Google ads

Senin, 01 Februari 2016

Kortikosteroid




Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh (Sitompul, 2011).
Hormon adrenokortikal alami adalah molekul steroid yang diproduksi dan dilepaskan oleh korteks adrenal. Baik kortikosteroid alami maupun sintetik yang digunakan untuk diagnosis dan pengobatan kelainan fungsi adrenal. Aktivitas utama dari kortikosteroid yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid sehingga memperlihatkan efek yang sangat beragam yang meliputi efek terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lipid, efek terhadap keseimbangan air dan elektrolit, dan efek terhadap pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh (Katzung, 1997).
Sekresi steroid adrenokortikal dikontrol oleh pelepasan kortikotropin hipofisis (ACTH). Sekresi hormon aldosteron dan menahan garam dipengaruhi oleh angiotensin (Manchikanti, 2002).
Akibat pengaruh ACTH, zona fasikulata korteks adrenal akan mensekresi kortisol dan kortikosteron. Bila kadar kedua hormon tersebut dalam darah meningkat, terutama kortisol, maka akan terjadi penghambatan sekresi ACTH. Keadaan tersebut tidak berlaku untuk aldosteron, yang disekresikan oleh zona glomerulosa. Peninggian kadar aldosteron dalam darah tidak menyebabkan penghambatan sekresi ACTH (Manchikanti, 2002).
Adrenal melepaskan beberapa hormon steroid ke dalam sirkulasi. Kerja dari masing-masing hormon diantaranya (Neal, 2006) :
1.      Mineralokortikoid, terutama aldosteron pada manusia, mempunyai aktivitas menahan garam, efek utamanya  adalah terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit. Sedangkan pengaruhnya terhadap glikogen hepar sangat kecil.
2.      Glukokortikoid, terutama kortisol (hidrokortison) pada manusia mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan protein, tetapi juga mempunyai aktivitas mineralokortikoid yang bermakna. Hormon ini disintesis dalam sel-sel zona fasikulata dan zona retikularis.
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid (Tanu, 2009).
Pada keadaan tidak terdapat kortisol, reseptor diinaktivasi oleh suatu heat shock protein. Kortisol memicu pelepasan hsp90 dan reseptor yang teraktivasi memasuki nukleus di mana reseptor menstimulasi (atau menghambat) sintesis protein, yang selanjutnya menghasilkan efek hormon yang khas (Neal, 2006).
            Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, homon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik, pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik (Tanu, 2009).

Kortikosteroid mudah diserap di saluran cerna, penyerapannya juga bagus pada pemberian lokal. Kortikosteroid dalam bentuk larut air diberikan dengan injeksi intravena untuk mendapatkan onset yang cepat, kortikosteroid yang larut memiliki onset yang lebih lama. Kortikosteroid didistribusikan keseluruh jaringan tubuh, dapat menembus plasenta dan dalam jumlah yang kecil terdistribusi ke dalam ASI (Sweetman, 2009).
Kortikosteroid terikat dengan protein plasma, terutama globulin dan lebih sedikit dengan albumin. Ikatan kortikosteroid dengan globulin memiliki afinitas yang tinggi, tetapi kapasitas ikatannya rendah. Sedangkan albumin memiliki afinitas yang rendah dan kapasitas ikatannya tinggi. Kortikosteroid terutama dimetabolisme di hati dan juga  ada di jaringan lain dan dieksresikan melalui urin. Metabolisme kortikosteroid sintetik lebih lambat dengan afinitas ikatan protein yang rendah, sehingga potensi kortikosteroid sintetik lebih tinggi (Kronenberg, 2008).
Penghentian kortikosteroid secara mendadak dapat menyebabkan withdrawal  symptoms, efek yang mungkin terjadi yaitu demam, mialgia, artralgia, penurunan berat badan, peningkatan tekanan intrakranial yang disertai sakit kepala, muntah, dan udem serebri. Lama pengobatan dan dosis yang digunakan mempengaruhi  supresi adrenal-pituitari karena penghentian terapi kortikosteroid (Sweetman, 2009).
Kortikosteroid merupakan obat yang sering digunakan dalam  pengobatan karena mempunyai efek farmakologi yang sangat luas. Manfaat dari kortikosteroid cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya perlu dibatasi. Namun, meskipun masih banyak kontroversi dalam penggunaannya kortikosteroid atau derivatnya merupakan obat-obatan yang sangat banyak diresepkan. Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid adalah sebagai antiinflamasi, antialergi dan imunosupresan (Lamberts, 1997).
Kortikosteroid berinteraksi dengan barbiturat, karbamazepin, fenitoin,
primidone, atau rifampisin, dapat meningkatkan metabolisme dan mengurangi efek sistemik kortikosteroid. Kontrasepsi oral dan ritonavir dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari kortikosteroid. Penggunaan bersamaan diuretik yang boros kalium seperti thiazid dan furosemid dapat meningkatkan resiko hipokalemi. Resiko hipokalemi juga meningkat akibat pemberian bersamaan dengan amfoterisin B atau terapi bronkodilator dengan golongan xantin atau agonis β-2 (Sweetman, 2009).
Resiko perdarahan gastrointestinal dan tukak lambung tinggi jika kortikosteroid diberikan bersamaan dengan NSAID mekanismenya yaitu kortikosteroid meningkatkan laju filtrasi glomerulus (GFR), kemudian meningkatkan clearance NSAID. Ketika penggunaan kortikosteroid dihentikan, clearance NSAID kembali normal dan NSAID akan terakumulasi di dalam tubuh, sehingga resiko terjadinya perdarahan dan tukak lambung juga tinggi. Dugaan lain yaitu kortikosteroid juga dapat meningkatkan metabolisme dari NSAID (Baxter, 2008).
Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat. Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat growth hormon. Selain itu kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi sekresi parathyroid hormone (PTH) yang meningkatkan aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Penelitian yang dilakukan oleh  Sambrook, 1993, menunjukkan perubahan kepadatan tulang pada tahun pertama, dan pada tahun kedua didapatkan terjadinya keropos tulang. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada penggunaan calcitriol, calcitonin dan calsium untuk mencegah terjadinya osteoporosis. Oleh karena itu, pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan hati-hati (Sambrook, 1993).
Kortikosteroid banyak digunakan pada kegawatdaruratan pediatri seperti pada krisis adrenal, sindroma gawat nafas, acute respiratory distress syndrome (ARDS) , syok septik, encephalitis dan meningitis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Weiss, 2010, kortikosteroid yang diberikan lebih awal pada pasien pediatri yang mengalami vaskulitis selama perawatan, cukup efektif untuk mengurangi resiko manifestasi penyakit pada gastrointestinal dan mengurangi berkembangnya penyakit ginjal persisten. Penggunaan obat ini pada anak-anak dianjurkan sebagai pengontrol asma. Pemberian steroid juga terbukti efektif sebagai profilaksis sebelum ekstubasi dapat mengurangi resiko udem pada laring (Fan, 2008).

Tidak ada komentar:

Google Ads