan mengurangi kemampuan tubuh untuk memperbaiki sel. Jika hal tersebut terus berlangsung maka saluran cerna dapat mengalami pendarahan. Subepithelial gastric hemorrhages terjadi dalam waktu 15-30 menit setelah mengkonsumsi NSAID dan berlanjut pada pengikisan dinding lambung pada penggunaan selanjutnya. Tukak gastroduodenal ini terjadi pada 15-30% penggunaan NSAID. Ulkus yang terjadi biasanya terdapat pada bagian antrum  pada lambung yang biasanya mengalami pendarahan. Tukak peptik yang disebabkan oleh NSAID jarang terjadi pada esofagus dan kolon.

Contoh NSAID dan inhibitor COX-2 yang banyak digunakan :
a.       Non salisilat
Non selektif NSAID : indometasin, piroksikam, ibuprofen, naproxen, sulindac, ketorolak, flurbiprofen, diklofenak
Selektif parsial NSAID : etodolak, nabumetone, meloksikam
Inhibitor COX-2 selektif : celecoxib, valdecoxib
b.      Salisilat
Terasetilasi : aspirin
Tidak terasetilasi : salsalat, trisalisilat

Faktor resiko untuk tukak yang diinduksi oleh obat NSAID dan komplikasi saluran GI bagian atas :
a.       Established risk factor (Faktor resiko yang tidak dapat dihindari)
-       Usia di atas 60 tahun
-       Telah mengidap tukak peptic sebelumnya
-       Pernah mengalami pendarahan saluran GI bagian atas
-       Sedang dalam terapi kortikosteroid
-       Penggunaan NSAID dosis tinggi dan ganda
-       Penurunan fungsi organ0-organ mayor (contoh cardiovaskular)
b.      Possible risk factor (bisa berkaitan bisa tidak)
-       Dyspepsia yang disebabkan oleh NSAID
-       Durasi penggunaan NSAID
-       Infeksi HP
-       Rheumatoid arthritis
c.        Questionable risk factor (dipertanyakan)
-       Merokok
-       Mengonsumsi alkohol

Kombinasi faktor-faktor tersebut memungkinkan resiko aditif. Resiko komplikasi NSAID meningkat sebanyak 14x lipat pada pasien dengan riwayat tukak atau pendarahan GI. Usia yang lanjut adalah faktor resiko independen dan meningkat secara linear dengan bertambahnya usia pasien. Kejadian komplikasi yang tinggi pada invididu yang lebih tua dapat dijelaskan dengan perubahan pertahanan pada dinding lambung yang dipengaruhi oleh umur. Resiko ulkus yang disebabkan oleh NSAID dan komplikasinya berhubungan pula dengan dosis NSAID yang digunakan, namun dapat pula terjadi pada penggunaan NSAID obat bebas yang memiliki dosis yang rendah atau pada penggunaan aspirin untuk kardioprotektif (81-325 mg/ hari). Penggunaan aspirin pada dosis rendah tersebut jika juga dikombinasikan dengan NSAID lain akan meningkatkan resiko komplikasi penyakit saluran cerna yang sangat besar dibandingkan dengan jika aspirin digunakan tunggal. Kortikosteroid sendiri tidak akan meningkatkan resiko ulkus atau komplikasi, namun jika dikombinasikan dengan NSAID resiko akan meningkat. Resiko pendarahan saluran GI akan meningkat jika NSAID digunakan bersamaan dengan antikoagulan. Dispepsia yang berkaitan dengan NSAID tidak dapat diringankan dengan penggunaan antituka. Hal ini mengindikasikan  bahwa terjadinya tukak atau komplikasim tetapi dispepsia tidak berkorelasi secara langsung terhadap luka mukosa atau manifestasi kliniknya. Apakah infeksi HP merupakan faktor resiko tukak NSAID-induced masih kontroversi. Kebanyakan pembuktian menunjukkan bahwa antara HP dan NSAID masing-masing merupakan faktor resiko yang independent. HP tidak juga mempotensiasi resiko tukak pengguna NSAID. Namun data yang ada menunjukkan bahwa HP berpotensi memperburuk efek dari NSAID dan aspirin dosis rendah hingga terjadi pendarahan. Merokok dan mengkonsumsi alkohol berkontribusi dalam meningkatkan resiko tetapi bukan menjadi faktor yang independent.

Nonasetilasi salisilat NSAID (ex salsalat) dan NSAID baru (ex etodolac, nabumetone, dan meloxicam) menunjukkan toksisitas yang lebih rendah terhadap GI. Dibandingkan dengan NSAID nonselektif, NSAID yang selektif inhibit COX-2 lebih jarang menyebabkan tukak gastroduodenal dan komplikasi pada saluran GI. Penggunaan aspirin enteric coated dapat mencegah terjadinya tukak atau komplikasi GI.

3.      Faktor Genetik – sejumlah orang dengan ulkus peptik memiliki saudara yang juga memiliki masalah penyakit tukak peptik yang sama. Berdasarkan hal tersebut, diduga factor genetik juga berperan dalam penyakit ini

4.      Merokok – orang yang mempunyai kebiasaan merokok memiliki kemungkinan menderita tukak peptik dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Resiko kematian akibat tukak peptik lebih tinggi pada orang yang merokok dibandingkan dengan yang tidak merokok. Mekanisme peningkatan resiko merokok terhadap tukak peptik belum begitu jelas. Diduga mekanisme yang mungkin terjadi diantaranya tertundanya pengosongan saluran cerna, inhibisi sekresi bikarbonat pankreatik, penaikan refluks duodenogastik, dan penurunan produksi prostaglandin mucosal. Merokok dapat meningkatkan sekresi asam lambung, namun efek ini tidak tetap.

5.      Konsumsi Alkohol – meminum alkohol tidak menyebabkan penyakit tukak peptik. Namun resiko pendarahan saluran cerna akibat tukak peptic lebih tinggi pada peminum alkohol dibanding orang yang tidak.

6.      Keadaan Stress – keadaan stress seseorang tidak memilliki hubungan dalam terjadinya penyakit tukak peptik, namun penderita tukak peptik yang mengalami stress cenderung mengalami gejala-gejala yang lebih parah. Hal tersebut kemungkinan disebabkan pada saat sedang stress, kebanyakan orang cenderung mengkonsumsi NSAID atau merokok.

7.    Penyakit-Penyakit yang Berhubungan dengan Tukak Peptik
Terdapat pembuktian epodemiologi yang menunjukkan peningkatan prevalensi tukak duodenal pada pasien dengan penyakit kronik, namun mekanisme patofisiologinya masih belum pasti. Hubungan yang kuat terjadi pasa pasien dengan mastositpsis sistemik, neoplasia endokrin tipe 1, penyakit-penyakit paru-paru kronik, gagal ginjal kronik, batu ginjal, sirosis hati, dan defisiensi α1-antitrypsin. Efek penyakit lain juga tampak pada pasien dengan fibrosis cystic, pakreatitis kronik, penyakit Crohn’s, oenyakit arteri koroner, polycythemia vera, hiperparatiroid.

VI.         Diagnosis dan Simptom
Gambaran dari pasien tentang gejala-gejala yang dideritanya biasanya akan membuat dokter menduga bahwa pasien memiliki tukak peptik. Beberapa cara untuk mendiagnosa penyakit tukak peptik diantarnya :
-       Uji darah dapat menetapkan apakah  terdapat bakteri H. pylori atau tidak. Namun dengan pengujian darah ini tidak dapat menentukan apakah pasien pernah atau sedang terinfeksi bakteri. Selain itu, pasien yang pernah dan sedang menggunakan antibiotik atau inhibitor pompa proton dapat memberikan hasil negative palsu. 
-       Uji nafas (urea breath test). Dalan pengujian nafas ini digunakan atom karbon radioaktif. Pasien akan meminum cairan jernih yang mengandung karbon radioaktif sebagai substansi yang akan dipecah oleh H. pylori. Sejam kemudian, pasien disuruh untuk meniup ke dalam suatu kantong yang kemudian akan ditutup. Jika pasien terinfeksi dengan H pylori, nafas pasien akan mengandung karbon radioaktif dalam bentuk karbon dioksida. Pengujian nafas juga dapat digunakan untuk memeriksa sebarapa efektif pengobatan dapat mengeliminasi H pylori.
-       Uji antigen dalam feses. Dengan pengujian ini kita dapat menentukan keberadaan H pylori dalam feses. Uji ini juga berguna untuk menentukan seberapa efektif pengobatan dapat membunuh bakteri H. pylori.
-       X-ray saluran GI atas. Foto X-ray dilakukan terhadap esophagus, lambung dan duodenum. Dalam  uji ini, pasein akan meminum cairan yang mengandung barium. Barium akan melapisi lapisan saluran digestif dan ditunjukkan dalam X-ray, membuat ulkus lebih mudah dilihat. X-ray saluran GI atas hanya berguna untuk mendeteksi keberadaan ulkus.
-       Endoskopi. Sebuah tabung panjang dengan kamera pada bagian ujungnya dimasukkan  melalui kerongkongan dan esophagus dan masuk ke dalam lambung dan duodenum. Dokter dapat melihat salura cerna bagian atas dari monitor dan mengidentifikasi ulkus yang ada. Endoskopi juga dilakukan bila pasien memiliki gejala dan tanda lainnya misalnya kehilangan berat badan, muntah (terutama muntah yang disertai darah), feses berwarna hitam, anemia dan kesulitan menelan.

Tanda-tanda dan Simptom
Gejala/symptom  merupakan sesuatu yang dirasakan oleh pasien dan dilaporkan pada dokter, misalnya sakit perut. Sedangkan tanda-tanda merupakan sesuatu yang orang lain termasuk dokter dapat deteksi misalya ruam.
Gejala pertama dari tukak peptik biasanya sakit pada bagian perut yang disebabkan oleh ulkus dan diperparah dengan adanya asam  lambung yang berkontak dengan ulkus tersebut.
Gejala-gejala umum lainnya :
-          Sakit seperti salah cerna (indigestion). Rasa sakitnya dapat :
Terasa dimana saja mulai dari pusar hingga tulang dada. Berlangsung selama beberapa menit hingga beberaa jam. Lebih parah jika perut kosong, lebih parah pada malam hari. Reda sementara setelah memakan makanan tertentu. Pergi dan kembali lagi setelah beberapa hari atau minggu
-          Kesulitan menelan makanan
-          Makanan yang telah dimakan dimuntahkan kembali
-          Muntah setelah makan
-          Merasa tidak nyaman setelah makan
-          Penurunan berat badan
-          Kehilangan nafsu  makan

Tukak peptik dapat menyebabkan beberapa gejala dan tanda yang serius misalnya
-          Muntah darah
-          Feses yang berwarna hitam atau feses denga darah yang pekat
-          Mual atau untah

VII.      Faktor Resiko
1)       Keturunan
2)       Usia tua
3)       Rasa sakit kronis yang disebabkan oleh misalnya arthritis, fibromyalgia, luka stress repetitive(seperti carpal tunnel syndrome) atau sakit pada punggung yang bertahan lama sehingga menyebabkan penggunaan aspirin atau NSAID oleh pasien
4)       Alkoholik berat
5)       Diabetes
6)       Factor gaya hidup termasuk stress kronis, kebiasaan minum kopi dan merokok dapat memperparah penyakit tukak peptic namun tidak menyebabkan terjadinya tukak peptik

VIII.   Penanganan Non-Farmakologi
ü   Mengurangi stress psikologis
Membangun gaya hidup yang lebih santai, mengembangkan hobi, bedrest untuk mengurangi gejala tukak peptik jangka pendek.
ü   Menghindari atau mengurangi  merokok
Merokok dapat menghambat penyembbuhan tukak peptik dan mengakibatkan komplikasi saluran cerna yang terkait dengan tukak.
ü   Mengurangi penggunaan NSAID non selektif (termasuk aspirin)
NSAID dapat mengakibatkan  kerusakan dinding mukosa lambung melalui dua mekanisme, yaitu iritasi topikal langsung epitelium lambung dan inhibisi sistemik enzim siklooksigenase-1 (COX-1) yang mengakibatkan penurunan sintesis prostaglandin yang bersifat protektif.
Bila penggunaan NSAID tidak dapat dihentikan, dapat dipertimbangkan penggunaan dengan dosis rendah atau  penggantian dengan asetaminofen, salisilat yang tidak terasetilasi (contohnya salasate), COX-2 inhibitor relatif selektif (nabumeton, etodolak), COX-2 inhibitor selektif kuat (celecoxib, rofecoxib). Pemberian bersama makanan, antagonis reseptor H2 (H2RA) atau inhibitor pompa proton (PPI) dapat menurunkan gejala dan kerusakan mukosa.
ü   Pasien disarankan menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan dispepsia  atau yang dapat menimbulkan penyakit tukak seperti makanan pedas, susu, kafein (kopi, teh, minuman kola) dan alkohol (bir) karena dapat mengiritasi lambung (terutama alkohol yang dapat menyebabkan pendarahan).
ü   Lebih disarankan untuk mengkonsumsi makan dalam jumlah kecil secara teratur. Cemilan di malam hari sebaiknya dihindari karena akan memicu sekresi lambung nokturnal.
ü   Antasida dapat digunakan dengan obat antitukak lainnya untuk mengatasi gejala penyakit tukak.

IX.         Penanganan secara Farmakologi, Standar Terapi (Guideline)
Tujuan terapi adalah menghilangkan nyeri tukak, menyembuhkan tukak, mencegah terjadinya kekambuhan, dan mencegah komplikasi yang berkaitan dengan tukak. Pada pasien dengan H.pylori positif, tujuan terapi adalah mengatasi mikroba dan menyembuhkan penyakit dengan obat yang efektif.


A.    GUIDELINE TERAPI
Standar terapi pengobatan dan pemeliharaan tukak peptik
Berikut ini adalah  tabel yang menunjukan obat oral yang biasa  digunakan untuk terapi pengobatan dan pemeliharaan tukak :
Obat
Pengobatan tukak lambung atau duodenum
(mg per dosis)
Pemeliharaan tukak lambung atau duodenum
(mg per dosis)
Antagonis reseptor H2 :
·   Simetidin
·   Famotidin
·   Nizatidin
·   Ranitidin

300 qid, 400 qid, 800 hs
20 bid, 40 hs
150 bid, 300 hs
150 bid, 300 hs

400-800 hs
20-40 hs
150-300 hs
150-300 hs
PPI :
·   Omeprazol
·   Lansoprazol
·   Rabeprazol
·   Pantoprazol
·   Esomeprazol

20-40 qid
15-30 qid
20 qid
40 qid
20-40 qid

20-40 qid
15-30 qid
20 qid
40 qid
20-40 qid
Penguat mukosa :
Sukralfat(gram perdosi)

1 qid, 2 bid

1-2 bid atau 1 qid
Keterangan :
bid : dua kali sehari
qid : empat kali sehari

Standar terapi untuk eradikasi Helicobacter pylori
Berikut ini adalah perbandingan regimen obat untuk eradikasi H. pylori Menurut Konsensus Nasional penanggulangan H.pylori yang dibuat oleh kelompok studi Helicobacter Pylori Indonesia ( KSHPI )
No.
Obat
Efektivitas
Efek Ikutan
Komplikasi
Regimen 2 obat
1.
Klaritomisin, 500 mg 3x1 hari selama 14 hari
PPId atau 2x1 hari selama 14 – 28 hari
Cukup – Baik
Rendah – Sedang
Sering
2.
Klaritomisin, 500 mg 3x1 hari selama 14 hari
RBC, 400 mg 2x1 hari selama 14 – 28 hari
Cukup – Baik
Rendah – Sedang
Sering
3.
Amoksisilin, 1 gram 2x1 hari sampai 3x1 hari selama 14 hari
PPId atau 2x1 hari selama 14 – 28 hari
Kurang – Cukup
Rendah – Sedang
Sering
Regimen 3 obat
4.
Klaritomisin, 500 mg 2x1 hari selama 10 – 14 hari
Amoksisilin, 1 gram 2x1 hari selama 10 – 14 hari
PPId 2x1 hari selama 10 – 14 hari
Baik – Sangat baik
Rendah – Sedang
Sering
5.
Klaritomisin, 500 mg 2x1 hari selama 10 – 14 hari
Metronidazol, 500 mg 2x1 hari selama 10 – 14 hari
PPId 2x1 ari selama 10 – 14 hari
Baik – Sangat baik
Sedang
Sering
6.
Amoksisilin, 500 mg 2x1 hari selama 10 – 14 hari
Metronidazol, 500 mg 2x1 hari selama 10 – 14 hari
PPId 2x1 hari selama 10 – 14 hari
Baik
Sedang
Sering
7.
Klaritomisin, 500 mg 2x1 hari
RBC, 400 mg 2x1 hari selama 14 hari
Baik
Sedang
Sering
8.
Klaritomisin, 500 mg 2x1 hari
Metronidazol, 500 mg 2x1 hari selama 14 hari
RBC 400 mg 2x1 hari selama 14 hari
Baik – Sangat baik
Sedang
Sering
9.
Klaritomisin, 500 mg 2x1 hari
Tetrasiklin, 500 mg 2x1 hari selama 14 hari
RBC, 400 mg 2x1 hari selama 14 hari
Baik – Sangat baik
Sedang
Sering
Regimen 4 obat
10.
BSS, 500 mg 4x1 hari selama 14 hari
Metronidazol, 250 – 500 mg 4x1 hari selama 14 hari
Tetrasiklin, 500 mg 4x1 hari selama 14 hari
H2RA atau PPIe sebagai dosis penggunaan standar secara langsung
Baik – Sangat baik
Sedang – Tinggi
Tidak sering
11.
BSS, 500 mg 4x1 hari selama 14 hari
Metronidazol, 250 – 500 mg 4x1 hari selama 14 hari
Klaritomisin, 250 – 500 mg 4x1 hari selama 14 hari
H2RA atau PPIe sebagai dosis penggunaan standar secara langsung
Baik – Sangat baik
Sedang – Tinggi
Tidak sering
12.
BSS, 500 mg 4x1 hari selama 14 hari
Metronidazol, 250 – 500 mg 4x1 hari selama 14 hari
Amoksisilin, 500 mg 4x1 hari selama 14 hari
H2RA atau PPIe sebagai dosis penggunaan standar secara langsung
Cukup – Baik
Sedang - Tinggi
Tidak sering
.Laporan  rata-rata eradikasi dalam percobaan klinis:
ü  Sangat baik (>90%),
ü  Baik (>80 – 90%),
ü  Cukup (>70 – 80%), dan
ü  Kurang (<70%)

 
Keterangan:
PPI      : Proton Pump Inhibitor
H2RA : H2 Reseptor Antagonist
RBC    : Ranitidin Bismuth Sitrat
BSS     : Bismuth Subsalisilat

 









d :  Penggunaan omeprazol 20 mg, esomeprazol 20 mg, lansoprazol 30 mg, rabeprazol 20 mg, atau pantoprazol 40 mg 2x sehari, total dosis PPI per hari (contoh: omeprazol 40 mg) dapat diberikan 4x sehari, hanya lanzoprazol 30 mg diindikasikan 3x sehari
e  :  Dalam pengaturan tukak aktif supresi asam ditambahkan untuk mengurangi rasa sakit. Ketika menggunakan H2RA, simetidin, ranitidin, pamotidin, atau nizatidin dapat digunakan dalam dosis penyembuhan  tukak untuk durasi 4 – 6 minggu, ketika menggunakan PPI, omeprazol, esomeprazol, lamsoprazol, rabeprazol, atau pantoprazol dapat digunakan dalam dosis untuk durasi 2 – 4 minggu.
PPI Berdasarkan Regimen Tiga Obat
PPI berdasarkan regimen tiga obat dengan dua antibiotik termasuk terapi lini pertama untuk eradikasi HP. Meta-analisis terhadap 666 studi mengindikasikan regimen berdasarkan PPI kombinasi klaritomisin dan amoksisilin, klaritomisin dan metronidazol, atau amoksisilin dan metronidazol memperoleh kemampuan eradikasi yang sama (78,9 – 82,8%) menggunakan analisis kemampuan mengobati; dilain pihak, studi lain menyatakan kombinasi amoksisilin-metronidazol kurang efektif. Kemampuan eradikasi dapat ditingkatkan ketika dosis klaritomisin ditingkatkan 1,5 gram/hari, tapi peningkatan dosis untuk antibiotik lainnya tidak meningkatkan kemampuan eradikasi. Praktisi klinis lebih memilih terapi tiga obat dengan klaritomisin dan amoksisilin daripada klaritomisin dan metronidazol. Penggunaan metronidazol sebagai terapi alternatif atau lini kedua efektif dan menurunkan paparan dan efek samping dari metronidazol. Alternatif lainnya, regimen PPI-klaritomisin-metronidazol terbaik pada pasien alergi penisilin.
Terapi inisiasi 7 hari cukup untuk mengeradikasi dan disetujui oleh FDA dan direkomendasikan di Eropa. Kontroversi durasi terapi di US, lebih lama (10 hari dan 14 hari) memiliki kemampuan eradikasi lebih tinggi dan kurang disukai bila dihubungkan dengan resistensi antimikroba. Satu laporan meta-analisis menyatakan 7 – 9% peningkatan kemampuan eradikasi dengan regimen terapi 14 hari dibandingkan dengan regimen terapi 7 hari. Jumlah antibiotik lain dan kombinasi antibiotik lainnya harus dievaluasi sebagai bagian dari terapi PPI berdasarkan regimen tiga obat dengan berbagai tingkat kemampuan.
PPI salah satu bagian dari regimen tiga obat dan harus digunakan 15 – 30 menit sebelum makan selanjutnya dua antibiotik lainnya. Inhibisi pengeluaran asam lambung dibutuhkan untuk membantu kemampuan eradikasi HP, level spesifik inhibisi yang diperoleh tidak diketahui. PPI dosis tunggal harian mungkin kurang efektif dibandingkan dosis ganda ketika digunakan dalam regimen terapi tiga dosis eradikasi HP. Penggantian PPI dengan jenis lainnya diperbolehkan dan tidak memperlihatkan peningkatan eradikasi HP. H2RA tidak boleh diganti dengan PPI, eradikasi lebih baik ditunjukkan oleh PPI.
Kontroversi Klinis
Beberapa pakar klinis memberikan regimen 7 hari untuk HP, disamping lainnya 10 atau 14 hari. Durasi terapi masih kontroversial, periode pendek meningkatkan kepatuhan, tapi terapi periode panjang meningkatkan kemampuan eradikasi dan kurang disukai terkait dengan resistensi antimikroba. Pasien yang menerima terapi kedua setelah kegagalan eradikasi harus menerima terapi untuk 14 hari.
Bismuth Berdasarkan Regimen Empat Obat
Bismuth berdasarkan regimen empat obat digunakan sebagai terapi lini pertama untuk eradikasi HP. Kemampuan eradikasi untuk regimen 14 hari menggunakan bismuth, metronidazol, tetrasiklin, dan H2RA sama dengan terapi PPI berdasarkan regimen tiga obat. Peningakatan durasi pengobatan hingga 1 bulan tidak meningkatkan kemampuan eradikasi. Penggantian amoksisilin untuk tetrasiklin menurunkan kemampuan eradikasi dan biasanya tidak direkomendasikan. Penggantian klaritomisin 250 dengan tetrasiklin 500 mg empat kali sehari menghasilkan hasil yang sama, tapi meningkatkan efek samping. Obat antisekretori juga digunakan untuk mengurangi nyeri pada pasien dengan tukak aktif. Bismuth berdasarkan regimen empat obat efektif dan tidak mahal, efek samping sering dan kepatuhan kurang. Sediaan kapsul yang mengandung bismuth, metronidazol, dan tetrasiklin sedang diuji.
Pengobatan lini pertama dengan terapi empat obat menggunakan PPI (dengan bismuth, metronidazol, dan tetrasiklin) digantikan dengan H2RA menunjukkan kesamaan kemampuan eradikasi sama dengan terapi PPI berdasarkan tiga obat dan diizinkan untuk penggunaan durasi jangka pendek (7 hari). Walaupun mendukung efek dari terapi bismuth dengan empat obat sebagai terapi lini pertama, itu jarang direkomendasikan sebagai terapi lini kedua ketika regimen klaritomisin-amoksisilin digunakan terlebih dahulu. Semua pengobatan kecuali PPI harud digunakan dengan makanan dan menjelang tidur.
Regimen Eradikasi Setelah Kegagalan Pengobatan Inisiasi
Eradikasi HP lebih sulit setelah kegagalan pengobatan inisiasi dan kemampuan eradikasi menjadi ekstrim. Karena keterbatasan data eradikasi HP tahap kedua, kegagalan ditangani berdasarkan tiap kasus. Penanganan kegagalan regimen terapi pertama dan kedua harus ditangani para ahli spesialis.
Terapi lini kedua secara empiris yaitu menggunakan antibiotik yang belum digunakan pada terapi inisiasi; menggunakan antibiotik yang tidak mengalami resistensi; menggunakan obat dengan efek topikal seperti bismuth; dan durasi pengobatan diperpanjang 10 – 14 hari. Setelah kegagalan pengobatan insiasi dengan PPI-amoksisilin-klaritomisin, secara empiris regimen terapi lini kedua digunakan bismuth salisilat-metronidazol-tetrasiklin-PPI selama 10 – 14 hari. Ketika terjadi resistensi metronidazol, dapat digantikan dengan furazolidon (100 mg empat kali sehari) pada terapi tiga obat atau empat obat. Ketiga furazolidon digunakan, pasien harus dikonseling untuk tidak menggunakan alkohol atau inhibitor MAO (Monoamin Oksidase).

Faktor Penyebab Kegagalan Eradikasi
Penyebab kegagalan eradikasi berupa ketidakpatuhan pasien, resistensi organisme, pH gastrik yang rendah, dan tingginya pengeluaran bakteri. Ketidakpatuhan pasien mempengaruhi kesusksesan terapi. Penuruanan kepatuhan karena pengobatan ganda, meningkatnya frekuensi penggunaan, meningkatnya lama pengobatan, tidak tahan terhadap efek samping, dan harga obat. Semakin panjang waktu terapi, semakin tinggi ketidakpatuhan, hilang dosis penggunaan dalam regimen 7 hari mengakibatkan kegagalan eradikasi. Toleransi beragam untuk tiap regimen berbeda. Regimen dengan metronidazol meningkatkan frekuensi efek samping (khususnya dosis > 1 gram/hari). Efek samping yang sering termasuk gangguan pengecap (metronidazol dan klaritomisin), mual, muntah, nyeri perut, dan diare. Kadang terjadi, kolitis akibat antibiotik, komplikasi serius. Sangat jarang terjadi, infeksi jamur pada mulut dan kandidiasis vaginal.
Hal paling penting dari kesuksesan terapi yaitu keberadaan resistensi antibiotik. Resistensi metronidazol sering terjadi (10 – 60%), tapi bervariasi bergantung pada paparan antibiotik dan regional geografis. Studi resistensi metronidazol dibutuhkan, karena memiliki efek sinergis bila dikombinasikan dengan antibiotik lainnya. Bila terjadi resistensi, antibiotik lainnya tidak dapat menutupi resistensi metronidazol tersebut. Resistensi klaritomisin rendah (10 – 15%) daripada metronidazol, tapi lebih berpengaruh terhadap hasil klinik. Resistensi kedua terjadi bila terdapat kegagalan pada terapi kedua dan ketika. Resistensi tetrasiklin dan amoksisilin tidak pernah terjadi. Resistensi bismuth tidak pernah dilaporkan. Belum ada pengujian sensitivitas HP terhadap antibiotik.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam terapi :
1)      Uji H.pylori direkomendasikan hanya jika direncanakan terapi eradikasi.
2)      Pengobatan harus diawali dengan regimen 3 obat PPI.
3)      Jika pengobatan kedua untuk H.pylori dibutuhkan, maka harus dipilih antibiotik yang berbeda
4)      Pasien dengan tukak aktif harus menerima terapi tambahan dengan PPI atau antagonis reseptor H2 untuk meringankan penyakit.
5)      Pasien harus diminta untuk menggunakan seluruh obat dengan makanan dan pada waktu istirahat (kecuali PPI)
6)      Terapi pemeliharaan dengan antagonis reseptor H2 dosis rendah, PPI, atau sukralfat harus dibatasi karena memiliki resiko yang tinggi untuk pasien yang gagal mengeradikasi H.pylori, pasien dengan beberapa penyakit komplikasi, dan pasien yang H.pylori negatif.
7)      Tukak yang sulit disembuhkan dengan dosis obat standar PPI (misal, omeprazol 20 mg) atau dosis tinggi antagonis reseptor H2 biasanya dapat disembuhkan dengan dosis PPI yang lebih tinggi (missal, omeprazol 40 mg). Terapi pemeliharaan dengan PPI penting untuk mencegah kekambuhan tukak.
8)      Kebanyakan tukak yang diinduksi NSAID yang tidak kompleks dapat sembuh dengan terapi standar H2RA (antagonis reseptor H2), PPI, atau sukralfat jika NSAID dihentikan. Jika NSAID tetap digunakan, PPI merupakan obat pilihan. Jika ada H.pylori, pengobatan harus dimulai dengan regimen eradikasi yang mengandung PPI.  Pasien yang beresiko menderita  komplikasi yang serius namun masih harus melanjutkan penggunaan NSAID, harus mendapat terapi profilaksis misoprostol atau PPI.
9)      Pasien dengan komplikasi tukak (pendarahan saluran cerna atas, obstruksi, perforasi, atau penetrasi) sering membutuhkan terapi pembedahan atau endoskopi.


Pasien dengan simptom seperti tukak dibagi menjadi dua, yaitu pasien dispepsia tanpa simptom dan pasien dengan simptom, seperti pendarahan, anemia, dan berat badan menurun.
Pasien dispepsia tanpa simptom perlu ditelusuri penggunaan terhadap NSAID. Bila menggunakan NSAID, perlu dilakukan penghentian penggunaan atau penggantian dengan inhibitor COX-2, dan simptom hilang, tidak perlu dilakukan pengobatan.
Pasien dispepsia tanpa simptom yang menggunakan NSAID, setelah dilakukan penggunaan atau penggantian dengan inhibitor COX-2, dan simptom bertahan, perlu dilakukan inisiasi pengobatan dengan H2RA atau PPI. Bila simptom terobati, dianjurkan melanjutkan penggunaan H2RA atau PPI. Pada pasien dengan simptom bertahan, perlu dilakukan endoskopi untuk menentukan status tukak.
Pasien dispepsia tanpa simptom yang tidak menggunakan NSAID, perlu ditelusuri apakah pernah melakukan pengobatan HP. Bila tidak pernah, perlu dilakukan uji serologi. Jika pengujian menyatakan negatif, dilakukan pengobatan sama dengan pasien dispepsia tanpa simptom yang setelah penghentian atau penggantian NSAID, simptom tetap bertahan.
Pasien dispepsia tanpa simptom yang tidak menggunakan NSAID, bila uji serologi positif, perlu pengobatan dengan dosisi eradikasi HP dengan PPI. Bila simptom setelah 1– 2 minggu pengobatan menghilang, dapat dihentikan. Bila tidak, telusuri penggunaan NSAID. Bila menggunakan NSAID, perlu dihentikan dan diberi pengobatan H2RA atau PPI. Bila harus tetap menggunakan NSAID, perlu diberikan PPI diikuti terapi pendukung dengan misoprostol, atau penggantian NSAID dengan inhibitor COX-2. Terapi ini berlaku untuk pasien dengan adanya simptom, diamati adanya tukak dengan endoskopi, dan uji HP positif.
Pasien dengan simptom, diamati adanya tukak dengan endoskopi, dan uji HP negatif, perlu ditelusuri penggunaan NSAID. Jika ya, perlu dilakukan penghentian, dan pengobatan H2RA atau PPI. Jika NSAID harus dilanjutkan, perlu diberikan PPI diikuti terapi pendukung dengan misoprostol, atau penggantian NSAID dengan inhibitor COX-2.
Pasien dengan simptom, diamati tidak adanya tukak dengan endoskopi kemungkinan mengalami simptom untuk etiologi lainnya, seperti GERD atau NUD.

Tidak ada komentar:

Google Ads