1.1
Definisi
Sindrom
nefrotik adalah kumpulan gejala dan
tanda klinis
yang ditandai dengan gejala
proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dan hiperkolestrolemia.(1)
1.2
Epidemiologi
Sindrom
nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan. Insiden SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan
Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus
per 100.000 anak. Di
negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per
100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1.(2)
1.3
Klasifikasi
SN
dibagi 2 yaitu primer/idiopatik, dan sekunder.(3)
1.
Sindrom nefrotik
primer
Sindrom nefrotik yang terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Golongan ini paling sering terjadi pada anak,
termasuk sindrom nefrotik congenital yang
ditemukan sejak anak itu lahir atau usia dibawah satu tahun.
SN Idiopatik
a. SN
lesi minimal
b. Glomerulo sklerosis fokal
c. SN
membranosa
d. SN
membrano proliferative
e. SN
proliferatif
2.
Sindrom Nefrotik Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder timbul akibat penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab
yang nyata seperti akibat efek samping obat (opiat, obat golongan sulfa dan obat probenesid).(4)
Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a.
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
b.
Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS.
c.
Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
d.
Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e.
Neoplasma
: tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
1.4
Patofisiologi(5)
Sebagian besar tanda-tanda patofisiologik sindrom
nefrotik dapat langsung dihubungkan dengan meningkatnya permeabilitas
glomerulus untuk protein. Membran basalis glomerulus biasanya bertindak sebagai
filter dengan radius pori efektif 5,5 nm untuk molekul-molekul yang tidak
bermuatan.
Ditahannya molekul-molekul kecil, terutama albumin,
tampaknya sebagian ada hubungannya dengan muatan negatifnya. Sianoglikoprotein
polianion telah diperlihatkan melapisi jonjot-jonjot kaki epitel. Bila
residu-residu muatan ini telah dibuang oleh neurominidasse atau dinetralkan
dengan polikation, akan terjadi kehilangan tonjol-tonjol kaki epitel. Lesi yang
ditimbulkannya secara morfologik mirip dengan perubahan-perubahan pada “sindrom
nefrotik lesi minimal”.
Pada penyakit perubahan minimal, proteinuria cenderung
selektif dengan kehilangan albumin dan protein berbobot molekul rendah lainnya
yang tak sebanding. Ini menunjukkan bahwa pembedaan ukuran sebagian
dipertahankan oleh membran basalis glomerulus pada kelainan-kelainan membran
basalis glomerulus dan pola yang terlihat akan diterangkan oleh perubahan
ciri-ciri elektrokimiawi. Berbeda dengan hal ini, membran basalis pada
kelainan-kelainan primer lain, misalnya glomerulosklerosis segemental fokal,
tampaknya tidak selektif yang disertai dengan kebocoran molekul-molekul
berbobot molekul lebih besar dan menunjukkan bertambah besarnya ukuran pori.
Bila kehilangan protein di urin melebihi kemampuan
regeneratif hati, akan tejadi hipoalbuminemia dan selanjutnya akan terjadi
edema melalui suatu proses yang kompleks. Menurunnya tekanan onkotik koloid
menyebabkan gangguan pada gaya Starling di jaringan kapiler perifer, yang
memngkinkan ekstravasai cairan dengan embentukan edema dan penurunan volume cairan intravaskular.
Menurunnya cairan intravaskular mengaktifkan sistem
renin-angiostensin-aldosteron dan merangsang pelepasan hormon antidiuresi serta
aktivitas saraf simpatik, sehingga menambah berat pembentukan edema dengan
retensi garam da air oleh ginjal. Faktor-faktor lain mungkin terlibat karena
beberapa pasien sindroma nefrotik mempunyai volume cairan intravaskular yang
normal atau meningkat, sementara pasien analbuminemia bawaan tidak mengalami edema
atau penurunan volume plasma.
1.5
Gejala
Klinis(2)
Pasien SN biasanya datang dengan
edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi
pleura, dan edema skrotum. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi,
nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut hati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya peritonitis. Pada pemeriksaan fisik harus disertai
pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Dalam
laporan ISKDC (International study of kidney diseases in children), pada
SNKM ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi,
dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat
sementara.
1.6
Diagnosis(2)
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan
gejala :
1.
Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau
rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2.
Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai
hiperkolesterolemia > 200 mg/dL.
1.7
Pemeriksaan
Penunjang(2)
Pemeriksaan penunjang
yang dilakukan, antara lain:
1.
Urinalisis.
Biakan urin
hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada infeksi
saluran kemih.
2.
Protein urin kuantitatif
dapat
menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi
hari
3.
Pemeriksaan darah
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis
leukosit, trombosit, hematokrit, LED).
b. Albumin dan kolesterol serum
c. Ureum,
kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwartz
d. Kadar komplemen C3; bila dicurigai
lupus eritematosus sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti
nuclear antibody), dan anti ds-DNA.
1.8
Penatalaksanaan
Penyakit
A.
Tata
Laksana Umum(5)
Anak dengan manifestasi klinis SN
pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat
pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai
pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai,
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut :
1.
Pengukuran berat badan dan tinggi badan.
2.
Pengukuran tekanan darah.
3.
Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda
atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schonlein.
4.
Mencari fokus infeksi di gigi-geligi,
telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu
sebelum terapi steroid dimulai.
5.
Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif
diberikan profilaksis INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan
tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps
hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka yang berat atau disertai
komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak
perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila
edema tidak berat, anak boleh sekolah.
Dietetik(5)
Pemberian diet tinggi protein dianggap
merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis
glomerulus. Bila diberi diet rendah protein akan terjadi malnutrisi energi
protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet
protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu
1,5-2 g/KgBB/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak
menderita edema.
Diuretik(5)
Restriksi cairan dianjurkan selama ada
edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/KgBB/hari,
bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik
hemat kalium) 2-4 mg/KgBB/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan
kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil
(edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia
berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/KgBB selama
2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/KgBB. Bila pasien tidak mampu dari segi
biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/KgBB/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit
untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan,
suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan
pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian
berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.
Imunisasi(5)
Pasien SN yang sedang mendapat
pengobatan kortikosteroid > 2
mg/KgBB/hari atau total > 20
mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN
dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh
diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine).
Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus
hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat
dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.
B.
Pengobatan
dengan Kortikosteroid
Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan
sindrom nefrotik(3) :
a.
Remisi
: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu
b.
Relaps
: proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam
1 minggu.
c.
Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali
dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun
pengamatan.
d.
Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau
≥ 4 kali dalam periode 1 tahun
e.
Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis
steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan
dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
f.
Resisten steroid : tidak terjadi
remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/KgBB/hari selama 4 minggu.
Pada
SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
1.
Terapi
Inisial(5)
Terapi inisial pada
anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai
dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/KgBB/hari
(maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis
prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4
minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu
kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/KgBB/hari, secara alternating
(selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai
resisten steroid
2.
Pengobatan
SN Relaps(5)
Pengobatan SN Relaps diberikan
prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan
dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami
proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison,
dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila
terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan
prednison mulai diberikan.
3.
Pengobatan
SN Relaps Sering atau Dependen Steroid(5)
Terdapat 4 opsi
pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
a.
Pemberian steroid jangka panjang
Pada anak
yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi
dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/KgBB/hari
secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2
mg/KgBB/hari setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/KgBB/hari alternating.
Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12
bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi
dengan prednison 0,5 mg/KgBB/hari, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/KgBB/hari
secara alternating.
Bila relaps
terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/KgBB/hari alternating,
maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/KgBB/hari dalam dosis
terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/KgBB/hari diberikan secara alternating,
kemudian diturunkan 0,2 mg/KgBB/hari setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/KgBB/hari) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya
atau relaps yang terakhir.
Bila relaps
terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/KgBB/hari alternating,
tetapi < 1,0 mg/KgBB/hari alternating tanpa efek samping yang berat,
dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/KgBB/hari
selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
Bila terjadi keadaan
keadaan di bawah ini :
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/KgBB/hari alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/KgBB/hari tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat.
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain
hipovolemia, trombosis, dan sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis
2-3 mg/KgBB/hari selama 8-12 minggu.
b.
Pemberian Levamisol
Levamisol
terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan dengan dosis
2,5 mg/KgBB/hari
dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah
mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang
reversibel.
c.
Pengobatan dengan sitostatik
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN
anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid
dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/KgBB/hari dalam dosis tunggal maupun
secara intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang
dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls
diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA
puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum
tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang
dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah
tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila
jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit
<100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit
>5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek
toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif
mencapai ≥200-300 mg/KgBB/hari. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai
dosis total 180 mg/KgBB/hari, dan dosis ini aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kgBB/hari
selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek
toksik berupa kejang dan infeksi.
d.
Pengobatan dengan siklosporin, atau
mikofenolat mofetil (opsi 4. terakhir).
·
Siklosporin
Pada
SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/KgBB/hari (100-150
mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah
berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA
dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat
dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps
kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat
dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.
·
Miklofenat
Mofetil=MMF
Pada
SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat
diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/KgBB/hari bersamaan dengan penurunan dosis
steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare,
leukopenia.
4.
Pengobatan
SN Dengan Kontraindikasi Steroid(5)
Bila
didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti
tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka
dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat
diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari
dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8
minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan
dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan
sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls
adalah 6 bulan).
5.
Pengobatan
SN
Resisten Steroid(5)
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan
biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi
anatomi mempengaruhi prognosis.
a. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA
oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan remisi.16 Pada SN
resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi
relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid
dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh
tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid
kembali, dapat diberikan siklosporin.
b. Siklosporin (CyA)
Pada SN
resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20%
pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA adalah hipertensi,
hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik
yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA
perlu pemantauan terhadap :
1. Kadar CyA dalam
darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
2. Kadar kreatinin
darah berkala.
3.
Biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan
dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang
atau sangat selektif.
c. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk.
(1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82
minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu.
Metilprednisolon dosis 30 mg/KgBB (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL
glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam
atau 6-12 kali pemberian.
d. Obat imunosupresif lain
Obat
imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin,
takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang masih
sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi
di Indonesia.
C.
TATA
LAKSANA KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK(5)
1.
Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila
terdapat infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang
terutama adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis
primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus
pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi
dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama
10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah
pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien
varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster,
dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan
suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena (400mg/KgBB/hari). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena
(1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/KgBB/hari
dibagi 4 dosis selama 7-10 hari, dan pengobatan steroid
sebaiknya dihentikan sementara.
2.
Trombosis
Suatu
studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti defek
ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis
pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah
ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara
subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan
tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.
3.
Hiperlipidemia
Pada SN
relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol,
trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau
normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga
meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut
bersifat sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup
dengan pengurangan diet lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk
mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diet rendah lemak
jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor
HMgCoA reduktase (statin).
4.
Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
1. Penggunaan
steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia.
2.
Kebocoran metabolit vitamin D.
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka
lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500
mg/hari dan vitamin D (125-250 IU). Bila
telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/KgBB
intravena.
5. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps
dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas
dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl
fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/KgBB dalam 20-30 menit, dan disusul
dengan albumin 1 g/KgBB atau plasma 20 mL/KgBB (tetesan lambat 10 tetes per
menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan
furosemid 1-2 mg/KgBB intravena.
6. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam
perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali
dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin
receptor blocker) calcium channel blockers, atau antagonis β
adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.
7. Efek
Samping Steroid
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang
signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan
orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan nafsu makan,
gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi
air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN
harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran
tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali,
dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar