Sejauh ini prinsip pemakaian obat pada anak
dalam praktek sehari-hari lebih banyak didasarkan atas prinsip pengobatan pada
dewasa. Hal ini dapat dipahami mengingat hingga kini informasi praktis mengenai
obat dan terapetik pada anak masih sangat terbatas. Sebagai contoh adalah
penentuan dosis. Sebagian besar penentuan dosis obat pada anak didasarkan pada
berat badan, umur, atau luas permukaan tubuh terhadap dosis dewasa. Hal ini
tidak selalu benar, mengingat berbagai perbedaan baik fisik maupun respons
fisiologis yang berbeda antara anak dan dewasa. Sementara itu meskipun berbagai
formulasi penghitungan dosis sudah banyak dikembangkan, tetapi praktis tidak
begitu saja bisa diberlakukan secara umum untuk semua anak, dengan ras yang
berbeda (Speight, 1987; Katzung, 2010).
Masalah pemakaian obat pada anak tidak saja
terbatas pada penentuan jenis obat dan penghitungan dosis tetapi juga meliputi
frekuensi, lama dan cara pemberian. Meskipun sebagian besar obat untuk anak
tersedia dalam bentuk sediaan oral (biasanya cairan) tetapi dosis yang adekuat
kadang sulit dicapai karena berbagai sebab misalnya muntah, atau reaksi
penolakan lain yang menyebabkan obat yang diminum menjadi kurang dari takaran
yang seharusnya diberikan. Untuk obat-obat simtomatik, keadaan ini tentu
mempengaruhi khasiat/kemanfaatan obat (Speight, 1987; Katzung, 2010).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa anak
bukanlah miniatur dewasa. Mereka masih dalam proses tumbuh kembang, sehingga
fungsi organ dan keadaan fisiologis lainnya juga masih berkembang. Dengan
demikian respons anak terhadap pemberian obat juga sangat dipengaruhi oleh
hal-hal tersebut. Beberapa pertimbangan yang perlu diambil sehubungan dengan
pemakaian obat pada anak (Speight, 1987;WHO,1987;Katzung, 2010) adalah:
a. Faktor-faktor
farmakokinetik obat, meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
b. Pertimbangan
dosis terapetik dan toksik, yakni termasuk pemakaian obat dengan lingkup terapi
lebar atau sempit (wide or narrow therapeutic margin), dan interaksi antar obat
berdasar perjalanan penyakit.
c. Penghitungan
dosis.
d. Segi
praktis pemakaian obat, mencakup cara pemberian, kebiasaan, dan ketaatan pasien
untuk minum obat.
a.
Pertimbangan
Farmakokinetika (Speight, 1987; Katzung, 2010)
ü Absorpsi
Secara umum, kecepatan absorpsi
obat ke dalam sirkulasi sistemik tergantung pada cara pemberian dan sifat
fisikokimiawi obat, seperti misalnya berat molekul, dan sifat lipofilik obat.
Sifat fisikokimiawi obat terutama menentukan kecepatan dan luasnya transfer
molekul obat melalui membran. Hal ini berlaku pada semua golongan usia.
Hal-hal berikut perlu
dipertimbangkan sehubungan dengan absorpsi obat pada anak:
1.
Beberapa saat setelah
lahir akan terjadi perubahan-perubahan biokimiawi dan fisiologis pada traktus
gastrointestinal. Pada 24 jam pertama kelahiran atau awal kehidupan, terjadi
peningkatan keasaman lambung. Oleh sebab itu obat-obat yang terutama dirusak
oleh asam lambung (pH rendah) sejauh mungkin dihindari.
2.
Pengosongan lambung
pada hari I dan II kehidupan relatif lambat (6-8 jam). Keadaan ini berlangsung
selama ±6 bulan untuk akhirnya mencapai nilai normal seperti pada dewasa. Pada
tahap ini obat yang absorpsi utamanya di lambung akan diabsorpsi secara lengkap
dan sempurna, sebaliknya untuk obat-obat yang diabsorpsi di intestinum efeknya
menjadi sangat lambat atau tertunda.
3.
Absorpsi obat setelah
pemberian secara injeksi intramuskular atau subkutan tergantung pada kecepatan
aliran darah ke otot atau area subkutan tempat injeksi. Keadaan fisiologis yang
bisa menurunkan aliran darah antara lain syok kardiovaskuler, vasokonstriksi
oleh karena pemberian obat simpatomimetik. Absorpsi obat yang diberikan
perkutan meningkat pada neonatus, bayi dan anak, terutama jika terdapat
ekskoriasi kulit atau luka bakar. Dengan meningkatnya absorpsi dapat
meningkatkan kadar obat dalam darah, hingga kemungkinan dapat mencapai dosis
toksik obat. Keadaan ini sering dijumpai pada penggunaan kortikosteroid secara
berlebihan, asam borat (menimbulkan efek samping diare, muntah, kejang hingga
kematian), serta aminoglikosida dengan ototoksisitas berupa terganggunya pendengaran.
4.
Pada keadaan tertentu
di mana injeksi diperlukan, sementara oleh karena malnutrisi, anak menjadi
sangat kurus dan volume otot menjadi kecil, pemberian injeksi harus sangat
hati-hati. Pada keadaan ini absorpsi obat menjadi sangat tidak teratur dan sulit
diduga oleh karena obat mungkin masih tetap berada di otot dan diabsorpsi
secara lambat. Pada keadaan ini otot berlaku sebagai reservoir. Tetapi bila
perfusi tiba-tiba membaik, maka jumlah obat yang masuk sirkulasi meningkat
secara mendadak dan menyebabkan tingginya konsentrasi obat dalam darah yang
dapat mencapai kadar toksik. Obat-obat yang perlu diwaspadai penggunaannya
antara lain glikosida jantung, aminoglikosida, dan antikonvulsan.
5.
Gerakan peristaltik
usus bayi baru lahir relatif belum teratur, tetapi umumnya lambat. Sehingga
jumlah obat-obat yang diabsorpsi di intestinum sulit diperkirakan. Jika
peristaltik lemah maka jumlah obat yang diabsorpsi menjadi lebih besar, hal ini
kemungkinan dapat menimbulkan berupa efek toksik obat. Sebaliknya jika terjadi
peningkatan peristaltik, misalnya pada keadaan diare, absorpsi obat cenderung
menurun oleh karena lama kontak obat pada tempat-tempat yang mempunyai
permukaan absorpsi luas menjadi sangat singkat.
ü Distribusi
Proses distribusi obat
dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh massa jaringan, kandungan lemak, aliran
darah, permeabilitas membran dan ikatan protein. Obat mengalami perbedaan
distribusi berdasarkan pada sifat-sifat fisikokimiawinya. Perbedaan ini dapat
ditunjukkan oleh obat-obat yang bersifat kurang lipofilik, misalnya
sulfonamida, di mana volume distribusinya meningkat sampai 2 kali pada
neonatus.
o Barier
darah otak pada bayi baru lahir relatif lebih permeabel. Hal ini memungkinkan
beberapa obat melintasi sawar darah otak secara mudah. Namun, keadaan ini dapat
menguntungkan, misalnya pada pengobatan meningitis dengan menggunakan
antibiotika.
o Ikatan
protein plasma obat sangat kecil pada bayi (neonatus) dan baru mencapai nilai
normal pada umur 1 tahun. Hal ini disebabkan karena rendahnya konsentrasi albumin
dalam plasma dan rendahnya kapasitas albumin untuk mengikat molekul obat.
Keadaan ini menjadi penting pada bayi malnutrisi dan hipoalbuminemia.
o Interaksi
antara obat dengan bilirubin pada ikatannya dengan protein plasma sangat
penting diperhatikan. Bilirubin bebas dapat menembus barier darah otak pada
neonatus dan menyebabkan kern-ikterus. Obat-obat sulfonamida, novobiosin,
diazoksida dan analog vitamin K dapat melepaskan ikatan bilirubin dari albumin
plasma. Bila mekanisme konjugasi hepatal belum sempurna, bilirubin bebas dalam
darah akan meningkat dan dapat menyebabkan kern-ikterus.
ü Metabolisme
Hepar merupakan organ terpenting
untuk metabolisme obat. Perbandingan relatif volume hepar terhadap berat badan
menurun dengan bertambahnya usia. Dengan perbandingan relatif ini, volume hepar
pada bayi baru lahir ±2 kali dibandingkan anak usia 10 tahun. Hal ini
menjelaskan, mengapa kecepatan metabolisme obat paling besar pada masa bayi
hingga awal masa kanak-kanak, dan kemudian menurun mulai anak sampai dewasa.
ü Ekskresi
Pada neonatus, kecepatan filtrasi
glomeruler dan fungsi tubulus masih imatur. Diperlukan waktu sekitar 6 bulan
untuk mencapai nilai normal. Umumnya GFR pada anak adalah sekitar 30-40%
dewasa. Oleh karena itu, pada anak obat dan metabolit aktif yang diekskresi
melalui urin cenderung terakumulasi. Sebagai konsekuensinya, obat-obat yang
diekskresi dengan filtrasi glomerulus, seperti misalnya digoksin dan
gentamisin, dan obat-obat yang sangat terpengaruh sekresi tubuler, misalnya
penisilin, paling lambat diekskresi pada bayi baru lahir. Dengan demikian,
seiring dengan bertambahnya usia, diperlukan evaluasi ulang terhadap dosis yang
digunakan.
b.
Pertimbangan
Efek Terapetik dan Efek Toksik Obat (Speight, 1987; Katzung, 2010).
Pertimbangan dalam
penilaian segi manfaat dan risiko harus selalu dilakukan sebelum memutuskan
memberikan suatu obat, kemungkinan respons anak terhadap obat akan sangat
bervariasi.
Apabila diagnosis kerja
telah ditegakkan dan keputusan pemberian obat telah diambil, perlu adanya pemikiran
efek apa yang dapat ditimbulkan pada pemberian obat. Sebagai contoh adalah
pemberian amfetamin. Oleh sebagian besar praktisi medik, obat ini dipercaya
dapat meningkatkan konsentrasi anak, sehingga mudah dikendalikan dan tertarik
pada hal-hal yang bermanfaat (misalnya pelajaran di sekolah). Namun demikian
perlu diingat bahwa penggunaan obat ini tidak lepas dari risiko efek samping.
Efek samping amfetamin antara lain halusinasi, hiperaktivitas (sering mendorong
ke arah kenakalan anak) hingga sampai kejang. Namun, efek samping ini sering
luput dari perhatian praktisi medik maupun orang tua pasien.
c.
Penghitungan
Dosis (Katzung, 2010)
Tabel 1. Penentuan dosis obat berdasarkan luas permukaan tubuh:
Berat Badan
|
Perkiraan
Umur
|
Luas permukaan
tubuh (m2)
|
Persentase
Dosis Dewasa
|
|
(kg)
|
(lb)
|
|||
3
|
6,6
|
Neonatus
|
0,2
|
12
|
6
|
13,2
|
3 bulan
|
0,3
|
18
|
10
|
22
|
1 tahun
|
0,45
|
28
|
20
|
44
|
5,5 tahun
|
0,8
|
48
|
30
|
66
|
9 tahun
|
1
|
60
|
40
|
88
|
12 tahun
|
1,3
|
78
|
50
|
110
|
14 tahun
|
1,5
|
90
|
60
|
132
|
Dewasa
|
1,7
|
102
|
70
|
154
|
Dewasa
|
1,76
|
103
|
d.
Segi
Praktis Pemakaian Obat Pada Anak (Speight, 1987;WHO, 1987)
ü Periode awal kelahiran
Pada periode ini, pemberian obat
per oral dapat mengakibatkan aspirasi, selain itu beberapa obat dapat mengalami
absorpsi secara tidak sempurna. Jika diberikan secara intramuskuler, sebaiknya
dilakukan di tungkai atas, sebelah anterior atau lateral. Penyuntikan pada
bagian panggul tidak dianjurkan mengingat masa otot yang masih relatif kecil
dan kemungkinan rusaknya saraf skiatik.
ü Periode anak-anak dan
prasekolah (umur 1-10 tahun)
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian obat pada kelompok umur ini adalah:
-
Cara pemberian obat
yang efektif:
Karena
kemungkinan adanya reaksi penolakan untuk minum obat, maka pemakaian obat dalam
bentuk sirup sangat dianjurkan, terutama yang tidak memberikan rasa pahit.
Namun, pemakaian jangka panjang obat sirup dengan pemanis dapat menyebabkan
karies gigi. Frekuensi pemberian hendaknya dibuat seefektif mungkin, misalnya
tidak lebih dari 4 kali sehari. Pemberian satu jenis obat lebih dianjurkan,
namun jika terpaksa memberikan secara kombinasi (lebih dari satu macam) maka
hendaknya dipilih obat yang dapat diberikan secara bersamaan dan
dipertimbangkan kemungkinan interaksi antara obat.
-
Menghindarkan obat dari
jangkauan anak:
Dalam
periode umur ini, anak cenderung ingin tahu obat apa yang mereka minum dan
berusaha untuk mengambil dan meminumnya sendiri. Perlu diingatkan bagi orang
tua untuk menyimpan obat sebaik mungkin agar tidak mudah dijangkau oleh anak.
-
Pengobatan pada infeksi
berulang:
Secara
umum, anak-anak dalam kelompok ini akan sering mengalami penyakit infeksi yang
berulang. Sebagian besar dari infeksi ini disebabkan oleh virus, di mana
antibiotik sama sekali tidak diperlukan. Namun jika terbukti disebabkan oleh
bakteri, di mana pemakaian antibiotika tidak dapat dihindarkan, cara pemberian
obat hendaknya diberitahukan sejelas mungkin pada orang tua anak. Informasi
bahwa antibiotika harus diminum sampai habis perlu ditekankan, sehingga
penghentian pemberian antibiotika tidak hanya didasarkan pada hilangnya gejala
atau membaiknya kondisi. Sebaliknya untuk pemberian obat-obat simtomatik
seperti analgetik-antipiretik, dihentikan jika simptom hilang. Sebagai contoh jika
gejala utamanya demam, maka pemberian obat dihentikan jika gejala demam hilang.
-
Pemakaian obat untuk
penyakit kronik:
Dalam
masa pertumbuhan, mungkin saja seorang anak menderita penyakit kronis, misalnya
epilepsi dan asma, yang memerlukan pengobatan jangka panjang. Mengingat adanya
perubahan respons terhadap obat dalam masa tumbuh kembang ini, maka penilaian
terhadap besar dosis, frekuensi, cara dan lama pemberian, hendaknya ditinjau
kembali dari waktu ke waktu. Jika diperlukan, dapat dilakukan monitoring kadar
obat dalam darah.
ü Periode Remaja
Bukti
klinik mengenai bertambahnya disposisi obat karena perubahan hormonal sebagai
akibat tumbuh kembang pada masa pubertas masih perlu diteliti. Masalah yang
mungkin timbul pada pengobatan golongan umur ini antara lain adalah:
-
Masalah ketidakpatuhan.
Hal
ini mungkin tidak begitu berarti untuk penyakit-penyakit yang akut dan sembuh
sendiri (self-limiting illnesses) seperti tonsilitis dan faringitis akut.
Tetapi ketaatan minum obat akan sangat berpengaruh terhadap kualitas
penyembuhan penyakit-penyakit kronis seperti epilepsi, diabetes melitus, dan
asma.
-
Penyalahgunaan obat.
Kecenderungan
untuk menggunakan obat sendiri (self-medication) tanpa indikasi yang jelas,
sangat besar pada kelompok umur ini. Untuk itu, obat-obat yang menyebabkan
adiksi sebaiknya diberikan hanya jika benar-benar diperlukan.
e.
Prinsip
– Prinsip Peresepan Pada Bayi dan Anak (Speight, 1987;WHO, 1987)
ü Apakah obat benar-benar
diperlukan ?
Sebagian besar penyakit pada anak
sebetulnya dapat sembuh sendiri tanpa pemberian obat sekalipun. Jika tidak
mendesak, alternatif intervensi non farmakologi (misalnya diet, istirahat, dan
memperbaiki masukan cairan) lebih diutamakan. Kecenderungan peresepan yang
hanya didasarkan pada kekhawatiran dan permintaan orang tua anak tidak
dibenarkan sama sekali.
ü Jika terapi obat
diperlukan, obat yang mana yang sesuai ?
Beberapa
jenis obat tidak boleh diberikan pada bayi dan anak, namun beberapa obat
lainnya disertai peringatan dan ketentuan khusus. Peresepan tetrasiklin sangat
tidak dianjurkan pada anak, oleh karena dapat merusak gigi dan mengganggu
pertumbuhan tulang.
ü Jenis sediaan apa yang
diperlukan ?
Pemberian obat secara oral adalah
yang paling dianjurkan untuk anak. Selain itu, pertimbangan dalam pemilihan
bentuk sediaan obat yang tepat diperlukan misalnya obat dalam bentuk sediaan
cair, tablet, puyer, dengan pertimbangan kondisi anak, tingkat penerimaan, dan
faktor-faktor lain yang kemungkinan akan mempengaruhi farmakokinetik obat
secara komplit ke dalam tubuh.
ü Memperkirakan dosis
obat
Penentuan dosis obat pada anak
dapat dilakukan dengan mengacu buku-buku standar pediatrik, pada keadaan
tertentu dapat menggunakan package insert. Jika informasi ini tidak diperoleh,
dapat digunakan formulasi berdasarkan umur, berat badan atau luas permukaan
tubuh.
ü Lama pemberian
Riwayat perjalanan
penyakit akan menentukan berapa lama obat harus diminum. Untuk
penyakit-penyakit yang berlangsung kronis seperti tuberkulosis, dapat sampai 6,
9 bahkan 12 bulan. Sementara untuk penyakit-penyakit yang sifatnya akut dan
dapat sembuh sendiri (self limiting diseases) dapat diberikan obat simtomatis
sampai gejala klinik menghilang.
ü Informasi pengobatan.
Secara umum keberhasilan terapi
tidak saja ditentukan oleh tepat dan benarnya jenis obat yang diberikan hingga
cara pemakainnya, tetapi juga adanya informasi mengenai pengobatan yang
seharusnya diikuti oleh pasien. Informasi yang seharusnya disampaikan juga
tidak hanya mencakup cara minum obat tetapi juga meliputi kemungkinan
terjadinya efek samping dan penanggulangannya. Informasi hendaknya sederhana,
jelas dan mudah dipahami oleh orang tua si anak. Dengan melibatkan peran orang
tua dan pasien secara aktif dalam proses terapetik, maka diharapkan
keberhasilan terapi dapat dicapai seperti yang diharapkan.
ü Ketaatan minum obat dan
pendidikan pasien
Berbagai studi menunjukkan bahwa
ketaatan pasien untuk minum obat berbanding terbalik dengan lama pemberian.
Dengan kata lain, semakin lama obat diberikan, ketaatan pasien semakin menurun.
Masalah ini menjadi penting mengingat keberhasilan terapi secara keseluruhan
akan sangat tergantung pada ketaatan minum obat.
Pada anak, ketaatan minum obat ini
umumnya tergantung pada ketaatan orang tua dalam memberikan obat secara benar
dan tepat. Tingkat pendidikan dan informasi yang diterima orang tua anak
mempunyai korelasi positif dengan ketaatan.
ü Penilaian manfaat dan
efek pengobatan
Tergantung pada tujuan akhir
pengobatan yang diberikan, seorang dokter hendaknya mampu melakukan penilaian
terhadap hasil pengobatan yang diberikan secara ilmiah. Sebagai contoh jika
kriteria diagnostik yang ditegakkan didasarkan pada pemeriksaan klinik dan
laboratorium, maka kriteria penyembuhan juga harus didasarkan pada penilaian
kedua hal tersebut. Suatu hasil terapetik harus dapat dibuktikan secara ilmiah
berdasarkan kriteria yang lazim, misalnya pada demam kriteria penyembuhan dapat
berupa menurunnya temperatur menjadi normal, dengan melakukam pengukuran
menggunakan termometer.
Demikian pula halnya dengan pasien
atau orang tua pasien, sebaiknya diberitahu bagaimana menilai kriteria sembuh,
serta apa yang harus dilakukan jika setelah beberapa hari gejala tidak
menghilang. Anjuran untuk kontrol pada beberapa hari setelah pengobatan juga
merupakan salah satu cara memantau perkembangan penyakit dan hasil
pengobatannya. Pasien atau orang tua pasien juga perlu diingatkan mengenai
kemungkinan adanya efek samping dari pengobatan yang diberikan dan tindakan apa
yang harus diambil jika hal itu terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar