DEFENISI
Tirotoksikosis
adalah manifestasi klinis dari kelebihan hormon tiroid yang beredar di dalam
sirkulasi, dimana berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokimia
yang ditemukan bila jaringan memberikan hormon tiroid berlebihan. Sedangkan
hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid
yang hiperaktif. Tirotoksikosis terbagi atas kelainan berhubungan dengan
hipertiroidisme dan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme.
INSIDEN/PREVALENSI
Angka kejadian hipertiroid
yang didapat dari beberapa klinik di Indonesia berkisar antara 44,44% - 48,93%
dari seluruh penderita dengan penyakit kelenjar gondok.
Perbandingan wanita dan laki-laki yang didapat di RSUP Palembang adalah
3,1: 1 di RSCM Jakarta adalah 6: 1, di RS. Dr. Soetomo 8: 1 dan di
RSHS Bandung 10 :1.1 Sedangkan distribusi menurut umur di RSUP Palembang yang terbanyak
adalah pada usia 21-30 tahun (41,73%), tetapi menurut beberapa penulis
lain puncaknya antara 30-40 tahun. Lebih dari 90% hipertiroidisme adalah
akibat penyakit Graves dan nodul tiroid toksik.
PATOFISIOLOGI
Grave’s disease autoimmun
Diawali paparan
faktor pemicu lingkungan pada individu yang memiliki gen suseptibel. Sehingga
terjeadi pembentukan imunomodulator dan fragmen inflamasi dari protein sehingga
terjadi pelepasan ikatan protein dan dibukanya ikatan protein. Bagian peptida
makanan dan ikatan protein yang disajikan ke Antigen-presenting
cell (APC), kemudian terjadi pelepasan TNF-α
dan interferon-γ. Antigen
eksogen masuk ke dalam tubuh melalui endosistosis atau fagositosis. APC
merombak antigen eksogen menjadi fragmen peptida melalui jalan endositosis.
Limfosit T mengeluarkan subsetnya untuk mengenal antigen bekerja sama dengan Mayor
Hystocompatablity Complex (MHC), maka akan terjadi induksi imunitas yang
diperantarai oleh sel berupa sel T killer, selain itu sel T akan meneruskan ke
sel B dan akan mengintruksi respon imunhumoral, sel B akan membentuk antibodi
terhadap ikatan protein berupa sitokin, sel T killer,dan terjadi induksi proses
autoimun, Reseptor antigen pada limfosit B adalah bagian membran yang berikatan
dengan antibodi yang disekresikan setelah limfosit B yang mengalami
diferensiasi menjadi sel fungsional, yaitu sel plasma yang disebut juga sebagai
membran imunoglobulin. Reseptor antigen pada limfosit T bekerja mendeteksi
bagian protein asing atau patogen asing yang masuk sel inangselain itu sel B
memproduksi IgG dan IgM antibodi terhadap peptida. Sehingga terjadi reaksi
silang dengan jaringan yang berbeda dan induksi penyakit autoimun organ yang
berbeda seperti pada otot, rangka, pankreas, ginjal, hati, otak dan lain-lain.
ETIOLOGI
1. Graves’ disease.
Grave’s
disease
adalah kelainan autoimun dimana sistem imun dalam tubuh membentuk suatu
antibodi yang disebut thyroid stimulating immunoglobulin (TSI), suatu
IgG yang dapat merangsang reseptor TSH sehingga meningkatkan pembentukan dan
pelepasan T3 dan T4. Namun, berbeda dengan TSH, TSI
tidak dipengaruhi oleh inhibisi umpan balik negatif oleh hormon tiroid sehingga
sekresi dan pertumbuhan tiroid terus berlangsung. Kelainan ini
ditandai eksoptalmus, akibat reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah
jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokular yang memiliki reseptor yang
sama dengan TSH.
2. Inflamasi dari kelenjar tiroid
atau tiroiditis
Tiroiditis
tidak menyebabkan peningkatan produksi hormon oleh kelenjar tiroid, namun
menyebabkan kebocoran penyimpanan hormon tiroid sehingga bocor dan keluar dari
kelenjar yang meradang dan meningkatkan kadar hormon tiroid di dalam darah.4
3. Masukan iodine yang berlebih
Kelenjar
tiroid menggunakan iodine untuk menghasilkan hormon tiroid, jadi jumlah iodine
yang dikonsumsi akan mempengaruhi jumlah hormon tiroid yang dihasilkan. Ada
beberapa obat ada yang mengandung iodine dalam jumlah relatif banyak,
antara lain amiodarone yang digunakan sebagai terapi penyakit jantung, suplemen
yang mengandung ruput laut, dan beberapa jenis sirup obat batuk.
4. Pengobatan dengan hormon tiroid
sintetik
Pada
penanganan pasien hipotiroid yang memakai hormon tiroid terlalu banyak dapat
menyebabkan terjadinya hipertiroiod. Pada pemakaian tiroid sintetik maka
dibutuhkan monitoring kadar tiroid paling tidak sekali dalam satu tahun.
Beberapa obat juga dapat bereaksi dengan tiroid sintetik sehingga kadar tiroid
dalam darah meningkat.
5. Struma
Struma
adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid.
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh kurangnya diet iodium yang
dibutuhkan untuk produksi hormon tiroid. Terjadinya pembesaran kelenjar tiroid
dikarenakan sebagai usaha meningkatkan hormon yang dihasilkan. Adanya struma
atau pembesaran kelenjar tiroid dapat oleh karena ukuran sel-selnya bertambah
besar atau oleh karena volume jaringan kelenjar dan sekitarnya yang bertambah
dengan pembentukan struktur morfologi baru. Pada struma dapat terjadi
hipertiroid, hipotirooid, dan eutiroid.
6. Hipertiroidisme sekunder
Hipertiroidisme
bisa disebabkan oleh tumor hipofisa yang menghasilkan terlalu banyak
TSH, sehingga merangsang tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid yang
berlebihan. Penyebab lainnya adalah perlawanan hipofisa terhadap hormon tiroid,
sehingga kelenjar hipofisa menghasilkan terlalu banyak TSH.
Wanita dengan mola hidatidosa
(hamil anggur) juga bisa menderita hipertiroidisme karena perangsangan yang
berlebihan terhadap kelenjar tirois akibat kadar HCG (human chorionic
gonadotropin) yang tinggi dalam darah. Jika kehamilan anggur berakhir dan
HCG tidak ditemukan lagi di dalam darah, maka hipertiroidisme akan menghilang.
GAMBARAN KLINIS
Simptom tirotoksikosis adalah gugup,
ansietas, palpitasi, emosi yang tidak stabil, sangat mudah lemas, kehilangan
bobot badan diikuti dengan peningkatan nafsu makan, peningkatan frekuensi buang
air besar, lemah pada otot proksimal (ketika menaiki tangga atau bangun dari
posisi duduk), atau mens yang tidak teratur pada wanita. susah tidur, gelisah,
rasa takut, palpitasis.
Tanda-tanda fisik pada
tirotoksikosis adalah kulit terasa hangat, lembut, lembab dan terdapat rambut
halus yang tidak wajar. Lepasnya kuku jari (onikolisis), penarikan kelopak
mata, takikardia pada saat istirahat, tekanan pulsa yang melebar, dan murmur
sistolik, ginekomastia pada pria, tremor halus pada lidah yang dijulurkan dan
tangan yang direnggangka, dan hiperaktivitas reflek tendon dalam.
Pemeriksaan laboratorium penunjang
yang menunjukkan kadar T3 dan T4 meningkat dan Indeks Tiroksin Bebas.
DIAGNOSIS
Diagnosis tirotoksikosis sering
dapat ditegakkan secara klinis tanpa pemeriksaan laboratorium, namun
pemeriksaan ini perlu untuk menilai kemajuan terapi.
Serum TSH rendah. Konsentrasi bebas dan total peningkatan T3 dan T4 serum, terutama
pada penyakit yang lebih parah.
Peningkatan serapan radioaktif iodium
(radio
active iodin uptake; RAIU) oleh
kelenjar tiroid saat hormon
sedang diproduksi
berlebih, penurunan RAIU pada tirotoksikosis disebabkan
karena peradangan
tiroid (tiroiditis).
Pemeriksaan lainnya :
a.
Tiroid stimulating antibodies
(TSAb)
b.
Thyroglobulin
c.
Thyrotropin receptor antibodies
d.
Thyroid biopsy
e.
Thyroperoxidase antibodies (TPO
antibodies).
PENANGANAN NON FARMAKOLOGI
Operasi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kelenjar tiroid
yang besar (> 80
g), ophtalmophathy parah, dan kurangnya penyembuhan pada terapi obat antitiroid.
Diet yang diberikan harus tinggi
kalori, yaitu memberikan kalori 2600-3000 kalori per hari baik dari makanan
maupun dari suplemen.
Konsumsi protein harus tinggi yaitu
100-125 gr (2,5 gr/kg berat badan) per hari untuk mengatasi proses pemecahan
protein jaringan seperti susu dan telur.
Olah raga secara teratur.
Mengurangi rokok, alkohol dan kafein
yang dapat meningkatkan kadar metabolisme.
PENANGANAN FARMAKOLOGI
1) Obat antitiroid
Ø Obat thiourea
Dua obat dalam kategori ini, prophilthiourasil (PTU) dan methimazol
(MMI) yang disetujui untuk pengobatan hipertiroidisme di Amerika. Mereka diklasifikasikan sebagai thionamid, yang menggabungkan
kelompok N – C – S = N ke dalam struktur cincinnya.
mekanisme aksi :
PTU menghambat pembentukan hormon tiroid dengan mengganggu
penggabungan iodin ke dalam residu tirosil pada tiroglobulin, kerjanya
menghambat enzim peroksidase sehingga oksidasi ion iodida dan gugus iodotirosil
terganggu; PTU obat ini juga menghambat deiodinasi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3) di
jaringan perifer. Sedangkan metimazol tidak memiliki efek lain.
Dosis dan monitoring :
PTU tersedia dalam
tablet 50 mg dan MMI dalam 5-10 mg. MMI 10 kali lebih kuat dibandingkan PTU.
Terapi awal dengan PTU berkisar 300-600mg per hari, biasanya dalam tiga atau
empat dosis terbagi. MMI diberikan dalam tiga dosis terbagi sebesar
30-60mg/hari.
Perbaikan klinis
harus terjadi dalam waktu 4-8 minggu memulai terapi, gejala berkurang, dan
tingkat hormone tiroid yang beredar akan kembali normal. Dosis pemeliharaan
harian untuk PTU dan MMI adalah 50-300mg dan 5-30mg.
Jika tujuan terapi adalah untuk menginduksi remisi
jangka panjang,
pasien harus tetap berada pada terapi obat antitiroid terus menerus selama 12
sampai 24 bulan.
pasien harus tetap berada pada terapi obat antitiroid terus menerus selama 12
sampai 24 bulan.
Ø Iodida
Iodida adalah bentuk pertama dari terapi obat
untuk penyakit Graves.
mekanisme aksi :
menghambat eksresi hormon tiroid, menghambat
biosintesis hormon dengan mengganggu penggunaan iodida intrathyroidal (efek
Wolff – Chaikoff), dan penurunan ukuran dan vaskularisasi kelenjar. Efek
penghambatan memberikan perbaikan gejala dalam waktu 2-7 hari dari memulai
terapi, dan konsentrasi serum T4 dan T3 dapat diturunkan untuk beberapa minggu.
Dosis :
Kalium iodin tersedia dalam larutan jenuh
(saturated solution of potassium iodida (SSKI)), yang berisi 38mg iodin per
drop, atau sebagai larutan lugol, yang berisi 6,3mg iodide per drop. Dosis awal
SSKI adalah 3-10 tetes per hari (120-400mg) dalam air atau jus. Tidak ada
didokumentasikan keuntungan menggunakan dosis lebih dari 6-8mg/hari. Jika
digunakan untuk mempersiapkan pasien untuk operasi, harus diberikan 7-14 hari
sebelum operasi. Sebagai tambahan RAI, SSKI sebaiknya tidak digunakan
sebelumnya, melainkan 3-7 hari setelah pengobatan RAI, sehingga iodide
radioaktif dapat berkonsentrasi dalam tiroid.
Yang paling sering terapi iodide adalah
hipersensitivitas (ruam kulit, obat demam, rhinitis dan konjungtivitas);
kelenjar ludah bengkak, “iodism” (rasa logam, membakar mulut dan tenggrokan,
sakit gigi dan gusi, gejala kepala dingin dan diare), dan ginekomastia.
Ø Penghambat adrenergik
Karena manifestasi hipertiroidisme dimediasi oleh β-adrenergik reseptor, β-blocker (terutama propranolol) telah digunakan secara luas untuk memperbaiki
gejala tirotoksik seperti jantung berdebar, gelisah, tremor dan intoleransi
panas. Meskipun β-blocker yang cukup efektif untuk mengendalikan gejala mereka
tidak berpengaruh pada eksresi kalsium, fosfor, hidroksiprolin, kreatinin, atau
berbagai asam amino, menunjukkan kurangnnya efek pada tirotoksikosis perifer
dan metabolism protein. Selain itu, β bloker tidak mengurangi TSAb atau
mencegah kelebihan tiroid.
Mekanisme kerja :
Propanolol dan nadolol sebagian memblokir konversi T4 ke T3, tetapi
kontribusi ini untuk efek terapi secara keseluruhan kecil. Penghambatan
konversi T4 ke T3 dimediasi oleh d-propanolol yang tanpa aktivitas β-blocking
dan 1-propanolol yang bertanggung jawab atas efek antiadrenergic dan memiliki
pengaruh yang kecil pada konversi.
Β-bloker biasanya
digunakan untuk terapi tambahan dengan antitiroid obat-obatan, RAI atau iodida
atau saat pengobatan penyakit Graves atau nodul toksik, dalam persiapan operasi
atau dalam thyroid storm. Kondisi yang β-bloker menjadi utama untuk tirotoksikosis
adalah tiroiditis dan iodine-induced hipertiroidsm.
Dosis:
Dosis propanolol
diperlukan untuk meredakan gejala adrenergik adalah variable, tetapi dosis awal
dari 20-40mg empat kali sehari efektif (denyut jantung <90 kali/menit) untuk
sebagian besar pasien. Pasien yang lebih muda atau lebih toksik dapat diberikan
240-480mg/hari karena ada peningkatan tingkat klirens.
Ø Iodin Radioaktif (RAI)
Meskipun radioisotope lainnya telah
digunakan untuk mengikis jaringan tiroid, natrium iodida 131 (131I)
dianggap agen pilihan untuk penyakit Graves, nodul otonom beracun, dan toxic
MNDs. RAI diberikan berwarna dan hambar, cairan diserap dengan baik dan
berkonsentrasi dalam tiroid, sodium iodida 131 adalah β-dan γ emitor dengan
penetrasi jaringan 2 mm dan waktu paruh 8 hari. Organ lain mengambil 131I,
namun kelenjar tiroid satu-satunya organ yang organifikasi dari iodium diserap
mengambil tempat. Awalnya, RAI mengganggu sintesis hormon dengan memasukkan ke
dalam hormon tiroid dan trioglobulin. Selama periode minggu, folikel yang telah
mengambil RAI dan folikel sekitarnya menunjukkan nekrosis seluler, kerusakan
folikel, perkembangan sel bentuk berbeda, phyknosis nuklir dan perusakan
pembuluh kecil di dalam kelenjar, menyebabkan edema dan fibrosis dari jaringan
interstitial.
INTERAKSI OBAT
OBAT A
|
OBAT B
|
EFEK YANG TERJADI
|
Amidaron,glukokortikoid
(deksametason > 4mg/hari) propiltiourasil
|
Hormon
tiroid
|
Konversi
perifer dari T4 ke T3 menurun pada penggunaan bersamaan, sehingga kadar T3
menurun, meskipun deikian kadar T4 serum normal kadang-kadang meningkat.
|
Antasida,
kolestiramin, kalsium karbonat, garam besi, natrium polistiren sulfonat,
simetidin, sukralfat
|
Hormon
tiroid
|
Pada
penggunaan bersamaan, efikasi hormon tiroid berkurang karena hormon tiroid
diikat, sehingga hormon tiroid absorbsi dalam saluran cerna berkurang.
Gunakan dengan interval 4 jam.
|
Β-blocker
(propanolol>160mg/hari)
|
Hormon
tiroid
|
Konversi
perifer dari T4 ke T3 menurun pada pneggunaan bersamaan, sehingga kadar T3
menurun, meskipun demikian kadar T4 serum normal kadang-kadang meningkat.
|
SSRI
(contoh sertralin)
|
Hormon
tiroid
|
Sertralin
meningkatkan kebutuhan levotiroksin pada pasien yang sedang menggunakan
levotiroksin.
|
Sukralfat
|
Hormon
tiroid
|
Sukralfat
menurunkan absorbsi tiroksin.
|
Antikoagulan
|
Hormon
tiroid
|
Aktivitas
antikoagulan meningkat sehingga diperlukan penurunan dosis.
|
DAFTAR PUSTAKA
Chan, Paul., T.
David., E.M. Kenley., K.S. Elizabeth., 2005, Outpatien and Prymary care
Medicine, California
Dipiro, Joseph
T., R.L Tarlbert., G.C Yee., G.R. Mazke., B.G wells., L.M Posey, 2007 Pharmacotherapy
A Pathophysiologic Approach seven edition, New York
Gunawan,
S.G., dkk., 1995, Farmakologi dan Terapi, Jakarta
Sukandar, Elin
Y., R. Andrajati., J.I Sigit, I.K Adnyana., A.A.P Setiadi., Kusnandar., 2008,
ISO Farmakoterapi,PT. ISFI penerbitan, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar