Epidemilogi
Sejarah appendisitis dimulai pada tahun 1827 oleh Melier
yang pertama kali menyebutkan proses inflamasi di sekum dengan typhlitis
atau perityphlitis. Sebelumnya pada tahun 1735, Claudius Amyant melakukan
apendektomi pertama kali pada saat operasi hernia inguinal, kemudian Reginald H
dan Fitz adalah orang pertama yang memeriksa apendiks secara histopatologi dari
hasil operasi. Sejarah modern appendisitis dimulai dari tulisan klasik Charles
McBurney tahun 1889, yang dipublikasikan dalam
New York Surgical Society on Nov 13,1889. McBurney
mendiskripsikan inflamasi akut di kuadran kanan bawah biasanya disebabkan oleh
apendisitis, yang sebelumnya disebut oleh Melier dengan typhlitis atau
perityphlitis (Mark M, Ravitch.,1982 cit
Gustovo GR.,1995).
Angka
mortalitas yang tinggi dari appendisitis akut mengalami penurunan dalam
beberapa dekade. Hawk et al, membandingkan kasus appendisitis akut pada periode
1933 – 1937 dengan 1943 – 1948. Angka mortalitas pasien apendisitis akut dengan
peritonitis lokal menurun dari 5% menjadi 0%. Angka mortalitas pasien
appendisitis akut dengan peritonitis umum menurun dari 40,6% menjadi 7,5%. Pada
tahun 1930, 15 kasus meninggal karena appendisitis dari 100 ribu populasi,
sedangkan 30 tahun kemudian hanya 1 kasus meninggal dari 100 ribu polpulasi.
Pada tahun 1977, mortalitas pasien dengan appendisitis akut tanpa perforasi
0,1% – 0,6% dan dengan perforasi 5% (Mark M, Ravitch.,1982 cit Gustovo GR.,1995).
Anatomi dan embriologi
Sistem digestif yang secara
embriologi berasal dari midgut meliputi duodenum distal muara duktus
koledukus, usus halus, sekum dan apendiks, kolon asendens, dan ½ sampai ¾
bagian oral kolon transversum. Premordium sekum dan apendiks vermiformis (cecal
diverticulum) mulai tumbuh panda umur 6 minggu kehamilan, yaitu penonjolan
dari tepi antimesenterium lengkung midgut bagian kaudal. Apediks
mengalami pertumbuhan memanjang dari distal sekum selama kehamilan. Selama masa
pertumbuhan bayi, terjadi juga pertumbuhan bagian kanan-depan sekum, akibatnya
apendiks mengalami rotasi kearah postero-medial dan menetap pada posisi
tersebut yaitu 2,5 cm dibawah katup ileosekal, sehingga pangkal apendiks di
sisi medial. Letak pangkal apendiks relatif tetap, sedangkan ujungnya dapat mengarah ke preileal, postileal,
promontorik, pelviks, subsekal, parakolika atau presekal, dan retrosekal.
Posisi apendiks retrosekal paling banyak ditemukan yaitu 64% kasus. (Keith L
Moore., 2003).
Apendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya seperti
cacing, dan apeksnya menempel pada sekum. Apendiks pada bayi berbentuk konikal.
Panjang apendiks bervariasi dari 2 – 20 cm dengan panjang rata-rata 6 – 9 cm,
diameter masuk lumen apendiks antara 0,5 – 15 mm. Lapisan epitel lumen apendiks
seperti pada epitel kolon tetapi kelenjar intestinalnya lebih kecil daripada
kolon (Rosemary A Kohar., 1999; Henry
M., Jeremy NT., 2005).
Apendiks mempunyai lapisan muskulus dua lapis, lapisan dalam
berbentuk sirkuler yang merupakan kelanjutan dari lapisan muskulus sekum,
sedangkan lapisan luar berbentuk muskulus longitudinal yang dibentuk oleh fusi
dari 3 tenia koli diperbatasan antara sekum dan apendiks (Sigmund H Ein.,
2000). Pada masa bayi folikel kelenjar limfe submukosa masih ada. Folikel ini
jumlahnya terus meningkat sampai puncaknya berjumlah sekitar 200 pada usia 12 –
20 tahun, setelah usia 30 tahun ada pengurangan jumlah folikel sampai
setengahnya, dan berangsur menghilang pada usia 60 tahun (Rosemary A Kohar., 1999).
Mesoapendiks
terletak dibelakang ileum terminal yang bergabung dengan mesenterium
intestinal. Arteri apendikuler adalah cabang terminal dari arteri ileokolika
dan berjalan pada ujung bebas mesoapendiks. Kadang-kadang pada mesenterium
yang inkomplet, arteri ini terletak
panda dinding sekum. Pada mesoapendiks yang pendek dapat berakibat apendiks
yang terfiksir (immobile). Kadang-kadang arteri apendikularis berjumlah
dua. Aliaran darah balik melalui vena apendikularis. Pembuluh limfe mengalirkan
cairan limfe ke satu atau dua noduli limfatisi yang terletak pada mesoapendiks.
Dari sini cairan limfe berjalan melalui sejumlah noduli limfatisi mesenterika untuk mencapai noduli limfatisi
mesenterika superior. Syaraf apendiks berasal dari saraf simpatis dan
parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus mesenterika superior. Serabut syaraf
aferen yang menghantarkan rasa nyeri visceral dari apendiks berjalan bersama
saraf simpatis dan masuk ke medulla spinalis setinggi segmen torakal X (Richard
S Snell MD., 2003).
Fisiologi apendiks
Pada
manusia tidak diketahui fungsi dari Apendiks namun beberapa peneliti
mengkaitkannya dengan jaringan limfoid dalam proses imunologi (Haile., 2003).
Apendiks vermiformis pada manusia biasanya dihubungkan dengan “organ sisa yang
tidak diketahui fungsinya”. Pada beberapa jenis mamalia ukuran apendiks sangat
besar seukuran sekum itu sendiri, yang ikut berfungsi dalam proses digesti dan
absorbsi dalam sistem gastrointestinal (Keith LM., 2003).
Pada percobaan
stimulasi dengan rangsangan, apendiks cenderung menekuk ke sisi
antimesenterial. Hal ini mengindikasikan serabut muskuler pada sisi mesenterial
berkembang lebih lemah. Secara anatomi pembuluh arteri masuk melalui sisi
muskuler yang lemah ini. Kontraksi muskulus longitudinal akan diikuti oleh
kontraksi muskulus sirkuler secara sinergis, lambat, dan berakhir beberapa
menit. Gerakan aktif dapat dilihat pada bagian pangkal apendiks dan semakain ke
distal gerakan semakin berkurang. Pada keadaan inflamasi, kontraksi muskuli
apendiks akan terganggu (Riwanto I., 1992).
Pada keadaan normal
tekanan dalam lumen apendiks antara 15 – 25 cm H2O meningkat menjadi
30 – 50 cm H2O pada waktu kontraksi. Pada keadaan normal tekanan
panda lumen sekum antara 3 – 4 cm H2O, sehingga terjadi perbedaan
tekanan yang berakibat cairan di dalam lumen apendiks terdorong masuk sekum.
Mukosa normal apendiks dapat mensekresi cairan 1 ml dalam 24 jam (Riwanto I.,
1992).
Apendiks juga
berperan sebagai sistem immun pada sistem gastrointestinal (GUT). Sekresi
immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues (GALD)
dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol proliferasi
bakteri, netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen
intestinal lainnya.Pemikiran bahwa apendiks adalah bagian dari sistem GALD yang
mensekresi globulin H2O dan kurang banyak berkembang. Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan
apendiks tidak
terjadi efek pada sistem immunologi (Ein., 2005).
2.1.4
Patogenesis
Patologi appendisitis berawal
di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks.
Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya.
Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum
menjadi terhambat, makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen.
Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen, tekanan yang meningkat
tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe,
sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi
mukosa. Pada saat inilah terjadi appendisitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilicus (Mansjoer., 2005;
Sjamsuhidajat., 2005).
Jika sekresi mukus terus
berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding
apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum
setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuratif akut (Mansjoer., 2005).
Bila kemudian aliran arteri
terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan
terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika
dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti
apendisitis berada dalam keadaan perforasi (Mansjoer., 2005).
Sebenarnya tubuh juga melakukan
usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan
menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di
dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa
periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara
lambat (Mansjoer., 2005; Sjamsuhidajat., 2005).
Pada anak-anak, dengan omentum
yang lebih pendek, apendiks yang lebih panjang, dan dinding apendiks yang lebih
tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya
gangguan pembuluh darah (Mansjoer., 2005).
Apendiks yang pernah meradang
tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut.
Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah.
Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi (Sjamsuhidajat., 2005).
Klasifikasi appendisitis
1 Appendisitis akut
Appendisitis akut
adalah keadaan yang sering memerlukan tindakan emergensi pada anak. Diagnosis
apendisitis akut adalah sulit pada anak dan 30 – 60 persen berakhir dengan
perforasi. Risiko perforasi paling banyak pada usia 1 – 4 tahun yaitu 70 – 75
persen dan 30 – 40 persen pada usia remaja. Lima puluh persen anak dengan
appendisitis perforasi tampak pada saat pasien datang, sebelum diagnosis
ditegakkan. Kesulitan dalam membedakan
diagnosis appendisitis akut dengan penyebab nyeri abdomen yang lain dapat menyebabkan appendisitis
perforasi, sehingga dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas
(Hartman., 2004)
Appendisitis akut dapat dimulai dengan nyeri
periumbilikalis, mata kabur, mual, dan muntah. Beberapa jam kemudian (4-8 jam),
nyeri akan berpindah ke kuadran kanan bawah (RLQ) yang merupakan peritoneum
parietal. Adanya peritonitis umum merupakan indikasi dari perkembangan gangren
atau perforasi (Haile., 2003).
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala
khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala appendisitis
akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah
epigastriumdisekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik
mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat (Haile., 2003).
2 Appendisitis
kronik
Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan
jika ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu,
radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa , dan adanyasel inflamasi kronik. Insiden appendisitis kronik antara
1-5% (Sjamsuhidayat., 2005).
Metode bedah
1 Metode open
Pada operasi terbuka, pengangkatan usus buntu
dilakukan dengan membuat sayatan sepanjang kurang lebih 5 - 10 cm di perut
kanan bawah, melalui sayatan tersebut usus buntu dipotong lalu dibuang.
2
Metode laparoscopic
Bedah metode laparoscopic telah sangat dikenal hampir setiap spesialisasi bedah.
Percobaan laparoscopic pertama dilakukan oleh Dr George Kelling pada tahun
1901 pada seekor anjing. Dia menggunakan cystoscope
untuk mengintip ke dalam perut anjing setelah pertama insufflating rongga peritoneal
dengan udara. Sejak saat itu, bedah laparoscopic
telah berkembang di hampir semua cabang bedah untuk prosedur bedah yang paling
kompleks pada kasus tertentu. Bedah laparoscopic
appendisitis adalah salah satu prosedur yang mengalami peningkatan popularitas
sejak awalnya dilaporkan oleh SEMM pada tahun 1983. Beberapa penelitian telah
menunjukkan keuntungan dari bedah laparoscopic
dalam hal waktu perawatan di Rumah Sakit menjadi lebih singkat, pemulihan pasca
operasi yang cepat, dan kontrol nyeri yang lebih baik. Namun, ada kekhawatiran
tentang risiko komplikasi infeksi, khususnya pengembangan abses intraabdominal
dan infeksi luka superficial. Risiko ini meningkat secara signifikan pada kasus
apendisitis perforasi (Khan MN., 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar