Google ads

Senin, 28 Desember 2015

VARIABEL FARMAKOKINETIK




Dalam aplikasi praktis dari farmakokinetik diperlukan dasar prediksi dosis pada nilai-nilai rata-rata untuk klirens, volume distribusi dan t1/2 yang diperoleh dari studi populasi pasien tertentu. Pengetahuan tentang distribusi normal yang terkait dengan nilai rata-rata tersebut diperlukan untuk menghargai besarnya variasi di populasi pasien sehingga diketahui kesalahan yang mungkin akan terjadi ketika data digunakan pada pasien individual. Hal ini juga perlu menyadari banyak faktor yang dapat menyebabkan konsentrasi obat dalam plasma yang diperoleh tak terduga dan faktor-faktor yang mengubah respon terhadap konsentrasi obat tertentu. Beberapa faktor yang berhubungan dengan empat obat telah diidentifikasi dan dibahas dalam bagian sebelumnya.

            Sumber kemungkinan terjadinya kesalahan dalam interpretasi konsentrasi obat mungkin terkait dengan keputusan penggunaan sampel baik plasma atau serum. Tidak diragukan lagi keputusan akan diserahkan pada laboratorium yang bertanggung jawab untuk pengujian tersebut. Bagaimanapun, obat yang paling sering mengalami  pengikatan protein minimal yang membentuk bekuan darah akan menghasilkan hasil yang sama baik pada penggunaan plasma ataupun serum.
 
            Plasma diperoleh dengan pemusingan darah yang telah ditambahkan antikoagulan (koagulasi dicegah dengan penambahan agen seperti heparin, sitrat EDTA, atau fluoride). Pemilihan antikoagulan dapat mempengaruhi hasil uji tersebut. Sebagai contoh, fluoride menghambat kolinesterase serum yang dapat menyebabkan degradasi in vitro asam asetilsalisilat, heparin biasanya dalam bentuk heparin lithium juga dapat mengganggu  determinasi plasma lithium. Selain pemilihan antikoagulan, pemilihan tabung koleksi darah mungkin penting. Tabung koleksi darah dan sumbat plastik dapat melepaskan plasticizer. Plasticizers ini telah menunjukkan untuk mengurangi pengikatan beberapa obat dasar pada glikoprotein Apha-1-asam dan menghasilkan kadar plasma total obat yang rendah karena perpindahan molekul obat yang kemudian dapat diangkat ke dalam sel darah merah. Interaksi antara obat mungkin terjadi selama penyimpanan dan menghasilkan konsentrasi obat dalam plasma terlihat rendah pada uji, ex. Karbenisilin berinteraksi dengan gentamisin dan mengakibatkan konsentrasi rendah aminoglikosida.

             Faktor yang melekat pada pasien yang dapat mempengaruhi farmakokinetik obat meliputi usia, kecenderungan genetik, jenis kelamin, ukuran tubuh dan bahkan postur. Faktor ini dapat terjadi dalam kombinasi dengan faktor – faktor yang mendasari penyakit seperti gangguan ginjal atau hati, perubahan status metabolisme, penyakit gastrointestinal, atau perubahan pengikatan protein. Dalam usaha untuk mengidentifikasi masalah yang berhubungan dengan pasien, kemungkinan pengaruh faktor eksternal tidak boleh diabaikan. Faktor-faktor ini termasuk merokok, diet, asupan alkohol, variasi dalam sifat fisikokimia obat dan formulasi, dan pengaruh pemberian obat bersamaan.

Usia
Usia merupakan faktor prinsip yang memiliki kontribusi bervariasi / berubahnya  kadar obat dalam plasma dan respon yang diperoleh pada pemberian regimen dosis. Pada bayi yang baru lahir ada banyak faktor yang akan mempengaruhi profil farmakokinetik obat, termasuk jumlah relatif cairan tubuh, kandungan lemak tubuh yang sedikit, fungsi hati dan ginjal yang belum sempurna, ikatan protein yang berubah, dan perubahan asam lambung. Neonatus tidak bisa dianggap sebagai subpopulasi yang mana ada variasi interpasien biasa dalam parameter farmakokinetik. Kehidupan pada bulan-bulan pertama terutama pada bayi prematur memperlihatkan perubahan fisiologi yang memerlukan  dosis relative sesuai berat badan untuk beberapa obat seperti gentamicin, kemungkinan 50% lebih tinggi pada umur minggu kedua dibanding minggu pertama, Oleh karena itu perlu mempertimbangkan intervensi farmakokinetik pada neonatus. Perlu investigasi untuk mengetahui potensi yang  bervariasi yang mungkin akan timbul.  

Pada anak-anak yang lebih dewasa masalah memprediksi respon farmakokinetik pada obat masih merupakan penilaian yang tidak mudah, termasuk  ketepatan yang ditetapkan dari pengembangan dalam progresi linear ke  status dewasa. Untuk beberapa obat aktivitas metabolik yang pasti dilalui seperti konjugasi dan axidasi pada anak-anak mungkin secepat nilai pada orang-orang dewasa dan mengharuskan administrasi dosis yang lebih tinggi, berdasarkan mg/kg BB dari pada pemberian pada dewasa. Contohnya pada fenomena observasi theophyllin, t1/2 anak-anak  adalah 4 jam (lebih kecil dari  dewasa yang t1/2nya 9 jam). Pada kasus ini t1/2 pada dewasa sering tidak dicapai sampai masa remaja. Penyesuaian dosis menurut penentuan konsentrasi plasma diperlukan untuk kompensasi untuk variabel aktivitas metabolis ini.
 Simak
Pada pasien yang lebih tua ada pengurangan yang menyeluruh terhadap massa tubuh dan peningkatan terhadap lemak tubuh. Cardiac output (pengeluaran curah jantung), organ dan aliran darah jaringan, konsentrasi dari albumin plasma, fungsi ginjal, dan aktivitas dari beberapa system enzim metabolisme obat mengalami kemunduran, Untuk itu hubungan perubahan usia dalam profil farmakokinetik  beberapa obat telah dilaporkan. Lebih dari itu sulit untuk memprediksi besarnya perubahan karena proses yang berkelanjutan dari perubahan fisiologi dan tanda-tanda yang bervariasi antara ciri biologi dan usia. Faktor koreksi yang direkomendasikan untuk penggunaan pada pasien yang lebih tua bisa hanya dengan memberi sebuah indikasi dari dosis yang disyaratkan pada kelompok pasien ini.



Faktor Genetik

Faktor genetik kemungkinan juga berkontribusi terhadap variasi yang umum terjadi pada respon manusia dalam pemberian obat. Berdasarkan studi faktor genetik kemungkinan hal tersebut berhubungan dengan status asetilator. Telah diakui lebih dari 90% orang-orang eskimo kanada dan orang jepang, 40% dari kaukasian dan 10% dari orang mesir adalah asetilator yang cepat, dan sisanya merupakan asetylator yang lambat. Status asetilator ini sebagian penting dalam menentukan respon terhadap obat seperti hydralazine, phenelzine, procainamide, dapsone, isoniazid, sulphalazin, dan beberapa sulfonamide.

Dengan hidralazin  bioavailibilitas dan  munculnya efek samping dihubungkan dengan derajat efek N-asetilasi lintas pertama. Pada dosis berganda, asetilator cepat memperlihatkan bioavailibilitas sebesar 7% sedangkan pada asetilator lambat  bioavailibitas 40%. Akibatnya dibutuhkan penyesuaian dosis, dimana pada asetilator lambat obat diberikan dengan dosis yang lebih kecil perharinya, sedang pada asetilator cepat diperlukan pemberian yang lebih sering dengan dosis yang lebih besar perharinya. Asetilator lambat memiliki resiko yang lebih besar terhadap syndrome lupus erythematosus pada induksi hydralazin sistemik. Sindrom ini biasanya terjadi pada asetilator lambat setelah paling kurang 6 bulan pengobatan. Untuk itu seharusnya perlu di identifikasi fenotip asetilator yang ideal untuk masing – masing pasien sebelum menerima pengobatan. Ini bisa ditentukan sesegera mungkin dengan pengukuran proporsi dari metabolit asetilasi dalam plasma atau urin setelah dosis oral dari sulfadimidin (10 mg/kg) sebagai substansi.

Faktor genetik juga diketahui terlibat menjadi penyebab munculnya variasi terhadap respon obat abnormal, termasuk diantaranya meningkatkan sensitivitas suxamethonium, barbiturate menginduksi phorpyria, resistensi warfarin, nitrofurantoin menginduksi haemolisis, hyperthermia malignant yang bekerjasama dengan agen anastesi dan steroid menginduksi glaukoma. Semua hal tersebut serta respon obat abnormal lainnya memiliki kontribusi terhadap apresiasi yang lebih baik dari faktor – faktor yang melibatkan respon obat yang bervariasi.











Beberapa faktor genetik yang telah diidentifikasi terdapat pada daftar berikut.
Contoh sifat genetik yang diketahui mampu merubah aksi atau metabolism obat



Kondisi
Obat
Faktor farmakogenetik yang menentukan metabolisme

Defisiensi kolinesterase

Lesch-Nyhan sindrom


Defisiensi Hepatic N- acetyltransferase

Acatalasia

Defisiensi methaemoglobin reduktase

Defisiensi hidroxylase (spesifik untuk tiap obat)
Suxamethonium

Allopurinol, azathioprine, 6-mercaptopurine

Hidralazin, sulfadimidin, phenelzin

Hidrogen peroksida

Sulfonamida


Fenitoin, warfarin, debrisoquin
Faktor farmakogenetik yang menentukan aksi obat

Defisiensi Glukosa 6 posfat dehidrogenase


Hemoglobin yang tidak stabil


Resistensi terhadap antikoagulan

Hiperpireksia malignan



Glaukoma

Porphyria
Nitrofurantoin, probenecid, quinine, sulfasetamid, sulfanilamide, vitamin K.

Nitrofurantoin, probenecid, quinine, sulfasetamid, sulfanilamide, vitamin K.

Warfarin


Halothane, suxamethonium, nitrous oxide

Glukokortikoid

Barbiturat, griseofulvin, kontrasepsi oral, sulfonamide, klordiazepoksida, tolbutamid, methyldopa
Gender / Jenis kelamin
Jenis kelamin bisa berpengaruh secara signifikan pada respon farmakologi dan profil farmakokinetik beberapa obat. Perbandingannya relative terhadap otot dan jaringan adipose pada pria dan wanita yang bisa cukup merubah distribusi dan klirens obat dari tubuh. Ketika FSH, estradiol, dan progesterone memperlihatkan pelonjakan seperti variasi fase yang terjadi saat siklus menstruasi maka akan bertambah lagi sumber yang menyebabkan variasi farmakokinetik. Perbedaan sehubungan dengan gender ini telah dilaporkan untuk beberapa obat termasuk salisilat, agen hipoglikemi, imipramin, diazepam, phenotiazin, dan anastesi umum serta lokal. Studi Farmakokinetik perlu untuk mengenal sumber yang berpotensi menyebabkan variasi ini dan termasuk mengelompokkan berdasarkan jenis kelamin, (seperti pengelompokkan umur) bersamaan dengan penggunaan kontrasepsi oral atau siklus menstruasi.
                             
Postur
Beberapa fungsi fisiologis dipengaruhi selama masa istirahat dibandingkan pada posisi biasa (saat berdiri). Kecepatan pengosongan lambung dikurangi, sebagian ketika orang berbaring pada sisi kirinya. Bagaimanapun perubahan hemodinamik adalah penelitian terbaik. Kardiak output (pengeluaran curah jantung) dan aliran ke hati dan ginjal meningkat selama masa istirahat, sedangkan volume plasma dan cairan ekstraselular menurun. Konsekuensinya, ada kecendrungan kadar plasma dari obat yang mengalami eliminasi obat di ginjal, rendah sepanjang malam. Efek ini berhubungan dengan meningkatnya aliran darah ginjal  yang terjadi selama istirahat, meskipun pengaruh postur menginduksi perubahan pada pH urin atau aliran urin tidak bisa diabaikan.   Contoh lazim obat-obat yang  penurunan kadar  plasmanya telah diobservasi selama istirahat  yaitu pada amoksilin, streptomisin, tetrasiklin, dosisiklin, sulfametizol, dan benzilpenisilin.

Aliran darah hepatic sama halnya berhubungan dalam perubahan postur. Oleh karena itu, diharapkan beberapa obat – obat yang dimetabolisme di hati juga memperlihatkan pengurangan kadar plasma selama istirahat. Bagaimanapun meskipun efek ini telah ditunjukkan secara eksperimen namun sangat sedikit studi yang mendukung teori ini.

Obat-obat Sosial

Asupan obat yang bersamaan dengan zat-zat seperti alkohol, teh, kopi, dan rokok sering diabaikan sebagai sumber berubahnya farmakokinetik. Asupan alkohol kronik menginduksi metabolisme obat di hati. Berbeda dengan asupan alkohol secara akut yang memperlihatkan berkurangnya kliren obat - obat seperti diazepam, parasetamol dam tolbutamid. Efek sedasi yang lama terjadi karena pemakaian bersamaan dengan diazepam, dan penggunaan alkohol secara akut adalah bagian dari hasil berkurangnya klirens dari diazepam.
Minuman seperti kopi, teh, kandungan kafeinnya bisa berpotensi mempengaruhi farmakokinetik beberapa obat. Asupan kopi atau kafein telah memeperlihatkan peningkatan bioavailibilitas dari paracetamol, dihidroergotamin, ergotamine,dan nitrofurantoin. Bagaimanapun tidak mungkin untuk mengkonfirmasi hasil beberapa penelitian pada subjek ini, sebuah faktor yang merefleksikan pengaruh dari asupan minuman sebagai sumber dari perubahan farmakokinetik.

Asap rokok tembakau diketahui mengandung lebih dari 3000 zat kimia, sangat sedikit yang baru diteliti efeknya terhadap tubuh. Polisiklik hidrokarbon dalam rokok cigarette  diketahui berpotensi menginduksi metabolism obat dihati dan telah dilaporkan mampu meningkatkan eliminasi beberapa obat termasuk diazepam, warfarin, teofillin, propranolol, dan pentazosin. Observasi ini signifikan secara klinis sejak terlihatnya peningkatan eliminasi yang nyata pada perokok berat pada efek pemberian dosis obat. Contohnya pada penggunaan teofillin pada perokok berat, dianjurkan meningkatkan dosis untuk mempertahankan kadar terapetik plasma.Baca secara fonetik
AA



Tidak ada komentar:

Google Ads