Pengalengan didefinisikan
sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap
terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang
kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen
(penyebab penyakit) dan pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan
makanan dapat terhindar dari kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat
oksidasi, atau perubahan cita rasa.
Definisi lain dari
pengalengan yaitu metode pengawetan makanan dengan memanaskannya dalam suhu
yang akan membunuh mikroorganisme, dan kemudian menutupinya dalam stoples
maupun kaleng. Karena adanya bahaya botulinin ( penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Clostridium botulinum),
satu-satunya metode yang aman untuk mengalengkan sebagian besar makanan adalah
dalam panas dan tekanan tinggi. Makanan yang harus dikalengkan termasuk produk
sayur-mayur, daging, makanan laut, susu, dan lain-lain. Satu-satunya makanan
yang mungkin bisa dikalengkan dalam wadah air masak (tanpa tekanan tinggi)
adalah makanan asam seperti buah, sayur asin, atau makanan lain yang ditambahi
asam.
Metoda pengalengan secara
umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu metoda pengalengan konvensional dan
metoda aseptik. Pada metoda pengalengan konvensional bahan pangan berupa
padatan atau caiaran yang telah disiapkan dalam kaleng atau botol ditutup rapat
dan disterilisasi dalam autoklaf. Sedangkan pada metoda pengalengan aseptik
bahan pangan dan kemasan dikerjakan secara terpisah. Bahan pangan diperlakukan
sesuai dengan proses termalnya, sedangkan kemasan dilakukan sterilisasi
terlebih dahulu.
Umumnya makanan kaleng
disterilkan dengan cara konvensional sebagai berikut : bahan pangan yang telah
bersih dimasukkan ke dalam kaleng, kemudian ditambahkan medium cair (sirup,
larutan garam, kaldu atau saus); setelah dipanaskan sebentar kemudian kalengnya
ditutup rapat. Selanjutnya dipanaskan pada suhu tinggi di dalam autoklaf atau
retort selama waktu tertentu, lalu segera didinginkan dalam air dingin,
dikeringkan, dan akhirnya diberi label. Dalam industri pengalengan makanan,
yang diterapkan adalah sterilisasi komersial (commercial sterility). Artinya,
walaupun produk tersebut tidak 100 persen steril, tetapi cukup bebas dari
bakteri pembusuk dan patogen (penyebab penyakit), sehingga tahan untuk disimpan
selama satu tahun atau lebih dalam keadaan yang masih layak untuk dikonsumsi.
Keuntungan utama penggunaan kaleng sebagai wadah bahan pangan adalah:
·
Kaleng dapat menjaga bahan pangan yang ada di dalamnya.
Makanan yang ada di dalam wadah yang tertutup
secara hermetis dapat dijaga terhadap kontaminasi oleh mikroba, serangga, atau
bahan asing lain yang mungkin dapat menyebabkan kebusukan atau penyimpangan
penampakan dan cita rasanya.
·
Kaleng dapat juga menjaga bahan pangan terhadap perubahan
kadar air yang tidak diinginkan.
·
Kaleng dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan
oksigen, gas-gas lain, bau-bauan, dan partikel-partikel radioaktif yang
terdapat di atmosfer.
·
Untuk bahan pangan berwarna yang peka terhadap reaksi
fotokimia, kaleng dapat menjaga terhadap cahaya
Dalam proses, biasanya
dilakukan penambahan medium pengalengan. Di Indonesia, dikenal tiga macam
medium pengalengan, yaitu larutan garam (brine), minyak atau minyak yang
ditambah dengan cabai dan bumbu lainnya, serta saus tomat. Penambahan medium
bertujuan untuk memberikan penampilan dan rasa yang spesifik pada produk akhir,
sebagai media pengantar panas sehingga memperpendek waktu proses, mendapatkan
derajat keasaman yang lebih tinggi, dan mengurangi terjadinya karat pada bagian
dalam kaleng. Berdasarkan tujuannya ada 4 macam penggunaan panas dalam
pengolahan makanan, yaitu: pemasakan, blanzir, pasteurisasi, dan sterilisasi.
Adapun penyebaran panas di sini ada 3 cara, yaitu melalui konveksi, konduksi
dan radiasi. Pemasakan secara konveksi dalam makanan kaleng kemungkinan yang
lebih besar untuk mencapai kondisi proses yang lebih baik daripada perpindahan
panas secara konduksi yang lambat dan memerlukan waktu yang lebih lama.
Proses pemanasan pada bahan
pangan bertujuan untuk mematikan bakteri dengan mempertahankan nilai nutrisi
dan mutu dari bahan pangan. Untuk tujuan ini dikenal optimasi proses termal.
Aplikasi pengalengan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengalengan pangan
merupakan salah satu bentuk usaha pengawetan pangan yang menggunakan proses
panas untuk mereduksi atau menghilangkan mikroorganisme perusak, pembentuk
toksin dan patogen pada makanan yang dilakukan di dalam kemasan yang hermetis.
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan dari pengalengan yaitu bahan pangan yang
awet, aman dan memiliki nilai organoleptik yang baik, diperlukan suatu
pengetahuan dan keahlian di bidang pengemasan, peralatan pemanasan, proses
termal, bakteriologi, keamanan dan gizi pangan, organoleptik dan pengolahan
pangan yang mendalam. Tahapan tahapan secara umum dalam proses pengalengan buah
buahan atau sayuran dapat dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu:
·
Tahapan penerimaan dan penanganan bahan baku.
·
Tahapan penyiapan bahan baku.
·
Tahapan proses pengolahan atau pengalengan (proses
thermal).
·
Tahapan pengemasan dan penyimpanan produk akhir.
PROSES PENGALENGAN BAHAN PANGAN NABATI
Pada dasarnya, proses
pengalengan bahan pangan nabati meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut;
sortasi, pencucian, pengupasan, pemotongan, blanching, pengisian, exhausting,
penutupan, processing (sterilisasi), pendinginan dan penyimpanan.
·
Proses sortasi dan pencucian
Dalam tahap proses sortasi
dilakukan pemilihan buah yang akan dikaleng-kan yang bermutu baik, tidak busuk,
cukup tua akan tetapi tidak terlalu matang. Buah yang kelewat matang tidak
cocok untuk dikalengkan karena tekstur buah-nya akan semakin lunak, sehingga
menyebabkan tekstur yang hancur setelah pemanasan dalam autoklaf. Setelah bahan
disortasi, bahan kemudian dicuci atau dibersihkan dengan menggunakan air
bersih. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada bahan
sehingga diharapkan akan menurunkan populasi mikroba, menghilangkan sisa-sisa
insektisida, mengurangi atau menghilangkan bahan-bahan sejenis malam yang
melapisi kulit buah-buahan.
·
Proses pengupasan kulit,
pembuangan biji dan pemotongan
Bagian yang akan
dikalengkan adalah bagian buah yang lazim dimakan/ dikonsumsi, yang biasanya
berupa daging buah. Oleh karena itu, bagian-bagian yang tidak berguna, seperti
kulit, biji, bongkol, dsb dilakukan pembuangan. Bagian daging buah yang akan
dimakan kemudian dilakukan proses pemotongan, sesuai dengan ukuran yang
dikehendaki dan ukuran kaleng. Pemotongan atau pengecilan ukuran dilakukan
dengan untuk mempermudah pengisian bahan ke dalam kaleng dan menyeragamkan
ukuran bahan yang akan dimasukan. Selain itu, pengecilan ukuran juga bertujuan
untuk mempermudah penetrasi panas. Jika pemotongan dilakukan dengan
sembarangan, maka akan mengakibatkan diskolorisasi, yaitu timbulnya warna yang
gelap atau hilangnya warna asli maupun pemucatan warna.
·
Proses blansir
Pemblansiran merupakan cara
lain yang dapat digunakan untuk membunuh mikroba patogen. Blansir adalah suatu
cara perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas atau
pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93 derajat Celsius. Waktu blansir
bervariasi antara 1-11 menit tergantung dari macam bahan, ukuran, dan derajat
kematangan. Blansir merupakan pemanasan pendahuluan bahan pangan yang biasanya
dilakukan untuk makanan sebelum dikalengkan, dibekukan, atau dikeringkan.
Proses blansir ini berguna untuk ;
a.
membersihkan jaringan dan mengurangi jumlah mikroba awal
b.
meningkatkan suhu produksi produk atau jaringan
c.
membuang udara yang masih ada di dalam jaringan
d.
menginaktivasi enzim
e.
menghilangkan rasa mentah
f.
mempermudah proses pemotongan (cutting, slicing, dan
lain-lain)
g.
mempermudah pengupasan
h.
memberikan warna yang dikehendaki
i.
mempermudah pengaturan produk dalam kaleng.
Enzim dan mikroorganisme sering menimbulkan
perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki pada bahan pangan, seperti
pencokelatan enzimatis, perubahan flavor, dan terjadinya pembusukan. Blansir
akan menginaktifkan enzim, baik oksidasi maupun hidrolisis, serta menurunkan
jumlah mikroba pada bahan. Di dalam proses blanching buah dan sayuran, terdapat
dua jenis enzim yang tahan panas yaitu enzim katalase dan peroksidase, kedua
enzim ini memerlukan pemanasan yang lebih tinggi untuk menginaktifkannya
dibandingkan enzim-enzim lain. Apabila tidak ada lagi aktivitas enzim katalase
atau peroksidase pada buah dan sayuran yang telah diblansir, maka enzim-enzim
lain yang tidak diinginkan pun telah terinaktivasi dengan baik. Lamanya proses
blansir dipengaruhi beberapa faktor, seperti ukuran bahan, suhu, serta medium
blansir.
Pencegahan kontaminasi
mikroba juga dapat dilakukan dengan penyimpanan bahan pangan dengan baik. Bahan
baku segar seperti sayuran, daging, susu sebaiknya disimpan dalam lemari
pendingin. Proses pemasakan juga dapat membunuh mikroba yang bersifat patogen.
Proses blansir dapat
dilakukan dengan cara mencelup potongan-potongan buah dalam air mendidih selama
5–10 menit. Lama pencelupan tergantung jenis dan banyak sedikitnya buah yang
akan diolah. Secara umum, proses blansir perlu memperhatikan hal-hal berikut :
a.
Proses blansir harus dilakukan sesuai dengan suhu dan
waktu blansir yang telah ditetapkan
b.
Air yang digunakan untuk proses blansir harus diganti
secara rutin
c.
Suhu akhir produk setelah blansir harus sudah mencapai
suhu yang telah ditetapkan; dan
d.
Produk yang telah diblansir tidak boleh dibiarkan
melebihi waktu maksimum yang diijinkan.
·
Proses pengisian
a.
Pembuatan medium
Medium yang dipergunakan
untuk pengalengan ini ada 2 macam, yaitu medium larutan gula yang dipergunakan
untuk pengalengan buah dan cincau. Medium yang dipergunakan untuk untuk sop
sayur adalah kuah sop yang telah dimasak dengan rempah-rempah.
Medium digunakan dapat berupa sirop, larutan garam, kaldu atau saus tergantung produk yang akan dikalengkan. Penambahan medium ini dilakukan untuk mempercepat penetrasi panas dan mengurangi terjadinya korosi kaleng dengan berkurangnya akumulasi udara.
Medium digunakan dapat berupa sirop, larutan garam, kaldu atau saus tergantung produk yang akan dikalengkan. Penambahan medium ini dilakukan untuk mempercepat penetrasi panas dan mengurangi terjadinya korosi kaleng dengan berkurangnya akumulasi udara.
b.
Proses memasukkan potongan buah
ke dalam kaleng
Potongan buah yang telah
diblansir kemudian dimasukkan ke dalam kaleng. Penyusunan buah dalam wadah
diatur serapi mungkin dan tidak terlalu penuh. Pada saat pengisian perlu
disisakan suatu ruangan yang disebut dengan head space.
c.
Proses pengisian medium
Kemudian dituangkan larutan
sirup, larutan garam, kaldu atau saus. Sama halnya dengan pada saat pengisian
buah, pengisian sirop juga tidak dilakukan sampai penuh, melainkan hanya
diisikan hingga setinggi sekitar 1-2 cm dari permukaan kaleng. Perlu diusahakan
bahwa pada saat pengisian larutan tersebut, semua buah dalam kondisi terendam.
·
Proses exhausting
Kaleng yang telah diisi
dengan buah (dan sirop) kemudian dilakukan proses exhausting. Tujuan exhausting
adalah untuk menghilangkan sebagian besar udara dan gas-gas lain dari dalam
kaleng sesaat sebelum dilakukan penutupan kaleng. Exhausting penting dilakukan untuk memberikan kondisi vakum pada
kaleng setelah penutupan, sehingga
(i) mengurangi kemungkinan
terjadinya kebocoran kaleng karena tekanan dalam kaleng yang terlalu tinggi
(terutama pada saat pemanasan dalam retort), sebagai akibat pengembangan
produk, dan
(ii) mengurangi kemungkinan
terjadinya proses pengkaratan kaleng dan reaksi-reaksi oksidasi lainnya yang
akan menurunkan mutu.
Tingkat kevakuman kaleng setelah ditutup juga
dipengaruhi oleh perlakuan blansir, karena blansir membantu mengeluarkan
udara/gas dari dalam jaringan. Exhausting
dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan cara:
(i) melakukan pengisian
produk ke dalam kaleng pada saat produk masih dalam kondisi panas,
(ii) memanaskan kaleng
beserta isinya dengan tutup kaleng masih terbuka, atau
(iii) secara mekanik
dilakukan penyedotan udara dengan sistem vakum.
Suhu dalam ruang exhausting adalah 80 – 90oC dan
proses berlangsung selama 8-10 menit. Suhu produk ketika keluar dari exhauster
adalah sekitar 60 - 70°C. Pada setiap selang waktu tertentu dilakukan
pengecekan suhu produk yang keluar dari exhauster, apakah suhu produk yang
diinginkan tercapai atau tidak.
·
Proses penutupan kaleng
Setelah proses exhausting kaleng segera
ditutup dengan rapat dan her-metis pada suhu yang relatif masih tinggi. Semakin
tinggi suhu penutupan kaleng, maka semakin tinggi pula tingkat kevakumannya
(semakin rendah tekanannya). Proses penutupan kaleng juga merupakan hal yang
sangat penting karena daya awet produk dalam kaleng sangat tergantung pada
kemampuan kaleng (terutama bagian-bagian sambungan dan penutupan) untuk
mengisolasikan produk di dalamnya dengan udara luar. Penutupan yang baik akan
mencegah terjadinya kebocoran yang dapat mengakibatkan kebusukan. Penutupan
kaleng yang dilakukan sedemikian rupa, diharapkan baik udara, air maupun
mikroba dari luar tidak dapat masuk (menembus) ke dalam, sehingga keawetannya
dapat dipertahankan.
·
Proses sterilisasi
Setelah proses penutupan
kaleng selesai, maka kaleng dimasukkan ke dalam keranjang yang dipersiapkan
untuk proses sterilisasi. Proses sterilisasi dilakukan dalam autoclave, untuk
koktail buah dan cincau digunakan suhu 100°C dengan tekanan 0,8 bar selama 30
menit sedangkan untuk sayuran digunakan suhu 115-121°C dengan tekanan 1,05 bar
selama 45-60 menit.
Sterilisasi merupakan
proses untuk mematikan mikroba. Pada perinsipnya ada dua jenis sterilisasi
yaitu sterilisasi total dan sterilisasi komersial. Sterilisasi komersial yang
ditetapkan di industri pangan merupakan proses thermal. Karena digunakan uap
air panas atau air digunakan sebagai media pengantar panas, sterilisasi ini
termasuk kedalam sterilisasi basah.sterilisasi komersial harus disertai dengan
kondisi tertentu yang mungkin mikroba masih hidup dan dapat berkembang
didalamnya.
Sterilisasi total adalah
sterilisasi yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme sehingga mikroba tidak
lagi dapat berkembangbiak didalam suatu wadah/bahan pangan. Pada sterilisasi
total ini jika dilaksanakan maka tidak akan terdapat lagi mikroba-mikroba yang
berbahaya terutama pada Clostidium botilinum (Winarno, 1994). Selain bertujuan
untuk mematikan semua mikroba penyebab kerusakan, proses sterilisasi ini juga
bertujuan untuk memasakkan bahan sehingga bahan mempunyai tekstur, rasa dan
kenampakan yang diinginkan. Bahan dengan keasaman tinggi (acid food) tidak
memerlukan suhu sterilisasi yang terlalu tinggi, untuk itulah pada pengalengan
koktail buah dan cincau suhu sterilisasi yang dipergunakan adalah 100oC dengan
tekanan 0,8 bar, pada kondisi asam tersebut, mikroorganisme pembusuk dapat
dimatikan. Berbeda halnya dengan sayuran yang mempunyai pH > 4,5 atau bahan
makanan dengan keasaman rendah (low acid food) yang dimana sterilisasi pada
suhu 100°C tidak akan efektif mematikan semua mikroba. Oleh karena itu
digunakan suhu 121°C dengan tekanan 1,05 bar. Pada suhu dan tekanan tersebut
maka semua mikroorganisme patogen dan pembusuk akan mati. Kondisi proses
sterilisasi sangat tergantung pada berbagai faktor, antara lain :
a.
kondisi produk pangan yang disterilisasikan (nilai pH,
jumlah mikroorganisme awal, dan lain-lain)
b.
jenis dan ketahanan panas mikroorganisme yang ada dalam
bahan pangan.
c.
karakteristik pindah panas pada bahan pangan dan wadah
(kaleng).
d.
Medium pemanas.
e.
Kondisi penyimpanan setelah sterilisasi
·
Proses pendinginan
Setelah proses sterilisasi,
kaleng kemudian didinginkan dengan air dingin. Pendinginan pasca sterilisasi
menjadi penting karena timbul perbedaan tekanan yang cukup besar yang dapat
menyebabkan rekontaminasi dari air pendingin ke dalam produk. Untuk itu perlu
dipastikan bahwa air pendingin yang digunakan memenuhi persyaratan
mikrobiologis. Untuk industri besar, proses pendinginan biasanya dilakukan
secara otomatis di dalam retort, yaitu sesaat setelah katup uap dimatikan maka
segera dibuka katup air dingin. Untuk ukuran kaleng yang besar, maka tekanan
udara dalam retort perlu dikendalikan sehingga tidak menyebabkan terjadinya
kaleng-kaleng yang menggelembung dan rusak. Pendinginan dilakukan secepatnya
setelah proses sterilisasi selesai untuk mencegah pertumbuhan kembali bakteri,
terutama bakteri termofilik. Pendinginan dimulai dengan membuka saluran air
pendingin dan menutup keran - keran lainnya.
Air pendingin dapat
dialirkan melalui dua saluran, yaitu bagian bawah dan bagian atas retort.
Pemasukan air mula-mula dilakukan secara perlahanlahan agar tidak terjadi
peningkatan tekanan secara drastis. Peningkatan tekanan secara drastis tersebut
harus dicegah karena dapat menyebabkan kaleng menjadi penyok atau rusak pada
bagian pinggirnya disebabkan kaleng tidak mampu menahan kenaikan tekanan
tersebut. Air dialirkan dari bagian bawah dahulu agar secara bertahap dapat
meng-kondensasikan sisa uap yang ada dan baru bagian atas dibuka. Pada saat
retort telah penuh dengan air, aliran dapat lebih deras dialirkan. Selama
proses pendinginan berlangsung, perlu dilakukan pengontrolan tekanan secara
terus menerus untuk mencegah terjadinya koleps pada kaleng, yaitu terjadinya penyok
pada kaleng disebabkan tekanan yang terlalu tinggi. Proses pendinginan
dinyatakan selesai bila suhu air dalam retort telah men-capai 38-42°C. Aliran
air pendingin kemudian dihentikan dan air dikeluarkan. Tutup retort dibuka dan
keranjang diangkat dari retort.
·
Pengeringan
Setelah kaleng dikeluarkan
dari retort, maka kaleng dikeringkan dan dibersihkan, untuk mencegah korosi
atau pengkaratan pada sambungan kaleng. Pengeringan dan pembersihan kaleng ini
perlu dilakukan untuk mencegah rekontaminasi (debu atau mikroba) yang lebih
mudah menempel pada kaleng yang basah.
·
Penyimpanan
Setelah itu disimpan dalam
suhu ruang untuk mengetahui daya simpan dan efektifitas sterilisasi. Pengamatan
dilakukan selama 1 minggu dan kaleng disimpan pada suhu 40-50oC. Jika dalam 1
minggu tersebut ada kaleng yang menggembung, maka proses sterilisasi tidak
berjalan dengan baik dan hal ini ditandai dengan masih adanya aktivitas
mikroorganisme. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa sebagian
besar produk masih dalam keadaan baik setelah disimpan selama 1 minggu.
Meskipun keseluruhan proses pengalengan bisa dikatakan aseptis, namun tidak
menutup kemungkinan untuk terjadinya kerusakan, baik karena berlalunya masa
simpan (kadaluwarsa) ataupun karena kurang sempurnanya proses pengalengan. Ada
beberapa faktor yang dapat menyebabkan kerusakan tersebut, yaitu antara lain:
·
Pengkaratan tinplate, terutama pada bahan pangan bersifat
asam, karena pelepasan hidrogen.
·
Reaksi kiamia, misalnya reaksi kecoklatan nonezimatis
atau pembebasan timah oleh nitrat dan sebagainya.
·
Penggelembungan karena adanya CO2.
·
Operasi autoklaf yang salah terutama setelah pendinginan.
·
Exhausting
yang kurang dan pengisian berlebih akan membawa akibat berlebihnya tekanan
selama pemanasan.
·
Pertumbuhan mikroba sebagai akibat tidak adanya pemanasan
atau pemanasan yang kurang sempurna, pembusukan bahan sebelum diolah,
pencemaran sesudah diolah sebagai hasil lipatan kaleng yang cacat atau
pendinginan yang kurang.
·
Fluktuasi tekanan atmosfer.
·
Suhu dan waktu pemanasan yang tidak memadai selama
sterilisasi dapat mengakibatkan tumbuhnya Clostridium
botulinum. Clostridium botulinum
merupakan bakteri termofilik (tahan panas) yang dapat hidup dalam kondisi
anaerobik (tidak ada oksigen).
PENGARUH PROSES PENGOLAHAN PANAS DALAM
PENGELENGAN TERHADAP NILAI GIZI
Pada prinsipnya pengolahan
pangan dilakukan dengan tujuan:
·
untuk pengawetan, pengemasan dan penyimpanan produk
pangan (misalnya pengalengan);
·
untuk mengubah menjadi produk yang diinginkan (misalnya
pemanggangan); serta
·
untuk mempersiapkan bahan pangan agar siap dihidangkan.
Semua bahan mentah merupakan komoditas yang
mudah rusak, sejak dipanen, bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan
mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi biokimiawi. Kecepatan kerusakan
sangat bervariasi, dapat terjadi secara cepat hingga relatif lambat. Satu
faktor utama kerusakan bahan pangan adalah kandungan air aktif secara biologis
dalam jaringan. Bahan mentah dengan kandungan air aktif secara biologis yang
tinggi dapat mengalami kerusakan dalam beberapa hari saja, misalnya sayur-sayuran
dan daging-dagingan. Sementara itu, biji-bijian kering yang hanya mengandung
air struktural dapat disimpan hingga satu tahun pada kondisi yang benar.
Penanganan, penyimpanan dan pengawetan bahan pangan sering menyebabkan
terjadinya perubahan nilai gizinya, yang sebagain besar tidak diinginkan. Zat
gizi yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagaian besar proses
pengolahan karena sensitif terhadap pH, oksigen, sinar dan panas atau kombinasi
diantaranya. Zat gizi mikro terutama tembaga dan zat besi serta enzim
kemungkinan sebagai katalis dalam proses tersebut.
Selain proses pengolahan
yang tidak diinginkan karena banyak merusak zat-zat gizi yang terkandung dalam
bahan pangan, proses pengolahan dapat bersifat menguntungkan terhadap beberapa
komponen zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan tersebut, yaitu perubahan
kadar kandungan zat gizi, peningkatan daya cerna dan ketersediaan zat-zat gizi
serta penurunan berbagai senyawa antinutrisi yang terkandung di dalamnya.
Proses pemanasan bahan pangan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi yang
terkandung di dalamnya, misalnya pemanasan kacang-kacangan (kedelai) mentah
dapat meningkatkan daya cerna dan ketersediaan protein yang terkandung di
dalamnya.
Perubahan zat gizi dalam
makanan terjadi pada beberapa tahap selama pemanenan, persiapan, pengolahan,
distribusi dan penyimpanan. Pengolahan dengan panas dalam proses pengalengan
ini mengakibatkan kehilangan beberapa zat gizi terutama zat – zat yang labil
seperti asam askorbat, tetapi teknik dan peralatan pengolahan dengan panas yang
modern dapat memperkecil kehilangan ini. Semua perlakuan pemanasan harus di
optimalisasi untuk mempertahankan nilai gizi dan mutu produk serta
menghancurkan mikroba.
Perubahan lainnya yang
mempengaruhi nilai gizi pada produk makanan kaleng adalah akan kehilangan cita
rasa segarnya dan satu hal lagi yang cukup mengganggu adalah timbulnya rasa
taint kaleng atau rasa seperti besi yang timbul akibat coating kaleng yang
tidak sempurna. Bahaya utama dalam makanan kaleng adalah tumbuhnya bakteri Clostridium botulinin yang dapat
menyebabkan keracunan botulinin. Tanda – tanda keracunan botulinin antara lain
tenggorokan menjadi kaku, mata berkunang-kunang, kejang-kejang yang membawa
kematian karena sukar bernafas. Biasanya bakteri ini tumbuh pada kaleng yang
tidak sempurna pengolahannya atau kaleng yang bocor sehingga makanan didalam
kaleng terkontaminasi udara dari luar.
Dari uraian sebelumnya
dapat diketahui bahwa sangat banyak pengaruh pengolahan panas terhadap komponen
zat gizi dalam bahan pangan, mulai dari saat pemanenan, persiapan, pengolahan,
distribusi dan penyimpanan.
a.
Pengaruh pengolahan terhadap
nilai gizi Protein
Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak
dikontrol dengan baik dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizinya.
Secara umum pengolahan bahan pangan berprotein dapat dilakukan secara fiisik,
kimia atau biologis. Secara fisik biasanya dilakukan dengan penghancuran atau
pemanasan, secara kimia dengan penggunaan pelarut organik, pengoksidasi, alkali,
asam atau belerang dioksida; dan secara biologis dengan hidrolisa enzimatis
atau fermentasi. Diantara cara pengolahan tersebut, yang paling banyak
dilakukan adalah proses pengolahan menggunakan pemanasan seperti sterilisasi,
pemasakan dan pengeringan. Pada pengolahan dan penggunaan panas yang tinggi,
protein akan mengalami beberapa perubahan. Perubahan – perubahan ini termasuk
rasemisasi (Rasemisasi menyebabkan penurunan daya cerna protein karena kurang
mampu dicerna oleh tubuh), hidrolosis, desulfurasi dan deamidasi. Kebanyakan
perubahan kimia ini bersifat ireversibel dan beberapa reaksi dapat menghasilkan
senyawa toksik.
b.
Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi “Karbohidrat”
Pemasakan karbohidrat diperlukan untuk
mendapatkan daya cerna pati yang tepat, karena karbohidrat merupakan sumber
kalori. Pemasakan juga membantu pelunakan dinding sel sayuran dan selanjutnya
memfasilitasi daya cerna protein. Bila pati dipanaskan, granula-granula pati
membangkak dan pecah dan pati tergalatinisasi. Pati masak lebih mudah dicerna
daripada pati mentah.
c.
Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Lemak
Pada umumnya setelah proses pengolahan bahan
pangan, akan terjadi kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat
kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta lamanya
waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak
akan semakin intens. Asam lemak esensial terisomerisasi ketika dipanaskan dalam
larutan alkali dan sensitif terhadap sinar, suhu dan oksigen. Proses oksidasi
lemak dapat menyebabkan inaktivasi fungsi biologisnya dan bahkan dapat bersifat
toksik.
d.
Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Vitamin
Stabilitas vitamin pada pengolahan panas
relative bervariasi. Vitamin A akan stabil dalam kondisi ruang hampa udara,
namun akan cepat rusak ketika di panaskan dengan adanya oksigen terutama pada
suhu yang tinggi. Vitamin tersebut akan rusak seluruhnya apabila dioksidasi dan
dihedrogenasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar