I.
Nama/Jenis Penyakit
Tukak
Peptik atau disebut juga Peptic Ulcer
Disease
II.
Pengertian/ Definisi Penyakit
Tukak peptik termasuk penyakit gangguan saluran pencernaan. Peptic ulcer disease (PUD) termasuk
kelompok gangguan ulseratif pada saluran pencernaan bagian atas yang diakibatkan
oleh ketidakseimbangan faktor
agresif dan faktor defensif. Tukak berbeda dengan gastritis dan erosi dimana biasanya tukak dapat
menyebar lebih dalam ke dalam mukosa muskularis. Tiga penyebab umum terbentuknya tukak
peptik antara lain Helicobacter pylori (HP)-disertai tukak, obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID)-induksi tukak, dan gejala stress yang berhubungan dengan kerusakan
mukosa (disebut juga stress tukak).
Beberapa perbandingan
karakteristik bentuk- bentuk Tukak Peptik
Karakteristik
|
Induksi oleh H.pylori
|
Induksi oleh NSAID
|
SRMD (Stress related Mucosal Damage
|
Kondisi
|
Kronik
|
Kronik
|
Akut
|
Daerah kerusakan
|
Duodenum>lambung
|
Lambung>duodenum
|
Lambung>duodenum
|
pH intragastric
|
More dependent
|
Less dependent
|
Less dependent
|
Gejala
|
Biasanya nyeri epigastric
|
Seringkali tanpa gejala
|
Kebanyakan dipermukaan
|
Kedalaman tukak
|
Permukaan
|
Dalam
|
Permukaan yang lebih luar
|
Pendarahan GI
|
Beberapa, pembuluh
tunggal
|
banyak, pembuluh tunggal
|
Banyak, permukaan mukosa kapilari
|
III.
Prevalensi
Tukak lambung merupakan
salah satu penyakit yang banyak diderita masyarakat saat ini, terutama
masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan, menjadi penyebab
mortalitas utama di negara – negara berkembang. Sebagai gambaran, prevalensi
tukak lambung di Amerika Serikat mencapai 1.84% dari total penduduk, sedangkan
prevalensi tukak lambung di negara berkembang mencapai 10% (Chany S., dkk,
2009; Bansal, dkk, 2009). Suyono (2001) menyatakan bahwa berdasarkan beberapa
penelitian prevalensi tukak lambung di Indonesia berkisar antara 6-15% dengan
penderita umumnya berusia 20 – 50 tahun.
Prevalensi H. Pylori bervariasi
tergantung dari lokasi geografis, kondisi sosial ekonomi, etnik, dan usia. Di
negara berkembang, prevalensi H. Pylori
melebihi 80% pada usia dewasa dan berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi yang
rendah. Di negara industrialisasi, prevalensi H. Pylori pada dewasa antara 20% dan 50%. Sementara itu, di Amerika
Serikat prevalensi tukak peptik oleh H.
Pylori antara 30% sampai 40%, tetapi hal ini terjadi lebih tinggi pada
kelompok etnik seperti pada orang berkulit hitam dan gelap.Selama beberapa
tahun terakhir ini, insiden H. Pylori
menurun secara drastis di negara berkembang, karena adanya peningkatan standar
hidup dan kondisi sosial ekonomi.
Faktor lain yang mempengaruhi tukak peptik yang disebabkan oleh H. Pylori antara lain usia, jenis
kelamin, dan kebiasaan merokok. Peningkatan prevalensi tukak peptik oleh H.
Pylori meningkat seiring dengan pertambahan usia, tetapi infeksi terutama
diperoleh selama masa bayi dan anak usia dini. Kecepatan infeksi tidak
dipengaruhi oleh jenis kelamin dan kebiasaan merokok.
Rata-rata insiden tahunan
PUD (Peptic Ulcer Disease) adalah
0,10-0,19% berdasarkan diagnosa dokter dan 0,03-0,17% berdasarkan data rumah
sakit. Prevalensi 1 tahun berdasarkan diagnosa dokter adalah 0,12-1,50% dan
0,10-0,19% berdasarkan data rumah sakit. Sebagian besar penelitian menyebutkan terjadinya penurunan insiden atau
prevalensi PUD dari waktu ke waktu.
Frekuensi
Prevalensi infeksi H.
Pylori pada negara berkembang adalah 50-100%. Prevalensi tukak peptik meningkat
pada negara berkembang.
Penyakit tukak peptik
merupakan penyakit yang tidak umum bagi anak-anak, dengan estimasi frekuensi 1
kasus dari 2500 entri data. Estimasi prevalensi tukak peptik pada anak-anak di
klinik anak umum adalah 1,7%. Tukak
peptik jarang terjadi pada balita dan anak < 10 tahun. Prevalensinya akan
meningkat selama masa remaja.
Di Amerika Serikat, prevalensi infeksi H. pylori lebih tinggi pada orang kulit
hitam dan Hispanics daripada orang kulit puith. Ratio laki-laki dan perempuan
yang menderita tukak peptik adalah1,5 : 1. Insiden tukak peptik primer 2 sampai
3 kali lipat pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.
IV.
Patofisiologi
Tukak
lambung dan usus 12 jari muncul karena ketidakseimbangan antara faktor agreseif
(asam lambung dan pepsin) dan mekanisme yang menjaga integritas
mukosa (pertahanan dan perbaikan mukosa)
ASAM LAMBUNG DAN PEPSIN
Kerusakan
mukosa berhubungan dengan sekresi asam lambung dan pepsin. HCl disekresi sel
parietal yang mengandung reseptor histamin, gastrin dan asetilkolin. Asam
(sebagaimana juga infeksi Helicobacter
pylori dan penggunaan AINS) merupakan sebuah faktor independen yang
berkontribusi pada disrupsi integritas mukosa. Peningkatan sekresi asam telah teramati
pada pada pasien dengan dengan tukak usus 12 jari dan mungkin merupakan
konsekuensi dari infeksi H. pylori
Pasien
dengan ZES (Zollinger Ellison Syndrome)
akan mengalami hipersekresi asam lambung karena tumor yang menghasilkan
gastrin. Pasien dengan tukak lambung umumnya memiliki sekresi asam yang normal
atau lebih rendah (hipoklorhidria).
Sekresi
asam dinyatakan sebagai jumlah asam yang disekresikan dalam keadaan tertentu.
Ada 2 nilai yang biasa dipakai, yaitu basal
acid output (BAO), yaitu keluaran asam pada keadaan puasa dan maximal acid output (MAO), keluaran asam
setelah stimulasi makanan. BAO dan MAO bervariasi tergantung waktu dan keadaan
psikologis, umur, jenis kelamin, dan keadaan kesehatan individual. BAO
mengikuti irama circadian, dengan sekresi
asam tertinggi pada malam dan terendah di pagi hari. Peningkatan rasio BAO/MAO
berarti keadaan hipersekretori basal seperti ZES.
Pepsinogen
adalah prekursor inaktif dari pepsin, yang disekresikan oleh sel ketua yang
berada di fundus lambung. Pepsin diaktivasi oleh ph Asam (pH optimalnya 1,8 –
3,5), inaktif secara reversibel pada pH 4, dan hancur irreversibel pada pH 7.
Pepsin memainkan peran dalam aktivitas proteolitik yang terlibat dalam
pembentukan tukak.
PERTAHANAN DAN PERBAIKAN MUKOSA
Mekanisme
pertahanan dan perbaikan mukosa melindungi dari zat-zat eksogen dan endogen
yang noxious. Mekanisme pertahanan
mukosa meliputi sekresi mukus dan bikarbonat, pertahanan sel epitelial
intrinsik dan aliran darah mukosa. Sifat kental dari barrier mukus-bikarbonat dan pH-nya yang mendekati netral
melindungi lambung dari isi lambung yang bersifat asam,. Perbaikan mukosa
setelah luka berhubungan dengan restitusi,pertumbuhan, dan regenerasi sel
epitelial.
Penjagaan
integritas dan perbaikan mukosa dimediasi oleh prostaglandin endogen. Proses
ini seringkali disebut sebagai sitoproteksi, tapi pertahanan mukosa dan
perlindungan mukosa merupakan istilah yang lebih tepat, karena prostaglandin
mencegah luka mukosa yang dalam dan bukan kerusakan superfisial pada sel secara
individual. Sitoproteksi adaptif, adaptasi jangka pendek sel mukosa terjad bila
ada iritasi topikal ringan yang ditandai dengan hiperamia lambung dan sintesis
prostaglandin yang meningkat . Fenonema ini membuat lambung berinisiatif
menahan efek merusak dari iritan. Perubahan dalam pertahanan mukosa yang
diinduksi H. pylori atau AINS adalah kofaktor yang paling penting dalam
pembentukan tukak peptik.
HELICOBACTER PYLORI
Helicobacter pylori adalah bakteri mikroaerofilik
berbentuk spiral, merupakan jenis gram-negatif yang sensitif terhadap pH, yang
berada diantara lapisan mukus dan permukaan sel epitelial lambung, atau
dimanapun yang ada sel epitel jenis gastrik. Kombinasi dari bentuk spiral dan
flagellumnya membuatnya dapat bergerak dari lumen lambung, yang pH-nya rendah,
ke lapisan mukus, yang pH lokalnya netral. Infeksi akut dibantu hipoklorhidria transient, yang membuat organisme dapat
bertahan dalam jus lambung yang asam. Metode pasti bagaiamana H. pylori mulai menginduksi
hipoklorhidria belum jelas. Ada teori yang menyebutkan bahwa H. pylori menghasilkan urease dalam
jumlah banyak sehingga menghidrolisis urea dalam jus lambung dan mengubahnya
menjadi ammonia dan karbon dioksida. Efek dapar lokal dari amonia menciptakan
lingkungan mikro yang netral dan menyalut bakteri, sehingga melindunginya dari
efek asam yang mematikan. H. pylori
juga memproduksi protein penekan asam yang membuatnya dapat beradaptasi dengan
lingkungan lambung yang asam. H. pylori
menempel pada epitel jenis gastrik dengan pedestal
adherence, yang mencegahnya lepas selama pertukaran sel dan sekresi mukus.
Kolonisasi korpus (tubuh) lambung oleh H.pylori
menyebabkan tukak lambung. Organisme antral dihipotesiskan mengonolisasi
jaringan metaplastik lambung (yang diduga menyebabkan peningkatan sekunder pada
perubahan dalam sekresi asam atau bikarbonat, sekresi produk dari H. pylori, ataupun respon inflamasi
inang) dalam bulb usus 12 jari
sehingga menyebabkan tukak usus 12 jari.
Sejumlah
faktor bakteri dan inang berperan dalam kemampuan H. pylori untuk menyebabkan luka mukosa lambung-usus 12 jari.
Mekanisme patogenik meliputi:
a.
Kerusakan mukosa langsung
b.
Pemengaruhan respon imun/inflamasi inang
c.
Hipergastrinemia yang sehingga terjadi peningkatan sekresi asam. Sebagai
tambahan, H. pylori meningkatkan
konversi karsinogenik dari sel epitelial gastrik yang ada.
Kerusakan
mukosa secara langsung, terjadi karena faktor virulensi (sitotoksin pembentuk
vakuola, sitotoksin yang berhubungan dengan protein gen, dan faktor penekan
pertumbuhan), enzim baktei yang ada (lipase, protease, dan urease) dan
penempelan. Sekitar 50% strain H. pylori
memproduksi racun protein (Vac A) yang menyebabkan pembentukan vakuola selular.
Strain
dengan protein gen yang berhubungan dengan sitotoksin (cagA) menyebabkan tukak
usus 12 jari. gastritis atropik dan kanker lambung. Lipase dan protease
mendegradasi mukus lambung, amonia yang dihasilkan urease beracun bagi sel
epitelial lambung, dan penempelan bakteri meningkatkan jumlah racun yang masuk
sel epitelial lambung. Infeksi H. pylori mempengaruhi
respon inflamasi inang dan merusak sel epitelial secara langsung melalui
mekanisme imunitas yang dimediasi sel atau secara tak langsung melalui
neutrofil atau makrofag teraktivasi yang mencoba memfagositosis bakteri atau
produk bakteri. Infeksi H. pylori
dapat meningkatkan sekresi asam lambung pada pasien penderita kanker lambung.
Infeksi predominan antral menyebabkan hipergastrinemia dan peningkatan
pengeluaran sekresi asam lambung. Mekanisme yang bertanggung jawab meliputi sitokin,
seperti faktor nekrosis tumor-α yang dilepaskan dalam gastritis H. pylori; hasil dari H. pylori, seperti amonia dan
berkurangnya eskpresi dari somastatin. Penyebab somastatin berkurang kurang
jelas tapi sitokin mungkin terlibat. Infeksi predominan-korpus menyebabkan
atropi gastrik dan mengurangi pengeluaran asam.
PEPTIK ULCER YANG DIINDUKSI OLEH
NSAID
NSAID menyebabkan kerusakan mukosa saluran cerna melalui dua mekanisme:
iritasi topical karena NSAID sendiri bersifat asam dan inhibisi sistemik sintesis
PG. Cyclooxygenase (COX) berperan
dalam pembentukan PG. COX terdapat dalam dua bentuk: COX-1 dan COX-2. COX-1
menghasilkan PG yang dapat melindungi mukosa saluran cerna, sedangkan COX-2
merupakan enzim yang merespon stimulus inflamasi dan menghasilkan PG yang
berhubungan dengan inflamasi. Penghambatan COX-1 dapat menyebabkan penurunan
agregasi platelet dan terjadinya pendarahan mukosa saluran cerna.
V.
Etiologi
Tukak peptic atau Peptic
Ulcer Disease (PUD) biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri Helicobacter
pylori (H pylori) atau obat-obatan anti-inflamasi non-steroid
(NSAID). Sebanyak 4/5 orang dari seluruh penderita ulkus gastric dan 95% dari
penderita ulkus duodenal disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori (H
pylori) sedangkan 20% dari penderita ulkus gastric dan 5% dari penderita
ulkus duodenal disebabkan oleh NSAID. Lokasi tukak pada saluran cerna dipengaruhi
oleh faktor-faktor etiologinya, misalnya Helycobacter pylori, obat-obatan NSAID, dan stress.
1.
Infeksi H pylori
Infeksi HP dapat menyebabkan
gastritis kronik pada semua individu yang terinfeksi, dan secara kausal
berhubungan dengan tukak peptik, kanker lambung, serta mucosaassociated lymphoid tissue (MALT) lymphoma. Meskipun begitu, hanya
sejumlah kecil dari individu terinfeksi yang akan menunjukkan gejala tukak
peptik (+20%) atau kanker lambung (<1%). Kofaktor spesifik
host (penderita) dan strain HP yang bervariasi memegang peran penting dalam
patogenesis tukak peptik dan kanker lambung.
Bakteri H. pylori menyebar melalui 3 cara yaitu fecal-oral, oral-oral dan
gastro-oral. Transmisi biasanya terjadi melalui fecal oral baik secara langsung
ataupun secara tidak langsung melalui air atau makanan yang terkontaminasi
feses disebabkan oleh sanitasi yang tidak baik. Biasanya jika dalam satu rumah terdapat
seseorang yang terinfeksi H pylori,
anggota keluarga lain di rumah tersebut kemungkinan besar dapat terinfeksi
pula. Faktor resiko juga akan meningkat pada kondisi rumah yang sangat padat,
sumber air tidak bersih dan konsumsi sayuran mentah. Karena bakteri ini
terdapat pada saliva penderita, bakteri ini juga dapat menyebar melalui kontak
mulut misalnya saat berciuman. Transmisi melalui gastro-oral terjadi misalnya
melalui muntahan atau endoskop yang tidak disterilisasi dengan baik.
Bakteri ini hidup di
permukaan mukosa sepanjang lambung dan duodenum dan menghasilkan urease, enzim
yang menetralkan asam lambung sehingga membuat asam lambung menjadi kurang
asam. Untuk mengatasi ini, lambung menghasilkan lebih banyak asam lambung
sehingga mengiritasi lambung. Helicobacter pylori (H pylori) juga
melemahkan system pertahanan di lambung dan menyebabkan inflamasi. Pasien
dengan tukak peptic yang disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori (H
pylori) harus dihilangkan dari lambung untuk mengobatinya. Diduga terdapat
korelasi infeksi H pylori terhadap
pendarahan. Namun begitu, eradikasi H pylori terbukti
menurunkan kemungkinan pendarahan pada penderita tukak peptic. Prevalensi H pylori bermacam-macam bergantung pada
lokasi geografis,
kondisi sosioekonomi, etnis dan usia. Pada negara sedang berkembang, prevalensi
H pylori lebih dari 80% pada orang
dewasa dan berhubungan dengan kondisi sosioekonomi yang rendah. Pada negara
industri, prevalensi infeksi
H pylori pada orang dewasa berkisar
antara 20-50%.
2.
Penggunaan
NSAIDs (non-steroidal anti-inflammatory drugs)
NSAID adalah salah satu obat yang diresepkan
secara luas terutama untuk orang usia lanjut (>60 tahun). Terdapat hubungan
yang luar biasa antara penggunaan NSAID non selektif (termasuk aspirin)
terhadap luka pada saluran GI. NSAID dapat menurunkan
kemampuan lambung untuk dapat melindungi lapisan mukosa yang membuat lambung
lebih mudah dirusak oleh asam lambung. NSAID juga dapat mempengaruhi aliran
darah ke lambung dan mengurangi kemampuan tubuh untuk memperbaiki sel. Jika hal
tersebut terus berlangsung maka saluran cerna dapat mengalami pendarahan. Subepithelial
gastric hemorrhages terjadi dalam waktu 15-30 menit setelah mengkonsumsi
NSAID dan berlanjut pada pengikisan dinding lambung pada penggunaan selanjutnya.
Tukak gastroduodenal ini terjadi pada 15-30% penggunaan NSAID. Ulkus
yang terjadi biasanya terdapat pada bagian antrum pada lambung yang biasanya mengalami
pendarahan. Tukak peptik yang disebabkan oleh NSAID jarang terjadi pada esofagus
dan kolon.
Contoh NSAID dan inhibitor
COX-2 yang banyak digunakan :
a.
Non salisilat
Non selektif NSAID :
indometasin, piroksikam, ibuprofen, naproxen, sulindac, ketorolak,
flurbiprofen, diklofenak
Selektif parsial NSAID :
etodolak, nabumetone, meloksikam
Inhibitor COX-2 selektif :
celecoxib, valdecoxib
b.
Salisilat
Terasetilasi : aspirin
Tidak terasetilasi :
salsalat, trisalisilat
Faktor resiko untuk tukak yang
diinduksi oleh obat NSAID dan komplikasi saluran GI bagian atas :
a.
Established
risk factor (Faktor resiko yang tidak dapat dihindari)
- Usia
di atas 60 tahun
- Telah
mengidap tukak peptic sebelumnya
- Pernah
mengalami pendarahan saluran GI bagian atas
- Sedang
dalam terapi kortikosteroid
- Penggunaan
NSAID dosis tinggi dan ganda
- Penurunan
fungsi organ0-organ mayor (contoh cardiovaskular)
b.
Possible
risk factor (bisa berkaitan bisa tidak)
- Dyspepsia
yang disebabkan oleh NSAID
- Durasi
penggunaan NSAID
- Infeksi
HP
- Rheumatoid
arthritis
c.
Questionable
risk factor (dipertanyakan)
- Merokok
- Mengonsumsi
alkohol
Kombinasi faktor-faktor tersebut memungkinkan
resiko aditif. Resiko komplikasi NSAID meningkat sebanyak 14x lipat pada pasien
dengan riwayat tukak atau pendarahan GI. Usia yang lanjut adalah faktor resiko
independen dan meningkat secara linear dengan bertambahnya usia pasien.
Kejadian komplikasi yang tinggi pada invididu yang lebih tua dapat dijelaskan
dengan perubahan pertahanan pada dinding lambung yang dipengaruhi oleh umur. Resiko
ulkus yang disebabkan oleh NSAID dan komplikasinya berhubungan pula dengan
dosis NSAID yang digunakan, namun dapat pula terjadi pada penggunaan NSAID obat
bebas yang memiliki dosis yang rendah atau pada penggunaan aspirin untuk
kardioprotektif (81-325 mg/ hari). Penggunaan aspirin pada
dosis rendah tersebut jika juga dikombinasikan dengan NSAID lain akan meningkatkan
resiko komplikasi penyakit saluran cerna yang sangat besar dibandingkan dengan
jika aspirin digunakan tunggal. Kortikosteroid sendiri tidak akan meningkatkan
resiko ulkus atau komplikasi, namun jika dikombinasikan dengan NSAID resiko
akan meningkat. Resiko pendarahan saluran GI akan meningkat jika NSAID
digunakan bersamaan dengan antikoagulan. Dispepsia yang berkaitan dengan NSAID
tidak dapat diringankan dengan penggunaan antituka. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadinya tukak atau komplikasim tetapi
dispepsia tidak berkorelasi secara langsung terhadap luka mukosa atau
manifestasi kliniknya. Apakah infeksi HP merupakan faktor resiko tukak
NSAID-induced masih kontroversi. Kebanyakan pembuktian menunjukkan bahwa antara
HP dan NSAID masing-masing merupakan faktor resiko yang independent. HP tidak
juga mempotensiasi resiko tukak pengguna NSAID. Namun data yang ada menunjukkan
bahwa HP berpotensi memperburuk efek dari NSAID dan aspirin dosis rendah hingga
terjadi pendarahan. Merokok dan mengkonsumsi alkohol berkontribusi dalam
meningkatkan resiko tetapi bukan menjadi faktor yang independent.
Nonasetilasi salisilat
NSAID (ex salsalat) dan NSAID baru (ex etodolac, nabumetone, dan meloxicam)
menunjukkan toksisitas yang lebih rendah terhadap GI. Dibandingkan dengan NSAID
nonselektif, NSAID yang selektif inhibit COX-2 lebih jarang menyebabkan tukak
gastroduodenal dan komplikasi pada saluran GI. Penggunaan aspirin enteric
coated dapat mencegah terjadinya tukak atau komplikasi GI.
3.
Faktor
Genetik –
sejumlah orang dengan ulkus peptik memiliki saudara yang juga memiliki masalah
penyakit tukak peptik yang sama. Berdasarkan hal tersebut, diduga factor
genetik juga berperan dalam penyakit ini
4.
Merokok –
orang yang mempunyai kebiasaan merokok memiliki kemungkinan menderita tukak
peptik dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Resiko kematian akibat
tukak peptik lebih tinggi pada orang yang merokok dibandingkan dengan yang
tidak merokok. Mekanisme peningkatan resiko merokok terhadap tukak peptik belum
begitu jelas. Diduga mekanisme yang mungkin terjadi diantaranya tertundanya
pengosongan saluran cerna, inhibisi sekresi bikarbonat pankreatik, penaikan
refluks duodenogastik, dan penurunan produksi prostaglandin mucosal. Merokok
dapat meningkatkan sekresi asam lambung, namun efek ini tidak tetap.
5.
Konsumsi
Alkohol – meminum alkohol tidak menyebabkan penyakit
tukak peptik. Namun resiko pendarahan saluran cerna akibat tukak peptic lebih
tinggi pada peminum alkohol dibanding orang yang tidak.
6.
Keadaan
Stress – keadaan stress seseorang tidak memilliki
hubungan dalam terjadinya penyakit tukak peptik, namun penderita tukak peptik
yang mengalami stress cenderung mengalami gejala-gejala yang lebih parah. Hal
tersebut kemungkinan disebabkan pada saat sedang stress, kebanyakan orang
cenderung mengkonsumsi NSAID atau merokok.
7.
Penyakit-Penyakit yang Berhubungan dengan
Tukak Peptik
Terdapat
pembuktian epodemiologi yang menunjukkan peningkatan prevalensi tukak duodenal
pada pasien dengan penyakit kronik, namun mekanisme patofisiologinya masih
belum pasti. Hubungan yang kuat terjadi pasa pasien dengan mastositpsis
sistemik, neoplasia endokrin tipe 1, penyakit-penyakit paru-paru kronik, gagal ginjal kronik, batu ginjal, sirosis hati, dan defisiensi α1-antitrypsin.
Efek penyakit lain juga tampak pada pasien dengan fibrosis
cystic, pakreatitis kronik, penyakit
Crohn’s, oenyakit arteri koroner, polycythemia
vera, hiperparatiroid.
VI.
Diagnosis dan Simptom
Gambaran dari pasien
tentang gejala-gejala yang dideritanya biasanya akan membuat dokter menduga bahwa pasien memiliki tukak
peptik. Beberapa cara
untuk mendiagnosa penyakit tukak peptik diantarnya :
- Uji darah dapat menetapkan apakah terdapat bakteri H. pylori atau tidak. Namun
dengan pengujian darah ini tidak dapat menentukan apakah pasien pernah atau
sedang terinfeksi bakteri. Selain itu, pasien yang pernah dan sedang
menggunakan antibiotik atau inhibitor pompa proton dapat memberikan hasil
negative palsu.
- Uji nafas (urea breath test). Dalan pengujian
nafas ini digunakan atom karbon radioaktif. Pasien akan meminum cairan jernih
yang mengandung karbon radioaktif sebagai substansi yang akan dipecah oleh H.
pylori. Sejam kemudian, pasien disuruh untuk meniup ke dalam suatu kantong yang
kemudian akan ditutup. Jika pasien terinfeksi dengan H pylori, nafas pasien
akan mengandung karbon radioaktif dalam bentuk karbon dioksida. Pengujian nafas
juga dapat digunakan untuk memeriksa sebarapa efektif pengobatan dapat
mengeliminasi H pylori.
- Uji antigen dalam feses. Dengan pengujian ini
kita dapat menentukan keberadaan H pylori dalam feses. Uji ini juga berguna
untuk menentukan seberapa efektif pengobatan dapat membunuh bakteri H. pylori.
- X-ray saluran GI atas. Foto X-ray dilakukan
terhadap esophagus, lambung dan duodenum. Dalam uji ini, pasein akan meminum cairan yang
mengandung barium. Barium akan melapisi lapisan saluran digestif dan
ditunjukkan dalam X-ray, membuat ulkus lebih mudah dilihat. X-ray saluran GI
atas hanya berguna untuk mendeteksi keberadaan ulkus.
- Endoskopi. Sebuah tabung panjang dengan
kamera pada bagian ujungnya dimasukkan melalui
kerongkongan dan esophagus dan masuk ke dalam lambung dan duodenum. Dokter
dapat melihat salura cerna bagian atas dari monitor dan mengidentifikasi ulkus
yang ada. Endoskopi juga dilakukan bila pasien memiliki gejala dan tanda
lainnya misalnya kehilangan berat badan, muntah (terutama muntah yang disertai
darah), feses berwarna hitam, anemia dan kesulitan menelan.
Tanda-tanda dan Simptom
Gejala/symptom merupakan sesuatu yang dirasakan oleh pasien
dan dilaporkan pada dokter, misalnya sakit perut. Sedangkan tanda-tanda
merupakan sesuatu yang orang lain termasuk dokter dapat deteksi misalya ruam.
Gejala pertama dari tukak
peptik biasanya sakit pada
bagian perut yang disebabkan oleh ulkus dan diperparah dengan adanya asam lambung yang berkontak dengan ulkus tersebut.
Gejala-gejala umum lainnya :
Gejala-gejala umum lainnya :
-
Sakit seperti salah cerna
(indigestion). Rasa sakitnya dapat :
Terasa dimana saja mulai
dari pusar hingga tulang dada. Berlangsung selama beberapa menit hingga beberaa
jam. Lebih parah jika perut kosong, lebih parah pada malam hari. Reda sementara
setelah memakan makanan tertentu. Pergi dan kembali lagi setelah beberapa hari
atau minggu
-
Kesulitan menelan makanan
-
Makanan yang telah dimakan
dimuntahkan kembali
-
Muntah setelah makan
-
Merasa tidak nyaman setelah
makan
-
Penurunan berat badan
-
Kehilangan nafsu makan
Tukak peptik dapat menyebabkan beberapa gejala dan tanda yang serius misalnya
-
Muntah darah
-
Feses yang berwarna hitam
atau feses denga darah yang pekat
-
Mual atau untah
VII. Faktor Resiko
1)
Keturunan
2)
Usia
tua
3)
Rasa
sakit kronis yang disebabkan oleh misalnya arthritis, fibromyalgia, luka stress
repetitive(seperti carpal tunnel syndrome) atau sakit pada punggung yang
bertahan lama sehingga menyebabkan penggunaan aspirin atau NSAID oleh pasien
4)
Alkoholik
berat
5)
Diabetes
6)
Factor
gaya hidup termasuk stress kronis, kebiasaan minum kopi dan merokok dapat
memperparah penyakit tukak peptic namun tidak menyebabkan terjadinya tukak
peptik
VIII. Penanganan Non-Farmakologi
ü
Mengurangi stress psikologis
Membangun gaya hidup yang
lebih santai, mengembangkan hobi, bedrest
untuk mengurangi gejala tukak peptik jangka pendek.
ü
Menghindari atau mengurangi
merokok
Merokok dapat menghambat penyembbuhan tukak peptik dan mengakibatkan
komplikasi saluran cerna yang terkait dengan tukak.
ü
Mengurangi penggunaan NSAID non selektif (termasuk aspirin)
NSAID dapat mengakibatkan kerusakan dinding mukosa lambung melalui dua
mekanisme, yaitu iritasi topikal langsung epitelium lambung dan inhibisi
sistemik enzim siklooksigenase-1 (COX-1) yang mengakibatkan penurunan sintesis
prostaglandin yang bersifat protektif.
Bila penggunaan NSAID
tidak dapat dihentikan, dapat dipertimbangkan penggunaan dengan dosis rendah
atau penggantian dengan asetaminofen,
salisilat yang tidak terasetilasi (contohnya salasate), COX-2 inhibitor relatif
selektif (nabumeton, etodolak), COX-2 inhibitor selektif kuat (celecoxib,
rofecoxib). Pemberian bersama makanan, antagonis reseptor H2 (H2RA) atau
inhibitor pompa proton (PPI) dapat menurunkan gejala dan kerusakan mukosa.
ü
Pasien disarankan menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan
dispepsia atau yang dapat menimbulkan
penyakit tukak seperti makanan pedas, susu, kafein (kopi, teh, minuman kola)
dan alkohol (bir) karena dapat mengiritasi lambung (terutama alkohol yang dapat
menyebabkan pendarahan).
ü
Lebih disarankan untuk mengkonsumsi makan dalam jumlah kecil secara
teratur. Cemilan di malam hari sebaiknya dihindari karena akan memicu sekresi
lambung nokturnal.
ü
Antasida dapat digunakan dengan obat antitukak lainnya untuk mengatasi
gejala penyakit tukak.
IX.
Penanganan secara Farmakologi, Standar Terapi
(Guideline)
Tujuan terapi adalah menghilangkan nyeri tukak, menyembuhkan tukak,
mencegah terjadinya kekambuhan, dan mencegah komplikasi yang berkaitan dengan
tukak. Pada pasien dengan H.pylori positif,
tujuan terapi adalah mengatasi mikroba dan menyembuhkan penyakit dengan obat
yang efektif.
A.
GUIDELINE
TERAPI
Standar terapi pengobatan dan pemeliharaan
tukak peptik
Berikut ini adalah tabel yang menunjukan obat oral yang biasa digunakan untuk terapi pengobatan dan
pemeliharaan tukak :
Obat
|
Pengobatan tukak lambung atau
duodenum
(mg per dosis)
|
Pemeliharaan tukak lambung atau
duodenum
(mg per dosis)
|
Antagonis reseptor H2 :
·
Simetidin
·
Famotidin
·
Nizatidin
·
Ranitidin
|
300 qid, 400 qid, 800 hs
20 bid, 40 hs
150 bid, 300 hs
150 bid, 300 hs
|
400-800 hs
20-40 hs
150-300 hs
150-300 hs
|
PPI :
·
Omeprazol
·
Lansoprazol
·
Rabeprazol
·
Pantoprazol
·
Esomeprazol
|
20-40 qid
15-30 qid
20 qid
40 qid
20-40 qid
|
20-40 qid
15-30 qid
20 qid
40 qid
20-40 qid
|
Penguat mukosa :
Sukralfat(gram perdosi)
|
1 qid, 2 bid
|
1-2 bid atau 1 qid
|
Keterangan :
bid : dua kali sehari
qid :
empat kali sehari
Standar
terapi untuk eradikasi Helicobacter pylori
Berikut ini adalah perbandingan regimen obat untuk eradikasi H. pylori Menurut Konsensus Nasional
penanggulangan H.pylori yang dibuat
oleh kelompok studi Helicobacter Pylori
Indonesia ( KSHPI )
No.
|
Obat
|
Efektivitas
|
Efek Ikutan
|
Komplikasi
|
Regimen
2 obat
|
||||
1.
|
Klaritomisin,
500 mg 3x1 hari selama 14 hari
PPId
atau 2x1 hari selama 14 – 28 hari
|
Cukup
– Baik
|
Rendah
– Sedang
|
Sering
|
2.
|
Klaritomisin,
500 mg 3x1 hari selama 14 hari
RBC,
400 mg 2x1 hari selama 14 – 28 hari
|
Cukup
– Baik
|
Rendah
– Sedang
|
Sering
|
3.
|
Amoksisilin,
1 gram 2x1 hari sampai 3x1 hari selama 14 hari
PPId
atau 2x1 hari selama 14 – 28 hari
|
Kurang
– Cukup
|
Rendah
– Sedang
|
Sering
|
Regimen
3 obat
|
||||
4.
|
Klaritomisin,
500 mg 2x1 hari selama 10 – 14 hari
Amoksisilin,
1 gram 2x1 hari selama 10 – 14 hari
PPId
2x1 hari selama 10 – 14 hari
|
Baik
– Sangat baik
|
Rendah
– Sedang
|
Sering
|
5.
|
Klaritomisin,
500 mg 2x1 hari selama 10 – 14 hari
Metronidazol,
500 mg 2x1 hari selama 10 – 14 hari
PPId
2x1 ari selama 10 – 14 hari
|
Baik
– Sangat baik
|
Sedang
|
Sering
|
6.
|
Amoksisilin,
500 mg 2x1 hari selama 10 – 14 hari
Metronidazol,
500 mg 2x1 hari selama 10 – 14 hari
PPId
2x1 hari selama 10 – 14 hari
|
Baik
|
Sedang
|
Sering
|
7.
|
Klaritomisin,
500 mg 2x1 hari
RBC,
400 mg 2x1 hari selama 14 hari
|
Baik
|
Sedang
|
Sering
|
8.
|
Klaritomisin,
500 mg 2x1 hari
Metronidazol,
500 mg 2x1 hari selama 14 hari
RBC
400 mg 2x1 hari selama 14 hari
|
Baik
– Sangat baik
|
Sedang
|
Sering
|
9.
|
Klaritomisin,
500 mg 2x1 hari
Tetrasiklin,
500 mg 2x1 hari selama 14 hari
RBC,
400 mg 2x1 hari selama 14 hari
|
Baik
– Sangat baik
|
Sedang
|
Sering
|
Regimen
4 obat
|
||||
10.
|
BSS,
500 mg 4x1 hari selama 14 hari
Metronidazol,
250 – 500 mg 4x1 hari selama 14 hari
Tetrasiklin,
500 mg 4x1 hari selama 14 hari
H2RA
atau PPIe sebagai dosis penggunaan standar secara langsung
|
Baik
– Sangat baik
|
Sedang
– Tinggi
|
Tidak
sering
|
11.
|
BSS,
500 mg 4x1 hari selama 14 hari
Metronidazol,
250 – 500 mg 4x1 hari selama 14 hari
Klaritomisin,
250 – 500 mg 4x1 hari selama 14 hari
H2RA
atau PPIe sebagai dosis penggunaan standar secara langsung
|
Baik
– Sangat baik
|
Sedang
– Tinggi
|
Tidak
sering
|
12.
|
BSS,
500 mg 4x1 hari selama 14 hari
Metronidazol,
250 – 500 mg 4x1 hari selama 14 hari
Amoksisilin,
500 mg 4x1 hari selama 14 hari
H2RA
atau PPIe sebagai dosis penggunaan standar secara langsung
|
Cukup
– Baik
|
Sedang
- Tinggi
|
Tidak
sering
|
|
|
d : Penggunaan
omeprazol 20 mg, esomeprazol 20 mg, lansoprazol 30 mg, rabeprazol 20 mg, atau
pantoprazol 40 mg 2x sehari, total dosis PPI per hari (contoh: omeprazol 40 mg)
dapat diberikan 4x sehari, hanya lanzoprazol 30 mg diindikasikan 3x sehari
e : Dalam
pengaturan tukak aktif supresi asam ditambahkan untuk mengurangi rasa sakit.
Ketika menggunakan H2RA, simetidin, ranitidin, pamotidin, atau
nizatidin dapat digunakan dalam dosis penyembuhan tukak untuk durasi 4 – 6 minggu, ketika
menggunakan PPI, omeprazol, esomeprazol, lamsoprazol, rabeprazol, atau
pantoprazol dapat digunakan dalam dosis untuk durasi 2 – 4 minggu.
PPI Berdasarkan Regimen Tiga Obat
PPI berdasarkan regimen tiga obat dengan dua antibiotik termasuk terapi
lini pertama untuk eradikasi HP. Meta-analisis terhadap 666 studi
mengindikasikan regimen berdasarkan PPI kombinasi klaritomisin dan amoksisilin,
klaritomisin dan metronidazol, atau amoksisilin dan metronidazol memperoleh
kemampuan eradikasi yang sama (78,9 – 82,8%) menggunakan analisis kemampuan
mengobati; dilain pihak, studi lain menyatakan kombinasi
amoksisilin-metronidazol kurang efektif. Kemampuan eradikasi dapat ditingkatkan
ketika dosis klaritomisin ditingkatkan 1,5 gram/hari, tapi peningkatan dosis
untuk antibiotik lainnya tidak meningkatkan kemampuan eradikasi. Praktisi
klinis lebih memilih terapi tiga obat dengan klaritomisin dan amoksisilin
daripada klaritomisin dan metronidazol. Penggunaan metronidazol sebagai terapi
alternatif atau lini kedua efektif dan menurunkan paparan dan efek samping dari
metronidazol. Alternatif lainnya, regimen PPI-klaritomisin-metronidazol terbaik
pada pasien alergi penisilin.
Terapi inisiasi 7 hari cukup untuk mengeradikasi dan disetujui oleh FDA dan
direkomendasikan di Eropa. Kontroversi durasi terapi di US, lebih lama (10 hari
dan 14 hari) memiliki kemampuan eradikasi lebih tinggi dan kurang disukai bila
dihubungkan dengan resistensi antimikroba. Satu laporan meta-analisis
menyatakan 7 – 9% peningkatan kemampuan eradikasi dengan regimen terapi 14 hari
dibandingkan dengan regimen terapi 7 hari. Jumlah antibiotik lain dan kombinasi
antibiotik lainnya harus dievaluasi sebagai bagian dari terapi PPI berdasarkan
regimen tiga obat dengan berbagai tingkat kemampuan.
PPI salah satu bagian dari regimen tiga obat dan harus digunakan 15 – 30
menit sebelum makan selanjutnya dua antibiotik lainnya. Inhibisi pengeluaran
asam lambung dibutuhkan untuk membantu kemampuan eradikasi HP, level spesifik
inhibisi yang diperoleh tidak diketahui. PPI dosis tunggal harian mungkin
kurang efektif dibandingkan dosis ganda ketika digunakan dalam regimen terapi
tiga dosis eradikasi HP. Penggantian PPI dengan jenis lainnya diperbolehkan dan
tidak memperlihatkan peningkatan eradikasi HP. H2RA tidak boleh
diganti dengan PPI, eradikasi lebih baik ditunjukkan oleh PPI.
Kontroversi Klinis
Beberapa pakar klinis memberikan regimen 7 hari untuk HP, disamping lainnya
10 atau 14 hari. Durasi terapi masih kontroversial, periode pendek meningkatkan
kepatuhan, tapi terapi periode panjang meningkatkan kemampuan eradikasi dan
kurang disukai terkait dengan resistensi antimikroba. Pasien yang menerima
terapi kedua setelah kegagalan eradikasi harus menerima terapi untuk 14 hari.
Bismuth Berdasarkan Regimen Empat Obat
Bismuth berdasarkan regimen empat obat digunakan sebagai terapi lini
pertama untuk eradikasi HP. Kemampuan eradikasi untuk regimen 14 hari
menggunakan bismuth, metronidazol, tetrasiklin, dan H2RA sama dengan
terapi PPI berdasarkan regimen tiga obat. Peningakatan durasi pengobatan hingga
1 bulan tidak meningkatkan kemampuan eradikasi. Penggantian amoksisilin untuk
tetrasiklin menurunkan kemampuan eradikasi dan biasanya tidak direkomendasikan.
Penggantian klaritomisin 250 dengan tetrasiklin 500 mg empat kali sehari
menghasilkan hasil yang sama, tapi meningkatkan efek samping. Obat
antisekretori juga digunakan untuk mengurangi nyeri pada pasien dengan tukak
aktif. Bismuth berdasarkan regimen empat obat efektif dan tidak mahal, efek
samping sering dan kepatuhan kurang. Sediaan kapsul yang mengandung bismuth,
metronidazol, dan tetrasiklin sedang diuji.
Pengobatan lini pertama dengan terapi empat obat menggunakan PPI (dengan
bismuth, metronidazol, dan tetrasiklin) digantikan dengan H2RA
menunjukkan kesamaan kemampuan eradikasi sama dengan terapi PPI berdasarkan
tiga obat dan diizinkan untuk penggunaan durasi jangka pendek (7 hari).
Walaupun mendukung efek dari terapi bismuth dengan empat obat sebagai terapi
lini pertama, itu jarang direkomendasikan sebagai terapi lini kedua ketika
regimen klaritomisin-amoksisilin digunakan terlebih dahulu. Semua pengobatan
kecuali PPI harud digunakan dengan makanan dan menjelang tidur.
Regimen Eradikasi Setelah Kegagalan Pengobatan Inisiasi
Eradikasi HP lebih sulit setelah kegagalan pengobatan inisiasi dan kemampuan
eradikasi menjadi ekstrim. Karena keterbatasan data eradikasi HP tahap kedua,
kegagalan ditangani berdasarkan tiap kasus. Penanganan kegagalan regimen terapi
pertama dan kedua harus ditangani para ahli spesialis.
Terapi lini kedua secara empiris yaitu menggunakan antibiotik yang belum
digunakan pada terapi inisiasi; menggunakan antibiotik yang tidak mengalami
resistensi; menggunakan obat dengan efek topikal seperti bismuth; dan durasi
pengobatan diperpanjang 10 – 14 hari. Setelah kegagalan pengobatan insiasi
dengan PPI-amoksisilin-klaritomisin, secara empiris regimen terapi lini kedua
digunakan bismuth salisilat-metronidazol-tetrasiklin-PPI selama 10 – 14 hari.
Ketika terjadi resistensi metronidazol, dapat digantikan dengan furazolidon
(100 mg empat kali sehari) pada terapi tiga obat atau empat obat. Ketiga
furazolidon digunakan, pasien harus dikonseling untuk tidak menggunakan alkohol
atau inhibitor MAO (Monoamin Oksidase).
Faktor Penyebab Kegagalan Eradikasi
Penyebab kegagalan eradikasi berupa ketidakpatuhan pasien, resistensi
organisme, pH gastrik yang rendah, dan tingginya pengeluaran bakteri.
Ketidakpatuhan pasien mempengaruhi kesusksesan terapi. Penuruanan kepatuhan
karena pengobatan ganda, meningkatnya frekuensi penggunaan, meningkatnya lama pengobatan,
tidak tahan terhadap efek samping, dan harga obat. Semakin panjang waktu
terapi, semakin tinggi ketidakpatuhan, hilang dosis penggunaan dalam regimen 7
hari mengakibatkan kegagalan eradikasi. Toleransi beragam untuk tiap regimen
berbeda. Regimen dengan metronidazol meningkatkan frekuensi efek samping
(khususnya dosis > 1 gram/hari). Efek samping yang sering termasuk gangguan
pengecap (metronidazol dan klaritomisin), mual, muntah, nyeri perut, dan diare.
Kadang terjadi, kolitis akibat antibiotik, komplikasi serius. Sangat jarang
terjadi, infeksi jamur pada mulut dan kandidiasis vaginal.
Hal paling penting dari kesuksesan terapi yaitu keberadaan resistensi
antibiotik. Resistensi metronidazol sering terjadi (10 – 60%), tapi bervariasi
bergantung pada paparan antibiotik dan regional geografis. Studi resistensi
metronidazol dibutuhkan, karena memiliki efek sinergis bila dikombinasikan
dengan antibiotik lainnya. Bila terjadi resistensi, antibiotik lainnya tidak
dapat menutupi resistensi metronidazol tersebut. Resistensi klaritomisin rendah
(10 – 15%) daripada metronidazol, tapi lebih berpengaruh terhadap hasil klinik.
Resistensi kedua terjadi bila terdapat kegagalan pada terapi kedua dan ketika.
Resistensi tetrasiklin dan amoksisilin tidak pernah terjadi. Resistensi bismuth
tidak pernah dilaporkan. Belum ada pengujian sensitivitas HP terhadap
antibiotik.
Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam terapi :
1)
Uji H.pylori direkomendasikan
hanya jika direncanakan terapi eradikasi.
2)
Pengobatan harus diawali dengan regimen 3 obat PPI.
3)
Jika pengobatan kedua untuk H.pylori
dibutuhkan, maka harus dipilih antibiotik yang berbeda
4)
Pasien dengan tukak aktif harus menerima terapi tambahan dengan PPI atau
antagonis reseptor H2 untuk meringankan penyakit.
5)
Pasien harus diminta untuk menggunakan seluruh obat dengan makanan dan
pada waktu istirahat (kecuali PPI)
6)
Terapi pemeliharaan dengan antagonis reseptor H2 dosis rendah, PPI, atau
sukralfat harus dibatasi karena memiliki resiko yang tinggi untuk pasien yang
gagal mengeradikasi H.pylori, pasien
dengan beberapa penyakit komplikasi, dan pasien yang H.pylori negatif.
7)
Tukak yang sulit disembuhkan dengan dosis obat standar PPI (misal,
omeprazol 20 mg) atau dosis tinggi antagonis reseptor H2 biasanya
dapat disembuhkan dengan dosis PPI yang lebih tinggi (missal, omeprazol 40 mg).
Terapi pemeliharaan dengan PPI penting untuk mencegah kekambuhan tukak.
8)
Kebanyakan tukak yang diinduksi NSAID yang tidak kompleks dapat sembuh
dengan terapi standar H2RA (antagonis reseptor H2), PPI, atau sukralfat jika
NSAID dihentikan. Jika NSAID tetap digunakan, PPI merupakan obat pilihan. Jika
ada H.pylori, pengobatan harus
dimulai dengan regimen eradikasi yang mengandung PPI. Pasien yang beresiko menderita komplikasi yang serius namun masih harus
melanjutkan penggunaan NSAID, harus mendapat terapi profilaksis misoprostol
atau PPI.
9)
Pasien dengan komplikasi tukak (pendarahan saluran cerna atas,
obstruksi, perforasi, atau penetrasi) sering membutuhkan terapi pembedahan atau
endoskopi.
Pasien dengan simptom seperti tukak dibagi menjadi dua, yaitu pasien
dispepsia tanpa simptom dan pasien dengan simptom, seperti pendarahan, anemia,
dan berat badan menurun.
Pasien dispepsia tanpa simptom perlu ditelusuri penggunaan terhadap
NSAID. Bila menggunakan NSAID, perlu dilakukan penghentian penggunaan atau
penggantian dengan inhibitor COX-2, dan simptom hilang, tidak perlu dilakukan
pengobatan.
Pasien dispepsia tanpa simptom yang menggunakan NSAID, setelah dilakukan
penggunaan atau penggantian dengan inhibitor COX-2, dan simptom bertahan, perlu
dilakukan inisiasi pengobatan dengan H2RA atau PPI. Bila simptom
terobati, dianjurkan melanjutkan penggunaan H2RA atau PPI. Pada
pasien dengan simptom bertahan, perlu dilakukan endoskopi untuk menentukan
status tukak.
Pasien dispepsia tanpa simptom yang tidak menggunakan NSAID, perlu
ditelusuri apakah pernah melakukan pengobatan HP. Bila tidak pernah, perlu
dilakukan uji serologi. Jika pengujian menyatakan negatif, dilakukan pengobatan
sama dengan pasien dispepsia tanpa simptom yang setelah penghentian atau penggantian NSAID, simptom
tetap bertahan.
Pasien dispepsia tanpa simptom yang tidak
menggunakan NSAID, bila uji serologi positif, perlu pengobatan dengan dosisi
eradikasi HP dengan PPI. Bila simptom setelah 1– 2 minggu pengobatan
menghilang, dapat dihentikan. Bila tidak, telusuri penggunaan NSAID. Bila
menggunakan NSAID, perlu dihentikan dan diberi pengobatan H2RA atau
PPI. Bila harus tetap menggunakan NSAID, perlu diberikan PPI diikuti terapi
pendukung dengan misoprostol, atau penggantian NSAID dengan inhibitor COX-2.
Terapi ini berlaku untuk pasien dengan adanya simptom, diamati adanya tukak
dengan endoskopi, dan uji HP positif.
Pasien dengan simptom, diamati adanya tukak dengan
endoskopi, dan uji HP negatif, perlu ditelusuri penggunaan NSAID. Jika ya, perlu dilakukan
penghentian, dan pengobatan H2RA atau PPI. Jika NSAID harus
dilanjutkan, perlu diberikan PPI diikuti terapi pendukung dengan misoprostol,
atau penggantian NSAID dengan inhibitor COX-2.
Pasien dengan simptom, diamati tidak adanya tukak
dengan endoskopi kemungkinan mengalami simptom untuk etiologi lainnya, seperti
GERD atau NUD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar