Google ads

Jumat, 11 Maret 2016

Appendisitis


 
Epidemilogi 
            Sejarah appendisitis dimulai pada tahun 1827 oleh Melier yang pertama kali menyebutkan proses inflamasi di sekum dengan typhlitis atau perityphlitis. Sebelumnya pada tahun 1735, Claudius Amyant melakukan apendektomi pertama kali pada saat operasi hernia inguinal, kemudian Reginald H dan Fitz adalah orang pertama yang memeriksa apendiks secara histopatologi dari hasil operasi. Sejarah modern appendisitis dimulai dari tulisan klasik Charles McBurney tahun 1889, yang dipublikasikan dalam  New York Surgical Society on Nov 13,1889. McBurney mendiskripsikan inflamasi akut di kuadran kanan bawah biasanya disebabkan oleh apendisitis, yang sebelumnya disebut oleh Melier dengan typhlitis atau perityphlitis (Mark M, Ravitch.,1982 cit Gustovo GR.,1995).
Angka mortalitas yang tinggi dari appendisitis akut mengalami penurunan dalam beberapa dekade. Hawk et al, membandingkan kasus appendisitis akut pada periode 1933 – 1937 dengan 1943 – 1948. Angka mortalitas pasien apendisitis akut dengan peritonitis lokal menurun dari 5% menjadi 0%. Angka mortalitas pasien appendisitis akut dengan peritonitis umum menurun dari 40,6% menjadi 7,5%. Pada tahun 1930, 15 kasus meninggal karena appendisitis dari 100 ribu populasi, sedangkan 30 tahun kemudian hanya 1 kasus meninggal dari 100 ribu polpulasi. Pada tahun 1977, mortalitas pasien dengan appendisitis akut tanpa perforasi 0,1% – 0,6% dan dengan perforasi 5% (Mark M, Ravitch.,1982 cit Gustovo GR.,1995).     
Anatomi dan embriologi
            Sistem digestif yang secara embriologi berasal dari midgut meliputi duodenum distal muara duktus koledukus, usus halus, sekum dan apendiks, kolon asendens, dan ½ sampai ¾ bagian oral kolon transversum. Premordium sekum dan apendiks vermiformis (cecal diverticulum) mulai tumbuh panda umur 6 minggu kehamilan, yaitu penonjolan dari tepi antimesenterium lengkung midgut bagian kaudal. Apediks mengalami pertumbuhan memanjang dari distal sekum selama kehamilan. Selama masa pertumbuhan bayi, terjadi juga pertumbuhan bagian kanan-depan sekum, akibatnya apendiks mengalami rotasi kearah postero-medial dan menetap pada posisi tersebut yaitu 2,5 cm dibawah katup ileosekal, sehingga pangkal apendiks di sisi medial. Letak pangkal apendiks relatif tetap, sedangkan ujungnya  dapat mengarah ke preileal, postileal, promontorik, pelviks, subsekal, parakolika atau presekal, dan retrosekal. Posisi apendiks retrosekal paling banyak ditemukan yaitu 64% kasus. (Keith L Moore., 2003).
            Apendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya seperti cacing, dan apeksnya menempel pada sekum. Apendiks pada bayi berbentuk konikal. Panjang apendiks bervariasi dari 2 – 20 cm dengan panjang rata-rata 6 – 9 cm, diameter masuk lumen apendiks antara 0,5 – 15 mm. Lapisan epitel lumen apendiks seperti pada epitel kolon tetapi kelenjar intestinalnya lebih kecil daripada kolon (Rosemary A  Kohar., 1999; Henry M., Jeremy NT., 2005).
            Apendiks mempunyai lapisan muskulus dua lapis, lapisan dalam berbentuk sirkuler yang merupakan kelanjutan dari lapisan muskulus sekum, sedangkan lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal yang dibentuk oleh fusi dari 3 tenia koli diperbatasan antara sekum dan apendiks (Sigmund H Ein., 2000). Pada masa bayi folikel kelenjar limfe submukosa masih ada. Folikel ini jumlahnya terus meningkat sampai puncaknya berjumlah sekitar 200 pada usia 12 – 20 tahun, setelah usia 30 tahun ada pengurangan jumlah folikel sampai setengahnya, dan berangsur menghilang pada usia 60 tahun (Rosemary A  Kohar., 1999).
             Mesoapendiks terletak dibelakang ileum terminal yang bergabung dengan mesenterium intestinal. Arteri apendikuler adalah cabang terminal dari arteri ileokolika dan berjalan pada ujung bebas mesoapendiks. Kadang-kadang pada mesenterium yang  inkomplet, arteri ini terletak panda dinding sekum. Pada mesoapendiks yang pendek dapat berakibat apendiks yang terfiksir (immobile). Kadang-kadang arteri apendikularis berjumlah dua. Aliaran darah balik melalui vena apendikularis. Pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe ke satu atau dua noduli limfatisi yang terletak pada mesoapendiks. Dari sini cairan limfe berjalan melalui sejumlah noduli limfatisi  mesenterika untuk mencapai noduli limfatisi mesenterika superior. Syaraf apendiks berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus mesenterika superior. Serabut syaraf aferen yang menghantarkan rasa nyeri visceral dari apendiks berjalan bersama saraf simpatis dan masuk ke medulla spinalis setinggi segmen torakal X (Richard S Snell MD., 2003).
 Fisiologi apendiks
            Pada manusia tidak diketahui fungsi dari Apendiks namun beberapa peneliti mengkaitkannya dengan jaringan limfoid dalam proses imunologi (Haile., 2003). Apendiks vermiformis pada manusia biasanya dihubungkan dengan “organ sisa yang tidak diketahui fungsinya”. Pada beberapa jenis mamalia ukuran apendiks sangat besar seukuran sekum itu sendiri, yang ikut berfungsi dalam proses digesti dan absorbsi dalam sistem gastrointestinal (Keith LM., 2003).         
Pada percobaan stimulasi dengan rangsangan, apendiks cenderung menekuk ke sisi antimesenterial. Hal ini mengindikasikan serabut muskuler pada sisi mesenterial berkembang lebih lemah. Secara anatomi pembuluh arteri masuk melalui sisi muskuler yang lemah ini. Kontraksi muskulus longitudinal akan diikuti oleh kontraksi muskulus sirkuler secara sinergis, lambat, dan berakhir beberapa menit. Gerakan aktif dapat dilihat pada bagian pangkal apendiks dan semakain ke distal gerakan semakin berkurang. Pada keadaan inflamasi, kontraksi muskuli apendiks akan terganggu (Riwanto I., 1992).
Pada keadaan normal tekanan dalam lumen apendiks antara 15 – 25 cm H2O meningkat menjadi 30 – 50 cm H2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal tekanan panda lumen sekum antara 3 – 4 cm H2O, sehingga terjadi perbedaan tekanan yang berakibat cairan di dalam lumen apendiks terdorong masuk sekum. Mukosa normal apendiks dapat mensekresi cairan 1 ml dalam 24 jam (Riwanto I., 1992).
Apendiks juga berperan sebagai sistem immun pada sistem gastrointestinal (GUT). Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues (GALD) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya.Pemikiran bahwa apendiks adalah bagian dari sistem GALD yang mensekresi globulin H2O dan kurang banyak berkembang.  Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan apendiks tidak
terjadi efek pada sistem immunologi (Ein., 2005).
2.1.4        Patogenesis
Patologi appendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat, makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen, tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilicus (Mansjoer., 2005; Sjamsuhidajat., 2005).
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut (Mansjoer., 2005).
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi (Mansjoer., 2005).
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Mansjoer., 2005; Sjamsuhidajat., 2005).
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah (Mansjoer., 2005).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi (Sjamsuhidajat., 2005).
  Klasifikasi appendisitis
1 Appendisitis akut  
Appendisitis akut adalah keadaan yang sering memerlukan tindakan emergensi pada anak. Diagnosis apendisitis akut adalah sulit pada anak dan 30 – 60 persen berakhir dengan perforasi. Risiko perforasi paling banyak pada usia 1 – 4 tahun yaitu 70 – 75 persen dan 30 – 40 persen pada usia remaja. Lima puluh persen anak dengan appendisitis perforasi tampak pada saat pasien datang, sebelum diagnosis ditegakkan. Kesulitan dalam  membedakan diagnosis appendisitis akut dengan penyebab nyeri abdomen  yang lain dapat menyebabkan appendisitis perforasi, sehingga dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas (Hartman., 2004)
Appendisitis akut dapat dimulai dengan nyeri periumbilikalis, mata kabur, mual, dan muntah. Beberapa jam kemudian (4-8 jam), nyeri akan berpindah ke kuadran kanan bawah (RLQ) yang merupakan peritoneum parietal. Adanya peritonitis umum merupakan indikasi dari perkembangan gangren atau perforasi (Haile., 2003).
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala appendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastriumdisekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Haile., 2003).
2 Appendisitis kronik
Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanyasel inflamasi kronik. Insiden appendisitis kronik antara 1-5% (Sjamsuhidayat., 2005).
 Metode bedah
1 Metode open
Pada operasi terbuka, pengangkatan usus buntu dilakukan dengan membuat sayatan sepanjang kurang lebih 5 - 10 cm di perut kanan bawah, melalui sayatan tersebut usus buntu dipotong lalu dibuang.
2 Metode laparoscopic
Bedah metode laparoscopic telah sangat dikenal hampir setiap spesialisasi bedah. Percobaan  laparoscopic pertama dilakukan oleh Dr George Kelling pada tahun 1901 pada seekor anjing. Dia menggunakan cystoscope untuk mengintip ke dalam perut anjing setelah pertama insufflating rongga peritoneal dengan udara. Sejak saat itu, bedah laparoscopic telah berkembang di hampir semua cabang bedah untuk prosedur bedah yang paling kompleks pada kasus tertentu. Bedah laparoscopic appendisitis adalah salah satu prosedur yang mengalami peningkatan popularitas sejak awalnya dilaporkan oleh SEMM pada tahun 1983. Beberapa penelitian telah menunjukkan keuntungan dari bedah laparoscopic dalam hal waktu perawatan di Rumah Sakit menjadi lebih singkat, pemulihan pasca operasi yang cepat, dan kontrol nyeri yang lebih baik. Namun, ada kekhawatiran tentang risiko komplikasi infeksi, khususnya pengembangan abses intraabdominal dan infeksi luka superficial. Risiko ini meningkat secara signifikan pada kasus apendisitis perforasi (Khan MN., 2007).

Tidak ada komentar:

Google Ads