Google ads

Selasa, 02 Februari 2016

Glukokortikoid




Hormon glukokortikoid adalah steroid yang memiliki fungsi utama meningkatkan glukoneogenesis. Glukokortikoid pada manusia biasa disebut dengan kortisol yang dihasilkan pada zona fascikulata yang distimulasi oleh kortikotropin (ACTH). Glukokortikoid memiliki struktur karbon-21 dan diproduksi oleh zona fasiculata, disebut juga 17-hidroksikortikosteroid atau kortikosteroid saja. Yang utama adalah kortisol, juga disebut sebagai senyawa F atau hidrokortison. Kortisol dapat diinterkonversikan menjadi kortison oleh enzim 11β-hidroksisteroid dehidrogenase (11β-OHSD) di jaringan perifer (Rittichier, et al., 2000).
Pelepasan kortisol dikendalikan oleh  mekanisme umpan balik negatif yang melibatkan hipotalamus dan hipofisis anterior. Kadar kortisol plasma yang rendah menyebabkan pelepasan kortikotropin (hormon adrenokortikotropik, ACTH) yang menstimulasi sintesis dan pelepasan kortisol dengan mengaktivasi adenilat siklase. Adenosin monofosfat siklik (cAMP) kemudian mengaktivasi protein kinase A yang memfosforilasi dan meningkatkan aktivitas kolesterilester hidrolase, tahap yang membatasi kecepatan pada sintesis steroid. Pelepasan aldosteron dipengaruhi oleh hormon adrenokortikotropik (ACTH), tetapi faktor-faktor lain misalnya sistem renin-angiotensin juga berpengaruh (Molina, 2010).
Kadar kortisol dalam darah dalam keadaan basal mengalami variasi diurnal, yaitu pada pagi hari paling tinggi sedangkan pada malam hari paling rendah. Variasi ini secara tidak langsung berhubungan dengan aktivitas individu. Pengobatan menggunakan kortikosteroid sekali sehari dilakukan meniru keadaan fisiologis ini, yaitu dengan pemberian obat pada pagi hari (Molina, 2010).
Mekanisme Kerja Glukokortikoid
Mekanisme kerja kortisol (dan glukokortikoid sintetik) berdifusi ke dalam sel target dan terikat pada reseptor glukokortikoid sitoplasma yang termasuk dalam superfamili yang terdiri dari reseptor steroid, tiroid, dan retinoid. Kompleks reseptor-glukokortikoid yang teraktivasi memasuki nukleus dan terikat pada elemen respons steroid pada molekul DNA target. Ikatan ini menginduksi sintesis mRNA spesifik maupun mengendalikan gen dengan menghambat faktor transkripsi, misalnya NFkB. Untuk sebagian besar tujuan klinis, glukokortikoid sintetik digunakan karena glukokortikoid ini mempunyai afinitas yang lebih tinggi untuk reseptor, kurang cepat diinaktivasi, dan  mempunyai sedikit atau tidak mempunyai sifat menahan garam (Kronenberg, 2008).
            Glukokortikoid menurunkan fungsi monosit/makrofag dan mengurangi limfosit yang berasal dari timus (sel T) dalam sirkulasi, terutama limfosit T4 helper. Pelepasan IL-1 dan IL-2 (penting untuk mengaktivasi dan menstimulasi proliferasi limfosit) dihambat. Transpor limfosit ke lokasi stimulasi antigenik dan produksi antibodi juga dihambat. Glukokortikoid menyebabkan banyak efek samping, terutama dalam dosis tinggi yang dibutuhkan untuk aktivitas imunosupresan (Putu, 1993). Penggunaan kortikosteroid pada pasien ARDS yang mengalami penyakit berat, terbukti efektif dalam menurunkan mortalitas dan dapat mempersingkat hari penggunaan ventilator. Terjadinya inflamasi diduga sebagai patofisiologi dari ARDS, hal tersebut yang memungkinkan kortikosteroid memberi manfaat pada pasien ARDS (Victor, 2008).
            Terapi steroid menekan sekresi kortikotropin dan akan menyebabkan atropi adrenal. Bila terapi dihentikan fungsi adrenal membutuhkan 6-12 bulan untuk kembali pulih normal. Steroid tambahan harus diberikan pada saat stres berat (misalnya pembedahan, infeksi) karena respons pasien terhadap stres ditekan. Terapi steroid harus dihentikan secara bertahap karena penghentian mendadak akan menyebabkan insufisiensi adrenal (Katzung, 2010).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Karemaker, 2007 menunjukkan bahwa penggunaan deksametason pada neonatal dapat menimbulkan efek jangka panjang terhadap pemprograman adrenal hipotalamus ptituitari dan keseimbangan sitokin T-helper 2 dan T-helper 1. Kortikosteroid dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang bisa berlanjut tanpa disadari karena indikator infeksi alami dihambat. Komplikasi lain termasuk psikosis, katarak, glaukoma, ulserasi peptik, dan reaktivasi infeksi nasen (misalnya tuberkulosis) (Neal, 2006).
Tabel 2. Beberapa indikasi terapeutik untuk pemakaian glukokortikoid pada kelainan  non-adrenal (Katzung, 2010)

Kelainan
Contoh

Reaksi alergi

Edema angioneurotik, asma,sengatan lebah, dermatitis kontak, reaksi obat, rinitis alergi, penyakit serum, urtikaria

Kelainan vaskuler-kolagen
Arteritis sel detia, SLE, sindrom jaringan ikat campuran, polimiolitis, polimialgia, rematika, artritis reumatoid, arteritis temporalis

Penyakit mata
Uveitis akut, konjungtivitis alergika, koroiditis, neuritis optika

Penyakit saluran cerna
Penyakit peradangan usus besar, sperue nontropikal, nekrosis hati sub akut

Kelainan hematologi
Anemia hemoloitik akustika, purpura alergika akut, leukimia, anemia hemolitik autoimun, purpura trombositopenik idiopatik, multipel mieloma

Infeksi
Septikemia gram-negatif, kadang-kadang membantu peradangan yang berlebihan

Peradangan tulang dan sendi
Artritis, bursitis, tenosinovitis


Kelainan neurologi
Edema serebrum (dosis besar deksametason diberikan setelah penderita operasi otak, untuk meminimalkan edema serebrum pada massa pasca operasi), multipel sklerosis

Transplantasi organ
Pencegahan dan pengobatan penolakan organ (immunosupresan)

Penyakit paru-paru
Aspirasi pneumonia, asma bronkhial, pencegahan sindrom gawat pernafasan janin, sarkoidosis

Kelainan ginjal
Sindrom nefrotik

Penyakit kulit
Atopik dermatitis, dermatosis, liken simpleks kronikus (neurodermatitis terlokalisir) mikosis fungoides, pemfigus, dermatitis suboroik, xerosis

Penyakit tiroid
Eksoftalmus maligna, tiroiditis subakut

Lain-lainnya
Hiperkalsemia, mountain sicness

Pengaruh Glukokortikoid terhadap fungsi dan organ tubuh
a.      Metabolisme
Glukokortikoid mempengaruhi sebagian besar sel didalam tubuh. Efek metabolik glukokortikoid penting untuk kehidupan. Aksinya yang paling penting adalah memfasilitasi perubahan protein menjadi glikogen. Glukokortikoid menghambat sintesis protein dan menstimulasi katabolisme protein menjadi asam amino. Glukoneogenesis, deposisi glikogen, dan pelepasan glukosa dari hati distimulasi, tetapi ambilan glukosa perifer dihambat. Selama puasa, glukokortikoid penting untuk mencegah hipoglikemi (Neal, 2006).
Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah dengan merangsang pelepasan insulin dan menghambat masuknya glukosa kedalam sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang sensitif dan menyebabkan lipofisis. Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit menghambat lipofisis sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan pelepasan asam lemak dan gliserol ke dalam darah. Efek ini paling nyata pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak dipertahankan dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein otot melepaskan asam amino, perangsangan lipofisis, dan hambatan ambilan glukosa di jaringan perifer (Kronenberg, 2008).
            Hormon ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan hepar, di perifer steroid mempunyai efek katabolik. Efek katabolik inilah yang menyebabkan terjadinya atrofi jaringan limfoid, pengurangan masa jaringan otot, terjadi osteoporosis tulang (pengurangan matriks protein tulang yang diikuti oleh pengeluaran kalsium), penipisan kulit, dan keseimbangan nitrogen menjadi negatif. Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan glikogen (Tanu, 2009).
            Dalam hepar glukokortikoid merangsang sintesis enzim yang berperan dalam proses glukoneogenesis dan metabolisme asam amino, antara lain peningkatan enzim fosfoenopiruvat-karboksikinase, fruktosa-1,6-difosfatase, dan gllukosa 6-fosfatase, glikogen sintase yang mengkatalisis sintesis glukosa. Rangsangan sintesis enzim ini tidak timbul dengan segera, tetapi membutuhkan waktu beberapa jam. Efek yang lebih cepat timbulnya adalah pengaruh hormon terhadap mitokondria hepar, yaitu terjadi sintesis piruvat karboksilase sebagai katalisator pembentukan oksaloasetat. Ini merupakan reaksi permulaan sintesis glukosa dan piruvat (Tanu, 2009).
            Penggunaan glukokortikoid untuk jangka lama dapat menyebabkan peningkatan glukagon plasma yang dapat merangsang glukoneogenesis. Keadaan ini dapat pula merupakan salah satu penyebab bertambahnya sintesis glukosa. Peningkatan penyimpanan glikogen di hepar setelah pemberian glukokortikoid diduga akibat aktivasi glikogen sintetase di hepar (Kronenberg, 2008).
            Penggunaan glukokortikoid dalam dosis besar dan jangka panjang, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak, leher bagian belakang (buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga dimuka (moon face), sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang. Penyebab keadaan tersebut yaitu karena kadar insulin meningkat akibat hiperglikemia yang ditimbulkan oleh glukokortikoid, insulin ini mempunyai efek lipogenik dan antilipolitik pada jaringan lemak di batang tubuh sehingga lemak terkumpul di tempat-tempat yang disebut tadi. Sedangkan sel lemak diekstrimitas kurang sensitif terhadap insulin dan lebih sensitif terhadap efek lipolitik hormon lain (epinefrin, norepinefrin, hormon pertumbuhan) yang diinduksi oleh glukokortikoid (Goodman et al., 2006).
b.      Sistem Kardiovaskular (Goodman et al., 2010)
Kerja utama glukokortikoid pada sistem kardiovaskular adalah untuk meningkatkan reaktivitas vaskular terhadap zat-zat vasoaktif lainnya. Hipoadrenalisme menyebabkab penurunan respon terhadap vasokontriktor seperti norepinefrin dan angiostensin II, yang mungkin disebabkan oleh penurunan ekspresi reseptor adrenergik pada dinding pembuluh darah. Sebaliknya, hipertensi terjadi pada pasien dengan sekresi glukokortikoid yang berlebihan, yang muncul pada hampir semua pasien sindrom Chusing dan beberapa pasien yang menjalani terapi dengan glukokortikoid sintetik.

c.       Otot Rangka
Jumlah glukokortikoid yang berlebihan dapat mengganggu fungsi otot rangka. Kelebihan glukokortikoid dalam jangka panjang, baik yang disebabkan oleh terapi glukokortikoid atau hiperkortisisme endogen, dapat menyebabkan atrofi otot rangka atau pengecilan otot rangka. Efek ini dikenal dengan miopati steroid, yang sebagian dapat menyebabkan pasien dengan kelebihan glukokortikoid mudah lelah dan lemah (Goodman et al., 2010). Kelemahan otot pada pasien aldosteronisme primer, terutama karena adanya hipokalemia (Goodman et al., 2006).
Mekanisme miopati pada pemakaian glukokortikoid, diduga disebabkan oleh efek katabolik dan antianaboliknya pada protein otot yang disertai hilangnya masa otot, penghambatan aktivitas fosforilase dan adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan fungsi mitokondria (Tanu, 2009).
d.      Sistem Saraf Pusat
Kortikosteroid dapat mempengaruhi susunan saraf pusat baik secara tidak langsung maupun secara langsung. Pengaruh tidak langsung disebabkan efeknya pada metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi dan keseimbangan elektrolit. Adanya efek steroid pada susunan saraf pusat ini dapat dilihat dari timbulnya perubahan mood, tingkah laku, EEG, dan kepekaan otak pada mereka yang menggunakan kortikosteroid terutama untuk waktu lama atau pada pasien Addison. Penyakit Addison dapat menunjukkan gejala apatis, depresi dan cepat tersinggung bahkan psikosis (Goodman et al., 2006).
            Penggunaan glukokortikoid dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan serangkaian reaksi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan semangat (mood) yang mungkin disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati, yang lain memperlihatkan gejala euforia, insomnia kegelisahan, dan peningkatan aktivitas motorik. Kortisol juga dapat menimbulkan depresi. Glukokortikoid dosis tinggi dalam waktu lama dapat menimbulkan gejala pseudotumor cerebri karena tekanan intrakranial yang meningkat (Kronenberg, 2008).
            Gangguan kejiwaan yang disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid pada pediatri dengan kondisi neoplastik dan nonneoplastik telah banyak dilaporkan, seperti gangguan mood dan gejala psikotik. Hasil studi menjelaskan angka kejadian berkisar antara 5% hingga 75% (Ularntinon, 2010).
e.       Elemen Pembentuk Darah
Gukokortikoid dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti seringnya timbul polisitemia pada sindrom Chusing. Sebaliknya pada penyakit Addison dapat mengalami anemia normokromik, normositik yang ringan (Goodman et al., 2006).
Glukokortikoid dapat meningkatkan jumlah leukosit polimorfonuklear, karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah dari sumsum tulang dan mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sebaliknya jumlah sel limfosit, eusinofil, monosit dan basofil dalam darah dapat menurun sesudah pemberian glukokortikoid. Penurunan limfosit dalam sirkulasi dapat mencapai 70% setelah pemberian dosis tunggal kortisol, dan monosit sampai lebih dari 90%. Hal ini terjadi 4-6 jam sesudah pemberian dan berlangsung kira-kira 24 jam. Penurunan limfosit, monosit dan eusinofil tampaknya lebih banyak disebabkan karena redistribusi sel akibat destruksi sel (Tanu, 2009).
f.       Efek Antiinflamasi
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau alergen. Gejala ini umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas, pembengkakan di tempat radang. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang lebih lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblas, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks (Tanu, 2009).
            Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai antiinflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebab penyakit tetap ada. Sebenarnya hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit, bahkan sering disebut life saving drug, tetapi hal ini juga yang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan. Karena gejala inflamasi ini sering digunakan sebagai dasar evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan glukokortikoid kadang-kadang terjadi masking effect, dari luar penyakit nampaknya sudah sembuh tetapi infeksi di dalam masih terus menjalar (Tanu, 2009).
Meskipun penggunaan glukokortikoid tidak ditujukan pada penyebab utamanya, namun dalam penekanan inflamasi obat ini paling luas penggunaan klinisnya. Sehubungan dengan itu, glukokortikoid juga bermanfaat untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh autoimun. Penyakit ini mencakup kondisi yang terutama disebabkan oleh imunitas humoral seperti urtikaria, hingga penyakit yang diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler, seperti penolakan transplantasi. Kerja imunosupresan dan antiinflamasi glukokortikoid sangat berkaitan erat, kemungkinan melibatkan beberapa mekanisme yaitu adanya penurunan pelepasan faktor vasoaktif dan kemoatraktif, penurunan sekresi enzim lipolitik dan proteolitik, penurunan ekstravasasi leukosit kedaerah cidera, dan yang paling utama penurunan fibrosis. Glukokortikoid juga dapat menurunkan ekspresi dari enzim proinflamasi seperti siklookdigenas-2 dan NOS (Goodman et al., 2010).
g.      Pertumbuhan
Penggunaan glukokortikoid pada anak untuk waktu yang lama, dapat menghambat pertumbuhan, karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon perifer. Efek ini berhubungan dengan besarnya dosis yang dipakai. Pada beberapa jaringan, terutama di otot dan tulang, glukokortikoid menghambat sintesis dan menambah degradasi protein dan RNA. Hal inilah yang mungkin sering menyebabkan kegagalan fungsi hormon pertumbuhan bila digunakan bersama-sama kortikosteroid. Terhadap tulang, glukokortikoid dapat menghambat maturasi dan proses pertumbuhan memanjang. Sebagai kompensasi, dapat terjadi pertumbuhan yang cepat bila pengobatan jangka lama dihentikan. Meskipun demikian, pada beberapa pasien yang diobati untuk jangka lama tinggi badan normal juga tidak dapat tercapai (Kronenberg, 2008).
            Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, hambatan somatomedin oleh hormon pertumbuhan, hambatan sekresi hormon pertumbuhan, berkurangnya proliferasi sel di kartilago epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di tulang (Tanu, 2009).
Efek Samping Glukokortikoid
Efek samping glukokortikoid mempengaruhi mobilisasi kalsium dan fosfor, dapat menyebabkan osteoporosis dan patah tulang secara spontan; pengecilan otot; penurunan kadar nitrogen dan hiperglikemia. Kebutuhan insulin pada pasien diabetes meningkat, sering dilaporkan peningkatan nafsu makan. Bagian yang sering terkena osteoporosis adalah tulang rangka seperti bagian pinggul, radius distal, tulang punggung, pelvis dan tulang rusuk. Glukokortikoid menurunkan kepadatan tulang dengan beberapa mekanisme, termasuk inhibisi hormon steroid gonad, absorpsi Ca2+ yang berkurang dan penghambatan pembentukan tulang karena efek penekanan pada osteoblas (Goodman et al., 2006).
Efek samping lain yang dapat terjadi yaitu gangguan siklus menstruasi, amenorea, hiperhidrosis, penipisan kulit, perubahan okuler termasuk resiko glaukoma dan katarak, gangguan mental dan neurologis, pankreatitis akut dan nekrosis tulang. Peningkatan koagubilitas darah bisa menyebabkan tromboemboli. Efek umpan balik negatif glukokortikoid pada hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) dapat menyebabkan atrofi adrenal pada beberapa kasus setelah penggunaan selama 7 hari. Kortikosteroid dosis tinggi yang diberikan selama kehamilan dapat mengakibatkan supresi adrenal pada janin atau neonatal (Sweetman, 2009).
Reaksi hipersensitifitas sering terjadi pada penggunaan sediaan topikal. Penggunaan topikal dapat mengurangi kolagen dan menyebabkan atrofi subkutan. Hipopigmentasi lokal telah dilaporkan pada penggunaan topikal dan injeksi intradermal. Kulit kering, iritasi, epitaksis dan kasus yang jarang terjadi ulserasi atau perforasi pada septum nasal telah dilaporkan pada penggunaan intranasal; gangguan indra penciuman dan pengecapan juga sering terjadi. Suara serak dan candidiasis mulut atau tenggorokan dapat terjadi pada penggunaan kortikosteroid yang dihirup (Kronenberg, 2008).
Efek glukokortikoid pada status mental seperti depresi, mania, euporia dan delirium. Gejala psikotik, insomnia, dan hiperaktivitas pada pediatri sering dilaporkan  dari penggunaan glukokortikoid inhalasi dan oral. Resiko efek samping yang muncul terkait dengan besarnya dosis yang digunakan, tetapi tidak tutup kemungkinan terjadi pada dosis rendah. Gangguan reversible memori dikaitkan dengan penggunaan metilprednisolon intravena (Sweetman, 2009).
Dengan efek samping yang demikian, penggunaan glukokortikoid harus benar-benar dipertimbangkan. Beberapa prinsip penggunaan glukokortikoid yaitu:
1.      Digunakan dosis efektif terkecil, terutama jika diperlukan untuk jangka panjang
2.      Digunakan lebih singkat lebih aman
3.      Diberikan pengobatan berselang, pemberian demikian dapat dipertahankan bertahun-tahun
4.      Tidak boleh diberikan dosis tinggi lebih dari 1 bulan
5.      Dosis diturunkan secara bertahap dalam beberapa minggu atau bulan tergantung besarnya dosis dan lamanya terapi
6.      Penggunaan injeksi sebaiknya dihindari
7.      Dosis dapat dinaikkan 2-3 kali lipat dalam keadaan stres dosis
8.      Digunakan hati-hati pada pasien lanjut usia, gizi buruk, anak-anak, diabetes
9.      Asupan garam dikurangi
Dosis dan Rute Pemberian Glukokortikoid
Dosis obat adalah sejumlah obat yang memberikan efek terapeutik pada penderita. Dosis obat yang diberikan pada penderita dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : faktor obat, cara pemberian obat dan penderita. Faktor penderita sangat kompleks sekali karena perbedaan individual terhadap respon obat tidak selalu diperkirakan (Joenoes, 2001).
Jenis-jenis dosis obat terdiri dari:
a.       Dosis terapeutik atau dosis lazim adalah dosis yang diberikan dalam keadaan biasa dan dapat menyembuhkan penyakit.
b.      Dosis maksimum adalah dosis terbesar yang dapat diberikan kepada orang dewasa untuk pemakaian sekali dan sehari tanpa membahayakan.
Pada pasien pediatri dalam menentukan dosis obat untuk terapi sering sekali ditemukan kesulitan, terutama bila menyangkut pengobatan anak prematur, anak baru lahir dan juga yang masih bayi. Hal ini disebabkan karena organ-organ pada penderita ini masih belum berfungsi secara sempurna (Joenoes, 2001).
Dosis kortikosteroid bervariasi tergantung penyakit dan kondisi pasien. Jika kortikosteroid dapat menyelamatkan dan memperpanjang hidup, seperti pada penyakit exfoliative dermatitis, pemphigus, leukimia akut atau penolakan transplantasi akut, dosis tinggi diberikan karena komplikasi terapi yang mungkin timbul akan relatif lebih ringan dibandingkan penyakitnya sendiri (BPOM. RI., 2008).
Penggunaan kortikosteroid harus mempertimbangkan segi manfaat dan resiko serta pemilihan bentuk sediaan yang tepat. Dosis efektif terendah dan penggunaan dengan waktu yang sesingkat mungkin harus dipertimbangkan, penggunaan dalam dosis yang besar bisa dipertimbangkan untuk penyakit dengan resiko kematian yang tinggi.  Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat antiinflamasinya (Tanu, 2009).
Tabel 3. Pebandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid (Tanu, 2009)

Kortikosteroid
Potensi :
Lama kerja
Dosis ekuivalen (mg)*
Retensi natrium
Anti-inflamasi

Hidrokortison

1

1

S

20
Kortison
0,8
0,8
S
25
Kortikosteron
15
0,35
S
-
6-α-metilprednisolon
0,5
5
I
4
Fludrokortison
125
10
I
-
Prednison
0,8
4
I
5
Prednisolon
0,8
4
I
5
Triamsinolon
0
5
I
4
Parametason
0
10
L
2
Betametason
0
25
L
0,75
Deksametason
0
25
L
0,75
Keterangan :
* Hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV
S = Kerja singkat (t ½ biologik 8-12 jam);
I  = Intermediate, kerja sedang (t ½ biologik 12-36 jam);
L = Kerja lama (t ½ biologik 36-72 jam).

Glukokortikoid (prednison) adalah derivat keto yang baru aktif setelah diubah menjadi metabolit aktif prednisolon melalui jalur hidrogenase di hati. Prednison (prodrug) dan prednisolon (metabolit aktif) mempunyai khasiat dan penggunaan yang sama, hanya tidak digunakan secara lokal dan intraartikular karena tidak dihidrogenasi di kulit, mukosa mata, dan sendi. Tidak dianjurkan bagi pasien yang mengalami disfungsi hepar (Stolk, 1999).
Penurunan dosis awal untuk prednisolon mencapai 2,5 mg – 5 mg setiap 2 sampai 7 hari, kemudian diturunkan secara perlahan hingga fungsi adrenal-hipofisis kembali normal.  Penurunan dosis awal harus lebih berhati-hati untuk menghindari resiko kekambuhan penyakit. Pengobatan jangka panjang memerlukan tapering off selama berbulan-bulan (seperti penurunan dosis 1 mg dari dosis harian prednisolone setiap 3-4 minggu). Pengamatan  penyakit diperlukan selama proses penghentian pengobatan untuk memastikan bahwa penyakit tidak akan kambuh (Sweetman, 2009).
Tabel 4.  Beberapa kortikosteroid alam dan sintetik yang biasa digunakan untuk   penggunaan umum  (Katzung, 2010)

Obat
Aktivitas1
Ekivalen dosis oral (mg)
Bentuk sediaan
Anti
Inflamasi
Topikal
Retensi Garam
Glukokortikoid kerja    singkat sampai sedang
   Hidrokortison (kortisol)


1


1


1


20


Oral, suntikan, topikal
Kortison
0,8
0
0,8
25
Oral, suntikan, topikal
Prednison
4
0
0,3
5
Oral
Prednisolon
5
4
0,3
5
Oral, suntikan, topikal
Metilprednisolon
5
5
0
4
Oral, suntikan, topikal
Glukokortikoid kerja sedang
  Triamnisolon


5


52


0


4


Oral, suntikan, topikal
  Fluprednison
15
7
0
1,5
Oral
Glukokortikoid kerja lama
   Betametason

25-40

10

0

0,6

Oral, suntikan, topikal
  Deksametason
30
10
0
0,75
Oral, suntikan, topikal
Mineralokortikoid
  Fludrokortison

10

10

250

2

Oral, suntikan, topikal
  Deoksikortikosteron
  Asetat
0
0
20

Suntikan, pelet

1Potensi relatif terhadap hidrokortison
2Asetonid: sampai 100



1 komentar:

Lisa Kenneth mengatakan...

I'm 47 years old and female. I was diagnosed a couple of years ago with COPD and I was beyond scared! My lung function test indicated 49% capacity. After having had the flu a year ago, the shortness of breath, coughing and chest pains continued even after being treated with antibiotics. I've been smoking two packs a day for 36 years. Being born without a sternum caused my ribs to be curled in just one inch away from my spine, resulting in underdeveloped lungs. At age 34 I had surgery and it was fixed. Unfortunately my smoking just caused more damage to my already under developed lungs. The problem was that I enjoy smoking and don't want to give up! Have tried twice before and nearly went crazy and don't want to go through that again. I saw the fear in my husband and children's eyes when I told them about my condition then they started to find a solution on their own to help my condition.I am a 47 now who was diagnosed with COPD emphysema which I know was from my years of smoking. I started smoking in school when smoking was socially acceptable. I remember when smoking was permitted in hospitals. It was not known then how dangerous cigarettes were for us, and it seemed everybody smoked but I was able to get rid of my COPD lung condition through the help of  Dr Akhigbe   total cure herbal medicine. My husband saw his testimony on the internet that he used his powerful medicine to cure different diseases. We contacted his email   [drrealakhigbe@gmail.com}   He has the right herbal formula to help you get rid and repair any lung conditions and other diseases, will cure you totally and permanently with his natural organic herbs,We received the medicine through courier delivery service. I wish anybody who starts smoking at a young age would realize what will eventually happen to their bodies if they continue that vile habit throughout their life.
Dr Akhighe also cured diseases like, HERPES, DIABETES, HIV/AIDS, COPD, CANCER,ASTHMA,STROKE,LUPUS,JOINT PAIN,CHRONIC DISEASES,PARKINSON DISEASES,TUBERCULOSIS,HIGH BLOOD PRESSURE,BREAST INFECTION,WOMEN SEXUAL PROBLEM, GINGIVITIS, ERYSIPELAS,STAPHYLOCOCCUS,HEPATITIS A/B, QUICK EJACULATION, IMMUNOTHERAPY, GONORRHEA,SYPHILIS,WAST/BACK PAIN,PELVIC INFLAMMATORY, DICK ENLARGEMENT,HEART DISEASES,TERMINAL ILLNESS,SHIFT IN FOCUS,ATAXIA,COMMON COLD,CROHN'S DISEASES,ALCOHOL SPECTRUM DISORDER,GRAVES DISEASE,HEARING LOSS, INTERSTITIAL CYSTITIS,LEUKEMIA,MULTIPLE SCLEROSIS,OBESITY,RABIES,SCOLIOSIS,INFLUENZA, POLIO,JACOB,ETC. If you are out there looking for your cure please  contact  dr Akhigbe  by his email    drrealakhigbe@gmail.com     or contact his whatsapp number   +2349010754824
God bless you Dr Akhigbe for your good hand work on my life.

Google Ads