Hormon glukokortikoid adalah steroid yang
memiliki fungsi utama meningkatkan glukoneogenesis. Glukokortikoid pada manusia
biasa disebut dengan kortisol yang dihasilkan pada zona fascikulata yang
distimulasi oleh kortikotropin (ACTH). Glukokortikoid memiliki struktur
karbon-21 dan diproduksi oleh zona fasiculata, disebut juga
17-hidroksikortikosteroid atau kortikosteroid saja. Yang utama adalah kortisol,
juga disebut sebagai senyawa F atau hidrokortison. Kortisol dapat
diinterkonversikan menjadi kortison oleh enzim 11β-hidroksisteroid
dehidrogenase (11β-OHSD) di jaringan perifer (Rittichier, et al., 2000).
Pelepasan kortisol dikendalikan oleh
mekanisme umpan balik negatif yang melibatkan hipotalamus dan hipofisis
anterior. Kadar kortisol plasma yang rendah menyebabkan pelepasan kortikotropin
(hormon
adrenokortikotropik, ACTH) yang menstimulasi sintesis dan
pelepasan kortisol dengan mengaktivasi adenilat siklase. Adenosin monofosfat
siklik (cAMP) kemudian mengaktivasi protein kinase A yang memfosforilasi dan
meningkatkan aktivitas kolesterilester hidrolase, tahap yang membatasi
kecepatan pada sintesis steroid. Pelepasan aldosteron dipengaruhi oleh hormon
adrenokortikotropik (ACTH), tetapi faktor-faktor lain misalnya sistem
renin-angiotensin juga berpengaruh (Molina, 2010).
Kadar kortisol dalam darah dalam keadaan basal mengalami variasi diurnal, yaitu pada pagi hari paling
tinggi sedangkan pada malam hari paling rendah. Variasi ini secara
tidak langsung berhubungan dengan aktivitas individu. Pengobatan menggunakan
kortikosteroid sekali sehari dilakukan meniru keadaan fisiologis ini, yaitu
dengan pemberian obat pada pagi hari (Molina, 2010).
Mekanisme Kerja Glukokortikoid
Mekanisme kerja kortisol (dan glukokortikoid sintetik) berdifusi ke dalam
sel target dan terikat pada reseptor glukokortikoid sitoplasma yang termasuk
dalam superfamili yang terdiri dari reseptor steroid, tiroid, dan retinoid.
Kompleks reseptor-glukokortikoid yang teraktivasi memasuki nukleus dan terikat
pada elemen respons steroid pada molekul DNA target. Ikatan ini menginduksi
sintesis mRNA spesifik maupun mengendalikan gen dengan menghambat faktor
transkripsi, misalnya NFkB. Untuk sebagian besar tujuan klinis,
glukokortikoid sintetik digunakan karena glukokortikoid ini mempunyai afinitas
yang lebih tinggi untuk reseptor, kurang cepat diinaktivasi, dan mempunyai sedikit atau tidak mempunyai sifat
menahan garam (Kronenberg, 2008).
Glukokortikoid menurunkan fungsi
monosit/makrofag dan mengurangi limfosit yang berasal dari timus (sel T) dalam
sirkulasi, terutama limfosit T4 helper. Pelepasan IL-1 dan IL-2
(penting untuk mengaktivasi dan menstimulasi proliferasi limfosit) dihambat.
Transpor limfosit ke lokasi stimulasi antigenik dan produksi antibodi juga
dihambat. Glukokortikoid menyebabkan banyak efek samping, terutama dalam dosis
tinggi yang dibutuhkan untuk aktivitas imunosupresan (Putu, 1993). Penggunaan
kortikosteroid pada pasien ARDS yang mengalami penyakit berat, terbukti efektif
dalam menurunkan mortalitas dan dapat mempersingkat hari penggunaan ventilator.
Terjadinya inflamasi diduga sebagai patofisiologi dari ARDS, hal tersebut yang
memungkinkan kortikosteroid memberi manfaat pada pasien ARDS (Victor, 2008).
Terapi steroid menekan sekresi
kortikotropin dan akan menyebabkan atropi adrenal. Bila terapi dihentikan
fungsi adrenal membutuhkan 6-12 bulan untuk kembali pulih normal. Steroid
tambahan harus diberikan pada saat stres berat (misalnya pembedahan, infeksi)
karena respons pasien terhadap stres ditekan. Terapi steroid harus dihentikan
secara bertahap karena penghentian mendadak akan menyebabkan insufisiensi
adrenal (Katzung, 2010).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Karemaker, 2007 menunjukkan bahwa penggunaan deksametason pada neonatal
dapat menimbulkan efek jangka panjang terhadap pemprograman adrenal hipotalamus
ptituitari dan keseimbangan sitokin T-helper 2 dan T-helper 1. Kortikosteroid
dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang bisa berlanjut tanpa
disadari karena indikator infeksi alami dihambat. Komplikasi lain termasuk
psikosis, katarak, glaukoma, ulserasi peptik, dan reaktivasi infeksi nasen
(misalnya tuberkulosis) (Neal, 2006).
Tabel 2. Beberapa indikasi terapeutik untuk pemakaian glukokortikoid
pada kelainan non-adrenal (Katzung, 2010)
Kelainan
|
Contoh
|
Reaksi alergi
|
Edema angioneurotik,
asma,sengatan lebah, dermatitis kontak, reaksi obat, rinitis alergi, penyakit
serum, urtikaria
|
Kelainan vaskuler-kolagen
|
Arteritis sel detia, SLE,
sindrom jaringan ikat campuran, polimiolitis, polimialgia, rematika, artritis
reumatoid, arteritis temporalis
|
Penyakit mata
|
Uveitis akut, konjungtivitis
alergika, koroiditis, neuritis optika
|
Penyakit saluran cerna
|
Penyakit peradangan usus besar,
sperue nontropikal, nekrosis hati sub akut
|
Kelainan hematologi
|
Anemia hemoloitik akustika,
purpura alergika akut, leukimia, anemia hemolitik autoimun, purpura
trombositopenik idiopatik, multipel mieloma
|
Infeksi
|
Septikemia gram-negatif,
kadang-kadang membantu peradangan yang berlebihan
|
Peradangan tulang dan sendi
|
Artritis, bursitis,
tenosinovitis
|
Kelainan neurologi
|
Edema serebrum (dosis besar
deksametason diberikan setelah penderita operasi otak, untuk meminimalkan
edema serebrum pada massa pasca operasi), multipel sklerosis
|
Transplantasi organ
|
Pencegahan dan pengobatan
penolakan organ (immunosupresan)
|
Penyakit paru-paru
|
Aspirasi pneumonia, asma
bronkhial, pencegahan sindrom gawat pernafasan janin, sarkoidosis
|
Kelainan ginjal
|
Sindrom nefrotik
|
Penyakit kulit
|
Atopik dermatitis, dermatosis,
liken simpleks kronikus (neurodermatitis terlokalisir) mikosis fungoides,
pemfigus, dermatitis suboroik, xerosis
|
Penyakit tiroid
|
Eksoftalmus maligna, tiroiditis
subakut
|
Lain-lainnya
|
Hiperkalsemia, mountain sicness
|
a.
Metabolisme
Glukokortikoid mempengaruhi sebagian besar sel didalam tubuh. Efek
metabolik glukokortikoid penting untuk kehidupan. Aksinya yang paling penting
adalah memfasilitasi perubahan protein menjadi glikogen. Glukokortikoid
menghambat sintesis protein dan menstimulasi katabolisme protein menjadi asam
amino. Glukoneogenesis, deposisi glikogen, dan pelepasan glukosa dari hati
distimulasi, tetapi ambilan glukosa perifer dihambat. Selama puasa,
glukokortikoid penting untuk mencegah hipoglikemi (Neal, 2006).
Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah dengan merangsang
pelepasan insulin dan menghambat masuknya glukosa kedalam sel otot.
Glukokortikoid juga merangsang lipase yang sensitif dan menyebabkan lipofisis.
Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit menghambat
lipofisis sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan
pelepasan asam lemak dan gliserol ke dalam darah. Efek ini paling nyata pada
kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak dipertahankan dengan cara
glukoneogenesis, katabolisme protein otot melepaskan asam amino, perangsangan
lipofisis, dan hambatan ambilan glukosa di jaringan perifer (Kronenberg, 2008).
Hormon ini menyebabkan
glukoneogenesis di perifer dan hepar, di perifer steroid mempunyai efek
katabolik. Efek katabolik inilah yang menyebabkan terjadinya atrofi jaringan
limfoid, pengurangan masa jaringan otot, terjadi osteoporosis tulang
(pengurangan matriks protein tulang yang diikuti oleh pengeluaran kalsium),
penipisan kulit, dan keseimbangan nitrogen menjadi negatif. Asam amino tersebut
dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat enzim yang berperan dalam
produksi glukosa dan glikogen (Tanu, 2009).
Dalam hepar glukokortikoid
merangsang sintesis enzim yang berperan dalam proses glukoneogenesis dan
metabolisme asam amino, antara lain peningkatan enzim
fosfoenopiruvat-karboksikinase, fruktosa-1,6-difosfatase, dan gllukosa
6-fosfatase, glikogen sintase yang mengkatalisis sintesis glukosa. Rangsangan
sintesis enzim ini tidak timbul dengan segera, tetapi membutuhkan waktu
beberapa jam. Efek yang lebih cepat timbulnya adalah pengaruh hormon terhadap
mitokondria hepar, yaitu terjadi sintesis piruvat karboksilase sebagai
katalisator pembentukan oksaloasetat. Ini merupakan reaksi permulaan sintesis
glukosa dan piruvat (Tanu, 2009).
Penggunaan glukokortikoid untuk
jangka lama dapat menyebabkan peningkatan glukagon plasma yang dapat merangsang
glukoneogenesis. Keadaan ini dapat pula merupakan salah satu penyebab bertambahnya
sintesis glukosa. Peningkatan penyimpanan glikogen di hepar setelah pemberian
glukokortikoid diduga akibat aktivasi glikogen sintetase di hepar (Kronenberg, 2008).
Penggunaan glukokortikoid dalam
dosis besar dan jangka panjang, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang
khas. Lemak akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak, leher bagian
belakang (buffalo hump), daerah
supraklavikula dan juga dimuka (moon face),
sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang. Penyebab keadaan tersebut
yaitu karena kadar insulin meningkat akibat hiperglikemia yang ditimbulkan oleh
glukokortikoid, insulin ini mempunyai efek lipogenik dan antilipolitik pada
jaringan lemak di batang tubuh sehingga lemak terkumpul di tempat-tempat yang
disebut tadi. Sedangkan sel lemak diekstrimitas kurang sensitif terhadap
insulin dan lebih sensitif terhadap efek lipolitik hormon lain (epinefrin,
norepinefrin, hormon pertumbuhan) yang diinduksi oleh glukokortikoid (Goodman et al., 2006).
b.
Sistem
Kardiovaskular (Goodman et al., 2010)
Kerja utama glukokortikoid pada sistem kardiovaskular adalah untuk
meningkatkan reaktivitas vaskular terhadap zat-zat vasoaktif lainnya.
Hipoadrenalisme menyebabkab penurunan respon terhadap vasokontriktor seperti
norepinefrin dan angiostensin II, yang mungkin disebabkan oleh penurunan
ekspresi reseptor adrenergik pada dinding pembuluh darah. Sebaliknya,
hipertensi terjadi pada pasien dengan sekresi glukokortikoid yang berlebihan,
yang muncul pada hampir semua pasien sindrom Chusing dan beberapa pasien yang
menjalani terapi dengan glukokortikoid sintetik.
c.
Otot
Rangka
Jumlah glukokortikoid yang berlebihan dapat mengganggu fungsi otot
rangka. Kelebihan glukokortikoid dalam jangka panjang, baik yang disebabkan
oleh terapi glukokortikoid atau hiperkortisisme endogen, dapat menyebabkan
atrofi otot rangka atau pengecilan otot rangka. Efek ini dikenal dengan miopati steroid, yang sebagian dapat
menyebabkan pasien dengan kelebihan glukokortikoid mudah lelah dan lemah
(Goodman et al., 2010). Kelemahan
otot pada pasien aldosteronisme primer, terutama karena adanya hipokalemia
(Goodman et al., 2006).
Mekanisme miopati pada pemakaian glukokortikoid, diduga disebabkan oleh
efek katabolik dan antianaboliknya pada protein otot yang disertai hilangnya
masa otot, penghambatan aktivitas fosforilase dan adanya akumulasi kalsium otot
yang menyebabkan penekanan fungsi mitokondria (Tanu, 2009).
d.
Sistem
Saraf Pusat
Kortikosteroid dapat mempengaruhi susunan saraf pusat baik secara tidak
langsung maupun secara langsung. Pengaruh tidak langsung disebabkan efeknya
pada metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi dan keseimbangan elektrolit.
Adanya efek steroid pada susunan saraf pusat ini dapat dilihat dari timbulnya
perubahan mood, tingkah laku, EEG, dan kepekaan otak pada mereka yang
menggunakan kortikosteroid terutama untuk waktu lama atau pada pasien Addison.
Penyakit Addison dapat menunjukkan gejala apatis, depresi dan cepat tersinggung
bahkan psikosis (Goodman et al.,
2006).
Penggunaan glukokortikoid dalam
jangka waktu yang lama dapat menimbulkan serangkaian reaksi yang berbeda-beda.
Sebagian besar mengalami perbaikan semangat (mood) yang mungkin disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang
diobati, yang lain memperlihatkan gejala euforia, insomnia kegelisahan, dan peningkatan
aktivitas motorik. Kortisol juga dapat menimbulkan depresi. Glukokortikoid
dosis tinggi dalam waktu lama dapat menimbulkan gejala pseudotumor cerebri
karena tekanan intrakranial yang meningkat (Kronenberg, 2008).
Gangguan kejiwaan yang
disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid pada pediatri dengan kondisi
neoplastik dan nonneoplastik telah banyak dilaporkan, seperti gangguan mood dan
gejala psikotik. Hasil studi menjelaskan angka kejadian berkisar antara 5%
hingga 75% (Ularntinon, 2010).
e.
Elemen
Pembentuk Darah
Gukokortikoid dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan jumlah sel darah
merah, hal ini terbukti seringnya timbul polisitemia pada sindrom Chusing.
Sebaliknya pada penyakit Addison dapat mengalami anemia normokromik, normositik
yang ringan (Goodman et al., 2006).
Glukokortikoid dapat meningkatkan jumlah leukosit polimorfonuklear,
karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah dari sumsum tulang
dan mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sebaliknya jumlah sel
limfosit, eusinofil, monosit dan basofil dalam darah dapat menurun sesudah
pemberian glukokortikoid. Penurunan limfosit dalam sirkulasi dapat mencapai 70%
setelah pemberian dosis tunggal kortisol, dan monosit sampai lebih dari 90%.
Hal ini terjadi 4-6 jam sesudah pemberian dan berlangsung kira-kira 24 jam.
Penurunan limfosit, monosit dan eusinofil tampaknya lebih banyak disebabkan
karena redistribusi sel akibat destruksi sel (Tanu, 2009).
f.
Efek
Antiinflamasi
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya
gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau alergen.
Gejala ini umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas, pembengkakan di
tempat radang. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini
yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat
radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi
inflamasi yang lebih lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblas,
pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks (Tanu, 2009).
Penggunaan klinik
kortikosteroid sebagai antiinflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya
gejalanya yang dihambat sedangkan penyebab penyakit tetap ada. Sebenarnya hal
inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit,
bahkan sering disebut life saving drug, tetapi
hal ini juga yang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Karena gejala
inflamasi ini sering digunakan sebagai dasar evaluasi terapi inflamasi, maka
pada penggunaan glukokortikoid kadang-kadang terjadi masking effect, dari luar penyakit nampaknya sudah sembuh tetapi
infeksi di dalam masih terus menjalar (Tanu, 2009).
Meskipun penggunaan glukokortikoid tidak ditujukan pada penyebab
utamanya, namun dalam penekanan inflamasi obat ini paling luas penggunaan
klinisnya. Sehubungan dengan itu, glukokortikoid juga bermanfaat untuk
mengobati penyakit yang disebabkan oleh autoimun. Penyakit ini mencakup kondisi
yang terutama disebabkan oleh imunitas humoral seperti urtikaria, hingga
penyakit yang diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler, seperti penolakan
transplantasi. Kerja imunosupresan dan antiinflamasi glukokortikoid sangat
berkaitan erat, kemungkinan melibatkan beberapa mekanisme yaitu adanya
penurunan pelepasan faktor vasoaktif dan kemoatraktif, penurunan sekresi enzim
lipolitik dan proteolitik, penurunan ekstravasasi leukosit kedaerah cidera, dan
yang paling utama penurunan fibrosis. Glukokortikoid juga dapat menurunkan
ekspresi dari enzim proinflamasi seperti siklookdigenas-2 dan NOS (Goodman et al., 2010).
g.
Pertumbuhan
Penggunaan glukokortikoid pada anak untuk waktu yang lama, dapat
menghambat pertumbuhan, karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon perifer.
Efek ini berhubungan dengan besarnya dosis yang dipakai. Pada beberapa
jaringan, terutama di otot dan tulang, glukokortikoid menghambat sintesis dan
menambah degradasi protein dan RNA. Hal inilah yang mungkin sering menyebabkan
kegagalan fungsi hormon pertumbuhan bila digunakan bersama-sama kortikosteroid.
Terhadap tulang, glukokortikoid dapat menghambat maturasi dan proses
pertumbuhan memanjang. Sebagai kompensasi, dapat terjadi pertumbuhan yang cepat
bila pengobatan jangka lama dihentikan. Meskipun demikian, pada beberapa pasien
yang diobati untuk jangka lama tinggi badan normal juga tidak dapat tercapai (Kronenberg, 2008).
Penghambatan pertumbuhan pada
pemakaian kortikosteroid disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, hambatan
somatomedin oleh hormon pertumbuhan, hambatan sekresi hormon pertumbuhan,
berkurangnya proliferasi sel di kartilago epifisis dan hambatan aktivitas
osteoblas di tulang (Tanu, 2009).
Efek Samping Glukokortikoid
Efek samping glukokortikoid mempengaruhi mobilisasi kalsium dan fosfor,
dapat menyebabkan osteoporosis dan patah tulang secara spontan; pengecilan
otot; penurunan kadar nitrogen dan hiperglikemia. Kebutuhan insulin pada pasien
diabetes meningkat, sering dilaporkan peningkatan nafsu makan. Bagian yang
sering terkena osteoporosis adalah tulang rangka seperti bagian pinggul, radius
distal, tulang punggung, pelvis dan tulang rusuk. Glukokortikoid
menurunkan kepadatan tulang dengan
beberapa mekanisme, termasuk inhibisi
hormon steroid gonad, absorpsi Ca2+ yang berkurang dan penghambatan
pembentukan tulang karena efek penekanan pada osteoblas (Goodman et al., 2006).
Efek samping lain yang dapat terjadi yaitu gangguan siklus menstruasi, amenorea, hiperhidrosis, penipisan kulit, perubahan okuler termasuk resiko glaukoma dan
katarak, gangguan mental dan neurologis, pankreatitis akut dan nekrosis tulang.
Peningkatan koagubilitas darah bisa menyebabkan tromboemboli. Efek umpan balik
negatif glukokortikoid pada hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) dapat menyebabkan atrofi adrenal pada beberapa
kasus setelah penggunaan selama 7 hari. Kortikosteroid dosis tinggi yang
diberikan selama kehamilan dapat mengakibatkan supresi adrenal pada janin atau
neonatal (Sweetman, 2009).
Reaksi hipersensitifitas sering terjadi pada
penggunaan sediaan topikal. Penggunaan topikal dapat mengurangi kolagen dan
menyebabkan atrofi subkutan. Hipopigmentasi lokal telah dilaporkan pada
penggunaan topikal dan injeksi intradermal. Kulit kering, iritasi, epitaksis
dan kasus yang jarang terjadi ulserasi atau perforasi pada septum nasal telah
dilaporkan pada penggunaan intranasal; gangguan indra penciuman dan pengecapan
juga sering terjadi. Suara serak dan candidiasis
mulut atau tenggorokan dapat terjadi pada penggunaan kortikosteroid yang
dihirup (Kronenberg, 2008).
Efek glukokortikoid pada status mental seperti depresi, mania, euporia
dan delirium. Gejala psikotik, insomnia, dan hiperaktivitas pada pediatri
sering dilaporkan dari penggunaan
glukokortikoid inhalasi dan oral. Resiko efek samping yang muncul terkait
dengan besarnya dosis yang digunakan, tetapi tidak tutup kemungkinan terjadi
pada dosis rendah. Gangguan reversible memori dikaitkan dengan penggunaan
metilprednisolon intravena (Sweetman,
2009).
Dengan efek samping yang demikian, penggunaan glukokortikoid harus
benar-benar dipertimbangkan. Beberapa prinsip penggunaan glukokortikoid yaitu:
1.
Digunakan dosis efektif
terkecil, terutama jika diperlukan untuk jangka panjang
2. Digunakan
lebih singkat lebih aman
3. Diberikan
pengobatan berselang, pemberian demikian dapat dipertahankan bertahun-tahun
4. Tidak
boleh diberikan dosis tinggi lebih dari 1 bulan
5. Dosis
diturunkan secara bertahap dalam beberapa minggu atau bulan tergantung besarnya
dosis dan lamanya terapi
6. Penggunaan
injeksi sebaiknya dihindari
7. Dosis
dapat dinaikkan 2-3 kali lipat dalam keadaan stres dosis
8. Digunakan
hati-hati pada pasien lanjut usia, gizi buruk, anak-anak, diabetes
9.
Asupan garam dikurangi
Dosis dan Rute Pemberian Glukokortikoid
Dosis obat adalah sejumlah obat yang memberikan efek terapeutik pada
penderita. Dosis obat yang diberikan pada penderita dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain : faktor obat, cara pemberian obat dan penderita. Faktor
penderita sangat kompleks sekali karena perbedaan individual terhadap respon
obat tidak selalu diperkirakan (Joenoes, 2001).
Jenis-jenis dosis obat terdiri dari:
a.
Dosis terapeutik atau
dosis lazim adalah dosis yang diberikan dalam keadaan biasa dan dapat
menyembuhkan penyakit.
b.
Dosis maksimum adalah
dosis terbesar yang dapat diberikan kepada orang dewasa untuk pemakaian sekali
dan sehari tanpa membahayakan.
Pada pasien pediatri dalam menentukan dosis obat untuk terapi sering
sekali ditemukan kesulitan, terutama bila menyangkut pengobatan anak prematur,
anak baru lahir dan juga yang masih bayi. Hal ini disebabkan karena organ-organ
pada penderita ini masih belum berfungsi secara sempurna (Joenoes, 2001).
Dosis kortikosteroid bervariasi tergantung penyakit dan kondisi pasien.
Jika kortikosteroid dapat menyelamatkan dan memperpanjang hidup, seperti pada
penyakit exfoliative dermatitis,
pemphigus, leukimia akut atau penolakan transplantasi akut, dosis tinggi
diberikan karena komplikasi terapi yang mungkin timbul akan relatif lebih
ringan dibandingkan penyakitnya sendiri (BPOM. RI., 2008).
Penggunaan kortikosteroid harus mempertimbangkan segi manfaat dan resiko
serta pemilihan bentuk sediaan yang tepat. Dosis efektif terendah dan
penggunaan dengan waktu yang sesingkat mungkin harus dipertimbangkan,
penggunaan dalam dosis yang besar bisa dipertimbangkan untuk penyakit dengan
resiko kematian yang tinggi. Meskipun kortikosteroid
mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi sediaan alamiah
maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan
penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat antiinflamasinya (Tanu,
2009).
Tabel 3. Pebandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa
sediaan kortikosteroid (Tanu, 2009)
Kortikosteroid
|
Potensi :
|
Lama kerja
|
Dosis ekuivalen (mg)*
|
|
Retensi natrium
|
Anti-inflamasi
|
|||
Hidrokortison
|
1
|
1
|
S
|
20
|
Kortison
|
0,8
|
0,8
|
S
|
25
|
Kortikosteron
|
15
|
0,35
|
S
|
-
|
6-α-metilprednisolon
|
0,5
|
5
|
I
|
4
|
Fludrokortison
|
125
|
10
|
I
|
-
|
Prednison
|
0,8
|
4
|
I
|
5
|
Prednisolon
|
0,8
|
4
|
I
|
5
|
Triamsinolon
|
0
|
5
|
I
|
4
|
Parametason
|
0
|
10
|
L
|
2
|
Betametason
|
0
|
25
|
L
|
0,75
|
Deksametason
|
0
|
25
|
L
|
0,75
|
Keterangan :
* Hanya berlaku untuk pemberian
oral atau IV
S = Kerja singkat (t ½ biologik
8-12 jam);
I
= Intermediate, kerja sedang
(t ½ biologik 12-36 jam);
L = Kerja lama (t ½ biologik
36-72 jam).
Glukokortikoid (prednison) adalah derivat keto yang baru aktif setelah
diubah menjadi metabolit aktif prednisolon melalui jalur hidrogenase di hati.
Prednison (prodrug) dan prednisolon (metabolit aktif) mempunyai khasiat dan
penggunaan yang sama, hanya tidak digunakan secara lokal dan intraartikular
karena tidak dihidrogenasi di kulit, mukosa mata, dan sendi. Tidak dianjurkan
bagi pasien yang mengalami disfungsi hepar (Stolk, 1999).
Penurunan dosis awal untuk prednisolon mencapai 2,5 mg – 5 mg setiap 2
sampai 7 hari, kemudian diturunkan secara perlahan hingga fungsi
adrenal-hipofisis kembali normal.
Penurunan dosis awal harus lebih berhati-hati untuk menghindari resiko
kekambuhan penyakit. Pengobatan jangka panjang memerlukan tapering off selama berbulan-bulan (seperti penurunan dosis 1 mg
dari dosis harian prednisolone setiap 3-4 minggu). Pengamatan penyakit diperlukan selama proses penghentian
pengobatan untuk memastikan bahwa penyakit tidak akan kambuh (Sweetman, 2009).
Tabel
4. Beberapa kortikosteroid alam dan
sintetik yang biasa digunakan untuk
penggunaan umum (Katzung, 2010)
Obat
|
Aktivitas1
|
Ekivalen dosis oral (mg)
|
Bentuk sediaan
|
||
Anti
Inflamasi
|
Topikal
|
Retensi Garam
|
|||
Glukokortikoid
kerja singkat sampai sedang
Hidrokortison (kortisol)
|
1
|
1
|
1
|
20
|
Oral, suntikan,
topikal
|
Kortison
|
0,8
|
0
|
0,8
|
25
|
Oral, suntikan,
topikal
|
Prednison
|
4
|
0
|
0,3
|
5
|
Oral
|
Prednisolon
|
5
|
4
|
0,3
|
5
|
Oral, suntikan,
topikal
|
Metilprednisolon
|
5
|
5
|
0
|
4
|
Oral, suntikan,
topikal
|
Glukokortikoid
kerja sedang
Triamnisolon
|
5
|
52
|
0
|
4
|
Oral, suntikan,
topikal
|
Fluprednison
|
15
|
7
|
0
|
1,5
|
Oral
|
Glukokortikoid
kerja lama
Betametason
|
25-40
|
10
|
0
|
0,6
|
Oral, suntikan,
topikal
|
Deksametason
|
30
|
10
|
0
|
0,75
|
Oral, suntikan,
topikal
|
Mineralokortikoid
Fludrokortison
|
10
|
10
|
250
|
2
|
Oral, suntikan,
topikal
|
Deoksikortikosteron
Asetat
|
0
|
0
|
20
|
|
Suntikan, pelet
|
1Potensi relatif terhadap
hidrokortison
2Asetonid: sampai 100
1 komentar:
I'm 47 years old and female. I was diagnosed a couple of years ago with COPD and I was beyond scared! My lung function test indicated 49% capacity. After having had the flu a year ago, the shortness of breath, coughing and chest pains continued even after being treated with antibiotics. I've been smoking two packs a day for 36 years. Being born without a sternum caused my ribs to be curled in just one inch away from my spine, resulting in underdeveloped lungs. At age 34 I had surgery and it was fixed. Unfortunately my smoking just caused more damage to my already under developed lungs. The problem was that I enjoy smoking and don't want to give up! Have tried twice before and nearly went crazy and don't want to go through that again. I saw the fear in my husband and children's eyes when I told them about my condition then they started to find a solution on their own to help my condition.I am a 47 now who was diagnosed with COPD emphysema which I know was from my years of smoking. I started smoking in school when smoking was socially acceptable. I remember when smoking was permitted in hospitals. It was not known then how dangerous cigarettes were for us, and it seemed everybody smoked but I was able to get rid of my COPD lung condition through the help of Dr Akhigbe total cure herbal medicine. My husband saw his testimony on the internet that he used his powerful medicine to cure different diseases. We contacted his email [drrealakhigbe@gmail.com} He has the right herbal formula to help you get rid and repair any lung conditions and other diseases, will cure you totally and permanently with his natural organic herbs,We received the medicine through courier delivery service. I wish anybody who starts smoking at a young age would realize what will eventually happen to their bodies if they continue that vile habit throughout their life.
Dr Akhighe also cured diseases like, HERPES, DIABETES, HIV/AIDS, COPD, CANCER,ASTHMA,STROKE,LUPUS,JOINT PAIN,CHRONIC DISEASES,PARKINSON DISEASES,TUBERCULOSIS,HIGH BLOOD PRESSURE,BREAST INFECTION,WOMEN SEXUAL PROBLEM, GINGIVITIS, ERYSIPELAS,STAPHYLOCOCCUS,HEPATITIS A/B, QUICK EJACULATION, IMMUNOTHERAPY, GONORRHEA,SYPHILIS,WAST/BACK PAIN,PELVIC INFLAMMATORY, DICK ENLARGEMENT,HEART DISEASES,TERMINAL ILLNESS,SHIFT IN FOCUS,ATAXIA,COMMON COLD,CROHN'S DISEASES,ALCOHOL SPECTRUM DISORDER,GRAVES DISEASE,HEARING LOSS, INTERSTITIAL CYSTITIS,LEUKEMIA,MULTIPLE SCLEROSIS,OBESITY,RABIES,SCOLIOSIS,INFLUENZA, POLIO,JACOB,ETC. If you are out there looking for your cure please contact dr Akhigbe by his email drrealakhigbe@gmail.com or contact his whatsapp number +2349010754824
God bless you Dr Akhigbe for your good hand work on my life.
Posting Komentar