Asap cair
Asap cair adalah kondensat komponen asap yang dapat digunakan untuk menciptakan flavor asap pada produk (Whittle dan Howgate, 2002). Asap cair sudah dibuat pada akhir tahun 1800-an, tetapi baru sepuluh sampai lima belas tahun belakangan digunakan secara komersial pada industri pengasapan ikan (Moody dan Flick, 1990). Asap cair pertama kali diproduksi pada tahun 1980 oleh sebuah pabrik farmasi di Kansas City, dikembangkan dengan metode distilasi kayu asap (Pszczola, 1995).
Pembakaran adalah hasil sejumlah besar reaksi yang rumit. Salah satu macam reaksi yang terjadi ialah pirolisis, yakni pemecahan termal molekul besar menjadi molekul kecil tanpa kehadiran oksigen. Pembakaran campuran organik, seperti kayu, tidak selalu berupa pengubahan sederhana menjadi CO2 dan H2O. Pirolisis molekul-molekul besar dalam kayu misalnya, menghasilkan molekul gas yang lebih kecil, yang kemudian bereaksi dengan oksigen di atas permukaan kayu itu (Fessenden, 1982).
Pirolisis merupakan proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang menghasilkan arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat (Paris et al., 2005 dalam Gani 2007). Menurut Demirbas (2005 dalam Gani 2007), umumnya proses pirolisis dapat berlangsung pada suhu di atas 300°C dalam waktu 4-7 jam.
Proses pirolisis melibatkan berbagai proses reaksi yaitu dekomposisi, oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi. Reaksi-reaksi yang terjadi selama piro lisa kayu adalah penghilangan air dari kayu pada suhu 120-150 °C, pirolisa hemiselulosa pada suhu 200-250 °C, pirolisa selulosa pada suhu 280-320 °C dan pirolisa lignin pada suhu 400 °C. Pirolisa pada suhu 400 °C ini menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas organoleptik yang tinggi dan pada suhu lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis aromatis (Girrard, 1992; Maga, 1988).
Asap cair diproduksi dengan cara pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi (Girrard, 1992). Media pendingin yang digunakan pada kondensor adalah air yang dialirkan melalui pipa inlet yang keluar dari hasil pembakaran tidak sempurna kemudian dialirkan melewati kondensor dan dikondensasikan menjadi distilat asap (Hanendoyo, 2005)
Penelitian mengenai
komposisi asap dilakukan pertama kali oleh Pettet
dan Lane tahun 1940 (Girrard, 1992), bahwa
senyawa kimia yang terdapat
dalam asap kayu jumlahnya lebih dari
1000, 300 senyawa diantaranya dapat
diisolasi dan
yang sudah dideteksi
antara lain : fenol 85
macam telah
diidentifikasikan dalam kondensat dan
20 macam dalam asap, karbonil, keton
dan aldehid 45 macam dalam kondensat,
asam 35 macam, furan 11 macam.
Alkohol dan ester 15 macam, lakton 13
macam, hidrokarbon alifatik 1 macam
dalam kondensat dan 20 macam dalam
produk asap. Komposisi kimia asap
cair dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel
1. Komposisi Kimia Asap Cair
Komposisi Kimia
|
Kandungan (%)
|
Air
|
11 -
92
|
Fenol
|
0,2
- 2,9
|
Asam
|
2,8
- 4,5
|
Karbonil
|
2,6
- 4,6
|
Ter
|
1
- 17
|
Sumber : Maga (1988)
Menurut Maga (1988), asap
cair mempunyai kelebihan antara lain :
a.
Beberapa flavor dapat
dihasilkan dalam produk yang seragam dengan konsentrasi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pengasapan tradisional.
b.
Lebih intensif dalan pemberian flavor.
c.
Kontrol hilangnya flavor lebih mudah .
d.
Dapat diaplikasikan pada
berbagai jenis bahan pangan.
e.
Dapat digunakan oleh
konsumen pada level komersial.
f.
Lebih hemat dalam pemakaian kayu sebagai
sumber asap.
g.
Polusi lingkungan dapat diperkecil.
Arang
Kata
arang atau karbon berasal dari bahasa latin “carbo” yang berarti arang. Permukaan
arang mempunyai sifat mampu menarik zat lain yang sejenis atau senyawa lain
yang mengandung karbon. Kemampuan arang menyerap zat-zat organik sangat
bergantung pada luas permukaan pori-porinya. Semakin luas permukaan pori-pori,
semakin tinggi daya serapnya (Toyoda, 2002).
Luas
permukaan, dimensi, dan distribusi arang aktif bergantung pada bahan baku serta
pengarangan dan pengaktifannya. Berdasarkan ukuran pori, arang aktif
diklasifikasikan menjadi mikropori (diameter < 2 nm), mesopori (2–50 nm),
dan makropori (> 50 nm) (Baker 1997). Arang aktif dapat dibuat dari bahan
yang mengandung karbon dalam jumlah cukup banyak, di antaranya adalah tempurung
kelapa, cangkang kelapa sawit, serbuk gergaji, ampas tebu, tongkol jagung,
sekam padi, gambut, kayu, ubi kayu, batubara, dan tulang (Subiarto, 2000).
Secara
umum pembuatan arang aktif berlangsung tiga tahap yaitu proses dehidrasi,
proses karbonisasi dan proses aktifasi [Cheremisinoff dan AC. Moressi, 1978].
• Proses Dehidrasi
Proses
ini dilakukan dengan memanaskan bahan baku sampai suhu 105oC selama 24
jam dengan tujuan untuk menguapkan seluruh kandungan air pada bahan baku.
• Proses Karbonisasi
Proses karbonisasi adalah peristiwa yang harus dilalui
dalam pembuatan arang aktif. Bahan baku
yang mengandung karbon
didekomposisi termal untuk memisahkan
bahan non karbon yang terperangkap dalam bahan baku, sehingga sebagian besar yang tersisa dari bahan adalah karbon.
Proses karbonisasi ini dilakukan pada suhu
450-750 oC. Selain bahan non karbon, sebagian karbon akan ikut menguap karena bahan non karbon terikat pada rantai
karbon, yaitu berupa CO, CO2, maupun hidrokarbon ringan
yang berupa gas.
• Proses Aktifasi
Aktifasi adalah suatu perubahan fisika dimana permukaan
karbon aktif menjadi
jauh lebih banyak karena hidrokarbon yang terkandung dalam karbon disingkirkan. Untuk memperoleh arang yang berpori, dan luas permukaan yang besar dapat diperoleh dengan cara mengaktifasi bahan. Ada dua cara dalam melakukan proses aktifasi yaitu:
jauh lebih banyak karena hidrokarbon yang terkandung dalam karbon disingkirkan. Untuk memperoleh arang yang berpori, dan luas permukaan yang besar dapat diperoleh dengan cara mengaktifasi bahan. Ada dua cara dalam melakukan proses aktifasi yaitu:
a. Aktifasi Fisika
Aktifasi
fisika melibatkan aktifator seperti uap air dan CO2. Proses aktifasi
dilakukan dengan mengalirkan aktifator dalam reaktor pada suhu tinggi. Aktifasi
dengan uap air dilakukan pada suhu 750-900oC dan aktifasi dengan CO2
dilakukan pada suhu 850-1100oC. Namun aktifasi dengan CO2
jarang dilakukan karena reaksi yang terjadi adalah reaksi eksotermis sehingga
lebih sulit dikontrol (Supranto, S. 2005). Proses ini harus mengontrol suhu,
lama waktu aktifasi dan laju alir aktifator sehingga dihasilkan karbon aktif
dengan susunan karbon yang padat dan pori yang luas.
b. Aktifasi Kimia
Metode ini dilakukan
dengan cara merendam bahan baku pada bahan kimia
seperti HCl, HNO3, H3PO4, CN, Ca(OH)2, CaCl2, Ca(PO4)2, NaOH, KOH,
Na2SO4, SO2, ZnCl2, dan Na2CO3 (Kateren, 1987) sebelum proses karbonisasi.
Metode aktifasi kimia juga dapat dilakukan dengan merendam bahan baku yang
telah dikarbonisasi.
seperti HCl, HNO3, H3PO4, CN, Ca(OH)2, CaCl2, Ca(PO4)2, NaOH, KOH,
Na2SO4, SO2, ZnCl2, dan Na2CO3 (Kateren, 1987) sebelum proses karbonisasi.
Metode aktifasi kimia juga dapat dilakukan dengan merendam bahan baku yang
telah dikarbonisasi.
Baik dengan menggunakan metode fisika maupun metode
kimia, arang aktif yang
dihasilkan haruslah memenuhi standar yang berlaku di pasaran. Salah satu standar
kelayakan arang aktif adalah SNI. Tabel berikut menunjukkan syarat-syarat arang aktif
berdasarkan SNI.
dihasilkan haruslah memenuhi standar yang berlaku di pasaran. Salah satu standar
kelayakan arang aktif adalah SNI. Tabel berikut menunjukkan syarat-syarat arang aktif
berdasarkan SNI.
Tabel II Syarat Mutu Arang
Aktif Teknis Berdasarkan SNI 06-3730-1995
No.
|
Uraian
|
Satuan
|
Persyaratan
|
|
Butiran
|
serbuk
|
|||
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
|
Bagian yang hilang pada
pemanasan 950°C, %
Air, %
Abu, %
Bagian yang tidak
terarang
Daya serap terhadap I2
Karbon aktif murni, %
Daya serap terhadap
benzene, %
Daya serap terhadap biru
metilena
Kerapatan jenis curah
Lolos ukuran mesh 325%
Jarak mesh, %
Kekerasan, %
|
-
-
-
-
Mg/g
-
-
Ml/g
g/ml
-
-
-
|
maks. 15
maks. 4,4
maks 2,5
Tidak
ternyata
Min. 750
Min. 80
Min. 25
Min. 60
0,45-0,55
-
90
80
|
maks. 25
maks. 15
Maks 10
Tidak
ternyata
Min. 750
Min. 65
-
Min. 120
0,30-0,35
Min. 90
-
-
|
Sumber:Dewan Standarisasi
Nasional-DSN, 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar