Google ads

Minggu, 31 Januari 2016

Farmakoterapi Pediatri



Sejauh ini prinsip pemakaian obat pada anak dalam praktek sehari-hari lebih banyak didasarkan atas prinsip pengobatan pada dewasa. Hal ini dapat dipahami mengingat hingga kini informasi praktis mengenai obat dan terapetik pada anak masih sangat terbatas. Sebagai contoh adalah penentuan dosis. Sebagian besar penentuan dosis obat pada anak didasarkan pada berat badan, umur, atau luas permukaan tubuh terhadap dosis dewasa. Hal ini tidak selalu benar, mengingat berbagai perbedaan baik fisik maupun respons fisiologis yang berbeda antara anak dan dewasa. Sementara itu meskipun berbagai formulasi penghitungan dosis sudah banyak dikembangkan, tetapi praktis tidak begitu saja bisa diberlakukan secara umum untuk semua anak, dengan ras yang berbeda (Speight, 1987; Katzung, 2010).
Masalah pemakaian obat pada anak tidak saja terbatas pada penentuan jenis obat dan penghitungan dosis tetapi juga meliputi frekuensi, lama dan cara pemberian. Meskipun sebagian besar obat untuk anak tersedia dalam bentuk sediaan oral (biasanya cairan) tetapi dosis yang adekuat kadang sulit dicapai karena berbagai sebab misalnya muntah, atau reaksi penolakan lain yang menyebabkan obat yang diminum menjadi kurang dari takaran yang seharusnya diberikan. Untuk obat-obat simtomatik, keadaan ini tentu mempengaruhi khasiat/kemanfaatan obat (Speight, 1987; Katzung, 2010).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa anak bukanlah miniatur dewasa. Mereka masih dalam proses tumbuh kembang, sehingga fungsi organ dan keadaan fisiologis lainnya juga masih berkembang. Dengan demikian respons anak terhadap pemberian obat juga sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Beberapa pertimbangan yang perlu diambil sehubungan dengan pemakaian obat pada anak (Speight, 1987;WHO,1987;Katzung, 2010) adalah:
a.       Faktor-faktor farmakokinetik obat, meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
b.      Pertimbangan dosis terapetik dan toksik, yakni termasuk pemakaian obat dengan lingkup terapi lebar atau sempit (wide or narrow therapeutic margin), dan interaksi antar obat berdasar perjalanan penyakit.
c.       Penghitungan dosis.
d.      Segi praktis pemakaian obat, mencakup cara pemberian, kebiasaan, dan ketaatan pasien untuk minum obat.
a.   Pertimbangan Farmakokinetika (Speight, 1987; Katzung, 2010)
ü Absorpsi
Secara umum, kecepatan absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik tergantung pada cara pemberian dan sifat fisikokimiawi obat, seperti misalnya berat molekul, dan sifat lipofilik obat. Sifat fisikokimiawi obat terutama menentukan kecepatan dan luasnya transfer molekul obat melalui membran. Hal ini berlaku pada semua golongan usia.
Hal-hal berikut perlu dipertimbangkan sehubungan dengan absorpsi obat pada anak:
                          1.       Beberapa saat setelah lahir akan terjadi perubahan-perubahan biokimiawi dan fisiologis pada traktus gastrointestinal. Pada 24 jam pertama kelahiran atau awal kehidupan, terjadi peningkatan keasaman lambung. Oleh sebab itu obat-obat yang terutama dirusak oleh asam lambung (pH rendah) sejauh mungkin dihindari.
                          2.       Pengosongan lambung pada hari I dan II kehidupan relatif lambat (6-8 jam). Keadaan ini berlangsung selama ±6 bulan untuk akhirnya mencapai nilai normal seperti pada dewasa. Pada tahap ini obat yang absorpsi utamanya di lambung akan diabsorpsi secara lengkap dan sempurna, sebaliknya untuk obat-obat yang diabsorpsi di intestinum efeknya menjadi sangat lambat atau tertunda.
                          3.       Absorpsi obat setelah pemberian secara injeksi intramuskular atau subkutan tergantung pada kecepatan aliran darah ke otot atau area subkutan tempat injeksi. Keadaan fisiologis yang bisa menurunkan aliran darah antara lain syok kardiovaskuler, vasokonstriksi oleh karena pemberian obat simpatomimetik. Absorpsi obat yang diberikan perkutan meningkat pada neonatus, bayi dan anak, terutama jika terdapat ekskoriasi kulit atau luka bakar. Dengan meningkatnya absorpsi dapat meningkatkan kadar obat dalam darah, hingga kemungkinan dapat mencapai dosis toksik obat. Keadaan ini sering dijumpai pada penggunaan kortikosteroid secara berlebihan, asam borat (menimbulkan efek samping diare, muntah, kejang hingga kematian), serta aminoglikosida dengan ototoksisitas berupa terganggunya pendengaran.
                          4.       Pada keadaan tertentu di mana injeksi diperlukan, sementara oleh karena malnutrisi, anak menjadi sangat kurus dan volume otot menjadi kecil, pemberian injeksi harus sangat hati-hati. Pada keadaan ini absorpsi obat menjadi sangat tidak teratur dan sulit diduga oleh karena obat mungkin masih tetap berada di otot dan diabsorpsi secara lambat. Pada keadaan ini otot berlaku sebagai reservoir. Tetapi bila perfusi tiba-tiba membaik, maka jumlah obat yang masuk sirkulasi meningkat secara mendadak dan menyebabkan tingginya konsentrasi obat dalam darah yang dapat mencapai kadar toksik. Obat-obat yang perlu diwaspadai penggunaannya antara lain glikosida jantung, aminoglikosida, dan antikonvulsan.
                          5.       Gerakan peristaltik usus bayi baru lahir relatif belum teratur, tetapi umumnya lambat. Sehingga jumlah obat-obat yang diabsorpsi di intestinum sulit diperkirakan. Jika peristaltik lemah maka jumlah obat yang diabsorpsi menjadi lebih besar, hal ini kemungkinan dapat menimbulkan berupa efek toksik obat. Sebaliknya jika terjadi peningkatan peristaltik, misalnya pada keadaan diare, absorpsi obat cenderung menurun oleh karena lama kontak obat pada tempat-tempat yang mempunyai permukaan absorpsi luas menjadi sangat singkat.
ü Distribusi
Proses distribusi obat dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh massa jaringan, kandungan lemak, aliran darah, permeabilitas membran dan ikatan protein. Obat mengalami perbedaan distribusi berdasarkan pada sifat-sifat fisikokimiawinya. Perbedaan ini dapat ditunjukkan oleh obat-obat yang bersifat kurang lipofilik, misalnya sulfonamida, di mana volume distribusinya meningkat sampai 2 kali pada neonatus.
o   Barier darah otak pada bayi baru lahir relatif lebih permeabel. Hal ini memungkinkan beberapa obat melintasi sawar darah otak secara mudah. Namun, keadaan ini dapat menguntungkan, misalnya pada pengobatan meningitis dengan menggunakan antibiotika.
o   Ikatan protein plasma obat sangat kecil pada bayi (neonatus) dan baru mencapai nilai normal pada umur 1 tahun. Hal ini disebabkan karena rendahnya konsentrasi albumin dalam plasma dan rendahnya kapasitas albumin untuk mengikat molekul obat. Keadaan ini menjadi penting pada bayi malnutrisi dan hipoalbuminemia.
o   Interaksi antara obat dengan bilirubin pada ikatannya dengan protein plasma sangat penting diperhatikan. Bilirubin bebas dapat menembus barier darah otak pada neonatus dan menyebabkan kern-ikterus. Obat-obat sulfonamida, novobiosin, diazoksida dan analog vitamin K dapat melepaskan ikatan bilirubin dari albumin plasma. Bila mekanisme konjugasi hepatal belum sempurna, bilirubin bebas dalam darah akan meningkat dan dapat menyebabkan kern-ikterus.
ü Metabolisme
Hepar merupakan organ terpenting untuk metabolisme obat. Perbandingan relatif volume hepar terhadap berat badan menurun dengan bertambahnya usia. Dengan perbandingan relatif ini, volume hepar pada bayi baru lahir ±2 kali dibandingkan anak usia 10 tahun. Hal ini menjelaskan, mengapa kecepatan metabolisme obat paling besar pada masa bayi hingga awal masa kanak-kanak, dan kemudian menurun mulai anak sampai dewasa.
ü  Ekskresi
Pada neonatus, kecepatan filtrasi glomeruler dan fungsi tubulus masih imatur. Diperlukan waktu sekitar 6 bulan untuk mencapai nilai normal. Umumnya GFR pada anak adalah sekitar 30-40% dewasa. Oleh karena itu, pada anak obat dan metabolit aktif yang diekskresi melalui urin cenderung terakumulasi. Sebagai konsekuensinya, obat-obat yang diekskresi dengan filtrasi glomerulus, seperti misalnya digoksin dan gentamisin, dan obat-obat yang sangat terpengaruh sekresi tubuler, misalnya penisilin, paling lambat diekskresi pada bayi baru lahir. Dengan demikian, seiring dengan bertambahnya usia, diperlukan evaluasi ulang terhadap dosis yang digunakan.
b.   Pertimbangan Efek Terapetik dan Efek Toksik Obat (Speight, 1987; Katzung, 2010).
Pertimbangan dalam penilaian segi manfaat dan risiko harus selalu dilakukan sebelum memutuskan memberikan suatu obat, kemungkinan respons anak terhadap obat akan sangat bervariasi.
Apabila diagnosis kerja telah ditegakkan dan keputusan pemberian obat telah diambil, perlu adanya pemikiran efek apa yang dapat ditimbulkan pada pemberian obat. Sebagai contoh adalah pemberian amfetamin. Oleh sebagian besar praktisi medik, obat ini dipercaya dapat meningkatkan konsentrasi anak, sehingga mudah dikendalikan dan tertarik pada hal-hal yang bermanfaat (misalnya pelajaran di sekolah). Namun demikian perlu diingat bahwa penggunaan obat ini tidak lepas dari risiko efek samping. Efek samping amfetamin antara lain halusinasi, hiperaktivitas (sering mendorong ke arah kenakalan anak) hingga sampai kejang. Namun, efek samping ini sering luput dari perhatian praktisi medik maupun orang tua pasien.
c.    Penghitungan Dosis (Katzung, 2010)

Tabel 1. Penentuan dosis obat berdasarkan luas permukaan tubuh:
Berat Badan
Perkiraan
Umur
Luas permukaan
tubuh (m2)
Persentase
Dosis Dewasa
(kg)
(lb)
3
6,6
Neonatus
0,2
12
6
13,2
3 bulan
0,3
18
10
22
1 tahun
0,45
28
20
44
5,5 tahun
0,8
48
30
66
9 tahun
1
60
40
88
12 tahun
1,3
78
50
110
14 tahun
1,5
90
60
132
Dewasa
1,7
102
70
154
Dewasa
1,76
103


d.   Segi Praktis Pemakaian Obat Pada Anak (Speight, 1987;WHO, 1987)
ü  Periode awal kelahiran
Pada periode ini, pemberian obat per oral dapat mengakibatkan aspirasi, selain itu beberapa obat dapat mengalami absorpsi secara tidak sempurna. Jika diberikan secara intramuskuler, sebaiknya dilakukan di tungkai atas, sebelah anterior atau lateral. Penyuntikan pada bagian panggul tidak dianjurkan mengingat masa otot yang masih relatif kecil dan kemungkinan rusaknya saraf skiatik.
ü  Periode anak-anak dan prasekolah (umur 1-10 tahun)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian obat pada kelompok umur ini adalah:
-          Cara pemberian obat yang efektif:
Karena kemungkinan adanya reaksi penolakan untuk minum obat, maka pemakaian obat dalam bentuk sirup sangat dianjurkan, terutama yang tidak memberikan rasa pahit. Namun, pemakaian jangka panjang obat sirup dengan pemanis dapat menyebabkan karies gigi. Frekuensi pemberian hendaknya dibuat seefektif mungkin, misalnya tidak lebih dari 4 kali sehari. Pemberian satu jenis obat lebih dianjurkan, namun jika terpaksa memberikan secara kombinasi (lebih dari satu macam) maka hendaknya dipilih obat yang dapat diberikan secara bersamaan dan dipertimbangkan kemungkinan interaksi antara obat.
-          Menghindarkan obat dari jangkauan anak:
Dalam periode umur ini, anak cenderung ingin tahu obat apa yang mereka minum dan berusaha untuk mengambil dan meminumnya sendiri. Perlu diingatkan bagi orang tua untuk menyimpan obat sebaik mungkin agar tidak mudah dijangkau oleh anak.
-          Pengobatan pada infeksi berulang:
Secara umum, anak-anak dalam kelompok ini akan sering mengalami penyakit infeksi yang berulang. Sebagian besar dari infeksi ini disebabkan oleh virus, di mana antibiotik sama sekali tidak diperlukan. Namun jika terbukti disebabkan oleh bakteri, di mana pemakaian antibiotika tidak dapat dihindarkan, cara pemberian obat hendaknya diberitahukan sejelas mungkin pada orang tua anak. Informasi bahwa antibiotika harus diminum sampai habis perlu ditekankan, sehingga penghentian pemberian antibiotika tidak hanya didasarkan pada hilangnya gejala atau membaiknya kondisi. Sebaliknya untuk pemberian obat-obat simtomatik seperti analgetik-antipiretik, dihentikan jika simptom hilang. Sebagai contoh jika gejala utamanya demam, maka pemberian obat dihentikan jika gejala demam hilang.
-          Pemakaian obat untuk penyakit kronik:
Dalam masa pertumbuhan, mungkin saja seorang anak menderita penyakit kronis, misalnya epilepsi dan asma, yang memerlukan pengobatan jangka panjang. Mengingat adanya perubahan respons terhadap obat dalam masa tumbuh kembang ini, maka penilaian terhadap besar dosis, frekuensi, cara dan lama pemberian, hendaknya ditinjau kembali dari waktu ke waktu. Jika diperlukan, dapat dilakukan monitoring kadar obat dalam darah.

ü  Periode Remaja
Bukti klinik mengenai bertambahnya disposisi obat karena perubahan hormonal sebagai akibat tumbuh kembang pada masa pubertas masih perlu diteliti. Masalah yang mungkin timbul pada pengobatan golongan umur ini antara lain adalah:
-          Masalah ketidakpatuhan.
Hal ini mungkin tidak begitu berarti untuk penyakit-penyakit yang akut dan sembuh sendiri (self-limiting illnesses) seperti tonsilitis dan faringitis akut. Tetapi ketaatan minum obat akan sangat berpengaruh terhadap kualitas penyembuhan penyakit-penyakit kronis seperti epilepsi, diabetes melitus, dan asma.
-          Penyalahgunaan obat.
Kecenderungan untuk menggunakan obat sendiri (self-medication) tanpa indikasi yang jelas, sangat besar pada kelompok umur ini. Untuk itu, obat-obat yang menyebabkan adiksi sebaiknya diberikan hanya jika benar-benar diperlukan.
e.    Prinsip – Prinsip Peresepan Pada Bayi dan Anak (Speight, 1987;WHO, 1987)
ü  Apakah obat benar-benar diperlukan ?
Sebagian besar penyakit pada anak sebetulnya dapat sembuh sendiri tanpa pemberian obat sekalipun. Jika tidak mendesak, alternatif intervensi non farmakologi (misalnya diet, istirahat, dan memperbaiki masukan cairan) lebih diutamakan. Kecenderungan peresepan yang hanya didasarkan pada kekhawatiran dan permintaan orang tua anak tidak dibenarkan sama sekali.
ü  Jika terapi obat diperlukan, obat yang mana yang sesuai ?
Beberapa jenis obat tidak boleh diberikan pada bayi dan anak, namun beberapa obat lainnya disertai peringatan dan ketentuan khusus. Peresepan tetrasiklin sangat tidak dianjurkan pada anak, oleh karena dapat merusak gigi dan mengganggu pertumbuhan tulang.
ü  Jenis sediaan apa yang diperlukan ?
Pemberian obat secara oral adalah yang paling dianjurkan untuk anak. Selain itu, pertimbangan dalam pemilihan bentuk sediaan obat yang tepat diperlukan misalnya obat dalam bentuk sediaan cair, tablet, puyer, dengan pertimbangan kondisi anak, tingkat penerimaan, dan faktor-faktor lain yang kemungkinan akan mempengaruhi farmakokinetik obat secara komplit ke dalam tubuh.
ü  Memperkirakan dosis obat
Penentuan dosis obat pada anak dapat dilakukan dengan mengacu buku-buku standar pediatrik, pada keadaan tertentu dapat menggunakan package insert. Jika informasi ini tidak diperoleh, dapat digunakan formulasi berdasarkan umur, berat badan atau luas permukaan tubuh.
ü  Lama pemberian
Riwayat perjalanan penyakit akan menentukan berapa lama obat harus diminum. Untuk penyakit-penyakit yang berlangsung kronis seperti tuberkulosis, dapat sampai 6, 9 bahkan 12 bulan. Sementara untuk penyakit-penyakit yang sifatnya akut dan dapat sembuh sendiri (self limiting diseases) dapat diberikan obat simtomatis sampai gejala klinik menghilang.
ü  Informasi pengobatan.
Secara umum keberhasilan terapi tidak saja ditentukan oleh tepat dan benarnya jenis obat yang diberikan hingga cara pemakainnya, tetapi juga adanya informasi mengenai pengobatan yang seharusnya diikuti oleh pasien. Informasi yang seharusnya disampaikan juga tidak hanya mencakup cara minum obat tetapi juga meliputi kemungkinan terjadinya efek samping dan penanggulangannya. Informasi hendaknya sederhana, jelas dan mudah dipahami oleh orang tua si anak. Dengan melibatkan peran orang tua dan pasien secara aktif dalam proses terapetik, maka diharapkan keberhasilan terapi dapat dicapai seperti yang diharapkan.
ü  Ketaatan minum obat dan pendidikan pasien
Berbagai studi menunjukkan bahwa ketaatan pasien untuk minum obat berbanding terbalik dengan lama pemberian. Dengan kata lain, semakin lama obat diberikan, ketaatan pasien semakin menurun. Masalah ini menjadi penting mengingat keberhasilan terapi secara keseluruhan akan sangat tergantung pada ketaatan minum obat.
Pada anak, ketaatan minum obat ini umumnya tergantung pada ketaatan orang tua dalam memberikan obat secara benar dan tepat. Tingkat pendidikan dan informasi yang diterima orang tua anak mempunyai korelasi positif dengan ketaatan.

ü  Penilaian manfaat dan efek pengobatan
Tergantung pada tujuan akhir pengobatan yang diberikan, seorang dokter hendaknya mampu melakukan penilaian terhadap hasil pengobatan yang diberikan secara ilmiah. Sebagai contoh jika kriteria diagnostik yang ditegakkan didasarkan pada pemeriksaan klinik dan laboratorium, maka kriteria penyembuhan juga harus didasarkan pada penilaian kedua hal tersebut. Suatu hasil terapetik harus dapat dibuktikan secara ilmiah berdasarkan kriteria yang lazim, misalnya pada demam kriteria penyembuhan dapat berupa menurunnya temperatur menjadi normal, dengan melakukam pengukuran menggunakan termometer.
Demikian pula halnya dengan pasien atau orang tua pasien, sebaiknya diberitahu bagaimana menilai kriteria sembuh, serta apa yang harus dilakukan jika setelah beberapa hari gejala tidak menghilang. Anjuran untuk kontrol pada beberapa hari setelah pengobatan juga merupakan salah satu cara memantau perkembangan penyakit dan hasil pengobatannya. Pasien atau orang tua pasien juga perlu diingatkan mengenai kemungkinan adanya efek samping dari pengobatan yang diberikan dan tindakan apa yang harus diambil jika hal itu terjadi.

Tidak ada komentar:

Google Ads