Pengembangan bahan obat diawali dengan sintesis
atau isolasi dari berbagai sumber yaitu dari tanaman (glikosida jantung untuk
mengobati lemah jantung), jaringan hewan (heparin untuk mencegah pembekuan
darah), kultur mikroba (penisilin G sebagai antibiotik pertama), urin manusia
(choriogonadotropin) dan dengan teknik bioteknologi dihasilkan human insulin
untuk menangani penyakit diabetes. Dengan mempelajari hubungan struktur
obat dan aktivitasnya maka pencarian zat baru lebih terarah dan memunculkan
ilmu baru yaitu kimia medisinal dan farmakologi molekular.
Setelah diperoleh bahan calon obat, maka
selanjutnya calon obat tersebut akan melalui serangkaian uji yang memakan waktu
yang panjang dan biaya yang tidak sedikit sebelum diresmikan sebagai obat oleh
Badan pemberi izin. Biaya yang diperlukan dari mulai isolasi atau sintesis
senyawa kimia sampai diperoleh obat baru lebih kurang US$ 500 juta per obat.
Uji yang harus ditempuh oleh calon obat adalah uji praklinik dan uji klinik.
v
Uji praklinik
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini
diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik
dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik
adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau
organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan
yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot,
hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat
berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat
diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau aman.
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi
:
• Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau
kronis
• Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas)
• Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas)
• Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas)
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat
farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi
obat. Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan
dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi
farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat
yang akan diuji pada manusia.
Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan
percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan
khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell
line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji
antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi
belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai
saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang
menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan
datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in vitro.
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada
hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada
manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi
Helsinki.
v Uji klinik
Yaitu suatu pengujian
khasiat obat baru pada manusia, dimana sebelumnya diawali oleh pengujian pada
binatang atau pra klinik.
Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :
1. Fase I , calon obat diuji pada
sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan
percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis
dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia.
2. Fase II, calon obat diuji pada
pasien tertentu, diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan
dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau
tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas
bentuk sediaan obat.
3. Fase III melibatkan kelompok
besar pasien, di sini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat
pembanding yang sudah diketahui.
Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat
digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa
yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau
kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Keputusan untuk mengakui
obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug
Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine
and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropah lain oleh EMEA (
European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh
TGA (Therapeutics Good Administration).
Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus
menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi
yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk
produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui
kontrol kualitas.
Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat
baru, tetapi dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada
atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik
bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan
harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat
Jadi. Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug
delivery system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat,
sediaan liposom, tablet salut enterik, mikroenkapsulasi dll. Kemajuan dalam
teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan
dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll.
Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama
dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru
diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan
dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.
4. Fase IV, setelah obat
dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing
surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai
usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai
terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat.
Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat
ditarik dari perdagangan jika membahayakan sebagai contoh cerivastatin suatu
obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform
(kliokuinol) suatu obat antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan
kelumpuhan pada otot mata (SMON disease), fenil propanol amin yang sering
terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih
dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung yang
membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau
tekanan darah tinggi , talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil
karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon suatu obat
antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar