Google ads

Sabtu, 21 Maret 2015

Industri Farmasi



Pengertian Industri Farmasi
Industri Farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Industri Farmasi harus membuat obat sesuai aturan CPOB agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan konsumen, baik karena ketidakamanan, ketidakefektifan, maupun mutu obat yang substandar.
Ciri-ciri industri farmasi menurut Priyambodo, 2007:
1.      Industri farmasi merupakan industri yang diatur secara ketat (seperti registrasi, cara pembuatan obat yang baik, distribusi, dan perdagangan produk yang dihasilkan, dan lain-lain).
2.      Industri farmasi di samping menghasilkan obat, juga merupakan industri yang berorientasi untuk memperoleh keuntungan (profit).
3.      Industri farmasi adalah salah satu industri berisiko tinggi, karena memiliki jaminan yang besar untuk keselamatan dan nyawa manusia.
4.      Industri farmasi adalah industri berbasis riset yang selalu memerlukan inovasi.
2.1.2        Persyaratan industri farmasi
Proses pembuatan obat dan atau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi. Setiap pendirian industri farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi dari Direktur Jenderal. Direktur Jenderal yang dimaksud adalah Direktur Jenderal pada kementerian kesehatan yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.

Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi tercantum dalam Permenkes RI Nomor1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah sebagai berikut:
1.      Berbadan usaha berupa perseroan terbatas
2.      Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat
3.      Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
4.      Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang Apoteker Warga Negara Indonesia (WNI) masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu
5.      Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung ataupun tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.
2.1.3        Izin usaha industri farmasi
Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010, untuk memperoleh izin usaha industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip. Permohonan persetujuan prinsip diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal. Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur Jenderal setelah pemohon memperoleh persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan. Dalam hal permohonan persetujuan prinsip telah diberikan, pemohon dapat langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan, pemasangan dan instalasi peralatan, termasuk produksi percobaan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan prinsip ini berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diubah berdasarkan permohonan dari pemohon izin industri farmasi yang bersangkutan.
Tata cara pemberian persetujuan prinsip dan izin usaha industri farmasi mengikuti alur sebagai berikut:
Permohonan persetujuan prinsip yang diajukan kepada Direktur Jenderal disertakan dengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
berian Izin Usaha Industri Farmasi
2.1.4        Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi
Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi dilakukan bila Perusahaan Industri Farmasi yang telah mendapat Izin Usaha Industri Farmasi:
1.        Melakukan pemindahtanganan hak milik Izin Usaha  Industri Farmasi dan perluasan tanpa memiliki izin.
2.        Tidak menyampaikan informasi industri secara berturut-turut 3 (tiga) kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar.
3.        Melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Menteri.
4.        Dengan sengaja memproduksi Obat Jadi atau Bahan Baku Obat yang tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku (Obat Palsu).
5.        Tidak memenuhi ketentuan dalam Izin Usaha Industri Farmasi yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 245/MenKes/SK/V/1990.
2.1.5        Pembinaan dan pengawasan industri farmasi
Pembinaan terhadap pengembangan industri farmasi dilakukan oleh Direktur Jenderal, sedangkan pengawasan dilakukan oleh Kepala Badan. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Permenkes RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
  1. Peringatan secara tertulis.
  2. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu.
  3. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu.
  4. Penghentian sementara kegiatan.
  5. Pembekuan izin industri farmasi.
  6. pencabutan izin industri farmasi.       
2.2              Cara Pembuatan Obat yang Baik
   CPOB merupakan suatu konsep dalam industri farmasi mengenai prosedur atau langkah-langkah yang dilakukan dalam suatu industri untuk menjamin mutu obat, yang diproduksi dengan menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP) dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan produksi,  sehingga obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB bertujuan untuk menjamin obat yang dibuat secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu.
Perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi farmasi menyebabkan perubahan-perubahan yang sangat cepat pula dalam konsep serta persyaratan CPOB. Konsep CPOB bersifat dinamis yang memerlukan penyesuaian dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan teknologi di bidang farmasi. Ruang lingkup CPOB meliputi manajemen mutu, personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higienis, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri dan audit mutu, penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk dan produk kembalian, dokumentasi, pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak, serta kualifikasi dan validasi.
2.2.1        Manajemen mutu
Dalam manajemen mutu industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen mutu bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu” yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok, dan para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan diperlukan manajemen mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar.
Unsur dasar manajemen mutu adalah:
1.   Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur organisasi, prosedur, proses dan sumber daya.
2.   Tindakan sistematis diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan tingkat kepercayaan tinggi sehingga produk atau jasa pelayanan yang dihasilkan akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Keseluruhan tindakan tersebut disebut pemastian mutu (Quality Assurance). CPOB adalah bagian dari pemastian mutu yang memastikan bahwa obat dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaannya dan persyaratan dalam izin edar serta spesifikasi produk.
2.2.2        Personalia
Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh sebab itu industri farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personil yang terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas. Tiap personil hendaklah memahami tanggung jawab masing-masing dan dicatat. Seluruh personil hendaklah memahami prinsip dasar CPOB (basic GMP) dan memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan dengan pekerjaan.
Personil kunci mencakup kepala bagian produksi, kepala bagian pengawasan mutu dan kepala bagian pemastian mutu. Kepala produksi dan pemastian mutu harus seorang apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi dan memiliki pengalaman praktis. Kepala bagian pengawasan mutu harus diutamakan seorang terkualifikasi dan seorang apoteker. Dalam CPOB 2012 dijelaskan struktur organisasi industri farmasi hendaklah sedemikian rupa sehingga bagian produksi, pengawasan mutu, manajemen mutu (pemastian mutu) dipimpin oleh orang yang berbeda serta tidak saling bertanggung jawab satu terhadap yang lain.
Masing-masing personil hendaklah diberi wewenang penuh dan sarana yang memadai yang diperlukan untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif. Hendaklah personil tersebut tidak mempunyai kepentingan lain di luar organisasi yang dapat menghambat atau membatasi kewajibannya dalam melaksanakan tanggung jawab atau yang dapat menimbulkan konflik kepentingan pribadi atau finansial
Industri farmasi hendaklah memberikan pelatihan bagi seluruh personil yang karena tugasnya harus berada di dalam area produksi, gudang penyimpanan atau laboratorium (termasuk personil teknik, perawatan dan petugas kebersihan), dan bagi personil lain yang kegiatannya dapat berdampak pada mutu produk.
Di samping pelatihan dasar dalam teori dan praktik CPOB, personil baru hendaklah mendapat pelatihan sesuai dengan tugas yang diberikan. Pelatihan berkesinambungan hendaklah juga diberikan, dan efektifitas penerapannya dinilai secara berkala dan didokumentasikan. 
2.2.3        Bangunan dan fasilitas
            Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain, konstruksi, letak yang memadai dan kondisi yang sesuai serta perawatan yang dilakukan dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil terjadinya risiko kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain serta memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat.
            Untuk mencegah terjadinya pencemaran yang berasal dari lingkungan dan sarana, maka diperlukan:
1.      Ruang terpisah yang dirancang khusus disiapkan untuk menghindari kontaminasi.
2.      Kelas A atau dengan jumlah partikel 100, berada di bawah aliran udara laminer dan memiliki efisiensi saringan udara akhir sebesar 99.995%.
3.      Kelas B atau dengan jumlah partikel 100, merupakan ruangan steril, kelas ini adalah lingkungan latar belakang untuk zona kelas A dan memiliki efisiensi saringan udara akhir sebesar 99.995%.
4.      Kelas C atau dengan jumlah partikel 10.000, merupakan ruangan steril dan memiliki efisiensi saringan udara sebesar 99.95%.
5.      Kelas D atau dengan jumlah partikel 100.000, adalah ruangan bersih dan memiliki efisiensi saringan udara sebesar 99.95% bila menggunakan sistem resirkulasi ditambah make-up air (10-20% fresh air) atau efisiensi saringan udara 90% bila menggunakan sistem single pass (100% fresh air).
6.      Kelas E adalah ruangan umum dan memiliki efisiensi saringan udara sebesar 99.95% bila menggunakan sistem resirkulasi ditambah make-up air (10-20% fresh air) atau 90% bila menggunakan sistem single pass(100% fresh air).
Dalam bangunan suatu industri farmasi permukaan bagian dalam ruangan seperti dinding, lantai dan langit-langit hendaklah licin, bebas dari keretakan dan sambungan terbuka serta mudah dibersihkan dan bila perlu mudah didesinfeksi. Lantai di daerah pengolahan hendaklah dibuat dari bahan kedap air, permukaan yang rata dan memungkinkan pembersihan secara cepat dan efisien. Dinding juga hendaklah kedap air dan memiliki permukaan yang mudah dicuci. Sudut-sudut antara dinding, lantai dan langit-langit dalam daerah-daerah kritis hendaklah berbentuk lengkungan.
2.2.4        Peralatan
            Peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat hendaklah memiliki rancang bangun dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai, dan ditempatkan dengan tepat sehingga mutu dari setiap produk obat terjamin secara seragam dari bets ke bets, serta untuk memudahkan pembersihan dan perawatannya. Peralatan hendaknya didesain dan dikonstruksikan sesuai  dengan tujuannya. Peralatan yang bersentuhan dengan bahan awal, produk antara atau produk jadi tidak boleh menimbulkan reaksi, adisi, absorbsi yang dapat mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian. Peralatan ditempatkan sedemikian rupa untuk memperkecil kemungkinan terjadinya pencemaran silang antar bahan di area yang sama. Peralatan satu sama lain ditempatkan pada jarak yang cukup untuk menghindari penumpukan serta memastikan tidak terjadi kekeliruan dan campur-baur produk. Peralatan dirawat sesuai jadwal untuk mencegah malfungsi atau pencemaran yang bisa mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian.
2.2.5        Sanitasi dan higienis
            Tingkat sanitasi dan higienis yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup meliputi personalia, bangunan, peralatan, dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan setiap hal yang dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higienis yang menyeluruh serta terpadu. Sanitasi dan higienis yang diatur dalam pedoman CPOB adalah terhadap personalia, bangunan, dan peralatan. Prosedur sanitasi dan higienis hendaklah divalidasi serta dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas prosedur agar selalu memenuhi persyaratan
2.2.6        Produksi
            Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang senantiasa dapat menjamin produk obat jadi dan memenuhi ketentuan izin pembuatan serta izin edar (registrasi) sesuai dengan spesifikasinya.
            Mutu suatu obat tidak hanya ditentukan oleh hasil analisis terhadap produk akhir, melainkan juga oleh mutu yang dibangun selama tahapan proses produksi sejak pemilihan bahan awal, penimbangan, proses produksi, personalia, bangunan, peralatan, kebersihan dan higienis sampai dengan pengemasan.
Prinsip utama produksi adalah :
1.      Adanya keseragaman atau homogenitas dari bets ke bets.
2.      Proses produksi dan pengemasan senantiasa menghasilkan produk yang seidentik mungkin (dalam batas syarat mutu) baik bagi bets yang sudah diproduksi maupun yang akan diproduksi.
Hakekat produksi adalah sebagai berikut:
1.      Mutu produk obat tidak ditentukan oleh hasil akhir analisis saja, tetapi ditentukan oleh keseluruhan proses produksi (built in process).
2.      Adanya prosedur baku (standar) untuk setiap langkah (tahapan) proses produksi dengan persyaratan yang harus diikuti dengan konsisten.
Penyimpanan tergantung dari kestabilan bahan awal. Penyimpanan hendaklah dilakukan dalam ruangan atau tempat yang suhunya diatur. CPOB mempersyaratkan klasifikasi ruangan berdasarkan suhu menjadi 5 jenis, yaitu:
1.      Suhu ruangan                                                              : 16-30oC
2.      Suhu ruangan yang dikendalikan        : ≤ 25oC
3.      Sejuk                                                                           : 8-15oC
4.      Dingin                                                                         : 2-8oC
5.      Beku                                                                                        : < 0oC
Ruangan steril, ruangan penyangga, ruangan ganti pakaian steril dan ruangan ganti pakaian biasa atau ruangan produksi lain hendaklah memiliki perbedaaan tekanan udara 10-15 Pa. Tekanan udara dalam ruangan yang memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap suatu produk hendaklah selalu lebih tinggi dari pada ruangan lain.
Prosedur produksi dibuat oleh penanggung jawab produksi bersama dengan penanggung jawab pengawasan mutu yang dapat menjamin obat yang dihasilkan memenuhi spesifikasi yang ditentukan. Prosedur kerja standar hendaklah tertulis, mudah dipahami dan dipatuhi oleh karyawan produksi. Dokumentasi setiap langkah dilakukan dengan cermat, tepat dan ditangani oleh karyawan yang melaksanakan tugas.
2.2.7        Pengawasan mutu
            Pengawasan mutu merupakan bagian yang esensial dari CPOB untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi obat jadi. Pengawasan mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk. Ketidaktergantungan pengawasan mutu dari produksi dianggap hal yang fundamental agar pengawasan mutu dapat melakukan kegiatan dengan memuaskan.
Pengawasan mutu hendaklah mencakup semua kegiatan analitik yang dilakukan di laboratorium termasuk pengambilan sampel, pemeriksaan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi. Kegiatan ini mencakup juga uji stabilitas, program pemantauan lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel pertinggal, menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan,  produk serta metode pengujiannya.
Bagian pengawasan mutu dalam suatu pabrik obat bertanggung jawab untuk memastikan bahwa:
1.      Bahan awal untuk produksi obat memenuhi spesifikasi yang ditetapkan untuk identitas, kekuatan, kemurnian, kualitas, dan keamanannya.
2.      Tahapan produksi obat telah dilaksanakan sesuai prosedur yang ditetapkan dan telah divalidasi sebelumnya antara lain melalui evaluasi, dokumentasi, dan produksi.
3.      Semua pengawasan selama proses dan pemeriksaan laboratorium terhadap suatu bets obat telah dilaksanakan dan bets tersebut memenuhi spesifikasi yang ditetapkan sebelum didistribusikan.
4.      Suatu bets obat memenuhi persyaratan mutunya selama waktu peredaran yang ditetapkan.
Area laboratorium pengujian mutu hendaklah terpisah secara fisik dari ruang produksi agar terbebas dari sumber cemaran maupun getaran yang dapat berpengaruh terhadap hasil pengujian. Laboratorium fisiko-kimia, mikrobiologi, dan kimia hendaklah terpisah satu sama lain karena perbedaan jenis pengujian, peralatan dan bahan-bahan penguji yang terdapat di setiap laboratorium.
Kegiatan bagian pengawasan mutu yang dipersyaratkan dalam CPOB adalah sebagai berikut:
a.       Penanganan baku pembanding.
b.      Penyusunan spesifikasi dan prosedur pengujian.
c.       Penanganan contoh pertinggal.
d.      Validasi.
e.       Pengawasan terhadap bahan awal, produk antara, produk ruahan, dan obat jadi meliputi spesifikasi, pengambilan contoh, pengujian untuk bahan-bahan tersebut, serta in process control.
f.       Pengujian ulang bahan yang diluluskan.
g.      Pengujian stabilitas.
h.      Penanganan terhadap keluhan produk dan produk kembalian.
Bagian pengawasan mutu memiliki wewenang khusus untuk memberikan keputusan akhir meluluskan atau menolak atas mutu bahan baku, produk obat ataupun hal lain yang mempengaruhi mutu obat. Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian pengawasan mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah dilakukan sebelum bahan digunakan dalam produksi dan produk disetujui sebelum didistribusikan. Personil pengawasan mutu hendaklah memiliki akses ke area produksi untuk pengambilan sampel dan penyelidikan yang diperlukan.
2.2.8        Inspeksi diri dan audit mutu
Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB. Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan. Ada manfaatnya juga bila menggunakan auditor luar yang independen. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin dan pada situasi khusus, misalnya bila terjadinya penarikan kembali obat jadi atau terjadi penolakan yang berulang. Semua saran untuk tindakan perbaikan supaya dilaksanakan. Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif.
   Inspeksi diri dapat dilakukan oleh tiap bagian sesuai dengan kebutuhan pabrik, namun inspeksi diri yang dilakukan secara menyeluruh hendaklah dilaksanakan minimal satu kali dalam setahun. Frekuensi inspeksi diri hendaklah tertulis dalam prosedur tetap inspeksi diri.
2.2.9        Penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk dan produk kembalian
Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan obat hendaklah dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis. Untuk menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu sistem, bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat dari peredaran secara cepat dan efektif. Penarikan kembali produk adalah suatu proses penarikan kembali satu atau beberapa bets atau seluruh bets produk tertentu dari peredaran. Penarikan kembali produk dilakukan apabila ditemukan produk yang cacat mutu atau bila ada laporan mengenai reaksi yang merugikan yang serius serta beresiko terhadap kesehatan. Penarikan kembali produk dari peredaran dan dapat mengakibatkan penundaan atau penghentian pembuatan obat tersebut. Produk kembalian adalah obat jadi yang telah beredar, yang kemudian dikembalikan ke industri farmasi karena keluhan mengenai kerusakan, daluarsa, atau alasan lain misalnya kondisi wadah atau kemasan yang menimbulkan keraguan akan identitas, mutu, jumlah dan keamanan obat yang bersangkutan.
Keluhan terhadap obat mencakup keluhan terhadap mutu (keadaan fisik, kimia dan biologi), reaksi yang merugikan atau masalah efek terapetik (tidak berkhasiat). Semua keluhan dan laporan keluhan hendaklah diteliti dan dievaluasi dengan cermat, kemudian diambil tindak lanjut yang sesuai dan dibuatkan laporan. Tindakan penarikan kembali dilakukan segera setelah diketahui ada produk yang cacat mutu atau diterima laporan mengenai reaksi yang merugikan. Pabrik hendaklah membuat prosedur untuk menahan, menyelidiki dan menganalisis obat yang dikembalikan serta menetapkan apakah obat tersebut dapat diproses kembali atau harus dimusnahkan.
2.2.10. Dokumentasi
Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu. Dokumentasi yang jelas adalah fundamental untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan rinci sehingga memperkecil resiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, dokumen produksi induk/formula pembuatan, prosedur tetap, metode dan instruksi, laporan dan catatan harus bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis. Keterbacaan dokumen adalah sangat penting.
2.2.11. Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak
Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dan penerima kontrak harus dibuat secara jelas menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan setiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian pemastian mutu. Pada bab ini meliputi tanggung jawab industri farmasi terhadap Otoritas Pengawasan Obat (OPO) dalam hal pemberian izin edar dan pembuatan obat.
2.2.12    Kualifikasi dan validasi
CPOB mengisyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang diperlukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan dan proses yang dapat mempengaruhi mutu produk hendaklah divalidasi. Pendekatan dengan kajian risiko hendaklah digunakan untuk menentukan ruang lingkup dan cakupan validasi.
Seluruh kegiatan validasi hendaklah direncanakan. Unsur utama program validasi hendaklah dirinci dengan jelas dan didokumentasikan dalam Rencana Induk Validasi (RIV) atau dokumen setara. RIV merupakan dokumen yang singkat, tepat dan jelas serta mencakup sekurang-kurangnya kebijakan validasi, struktur organisasi kegiatan validasi, ringkasan fasilitas, sistem, peralatan, proses yang akan divalidasi, format dokumen, format protokol, laporan validasi, perencanaan dan jadwal pelaksanaan, pengendalian perubahan, serta acuan dokumen yang digunakan.
RIV dapat dibuat tersendiri untuk suatu proyek besar dan/atau kompleks, misalnya bangunan dan fasilitas baru, sistem HVAC, sistem pengolahan air dan sistem komputerisasi, fasilitas betalaktam, fasilitas steril, validasi metode analisis, validasi pembersihan atau digabungkan ke dalam satu dokumen RIV. Pada validasi proses dapat berupa validasi prospektif, validasi concurent, validasi retrospektif, selain validasi proses ada pula validasi pembersihan, validasi metode analisis. Kualifikasi adalah suatu tindakan pembuktian yang terdokumentasi dengan tujuan untuk memastikan bahwa instrumen atau sistem yang digunakan sesuai dengan yang telah ditetapkan.



Kualifikasi mencakup :
a)      Kualifikasi desain (Design Qualification) yaitu suatu tindakan yang terdokumentasi untuk memastikan bahwa desain dari fasilitas, sistem dan peralatan sesuai dengan tujuan yang diinginkan
b)      Kualifikasi instalasi (Installation Qualification) yaitu suatu tindakan yang terdokumentasi untuk memastikan bahwa alat atau instrumen telah dipasang sesuai dengan desain dari spesifikasi instalasi alat tersebut.
c)      Kualifikasi Operasional (Operational Qualification) adalah suatu tindakan yang terdokumentasi untuk memastikan bahwa alat atau instrumen tersebut telah dapat beroperasi sesuai spesifikasinya.
d)     Kualifikasi Kinerja (Performance Qualification) yaitu suatu tindakan yang terdokumentasi untuk memastikan kinerja dari alat tersebut telah menghasilkan produk atau keluaran (output) lain secara konsisten sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan.
Kualifikasi fasilitas, peralatan dan sistem terpasang yang telah operasional yaitu suatu tindakan yang terdokumentasi untuk memastikan parameter operasional dan batas variabel kritis pengoperasian alat, kalibrasi, pembersihan, perawatan preventif serta prosedur dan catatan pelatihan operator.

2.3           Peran, Fungsi, dan Tugas Apoteker di Industri
Peran apoteker di industri seperti yang disarankan oleh World Health Organization (WHO), yaitu Eight Star of Pharmacist yang meliputi :
1.      Care Giver
Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk informasi obat, efek samping obat dan lain-lain kepada profesi kesehatan. Perlu ada interaksi dengan individu/kelompok di dalam industri (regulatory, QA/QC, produksi dll) dan individu/kelompok di luar industri.
2.      Decision maker
Apoteker sebagai pengambil keputusan yang tepat untuk mengefisienkan dan mengefektifkan sumber daya yang ada di industri.


3.      Communicator
Apoteker harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik secara lisan maupun tulisan.
4.      Leader
Apoteker sebagai pemimpin yang berani mengambil keputusan dalam mengatasi berbagai permasalahan di industri dan memberikan bimbingan ke bawahannya dalam mencapai sasaran industri.
5.         Manager
       Apoteker sebagai pengelola seluruh sumber daya yang ada di industri farmasi dan mampu mengakumulasikannya untuk meningkatkan kinerja industri dari waktu ke waktu.
6.          Long-life learner
        Apoteker belajar terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan.
7.          Teacher
        Bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan dan pelatihan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dunia industri kepada sejawat apoteker atau lainnya.
8.          Researcher
Berperan serta dalam berbagai penelitian guna mengembangkan ilmu kefarmasian dan kemajuan bidang kesehatan.
Peran tersebut diterapkan di dalam semua aspek CPOB. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 9, dimana Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi. Kepala bagian Produksi dan kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) atau kepala bagian Pengawasan Mutu harus independen satu terhadap yang lain.




2.3.1  Kepala Bagian Produksi
Tugas dari kepala bagian produksi diantaranya :
1.        Kepala bagian produksi hendaklah apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi, memperoleh pelatihan dan sesuai, memiliki pengalaman praktis yang memadai dalam bidang pembuatan obat dan keterampilan manajerial sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara profesional. Kepala bagian produksi hendaklah diberi kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam produksi obat, termasuk kepada kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).
2.        Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian produksi.
3.        Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan.
4.        Memastikan bahwa obat diproduksi dan disimpan sesuai prosedur agar memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan.
5.        Memberikan persetujuan petunjuk kerja yang terkait dengan produksi dan memastikan bahwa petunjuk kerja diterapkan secara tepat.
6.        Memastikan bahwa catatan produksi telah dievaluasi dan ditandatangani oleh Kepala Bagian Produksi sebelum diserahkan.
7.        Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan.
2.3.2  Kepala Bagian Pengawasan Mutu
Kepala Bagian Pengawasan Mutu hendaklah seorang yang terkualifikasi dan lebih diutamakan seorang apoteker, memperoleh pelatihan yang sesuai, memiliki pengalaman praktis yang memadai dan keterampilan manajerial sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara profesional. Kepala bagian pengawasan mutu hendaklah diberi kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam pengawasan mutu, termasuk:
1. Menyetujui atau menolak bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan dan produk jadi.
2. Memastikan bahwa seluruh pengujian yang diperlukan telah dilaksanakan.
3. Memberi persetujuan terhadap spesifikasi, petunjuk kerja pengambilan contoh, metode pengujian dan prosedur pengawasan mutu lain.
4. Memberi persetujuan dan memantau semua kontrak analisis.
5. Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian pengawasan mutu.
6. Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan.
7. Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di departemennya dilaksanakan dan diterapkan sesuai kebutuhan.
2.3.3   Kepala Bagian Pemastian Mutu
Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) hendaklah seorang apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi memperoleh pelatihan yang sesuai, memiliki pengalaman praktis yang memadai dan keterampilan manajerial sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara profesional. Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) hendaklah diberi kewenangan dan tanggung jawab penuh untuk melaksanakan tugas yang berhubungan dengan sistem mutu/pemastian mutu, termasuk:
1. Memastikan penerapan (dan, bila diperlukan, membentuk) sistem mutu.
2. Ikut serta dalam atau memprakarsai pembentukan acuan mutu perusahaan.
3. Memprakarsai dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala.
4. Melakukan pengawasan terhadap fungsi bagian Pengawasan Mutu.
5. Memprakarsai dan berpartisipasi dalam pelaksanaan audit eksternal (audit terhadap pemasok).
6. Memprakarsai dan berpartisipasi dalam program validasi.
7. Memastikan pemenuhan persyaratan teknik atau peraturan Otoritas Pengawasan Obat (OPO) yang berkaitan dengan mutu produk jadi.
8. Mengevaluasi/mengkaji catatan bets.
9. Meluluskan atau menolak produk jadi untuk penjualan dengan mempertimbangkan semua faktor terkait.

Tidak ada komentar:

Google Ads