Google ads

Rabu, 23 September 2015

TIROTOKSIKOSIS




DEFENISI
Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis dari kelebihan hormon tiroid yang beredar di dalam sirkulasi, dimana berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimia yang ditemukan bila jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan. Sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif. Tirotoksikosis terbagi atas kelainan berhubungan dengan hipertiroidisme dan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme.
INSIDEN/PREVALENSI
Angka kejadian hipertiroid yang didapat dari beberapa klinik di Indonesia berkisar antara 44,44% - 48,93% dari seluruh penderita dengan penyakit kelenjar gondok. Perbandingan wanita dan laki-laki yang didapat di RSUP Palembang adalah 3,1: 1 di RSCM Jakarta adalah 6: 1, di RS. Dr. Soetomo 8: 1 dan di RSHS Bandung 10 :1.1 Sedangkan distribusi menurut umur di RSUP Palembang yang terbanyak adalah pada usia 21-30 tahun (41,73%), tetapi menurut beberapa penulis lain puncaknya antara 30-40 tahun. Lebih dari 90% hipertiroidisme adalah akibat penyakit Graves dan nodul tiroid toksik.
PATOFISIOLOGI
Grave’s disease autoimmun
Diawali paparan faktor pemicu lingkungan pada individu yang memiliki gen suseptibel. Sehingga terjeadi pembentukan imunomodulator dan fragmen inflamasi dari protein sehingga terjadi pelepasan ikatan protein dan dibukanya ikatan protein. Bagian peptida makanan dan ikatan protein yang disajikan ke Antigen-presenting cell (APC), kemudian terjadi pelepasan TNF-α dan interferon-γ.  Antigen eksogen masuk ke dalam tubuh melalui endosistosis atau fagositosis. APC merombak antigen eksogen menjadi fragmen peptida melalui jalan endositosis. Limfosit T mengeluarkan subsetnya untuk mengenal antigen bekerja sama dengan Mayor Hystocompatablity Complex (MHC), maka akan terjadi induksi imunitas yang diperantarai oleh sel berupa sel T killer, selain itu sel T akan meneruskan ke sel B dan akan mengintruksi respon imunhumoral, sel B akan membentuk antibodi terhadap ikatan protein berupa sitokin, sel T killer,dan terjadi induksi proses autoimun, Reseptor antigen pada limfosit B adalah bagian membran yang berikatan dengan antibodi yang disekresikan setelah limfosit B yang mengalami diferensiasi menjadi sel fungsional, yaitu sel plasma yang disebut juga sebagai membran imunoglobulin. Reseptor antigen pada limfosit T bekerja mendeteksi bagian protein asing atau patogen asing yang masuk sel inangselain itu sel B memproduksi IgG dan IgM antibodi terhadap peptida. Sehingga terjadi reaksi silang dengan jaringan yang berbeda dan induksi penyakit autoimun organ yang berbeda seperti pada otot, rangka, pankreas, ginjal, hati, otak dan lain-lain.

ETIOLOGI
  1. Graves’ disease.
            Grave’s disease adalah kelainan autoimun dimana sistem imun dalam tubuh membentuk suatu antibodi yang disebut thyroid stimulating immunoglobulin (TSI), suatu IgG yang dapat merangsang reseptor TSH sehingga meningkatkan pembentukan dan pelepasan T3 dan T4.  Namun, berbeda dengan TSH, TSI tidak dipengaruhi oleh inhibisi umpan balik negatif oleh hormon tiroid sehingga sekresi dan pertumbuhan tiroid terus berlangsung. Kelainan ini ditandai eksoptalmus, akibat reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokular yang memiliki reseptor yang sama dengan TSH.
  2. Inflamasi dari kelenjar tiroid atau tiroiditis
            Tiroiditis tidak menyebabkan peningkatan produksi hormon oleh kelenjar tiroid, namun menyebabkan kebocoran penyimpanan hormon tiroid sehingga bocor dan keluar dari kelenjar yang meradang dan meningkatkan kadar hormon tiroid di dalam darah.4
  3. Masukan iodine yang berlebih
            Kelenjar tiroid menggunakan iodine untuk menghasilkan hormon tiroid, jadi jumlah iodine yang dikonsumsi akan mempengaruhi jumlah hormon tiroid yang dihasilkan. Ada beberapa obat ada yang  mengandung iodine dalam jumlah relatif banyak, antara lain amiodarone yang digunakan sebagai terapi penyakit jantung, suplemen yang mengandung ruput laut, dan beberapa jenis sirup obat batuk.
  4. Pengobatan dengan hormon tiroid sintetik
            Pada penanganan pasien hipotiroid yang memakai hormon tiroid terlalu banyak dapat menyebabkan terjadinya hipertiroiod. Pada pemakaian tiroid sintetik maka dibutuhkan monitoring kadar tiroid paling tidak sekali dalam satu tahun. Beberapa obat juga dapat bereaksi dengan tiroid sintetik sehingga kadar tiroid dalam darah meningkat.
  5. Struma
            Struma adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid. Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh kurangnya diet iodium yang dibutuhkan untuk produksi hormon tiroid. Terjadinya pembesaran kelenjar tiroid dikarenakan sebagai usaha meningkatkan hormon yang dihasilkan. Adanya struma atau pembesaran kelenjar tiroid dapat oleh karena ukuran sel-selnya bertambah besar atau oleh karena volume jaringan kelenjar dan sekitarnya yang bertambah dengan pembentukan struktur morfologi baru. Pada struma dapat terjadi hipertiroid, hipotirooid, dan eutiroid.
  6. Hipertiroidisme sekunder
            Hipertiroidisme bisa disebabkan oleh tumor hipofisa yang menghasilkan terlalu banyak TSH, sehingga merangsang tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan. Penyebab lainnya adalah perlawanan hipofisa terhadap hormon tiroid, sehingga kelenjar hipofisa menghasilkan terlalu banyak TSH.
  Wanita dengan mola hidatidosa (hamil anggur) juga bisa menderita hipertiroidisme karena perangsangan yang berlebihan terhadap kelenjar tirois akibat kadar HCG (human chorionic gonadotropin) yang tinggi dalam darah. Jika kehamilan anggur berakhir dan HCG tidak ditemukan lagi di dalam darah, maka hipertiroidisme akan menghilang.
GAMBARAN KLINIS
  Simptom tirotoksikosis adalah gugup, ansietas, palpitasi, emosi yang tidak stabil, sangat mudah lemas, kehilangan bobot badan diikuti dengan peningkatan nafsu makan, peningkatan frekuensi buang air besar, lemah pada otot proksimal (ketika menaiki tangga atau bangun dari posisi duduk), atau mens yang tidak teratur pada wanita. susah tidur, gelisah, rasa takut, palpitasis.
  Tanda-tanda fisik pada tirotoksikosis adalah kulit terasa hangat, lembut, lembab dan terdapat rambut halus yang tidak wajar. Lepasnya kuku jari (onikolisis), penarikan kelopak mata, takikardia pada saat istirahat, tekanan pulsa yang melebar, dan murmur sistolik, ginekomastia pada pria, tremor halus pada lidah yang dijulurkan dan tangan yang direnggangka, dan hiperaktivitas reflek tendon dalam.
  Pemeriksaan laboratorium penunjang yang menunjukkan kadar T3 dan T4 meningkat dan Indeks Tiroksin Bebas.
DIAGNOSIS
  Diagnosis tirotoksikosis sering dapat ditegakkan secara klinis tanpa pemeriksaan laboratorium, namun pemeriksaan ini perlu untuk menilai kemajuan terapi.
  Serum TSH rendah. Konsentrasi bebas dan total peningkatan T3 dan T4 serum, terutama pada penyakit yang lebih parah.
  Peningkatan serapan radioaktif iodium (radio active iodin uptake; RAIU) oleh kelenjar tiroid saat hormon sedang diproduksi berlebih, penurunan RAIU pada tirotoksikosis disebabkan karena peradangan tiroid (tiroiditis).
  Pemeriksaan lainnya :
a.       Tiroid stimulating antibodies (TSAb)
b.      Thyroglobulin
c.       Thyrotropin receptor antibodies
d.      Thyroid biopsy
e.       Thyroperoxidase antibodies (TPO antibodies).
PENANGANAN NON FARMAKOLOGI
  Operasi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kelenjar tiroid yang besar (> 80 g), ophtalmophathy parah, dan kurangnya penyembuhan pada terapi obat antitiroid.
  Diet yang diberikan harus tinggi kalori, yaitu memberikan kalori 2600-3000 kalori per hari baik dari makanan maupun dari suplemen.
  Konsumsi protein harus tinggi yaitu 100-125 gr (2,5 gr/kg berat badan) per hari untuk mengatasi proses pemecahan protein jaringan seperti susu dan telur.
  Olah raga secara teratur.
  Mengurangi rokok, alkohol dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme.
PENANGANAN FARMAKOLOGI
1)      Obat antitiroid
Ø  Obat thiourea
Dua obat dalam kategori ini, prophilthiourasil (PTU) dan methimazol (MMI) yang disetujui untuk pengobatan hipertiroidisme di Amerika. Mereka diklasifikasikan sebagai thionamid, yang menggabungkan kelompok N – C – S = N ke dalam struktur cincinnya.

     mekanisme aksi :
            PTU menghambat pembentukan hormon tiroid dengan mengganggu penggabungan iodin ke dalam residu tirosil pada tiroglobulin, kerjanya menghambat enzim peroksidase sehingga oksidasi ion iodida dan gugus iodotirosil terganggu; PTU obat ini juga menghambat deiodinasi  tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3) di jaringan perifer. Sedangkan metimazol tidak memiliki efek lain.

     Dosis dan monitoring :
PTU tersedia dalam tablet 50 mg dan MMI dalam 5-10 mg. MMI 10 kali lebih kuat dibandingkan PTU. Terapi awal dengan PTU berkisar 300-600mg per hari, biasanya dalam tiga atau empat dosis terbagi. MMI diberikan dalam tiga dosis terbagi sebesar 30-60mg/hari.
Perbaikan klinis harus terjadi dalam waktu 4-8 minggu memulai terapi, gejala berkurang, dan tingkat hormone tiroid yang beredar akan kembali normal. Dosis pemeliharaan harian untuk PTU dan MMI adalah 50-300mg dan 5-30mg.
Jika tujuan terapi adalah untuk menginduksi remisi jangka panjang,
pasien harus tetap berada pada terapi obat antitiroid terus menerus selama 12
sampai 24 bulan
.

Ø  Iodida
Iodida adalah bentuk pertama dari terapi obat untuk penyakit Graves.
     mekanisme aksi :
menghambat eksresi hormon tiroid, menghambat biosintesis hormon dengan mengganggu penggunaan iodida intrathyroidal (efek Wolff – Chaikoff), dan penurunan ukuran dan vaskularisasi kelenjar. Efek penghambatan memberikan perbaikan gejala dalam waktu 2-7 hari dari memulai terapi, dan konsentrasi serum T4 dan T3 dapat diturunkan untuk beberapa minggu.
Dosis :
Kalium iodin tersedia dalam larutan jenuh (saturated solution of potassium iodida (SSKI)), yang berisi 38mg iodin per drop, atau sebagai larutan lugol, yang berisi 6,3mg iodide per drop. Dosis awal SSKI adalah 3-10 tetes per hari (120-400mg) dalam air atau jus. Tidak ada didokumentasikan keuntungan menggunakan dosis lebih dari 6-8mg/hari. Jika digunakan untuk mempersiapkan pasien untuk operasi, harus diberikan 7-14 hari sebelum operasi. Sebagai tambahan RAI, SSKI sebaiknya tidak digunakan sebelumnya, melainkan 3-7 hari setelah pengobatan RAI, sehingga iodide radioaktif dapat berkonsentrasi dalam tiroid.
Yang paling sering terapi iodide adalah hipersensitivitas (ruam kulit, obat demam, rhinitis dan konjungtivitas); kelenjar ludah bengkak, “iodism” (rasa logam, membakar mulut dan tenggrokan, sakit gigi dan gusi, gejala kepala dingin dan diare), dan ginekomastia.

Ø  Penghambat adrenergik
Karena manifestasi hipertiroidisme dimediasi oleh β-adrenergik reseptor, β-blocker (terutama propranolol) telah digunakan secara luas untuk memperbaiki gejala tirotoksik seperti jantung berdebar, gelisah, tremor dan intoleransi panas. Meskipun β-blocker yang cukup efektif untuk mengendalikan gejala mereka tidak berpengaruh pada eksresi kalsium, fosfor, hidroksiprolin, kreatinin, atau berbagai asam amino, menunjukkan kurangnnya efek pada tirotoksikosis perifer dan metabolism protein. Selain itu, β bloker tidak mengurangi TSAb atau mencegah kelebihan tiroid.
Mekanisme kerja :
Propanolol dan nadolol sebagian memblokir konversi T4 ke T3, tetapi kontribusi ini untuk efek terapi secara keseluruhan kecil. Penghambatan konversi T4 ke T3 dimediasi oleh d-propanolol yang tanpa aktivitas β-blocking dan 1-propanolol yang bertanggung jawab atas efek antiadrenergic dan memiliki pengaruh yang kecil pada konversi.
Β-bloker biasanya digunakan untuk terapi tambahan dengan antitiroid obat-obatan, RAI atau iodida atau saat pengobatan penyakit Graves atau nodul toksik, dalam persiapan operasi atau dalam thyroid storm. Kondisi yang β-bloker menjadi utama untuk tirotoksikosis adalah tiroiditis dan iodine-induced hipertiroidsm.
Dosis:
Dosis propanolol diperlukan untuk meredakan gejala adrenergik adalah variable, tetapi dosis awal dari 20-40mg empat kali sehari efektif (denyut jantung <90 kali/menit) untuk sebagian besar pasien. Pasien yang lebih muda atau lebih toksik dapat diberikan 240-480mg/hari karena ada peningkatan tingkat klirens.

Ø  Iodin Radioaktif (RAI)
Meskipun radioisotope lainnya telah digunakan untuk mengikis jaringan tiroid, natrium iodida 131 (131I) dianggap agen pilihan untuk penyakit Graves, nodul otonom beracun, dan toxic MNDs. RAI diberikan berwarna dan hambar, cairan diserap dengan baik dan berkonsentrasi dalam tiroid, sodium iodida 131 adalah β-dan γ emitor dengan penetrasi jaringan 2 mm dan waktu paruh 8 hari. Organ lain mengambil 131I, namun kelenjar tiroid satu-satunya organ yang organifikasi dari iodium diserap mengambil tempat. Awalnya, RAI mengganggu sintesis hormon dengan memasukkan ke dalam hormon tiroid dan trioglobulin. Selama periode minggu, folikel yang telah mengambil RAI dan folikel sekitarnya menunjukkan nekrosis seluler, kerusakan folikel, perkembangan sel bentuk berbeda, phyknosis nuklir dan perusakan pembuluh kecil di dalam kelenjar, menyebabkan edema dan fibrosis dari jaringan interstitial.

INTERAKSI OBAT
OBAT A
OBAT B
EFEK YANG TERJADI
Amidaron,glukokortikoid (deksametason > 4mg/hari) propiltiourasil
Hormon tiroid
Konversi perifer dari T4 ke T3 menurun pada penggunaan bersamaan, sehingga kadar T3 menurun, meskipun deikian kadar T4 serum normal kadang-kadang meningkat.
Antasida, kolestiramin, kalsium karbonat, garam besi, natrium polistiren sulfonat, simetidin, sukralfat
Hormon tiroid
Pada penggunaan bersamaan, efikasi hormon tiroid berkurang karena hormon tiroid diikat, sehingga hormon tiroid absorbsi dalam saluran cerna berkurang. Gunakan dengan interval 4 jam.
Β-blocker (propanolol>160mg/hari)
Hormon tiroid
Konversi perifer dari T4 ke T3 menurun pada pneggunaan bersamaan, sehingga kadar T3 menurun, meskipun demikian kadar T4 serum normal kadang-kadang meningkat.
SSRI (contoh sertralin)
Hormon tiroid
Sertralin meningkatkan kebutuhan levotiroksin pada pasien yang sedang menggunakan levotiroksin.
Sukralfat
Hormon tiroid
Sukralfat menurunkan absorbsi tiroksin.
Antikoagulan
Hormon tiroid
Aktivitas antikoagulan meningkat sehingga diperlukan penurunan dosis.


DAFTAR PUSTAKA
Chan, Paul., T. David., E.M. Kenley., K.S. Elizabeth., 2005, Outpatien and Prymary care Medicine, California
Dipiro, Joseph T., R.L Tarlbert., G.C Yee., G.R. Mazke., B.G wells., L.M Posey, 2007 Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach seven edition, New York
Gunawan, S.G., dkk., 1995, Farmakologi dan Terapi, Jakarta
Sukandar, Elin Y., R. Andrajati., J.I Sigit, I.K Adnyana., A.A.P Setiadi., Kusnandar., 2008, ISO Farmakoterapi,PT. ISFI penerbitan, Jakarta

Tidak ada komentar:

Google Ads