Dalam aplikasi praktis
dari farmakokinetik diperlukan dasar prediksi dosis
pada nilai-nilai rata-rata untuk klirens, volume distribusi dan t1/2
yang diperoleh dari studi populasi pasien tertentu.
Pengetahuan tentang distribusi normal yang terkait dengan nilai rata-rata
tersebut diperlukan untuk menghargai besarnya variasi di populasi pasien sehingga
diketahui kesalahan yang mungkin akan terjadi
ketika data digunakan pada pasien individual. Hal ini juga perlu menyadari
banyak faktor yang dapat menyebabkan konsentrasi obat dalam plasma yang
diperoleh tak terduga dan faktor-faktor yang mengubah respon terhadap
konsentrasi obat tertentu. Beberapa faktor yang berhubungan dengan empat obat telah
diidentifikasi
dan dibahas dalam bagian sebelumnya.
Sumber kemungkinan terjadinya kesalahan dalam interpretasi konsentrasi obat mungkin terkait dengan keputusan penggunaan sampel baik plasma atau serum. Tidak diragukan lagi keputusan akan diserahkan pada laboratorium yang bertanggung jawab untuk pengujian tersebut. Bagaimanapun, obat yang paling sering mengalami pengikatan protein minimal yang membentuk bekuan darah akan menghasilkan hasil yang sama baik pada penggunaan plasma ataupun serum.
Plasma diperoleh dengan pemusingan darah yang telah ditambahkan antikoagulan (koagulasi dicegah dengan penambahan agen seperti heparin, sitrat EDTA, atau fluoride). Pemilihan antikoagulan dapat mempengaruhi hasil uji tersebut. Sebagai contoh, fluoride menghambat kolinesterase serum yang dapat menyebabkan degradasi in vitro asam asetilsalisilat, heparin biasanya dalam bentuk heparin lithium juga dapat mengganggu determinasi plasma lithium. Selain pemilihan antikoagulan, pemilihan tabung koleksi darah mungkin penting. Tabung koleksi darah dan sumbat plastik dapat melepaskan plasticizer. Plasticizers ini telah menunjukkan untuk mengurangi pengikatan beberapa obat dasar pada glikoprotein Apha-1-asam dan menghasilkan kadar plasma total obat yang rendah karena perpindahan molekul obat yang kemudian dapat diangkat ke dalam sel darah merah. Interaksi antara obat mungkin terjadi selama penyimpanan dan menghasilkan konsentrasi obat dalam plasma terlihat rendah pada uji, ex. Karbenisilin berinteraksi dengan gentamisin dan mengakibatkan konsentrasi rendah aminoglikosida.
Faktor yang melekat pada pasien yang dapat mempengaruhi farmakokinetik obat meliputi usia, kecenderungan genetik, jenis kelamin, ukuran tubuh dan bahkan postur. Faktor ini dapat terjadi dalam kombinasi dengan faktor – faktor yang mendasari penyakit seperti gangguan ginjal atau hati, perubahan status metabolisme, penyakit gastrointestinal, atau perubahan pengikatan protein. Dalam usaha untuk mengidentifikasi masalah yang berhubungan dengan pasien, kemungkinan pengaruh faktor eksternal tidak boleh diabaikan. Faktor-faktor ini termasuk merokok, diet, asupan alkohol, variasi dalam sifat fisikokimia obat dan formulasi, dan pengaruh pemberian obat bersamaan.
Usia
Usia merupakan faktor prinsip yang memiliki kontribusi bervariasi
/ berubahnya kadar obat dalam plasma dan
respon yang diperoleh pada pemberian regimen dosis. Pada bayi yang baru lahir
ada banyak faktor yang akan mempengaruhi profil farmakokinetik obat, termasuk
jumlah relatif cairan tubuh, kandungan lemak tubuh yang sedikit, fungsi hati
dan ginjal yang belum sempurna, ikatan protein yang berubah, dan perubahan asam
lambung. Neonatus tidak bisa dianggap sebagai subpopulasi yang mana ada variasi
interpasien biasa dalam parameter farmakokinetik. Kehidupan pada bulan-bulan
pertama terutama pada bayi prematur memperlihatkan perubahan fisiologi yang
memerlukan dosis relative sesuai berat
badan untuk beberapa obat seperti gentamicin, kemungkinan 50% lebih tinggi pada
umur minggu kedua dibanding minggu pertama, Oleh karena itu perlu
mempertimbangkan intervensi farmakokinetik pada neonatus. Perlu investigasi untuk
mengetahui potensi yang bervariasi yang
mungkin akan timbul.
Pada anak-anak yang lebih dewasa masalah memprediksi respon
farmakokinetik pada obat masih merupakan penilaian yang tidak mudah,
termasuk ketepatan yang ditetapkan dari
pengembangan dalam progresi linear ke
status dewasa. Untuk beberapa obat aktivitas metabolik yang pasti
dilalui seperti konjugasi dan axidasi pada anak-anak mungkin secepat nilai pada
orang-orang dewasa dan mengharuskan administrasi dosis yang lebih tinggi,
berdasarkan mg/kg BB dari pada pemberian pada dewasa. Contohnya pada fenomena
observasi theophyllin, t1/2 anak-anak adalah 4 jam (lebih kecil dari dewasa yang t1/2nya 9 jam). Pada kasus ini
t1/2 pada dewasa sering tidak dicapai sampai masa remaja. Penyesuaian dosis
menurut penentuan konsentrasi plasma diperlukan untuk kompensasi untuk variabel
aktivitas metabolis ini.
Pada pasien yang lebih tua ada pengurangan yang menyeluruh
terhadap massa tubuh dan peningkatan terhadap lemak tubuh. Cardiac output
(pengeluaran curah jantung), organ dan aliran darah jaringan, konsentrasi dari
albumin plasma, fungsi ginjal, dan aktivitas dari beberapa system enzim
metabolisme obat mengalami kemunduran, Untuk itu hubungan perubahan usia dalam
profil farmakokinetik beberapa obat
telah dilaporkan. Lebih dari itu sulit untuk memprediksi besarnya perubahan
karena proses yang berkelanjutan dari perubahan fisiologi dan tanda-tanda yang
bervariasi antara ciri biologi dan usia. Faktor koreksi yang direkomendasikan
untuk penggunaan pada pasien yang lebih tua bisa hanya dengan memberi sebuah
indikasi dari dosis yang disyaratkan pada kelompok pasien ini.
Faktor
Genetik
Faktor genetik kemungkinan juga berkontribusi terhadap
variasi yang umum terjadi pada respon manusia dalam pemberian obat. Berdasarkan
studi faktor genetik kemungkinan hal tersebut berhubungan dengan status
asetilator. Telah diakui lebih dari 90% orang-orang eskimo kanada dan orang
jepang, 40% dari kaukasian dan 10% dari orang mesir adalah asetilator yang
cepat, dan sisanya merupakan asetylator yang lambat. Status asetilator ini
sebagian penting dalam menentukan respon terhadap obat seperti hydralazine,
phenelzine, procainamide, dapsone, isoniazid, sulphalazin, dan beberapa
sulfonamide.
Dengan hidralazin
bioavailibilitas dan munculnya
efek samping dihubungkan dengan derajat efek N-asetilasi lintas pertama. Pada
dosis berganda, asetilator cepat memperlihatkan bioavailibilitas sebesar 7%
sedangkan pada asetilator lambat
bioavailibitas 40%. Akibatnya dibutuhkan penyesuaian dosis, dimana pada
asetilator lambat obat diberikan dengan dosis yang lebih kecil perharinya,
sedang pada asetilator cepat diperlukan pemberian yang lebih sering dengan
dosis yang lebih besar perharinya. Asetilator lambat memiliki resiko yang lebih
besar terhadap syndrome lupus erythematosus pada induksi hydralazin sistemik.
Sindrom ini biasanya terjadi pada asetilator lambat setelah paling kurang 6
bulan pengobatan. Untuk itu seharusnya perlu di identifikasi fenotip asetilator
yang ideal untuk masing – masing pasien sebelum menerima pengobatan. Ini bisa
ditentukan sesegera mungkin dengan pengukuran proporsi dari metabolit asetilasi
dalam plasma atau urin setelah dosis oral dari sulfadimidin (10 mg/kg) sebagai
substansi.
Faktor genetik juga diketahui terlibat menjadi penyebab
munculnya variasi terhadap respon obat abnormal, termasuk diantaranya meningkatkan
sensitivitas suxamethonium, barbiturate menginduksi phorpyria, resistensi
warfarin, nitrofurantoin menginduksi haemolisis, hyperthermia malignant yang
bekerjasama dengan agen anastesi dan steroid menginduksi glaukoma. Semua hal
tersebut serta respon obat abnormal lainnya memiliki kontribusi terhadap apresiasi
yang lebih baik dari faktor – faktor yang melibatkan respon obat yang
bervariasi.
Beberapa
faktor genetik yang telah diidentifikasi terdapat pada daftar berikut.
Contoh
sifat genetik yang diketahui mampu merubah aksi atau metabolism obat
|
Kondisi
|
Obat
|
Faktor
farmakogenetik yang menentukan metabolisme
|
Defisiensi
kolinesterase
Lesch-Nyhan
sindrom
Defisiensi
Hepatic N- acetyltransferase
Acatalasia
Defisiensi
methaemoglobin reduktase
Defisiensi
hidroxylase (spesifik untuk tiap obat)
|
Suxamethonium
Allopurinol,
azathioprine, 6-mercaptopurine
Hidralazin,
sulfadimidin, phenelzin
Hidrogen
peroksida
Sulfonamida
Fenitoin,
warfarin, debrisoquin
|
Faktor
farmakogenetik yang menentukan aksi obat
|
Defisiensi
Glukosa 6 posfat dehidrogenase
Hemoglobin
yang tidak stabil
Resistensi
terhadap antikoagulan
Hiperpireksia
malignan
Glaukoma
Porphyria
|
Nitrofurantoin,
probenecid, quinine, sulfasetamid, sulfanilamide, vitamin K.
Nitrofurantoin,
probenecid, quinine, sulfasetamid, sulfanilamide, vitamin K.
Warfarin
Halothane,
suxamethonium, nitrous oxide
Glukokortikoid
Barbiturat,
griseofulvin, kontrasepsi oral, sulfonamide, klordiazepoksida, tolbutamid,
methyldopa
|
Gender
/ Jenis kelamin
Jenis kelamin bisa berpengaruh secara signifikan pada respon
farmakologi dan profil farmakokinetik beberapa obat. Perbandingannya relative
terhadap otot dan jaringan adipose pada pria dan wanita yang bisa cukup merubah
distribusi dan klirens obat dari tubuh. Ketika FSH, estradiol, dan progesterone
memperlihatkan pelonjakan seperti variasi fase yang terjadi saat siklus menstruasi
maka akan bertambah lagi sumber yang menyebabkan variasi farmakokinetik.
Perbedaan sehubungan dengan gender ini telah dilaporkan untuk beberapa obat
termasuk salisilat, agen hipoglikemi, imipramin, diazepam, phenotiazin, dan
anastesi umum serta lokal. Studi Farmakokinetik perlu untuk mengenal sumber
yang berpotensi menyebabkan variasi ini dan termasuk mengelompokkan berdasarkan
jenis kelamin, (seperti pengelompokkan umur) bersamaan dengan penggunaan
kontrasepsi oral atau siklus menstruasi.
Postur
Beberapa fungsi fisiologis dipengaruhi selama masa istirahat
dibandingkan pada posisi biasa (saat berdiri). Kecepatan pengosongan lambung
dikurangi, sebagian ketika orang berbaring pada sisi kirinya. Bagaimanapun
perubahan hemodinamik adalah penelitian terbaik. Kardiak output (pengeluaran
curah jantung) dan aliran ke hati dan ginjal meningkat selama masa istirahat,
sedangkan volume plasma dan cairan ekstraselular menurun. Konsekuensinya, ada
kecendrungan kadar plasma dari obat yang mengalami eliminasi obat di ginjal, rendah
sepanjang malam. Efek ini berhubungan dengan meningkatnya aliran darah ginjal yang terjadi selama istirahat, meskipun
pengaruh postur menginduksi perubahan pada pH urin atau aliran urin tidak bisa
diabaikan. Contoh lazim obat-obat yang penurunan kadar plasmanya telah diobservasi selama istirahat yaitu pada amoksilin, streptomisin,
tetrasiklin, dosisiklin, sulfametizol, dan benzilpenisilin.
Aliran darah hepatic sama halnya berhubungan dalam perubahan
postur. Oleh karena itu, diharapkan beberapa obat – obat yang dimetabolisme di
hati juga memperlihatkan pengurangan kadar plasma selama istirahat.
Bagaimanapun meskipun efek ini telah ditunjukkan secara eksperimen namun sangat
sedikit studi yang mendukung teori ini.
Obat-obat
Sosial
Asupan obat yang bersamaan dengan zat-zat seperti alkohol, teh,
kopi, dan rokok sering diabaikan sebagai sumber berubahnya farmakokinetik.
Asupan alkohol kronik menginduksi metabolisme obat di hati. Berbeda dengan
asupan alkohol secara akut yang memperlihatkan berkurangnya kliren obat - obat
seperti diazepam, parasetamol dam tolbutamid. Efek sedasi yang lama terjadi
karena pemakaian bersamaan dengan diazepam, dan penggunaan alkohol secara akut
adalah bagian dari hasil berkurangnya klirens dari diazepam.
Minuman seperti kopi, teh, kandungan kafeinnya bisa
berpotensi mempengaruhi farmakokinetik beberapa obat. Asupan kopi atau kafein
telah memeperlihatkan peningkatan bioavailibilitas dari paracetamol,
dihidroergotamin, ergotamine,dan nitrofurantoin. Bagaimanapun tidak mungkin
untuk mengkonfirmasi hasil beberapa penelitian pada subjek ini, sebuah faktor
yang merefleksikan pengaruh dari asupan minuman sebagai sumber dari perubahan
farmakokinetik.
Asap rokok tembakau diketahui mengandung lebih dari 3000 zat
kimia, sangat sedikit yang baru diteliti efeknya terhadap tubuh. Polisiklik
hidrokarbon dalam rokok cigarette
diketahui berpotensi menginduksi metabolism obat dihati dan telah
dilaporkan mampu meningkatkan eliminasi beberapa obat termasuk diazepam,
warfarin, teofillin, propranolol, dan pentazosin. Observasi ini signifikan
secara klinis sejak terlihatnya peningkatan eliminasi yang nyata pada perokok
berat pada efek pemberian dosis obat. Contohnya pada penggunaan teofillin pada
perokok berat, dianjurkan meningkatkan dosis untuk mempertahankan kadar
terapetik plasma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar