Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma
gondii, yang telah diketahui dapat menyebabkan cacat bawaan (kelainan
kongenital) pada bayi dan keguguran (abortus) pada ibu hamil. Infeksi
toksoplasma dapat bersifat tunggal atau dalam kombinasi dengan infeksi lain
dari golongan TORSH-KM.
Sumber penularannya adalah kotoran hewan berbulu, terutama
kucing. Cara penularan-nya pada manusia melalui:
1. Makanan dan sayuran/buah-buahan yang
tercemar kotoran hewan berbulu (kucing).
2. Makan daging setengah matang dari
binatang yang terinfeksi.
3. Melalui transfusi darah atau
transplantasi organ dari donor yang terinfeksi toksoplasma.
4. Secara kongenital (bawaan) dari ibu
ke bayinya apabila ibu hamil terinfeksi pada bulan-bulan pertama kehamilannya.
Toksoplasma pada ibu hamil dapat menyebabkan keguguran,
lahir prematur, lahir mati, lahir cacat atau infeksi toksoplasma bawaan.
Bilamana ibu hamil terkena infeksi tokso-plasma maka risiko terjadinya
toksoplasmosis bawaan pada bayi yang dikandungnya berkisar antara 30-40%.
Infeksi toksoplasma bawaan ini dapat mengakibatkan anak yang dilahirkan
mengalami kerusakan mata, perkapuran otak, dan keterbelakangan mental, namun
seringkali gejala ini tidak terlihat pada bayi yang baru lahir (neonatus).
Beberapa faktor yang mungkin berperan atas munculnya gejala adalah fungsi
plasenta sebagai sawar (barrier), status kekebalan (imunitas) ibu hamil,
dan umur kehamilan ketika terjadinya infeksi pada ibu. Makin besar umur
kehamilan ketika terjadinya infeksi, makin besar pula kemungkinan terjadinya
infeksi toksoplasma bawaan pada janin. Pada pihak lain, makin dini terjadinya
infeksi pada janin, makin berat kerusakan (kelainan) yang dapat terjadi pada
janin dan makin besar kemungkinan abortus.
A. SIKLUS HIDUP PARASIT TOKSOPLASMA
Toxoplasma gondii tersebar luas di alam pada manusia
maupun hewan dan merupakan salah satu penyebab infeksi yang paling sering
terjadi pada manusia di seluruh dunia. Parasit ini adalah suatu protozoa yang
tergolong Coccidia, dan mempunyai 3 (tiga) bentuk:
1. Ookista (bentuk resisten yang berada
di lingkungan luar).
- Trofozoit (bentuk vegetatif dan proliferatif).
- Kista (bentuk resisten yang berada di dalam tubuh manusia dan hewan).
Toxoplasma berkembang-biak di usus hewan berbulu khususnya
kucing, menghasilkan keluarnya ookista bersama tinja kucing. Seekor kucing
dapat mengeluarkan sampai 10 juta ookista sehari selama 2 minggu. Ookista
membentuk sporozoit dalam 1 sampai 3 hari dan tetap infektif selama
berbulan-bulan sampai setahun di dalam tanah lembab dan panas, yang tidak kena
sinar matahari. Tanah yang tercemar kotoran hewan (ku-cing) menyebabkan infeksi
pada tikus dan burung, yang kemudian akan menyebabkan reinfeksi kembali pada
kucing. Dengan cara ini daur hidup parasit ini sudah lengkap. Anak-anak juga
dapat terinfeksi karena bermain di tanah yang tercemar kotoran kucing. Tanah
juga merupakan sumber infeksi untuk herbivora seperti kambing, domba, babi dan
ternak. Karena infeksi pada kebanyakan hewan menetap secara menahun, maka
daging yang mentah atau setengah matang menjadi sumber infeksi untuk manusia
dan hewan karnivora.
B. GEJALA DAN WUJUD KLINIS
TOKSOPLASMOSIS
Gejala yang timbul pada infeksi toksoplasma tidak khas,
sehingga penderita sering tidak menyadari bahwa dirinya telah terkena infeksi.
Tetapi sekali terkena infeksi toksoplasma maka parasit ini akan menetap
(persisten) dalam bentuk kista pada organ tubuh penderita selama siklus
hidupnya. Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah pembesaran kelenjar
getah bening (limfe) dikenal sebagai limfadenopati, yang dapat disertai demam.
Kelenjar limfe di leher adalah yang paling sering terserang. Gejala
toksoplasmosis akut yang lain adalah demam, kaku leher, nyeri otot (myalgia),
nyeri sendi (arthralgia), ruam kulit, gidu (urticaria),
hepatosplenomegali atau hepatitis.
Wujud klinis toksoplasmosis yang paling sering pada anak adalah
infeksi retina (korioretinitis), biasanya akan timbul pada usia remaja atau
dewasa. Pada anak, juling merupakan gejala awal dari korioretinitis. Bila
makula terkena, maka penglihatan sen-tralnya akan terganggu.
Pada penderita dengan imunodefisiensi seperti penderita
cacat imun, penderita kanker, penerima cangkok jaringan yang mendapat
pengobatan imuno supresan, dapat timbul gejala ringan sampai berat susunan
saraf pusat seperti ensefalopati, meningoense-falitis, atau lesi massa otak dan
perubahan status mental, nyeri kepala, kelainan fokal serebral dan
kejang-kejang, bahkan pada penderita AIDS seringkali mengakibatkan kematian.
Wujud klinis toksoplasmosis bawaan adalah kelainan neurologis:
hidrosefalus, mikrose-falus, kejang, keterlambatan psikomotor, perkapuran
(kalsifikasi) abnormal pada foto rontgenkepala. Selain itu tampak pula gangguan
penglihatan: mikroftalmi, katarak, re-tinokoroiditis; juga gangguan
pendengaran, dan kelainan sistemik: hepatosplenomegali, limfadenopati, dan
demam yang tidak diketahui sebabnya.
C.
PEMERIKSAAN
Diagnosis penyakit toksoplasmosis umumnya ditegakkan karena
adanya kecenderu-ngan yang mengarah pada penyakit tersebut, antara lain adanya
riwayat:
- infertilitas, abortus, lahir mati, kelainan bawaan
- memelihara binatang piaraan berbulu, misalnya kucing
Pemeriksaan yang digunakan saat ini untuk mendiagnosis
toksoplasmosis adalah pemeriksaan serologis, dengan memeriksa zat anti
(antibodi) IgG dan IgM Toxsoplasma gondii. Antibodi IgM dibentuk pada masa
infeksi akut (5 hari setelah infeksi), titernya meningkat dengan cepat (80
sampai 1000 atau lebih) dan akan mereda dalam waktu relatif singkat (beberapa
minggu atau bulan). Antibodi IgG dibentuk lebih kemudian (1-2 minggu setelah
infeksi), yang akan meningkat titernya dalam 6-8 minggu, kemudian menurun dan
dapat bertahan dalam waktu cukup lama, berbulan-bulan bahkan lebih dari
setahun.
Oleh karena itu, temuan antibodi IgG dianggap sebagai
infeksi yang sudah lama, sedangkan adanya antibodi IgM berarti infeksi yang
baru atau pengakifan kembali infeksi lama (reaktivasi), dan berisiko bayi
terkena toksoplasmosis bawaan. Berapa tingginya kadar antibodi tersebut untuk
menyatakan seseorang sudah terinfeksi toksoplasma sangatlah beragam, bergantung
pada cara peneraan yang dipakai dan kendali mutu dan batasan baku masing-masing
laboratorium.
Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah hasil
penelitian yang dilakukan oleh Teguh Wahyu S dkk. (1998), yang menyatakan
seorang ibu yang tergolong positif bilamana titer IgGnya 2.949 IU/mL atau IgM
0.5 IU/mL, sedangkan tergolong negatif bilamana titer IgG <>
Tidak semua ibu hamil yang terinfeksi toksoplasma akan
menularkan toksoplasma ba-waan pada bayinya. Bilamana dalam pemeriksaan ibu
sebelum hamil menunjukkan IgG positif terhadap toksoplasma, berarti ibu
tersebut terinfeksi sudah lama, tetapi bukan berarti bahwa 100% bayinya akan
bebas dari toksoplasmosis bawaan. Apabila pemeriksaan serologis baru dilakukan
pada saat hamil, maka :
- bila IgG (+) dan IgM (-); dianggap sebagai infeksi lama dan risiko janinnya terinfeksi cukup rendah sehingga ada sebagian pakar yang berpendapat tidak perlu diobati, kecuali jika pasien itu mengidap gangguan kekebalan.
- bila IgG (+) dan IgM (+); uji perlu diulang lagi 3 minggu kemudian. Bilamana titer IgG tidak meningkat maka dianggap infeksi terjadi sebelum kehamilan dan risiko untuk janinnya cukup rendah, sedangkan jika titer IgG meningkat 4 kali lipat dan IgM tetap positif maka ini berarti bahwa telah terjadi infeksi baru dan janin sangat berisiko mengalami toksoplasmosis bawaan atau terjadi keguguran.
- bila IgG (-) dan IgM (-); bukan berarti terbebas dari toksoplasmosis bawaan, justru pada ibu ini pemeriksaan harus diulang setiap 2-3 bulan untuk menasah serokonversi (perubahan negatif menjadi positif).
Bilamana pada ibu hamil ditemukan IgM (+) maka pengobatan
sudah pasti harus diberikan dan pemeriksaan ultrasonografi dilakukan berulang
kali untuk menentukan adanya kelainan janin.
Ultrasonografi serial setiap 3 minggu dilakukan untuk
menentukan adanya kelainan, misalnya: asites, pembesaran rongga otak
(ventrikulomegali) (V/H), pemesaran hati (hepatomegali), perkapuran
(kalsifikasi) otak. Bila pada janin terdapat kelainan maka perlu
dipertimbangkan untuk peng-akhiran (terminasi) kehamilan.
Bila mungkin, dilakukan pengambilan darah janin pada
kehamilan 20-32 minggu untuk pembiakan parasit (inokulasi) pada mencit. Bila
inokulasi memberikan hasil positif maka perlu dipertimbangkan untuk pengakhiran
kehamilan.
Setelah bayi lahir perlu dilakukan pemeriksaan lengkap
terhadap bayi, antara lain: pengambilan darah talipusat ketika bayi baru saja
lahir untuk pemeriksaan serologis antibodi janin atau isolasi T. gondiii,
pemeriksaan titik-cahaya mata (funduskopi), dan USG atau foto rontgen
tengkorak.
Diagnosis toksoplasma bawaan pada bayi lebih sukar
ditetapkan karena gejala klinis dari infeksi toksoplasma bawaan sangat beraneka
ragam dan seringkali subklinis (tidak terlihat) pada neonatus. Oleh karena itu
perlu dilakukan juga pemeriksaan serologis pada neonatus, terutama bilamana
diketahui ibunya terinfeksi selama kehamilan. Antibodi IgG dapat menembus
plasenta, sedangkan antibodi IgM tidak dapat menembus plasenta. Dengan
demikian, apabila pada darah bayi ditemukan antibodi IgG mungkin hanya
merupakan pindahan (transfer) IgG ibu, dan lambat-laun akan habis. Pada
usia 2-3 bulan, bayi sudah dapat membentuk antibodi IgG sendiri, bilamana bayi
terinfeksi toksoplasma bawaan maka konsentrasi IgGnya akan mulai meningkat lagi
setelah IgG yang diperoleh dari ibunya habis. Tetapi jika ditemukan antibodi
IgM, maka ini menunjukkan infeksi nyata pada bayi (toksoplasmosis bawaan).
D.
PENGOBATAN
Untuk mengendalikan infeksi yang persisten ini, umumnya
diperlukan reaksi imun tubuh yang memadai (adekuat). Penderita toksoplasma
dengan sistem imun yang normal tidak memerlukan pengobatan, kecuali ada
gejala-gejala yang berat atau berkelanjutan.
Toksoplasmosis pada
penderita imunodefisiensi harus diobati karena dapat mengakibatkan kematian.
Toksoplasmosis pada ibu hamil perlu diobati untuk
menghindari toksoplasmosis bawaan pada bayi. Obat-obat yang dapat digunakan
untuk ibu hamil adalah spiramisin 3 gram/hari yang terbagi dalam 3-4 dosis
tanpa memandang umur kehamilan, atau bilamana mengharuskan maka dapat diberikan
dalam bentuk kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin setelah umur kehamilan di
atas 16 minggu.
Pada bayi yang menderita toksoplasma bawaan baik bergejala
atau tidak, sebaiknya diberikan pengobatan untuk menghindari kelainan lanjutan.
Obat-obatan yang digunakan adalah:
- Pirimetamin 2 mg/kg selama dua hari, kemudian 1 mg/kg/hari selama 2-6 bulan, dikikuti dengan 1 mg/kg/hari 3 kali seminggu, ditambah
- Sulfadiazin atau trisulfa 100 mg/kg/hari yang terbagi dalam dua dosis, ditambah lagi
- Asam folinat 5 mg/dua hari, atau dengan pengobatan kombinasi:
- Spiramisin dosis 100 mg/kg/hari dibagi 3 dosis, selang-seling setiap bulan dengan pirimetamin,
- Prednison 1 mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis sampai ada perbaikan korioreti-nitis. Perlu dilakukan pemeriksaan serologis ulangan untuk menentukan apakah pengobatan masih perlu diteruskan.
Sebagai
strategi baru untuk menanggulangi masalah infeksi toksoplasma yang bersifat
persisten ini, digunakan kombinasi imunoterapi dan pengobatan zat antimikroba.
Cacat imunologi seluler diobati dengan imunomodulator (Isoprinosine atau
levamisol), sedangkan infeksinya dikendalikan dengan pemberian spiramisin.
Kombinasi pengobatan ini dimaksudkan untuk memberikan dukungan bagi penderita
dengan meningkatkan reaksi imunologik selulernya dan sekaligus mengendali-kan
infeksi toksoplasmanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar