Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan
dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon
adrenokortikotropik yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini dapat
mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi
tubuh (Sitompul, 2011).
Hormon adrenokortikal alami adalah molekul
steroid yang diproduksi dan dilepaskan oleh korteks adrenal. Baik
kortikosteroid alami maupun sintetik yang digunakan untuk diagnosis dan
pengobatan kelainan fungsi adrenal. Aktivitas utama dari kortikosteroid yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid sehingga memperlihatkan efek yang sangat
beragam yang meliputi efek terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lipid,
efek terhadap keseimbangan air dan elektrolit, dan efek terhadap pemeliharaan
fungsi berbagai sistem dalam tubuh (Katzung, 1997).
Sekresi steroid adrenokortikal dikontrol oleh pelepasan kortikotropin
hipofisis (ACTH). Sekresi hormon aldosteron dan menahan garam dipengaruhi oleh
angiotensin (Manchikanti,
2002).
Akibat pengaruh ACTH, zona fasikulata korteks adrenal akan mensekresi
kortisol dan kortikosteron. Bila kadar kedua hormon tersebut dalam darah
meningkat, terutama kortisol, maka akan terjadi penghambatan sekresi ACTH.
Keadaan tersebut tidak berlaku untuk aldosteron, yang disekresikan oleh zona
glomerulosa. Peninggian kadar aldosteron dalam darah tidak menyebabkan
penghambatan sekresi ACTH (Manchikanti, 2002).
Adrenal melepaskan beberapa hormon steroid ke dalam sirkulasi. Kerja dari
masing-masing hormon diantaranya (Neal, 2006) :
1.
Mineralokortikoid,
terutama aldosteron pada manusia, mempunyai aktivitas menahan garam, efek
utamanya adalah terhadap keseimbangan
cairan dan elektrolit. Sedangkan pengaruhnya terhadap glikogen hepar sangat
kecil.
2.
Glukokortikoid,
terutama kortisol (hidrokortison) pada manusia mempengaruhi metabolisme
karbohidrat dan protein, tetapi juga mempunyai aktivitas mineralokortikoid yang
bermakna. Hormon ini disintesis dalam sel-sel zona fasikulata dan zona
retikularis.
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya
di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik
dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan
dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein
spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik
steroid (Tanu, 2009).
Pada keadaan tidak terdapat kortisol, reseptor diinaktivasi oleh suatu heat shock protein. Kortisol memicu
pelepasan hsp90 dan reseptor yang teraktivasi memasuki nukleus di mana reseptor
menstimulasi (atau menghambat) sintesis protein, yang selanjutnya menghasilkan
efek hormon yang khas (Neal, 2006).
Pada beberapa jaringan,
misalnya hepar, homon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein
spesifik, pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid
merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap
sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik (Tanu, 2009).
Kortikosteroid mudah diserap di saluran cerna, penyerapannya juga bagus
pada pemberian lokal. Kortikosteroid dalam bentuk larut air diberikan dengan
injeksi intravena untuk mendapatkan onset yang cepat, kortikosteroid yang larut
memiliki onset yang lebih lama. Kortikosteroid didistribusikan keseluruh
jaringan tubuh, dapat menembus plasenta dan dalam jumlah yang kecil
terdistribusi ke dalam ASI (Sweetman,
2009).
Kortikosteroid terikat dengan protein plasma, terutama globulin dan lebih
sedikit dengan albumin. Ikatan kortikosteroid dengan globulin memiliki afinitas
yang tinggi, tetapi kapasitas ikatannya rendah. Sedangkan albumin memiliki
afinitas yang rendah dan kapasitas ikatannya tinggi. Kortikosteroid terutama
dimetabolisme di hati dan juga ada di
jaringan lain dan dieksresikan melalui urin. Metabolisme kortikosteroid sintetik
lebih lambat dengan afinitas ikatan protein yang rendah, sehingga potensi
kortikosteroid sintetik lebih tinggi (Kronenberg,
2008).
Penghentian kortikosteroid secara mendadak dapat menyebabkan withdrawal
symptoms, efek yang mungkin terjadi yaitu demam, mialgia,
artralgia, penurunan berat badan,
peningkatan tekanan intrakranial yang disertai sakit kepala, muntah, dan udem
serebri. Lama pengobatan dan dosis yang digunakan mempengaruhi supresi adrenal-pituitari karena penghentian
terapi kortikosteroid (Sweetman, 2009).
Kortikosteroid merupakan obat yang sering digunakan dalam pengobatan karena mempunyai efek farmakologi
yang sangat luas. Manfaat dari kortikosteroid cukup besar tetapi karena efek
samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya perlu
dibatasi. Namun, meskipun masih banyak kontroversi dalam penggunaannya
kortikosteroid atau derivatnya merupakan obat-obatan yang sangat banyak
diresepkan. Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian
kortikosteroid adalah sebagai antiinflamasi, antialergi dan imunosupresan
(Lamberts, 1997).
Kortikosteroid berinteraksi dengan barbiturat, karbamazepin, fenitoin,
primidone, atau rifampisin, dapat meningkatkan metabolisme dan mengurangi efek sistemik kortikosteroid. Kontrasepsi oral dan ritonavir dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari kortikosteroid. Penggunaan bersamaan diuretik yang boros kalium seperti thiazid dan furosemid dapat meningkatkan resiko hipokalemi. Resiko hipokalemi juga meningkat akibat pemberian bersamaan dengan amfoterisin B atau terapi bronkodilator dengan golongan xantin atau agonis β-2 (Sweetman, 2009).
primidone, atau rifampisin, dapat meningkatkan metabolisme dan mengurangi efek sistemik kortikosteroid. Kontrasepsi oral dan ritonavir dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari kortikosteroid. Penggunaan bersamaan diuretik yang boros kalium seperti thiazid dan furosemid dapat meningkatkan resiko hipokalemi. Resiko hipokalemi juga meningkat akibat pemberian bersamaan dengan amfoterisin B atau terapi bronkodilator dengan golongan xantin atau agonis β-2 (Sweetman, 2009).
Resiko perdarahan gastrointestinal dan tukak lambung
tinggi jika kortikosteroid diberikan bersamaan dengan NSAID mekanismenya
yaitu kortikosteroid meningkatkan laju filtrasi glomerulus (GFR), kemudian
meningkatkan clearance NSAID. Ketika
penggunaan kortikosteroid dihentikan, clearance
NSAID kembali normal dan NSAID akan terakumulasi di dalam tubuh, sehingga
resiko terjadinya perdarahan dan tukak lambung juga tinggi. Dugaan lain yaitu
kortikosteroid juga dapat meningkatkan metabolisme dari NSAID (Baxter, 2008).
Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan pertumbuhan
terhambat. Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat
growth hormon. Selain itu kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+
melalui ginjal, akibatnya terjadi sekresi parathyroid hormone (PTH) yang
meningkatkan aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Penelitian yang dilakukan
oleh Sambrook, 1993, menunjukkan perubahan kepadatan tulang pada tahun pertama,
dan pada tahun kedua didapatkan terjadinya keropos tulang. Tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada penggunaan calcitriol, calcitonin dan calsium
untuk mencegah terjadinya osteoporosis. Oleh karena itu, pengobatan
kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan hati-hati (Sambrook, 1993).
Kortikosteroid banyak digunakan pada kegawatdaruratan pediatri seperti
pada krisis adrenal, sindroma gawat nafas, acute
respiratory distress syndrome (ARDS) , syok septik, encephalitis dan
meningitis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Weiss, 2010, kortikosteroid yang diberikan
lebih awal pada pasien pediatri yang mengalami vaskulitis selama perawatan,
cukup efektif untuk mengurangi resiko manifestasi penyakit pada
gastrointestinal dan mengurangi berkembangnya penyakit ginjal persisten.
Penggunaan obat ini pada anak-anak dianjurkan sebagai pengontrol asma.
Pemberian steroid juga terbukti efektif sebagai profilaksis sebelum ekstubasi dapat mengurangi resiko udem
pada laring (Fan, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar