Pengertian Industri Farmasi
Industri Farmasi menurut Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri kesehatan untuk melakukan kegiatan
pembuatan obat atau bahan obat. Industri Farmasi harus membuat obat sesuai aturan CPOB agar sesuai dengan tujuan
penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar
(registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan konsumen, baik karena ketidakamanan, ketidakefektifan, maupun mutu obat
yang substandar.
Ciri-ciri industri
farmasi menurut Priyambodo, 2007:
1.
Industri farmasi merupakan industri yang
diatur secara ketat (seperti registrasi, cara pembuatan obat yang baik,
distribusi, dan perdagangan produk yang dihasilkan, dan lain-lain).
2.
Industri farmasi di samping menghasilkan
obat, juga merupakan industri yang berorientasi untuk memperoleh keuntungan (profit).
3.
Industri farmasi adalah salah satu
industri berisiko tinggi, karena memiliki
jaminan yang besar untuk keselamatan dan nyawa manusia.
4. Industri
farmasi adalah industri berbasis riset yang selalu memerlukan inovasi.
2.1.2
Persyaratan industri
farmasi
Proses pembuatan obat dan atau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh industri
farmasi.
Setiap pendirian industri farmasi wajib memperoleh izin industri
farmasi
dari Direktur Jenderal. Direktur Jenderal yang dimaksud adalah Direktur
Jenderal pada kementerian kesehatan yang bertugas dan bertanggung jawab dalam
pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi tercantum dalam Permenkes RI Nomor1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah sebagai berikut:
1.
Berbadan usaha berupa perseroan terbatas
2.
Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat
3.
Memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP)
4.
Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang Apoteker Warga Negara
Indonesia (WNI) masing-masing sebagai penanggung jawab
pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu
5.
Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung ataupun tidak
langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.
2.1.3
Izin usaha industri
farmasi
Berdasarkan Permenkes RI Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010, untuk memperoleh izin usaha industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip. Permohonan persetujuan
prinsip diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal. Persetujuan prinsip
diberikan oleh Direktur Jenderal setelah pemohon memperoleh persetujuan Rencana
Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan. Dalam hal permohonan persetujuan prinsip
telah diberikan, pemohon dapat langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan, pemasangan dan instalasi peralatan, termasuk
produksi percobaan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persetujuan prinsip ini berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diubah
berdasarkan permohonan dari pemohon izin industri farmasi yang bersangkutan.
Tata cara pemberian persetujuan
prinsip dan izin usaha industri farmasi mengikuti alur sebagai
berikut:
Permohonan persetujuan prinsip yang
diajukan kepada Direktur Jenderal disertakan dengan tembusan kepada Kepala
Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
berian Izin Usaha
Industri Farmasi
2.1.4
Pencabutan
Izin Usaha Industri Farmasi
Pencabutan Izin Usaha Industri
Farmasi dilakukan bila Perusahaan Industri Farmasi yang telah mendapat Izin
Usaha Industri Farmasi:
1.
Melakukan pemindahtanganan hak milik
Izin Usaha Industri Farmasi dan
perluasan tanpa memiliki izin.
2.
Tidak menyampaikan informasi industri secara
berturut-turut 3 (tiga) kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang
tidak benar.
3.
Melakukan pemindahan lokasi usaha
industri tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Menteri.
4.
Dengan sengaja memproduksi Obat Jadi
atau Bahan Baku Obat yang tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku
(Obat Palsu).
5.
Tidak memenuhi ketentuan dalam Izin
Usaha Industri Farmasi yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan
No. 245/MenKes/SK/V/1990.
2.1.5
Pembinaan dan pengawasan
industri
farmasi
Pembinaan terhadap
pengembangan industri farmasi dilakukan oleh Direktur
Jenderal, sedangkan pengawasan dilakukan oleh Kepala Badan. Pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Permenkes RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
- Peringatan secara tertulis.
- Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu.
- Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu.
- Penghentian sementara kegiatan.
- Pembekuan izin industri farmasi.
- pencabutan izin industri farmasi.
2.2
Cara Pembuatan Obat
yang Baik
CPOB merupakan suatu konsep dalam industri
farmasi mengenai prosedur atau langkah-langkah yang dilakukan dalam suatu
industri untuk menjamin mutu obat, yang diproduksi dengan menerapkan Good
Manufacturing Practices (GMP) dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan
produksi, sehingga obat yang dihasilkan
senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan sesuai dengan tujuan
penggunaannya. CPOB bertujuan untuk menjamin obat yang dibuat secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan
sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan
pengendalian mutu.
Perkembangan
yang sangat pesat dalam teknologi farmasi menyebabkan perubahan-perubahan yang
sangat cepat pula dalam konsep serta persyaratan CPOB. Konsep CPOB bersifat
dinamis yang memerlukan penyesuaian dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan
teknologi di bidang farmasi. Ruang lingkup CPOB meliputi manajemen mutu, personalia, bangunan dan
fasilitas, peralatan, sanitasi dan higienis, produksi, pengawasan mutu,
inspeksi diri dan audit mutu, penanganan keluhan terhadap produk, penarikan
kembali produk dan produk kembalian, dokumentasi, pembuatan dan analisis
berdasarkan kontrak, serta kualifikasi dan validasi.
2.2.1
Manajemen mutu
Dalam manajemen mutu industri farmasi harus
membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi
persyaratan yang tercantum dalam izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan
resiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak
efektif. Manajemen mutu bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui
suatu “Kebijakan Mutu” yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua
jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok, dan para distributor.
Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan diperlukan
manajemen mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar.
Unsur dasar manajemen mutu adalah:
1. Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur
organisasi, prosedur, proses dan sumber daya.
2. Tindakan sistematis diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan
tingkat kepercayaan tinggi sehingga produk atau jasa pelayanan yang dihasilkan
akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Keseluruhan tindakan tersebut disebut pemastian mutu (Quality Assurance). CPOB adalah bagian dari pemastian mutu yang
memastikan bahwa obat dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai
standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaannya dan persyaratan dalam izin
edar serta spesifikasi produk.
2.2.2
Personalia
Sumber
daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem pemastian
mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh sebab itu industri
farmasi bertanggung jawab
untuk menyediakan personil yang terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk
melaksanakan semua tugas. Tiap personil hendaklah memahami tanggung jawab
masing-masing dan dicatat. Seluruh personil hendaklah memahami prinsip dasar
CPOB (basic GMP) dan memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk
instruksi mengenai higiene yang berkaitan dengan pekerjaan.
Personil
kunci mencakup kepala bagian produksi, kepala bagian pengawasan mutu dan kepala
bagian pemastian mutu. Kepala produksi dan pemastian mutu harus seorang
apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi dan memiliki pengalaman praktis.
Kepala bagian pengawasan mutu harus diutamakan seorang terkualifikasi dan
seorang apoteker. Dalam CPOB 2012 dijelaskan struktur organisasi industri
farmasi hendaklah sedemikian rupa sehingga bagian produksi, pengawasan mutu,
manajemen mutu (pemastian mutu) dipimpin oleh orang yang berbeda serta tidak
saling bertanggung jawab satu terhadap yang lain.
Masing-masing
personil hendaklah diberi wewenang penuh dan sarana yang memadai yang
diperlukan untuk dapat melaksanakan tugasnya secara efektif. Hendaklah personil
tersebut tidak mempunyai kepentingan lain di luar organisasi yang dapat
menghambat atau membatasi kewajibannya dalam melaksanakan tanggung jawab atau
yang dapat menimbulkan konflik kepentingan pribadi atau finansial
Industri
farmasi hendaklah memberikan pelatihan bagi seluruh personil yang karena
tugasnya harus berada di dalam area produksi, gudang penyimpanan atau
laboratorium (termasuk personil teknik, perawatan dan petugas kebersihan), dan
bagi personil lain yang kegiatannya dapat berdampak pada mutu produk.
Di
samping pelatihan dasar dalam teori dan praktik CPOB, personil baru hendaklah
mendapat pelatihan sesuai dengan tugas yang diberikan. Pelatihan berkesinambungan
hendaklah juga diberikan, dan efektifitas penerapannya dinilai secara berkala
dan didokumentasikan.
2.2.3
Bangunan dan fasilitas
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat
hendaklah memiliki desain, konstruksi, letak yang memadai dan kondisi yang
sesuai serta perawatan yang dilakukan dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan
operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa
untuk memperkecil terjadinya risiko kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan
lain serta memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk
menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain
yang dapat menurunkan mutu obat.
Untuk mencegah terjadinya pencemaran yang
berasal dari lingkungan dan sarana, maka diperlukan:
1.
Ruang terpisah yang
dirancang khusus
disiapkan untuk
menghindari kontaminasi.
2.
Kelas A atau dengan jumlah partikel 100, berada di bawah aliran udara laminer dan memiliki efisiensi saringan udara akhir sebesar 99.995%.
3.
Kelas B atau dengan jumlah partikel 100, merupakan ruangan steril, kelas
ini adalah lingkungan latar belakang untuk zona kelas A dan memiliki efisiensi saringan udara akhir sebesar 99.995%.
4.
Kelas C atau dengan jumlah partikel 10.000, merupakan ruangan steril dan memiliki efisiensi saringan udara sebesar 99.95%.
5.
Kelas D atau dengan jumlah partikel 100.000, adalah ruangan bersih dan
memiliki efisiensi saringan udara sebesar 99.95% bila menggunakan sistem
resirkulasi ditambah make-up air
(10-20% fresh air) atau efisiensi saringan udara 90% bila menggunakan
sistem single pass (100% fresh air).
6.
Kelas E adalah ruangan umum dan
memiliki efisiensi saringan udara sebesar 99.95% bila menggunakan sistem resirkulasi ditambah make-up air (10-20% fresh air) atau 90% bila menggunakan sistem single pass(100% fresh air).
Dalam bangunan suatu industri farmasi
permukaan bagian dalam ruangan seperti dinding, lantai dan langit-langit
hendaklah licin, bebas dari keretakan dan sambungan terbuka serta mudah
dibersihkan dan bila perlu mudah didesinfeksi. Lantai di daerah pengolahan
hendaklah dibuat dari bahan kedap air, permukaan yang rata dan memungkinkan
pembersihan secara cepat dan efisien. Dinding juga hendaklah kedap air dan
memiliki permukaan yang mudah dicuci. Sudut-sudut antara dinding, lantai dan
langit-langit dalam daerah-daerah kritis hendaklah berbentuk lengkungan.
2.2.4
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat hendaklah memiliki
rancang bangun dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai, dan
ditempatkan dengan tepat sehingga mutu dari setiap produk obat terjamin secara
seragam dari bets ke bets, serta untuk memudahkan
pembersihan dan perawatannya. Peralatan hendaknya
didesain dan dikonstruksikan sesuai
dengan tujuannya. Peralatan yang bersentuhan dengan bahan awal, produk
antara atau produk jadi tidak boleh menimbulkan reaksi, adisi, absorbsi yang
dapat mempengaruhi identitas, mutu atau kemurnian. Peralatan ditempatkan
sedemikian rupa untuk memperkecil kemungkinan terjadinya pencemaran silang
antar bahan di area yang sama. Peralatan satu sama lain ditempatkan pada jarak
yang cukup untuk menghindari penumpukan serta memastikan tidak terjadi
kekeliruan dan campur-baur produk. Peralatan dirawat sesuai jadwal untuk
mencegah malfungsi atau pencemaran yang bisa mempengaruhi identitas, mutu atau
kemurnian.
2.2.5
Sanitasi dan higienis
Tingkat sanitasi dan higienis yang tinggi hendaklah diterapkan
pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup meliputi personalia, bangunan,
peralatan, dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan setiap hal yang
dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran hendaklah
dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higienis yang menyeluruh serta
terpadu. Sanitasi
dan higienis yang diatur dalam pedoman CPOB adalah terhadap personalia,
bangunan, dan peralatan. Prosedur sanitasi dan higienis hendaklah divalidasi
serta dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas prosedur agar
selalu memenuhi persyaratan
2.2.6
Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang
telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang senantiasa dapat menjamin
produk obat jadi dan memenuhi ketentuan izin pembuatan serta izin edar
(registrasi) sesuai dengan spesifikasinya.
Mutu suatu obat tidak hanya ditentukan oleh
hasil analisis terhadap produk akhir, melainkan juga oleh
mutu yang dibangun selama tahapan proses produksi sejak pemilihan bahan awal,
penimbangan, proses produksi, personalia, bangunan, peralatan, kebersihan dan
higienis sampai dengan pengemasan.
Prinsip utama produksi
adalah :
1.
Adanya keseragaman atau homogenitas dari bets ke bets.
2.
Proses produksi dan pengemasan senantiasa menghasilkan produk yang
seidentik mungkin (dalam batas syarat mutu) baik bagi bets yang sudah
diproduksi maupun yang akan diproduksi.
Hakekat produksi adalah sebagai berikut:
1.
Mutu produk obat tidak ditentukan oleh hasil akhir analisis saja, tetapi ditentukan oleh keseluruhan proses produksi (built in
process).
2.
Adanya prosedur baku (standar) untuk setiap langkah (tahapan) proses
produksi dengan persyaratan yang harus diikuti dengan konsisten.
Penyimpanan tergantung dari kestabilan bahan
awal. Penyimpanan
hendaklah dilakukan dalam ruangan atau tempat yang suhunya diatur. CPOB mempersyaratkan klasifikasi ruangan berdasarkan suhu menjadi
5 jenis, yaitu:
1.
Suhu ruangan : 16-30oC
2.
Suhu ruangan yang
dikendalikan : ≤ 25oC
3.
Sejuk : 8-15oC
4.
Dingin : 2-8oC
5.
Beku : < 0oC
Ruangan steril, ruangan penyangga, ruangan ganti pakaian steril
dan ruangan ganti pakaian biasa atau ruangan produksi lain hendaklah memiliki
perbedaaan tekanan udara 10-15 Pa. Tekanan udara dalam ruangan yang memiliki
risiko yang lebih tinggi terhadap suatu produk hendaklah selalu lebih tinggi
dari pada ruangan lain.
Prosedur produksi dibuat oleh penanggung jawab produksi bersama
dengan penanggung jawab pengawasan mutu yang dapat menjamin obat yang
dihasilkan memenuhi spesifikasi yang ditentukan. Prosedur kerja standar
hendaklah tertulis, mudah dipahami dan dipatuhi oleh karyawan produksi.
Dokumentasi setiap langkah dilakukan dengan cermat, tepat dan ditangani oleh
karyawan yang melaksanakan tugas.
2.2.7
Pengawasan mutu
Pengawasan mutu merupakan bagian yang
esensial dari CPOB untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten
mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan
komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan
untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi
obat jadi. Pengawasan mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga
harus terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk.
Ketidaktergantungan pengawasan mutu dari produksi dianggap hal yang fundamental
agar pengawasan mutu dapat melakukan kegiatan dengan memuaskan.
Pengawasan mutu hendaklah mencakup semua
kegiatan analitik yang dilakukan di laboratorium termasuk pengambilan sampel,
pemeriksaan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi.
Kegiatan ini mencakup juga uji stabilitas, program pemantauan lingkungan,
pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel pertinggal,
menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan,
produk serta metode pengujiannya.
Bagian pengawasan mutu dalam suatu pabrik obat bertanggung jawab
untuk memastikan bahwa:
1.
Bahan awal untuk produksi
obat memenuhi spesifikasi yang ditetapkan untuk identitas, kekuatan, kemurnian,
kualitas, dan keamanannya.
2.
Tahapan produksi obat telah
dilaksanakan sesuai prosedur yang ditetapkan dan telah divalidasi sebelumnya
antara lain melalui evaluasi, dokumentasi, dan produksi.
3.
Semua pengawasan selama proses
dan pemeriksaan laboratorium terhadap suatu bets obat telah dilaksanakan dan
bets tersebut memenuhi spesifikasi yang ditetapkan sebelum didistribusikan.
4.
Suatu bets obat memenuhi persyaratan
mutunya selama waktu peredaran yang ditetapkan.
Area
laboratorium pengujian mutu hendaklah terpisah secara fisik dari ruang produksi
agar terbebas dari sumber cemaran maupun getaran yang dapat
berpengaruh terhadap hasil pengujian. Laboratorium fisiko-kimia, mikrobiologi,
dan kimia hendaklah terpisah satu sama lain karena perbedaan jenis pengujian, peralatan dan bahan-bahan
penguji yang terdapat di setiap laboratorium.
Kegiatan bagian pengawasan mutu yang dipersyaratkan dalam CPOB
adalah sebagai berikut:
a.
Penanganan baku pembanding.
b.
Penyusunan spesifikasi dan
prosedur pengujian.
c.
Penanganan contoh pertinggal.
d.
Validasi.
e.
Pengawasan terhadap bahan
awal, produk antara, produk ruahan, dan obat jadi meliputi spesifikasi,
pengambilan contoh, pengujian untuk bahan-bahan tersebut, serta in process
control.
f.
Pengujian ulang bahan yang
diluluskan.
g.
Pengujian stabilitas.
h.
Penanganan terhadap keluhan
produk dan produk kembalian.
Bagian pengawasan mutu
memiliki wewenang khusus untuk memberikan keputusan akhir meluluskan atau
menolak atas mutu bahan baku, produk obat ataupun hal lain yang mempengaruhi
mutu obat. Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang
diterapkan bagian pengawasan mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang
diperlukan telah dilakukan sebelum bahan digunakan dalam produksi dan produk
disetujui sebelum didistribusikan. Personil pengawasan mutu hendaklah memiliki
akses ke area produksi untuk pengambilan sampel dan penyelidikan yang
diperlukan.
2.2.8
Inspeksi diri dan audit
mutu
Tujuan inspeksi diri adalah untuk
mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi
memenuhi ketentuan CPOB. Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk
mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan
perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen
dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan. Ada manfaatnya juga bila
menggunakan auditor luar yang independen. Inspeksi diri
hendaklah dilakukan secara rutin dan pada situasi khusus, misalnya bila
terjadinya penarikan kembali obat jadi atau terjadi penolakan yang berulang.
Semua saran untuk tindakan perbaikan supaya dilaksanakan. Prosedur dan catatan
inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang
efektif.
Inspeksi diri dapat dilakukan oleh tiap
bagian sesuai dengan kebutuhan pabrik, namun inspeksi diri yang dilakukan secara menyeluruh hendaklah dilaksanakan
minimal satu kali dalam setahun. Frekuensi inspeksi diri hendaklah tertulis
dalam prosedur tetap inspeksi diri.
2.2.9
Penanganan keluhan
terhadap produk, penarikan kembali
produk dan produk kembalian
Semua
keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan
obat hendaklah dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis. Untuk
menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu sistem, bila perlu
mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat dari
peredaran secara cepat dan efektif. Penarikan kembali produk adalah suatu
proses penarikan kembali satu atau beberapa bets atau seluruh bets produk tertentu
dari peredaran. Penarikan kembali produk dilakukan apabila ditemukan produk
yang cacat mutu atau bila ada laporan mengenai reaksi yang merugikan yang
serius serta beresiko terhadap kesehatan. Penarikan kembali produk dari
peredaran dan dapat mengakibatkan penundaan atau penghentian pembuatan obat
tersebut. Produk kembalian adalah obat jadi yang telah beredar, yang kemudian
dikembalikan ke industri farmasi karena keluhan mengenai kerusakan, daluarsa,
atau alasan lain misalnya kondisi wadah atau kemasan yang menimbulkan keraguan
akan identitas, mutu, jumlah dan keamanan obat yang bersangkutan.
Keluhan
terhadap obat mencakup keluhan terhadap mutu (keadaan fisik, kimia dan
biologi), reaksi yang merugikan atau masalah efek terapetik (tidak berkhasiat).
Semua keluhan dan laporan keluhan hendaklah diteliti dan dievaluasi dengan
cermat, kemudian diambil tindak lanjut yang sesuai dan dibuatkan laporan.
Tindakan penarikan kembali dilakukan segera setelah diketahui ada produk yang
cacat mutu atau diterima laporan mengenai reaksi yang merugikan. Pabrik hendaklah membuat prosedur untuk
menahan, menyelidiki dan menganalisis obat yang dikembalikan serta menetapkan
apakah obat tersebut dapat diproses kembali atau harus dimusnahkan.
2.2.10. Dokumentasi
Dokumentasi
adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik
merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu. Dokumentasi yang jelas
adalah fundamental untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas
yang relevan secara jelas dan rinci sehingga memperkecil resiko terjadi salah tafsir
dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan.
Spesifikasi, dokumen produksi induk/formula pembuatan, prosedur tetap, metode
dan instruksi, laporan dan catatan harus bebas dari kekeliruan dan tersedia
secara tertulis. Keterbacaan dokumen adalah sangat penting.
2.2.11. Pembuatan dan Analisis
Berdasarkan Kontrak
Pembuatan
dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan
dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau
pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi
kontrak dan penerima kontrak harus dibuat secara jelas menentukan tanggung
jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas
prosedur pelulusan setiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung
jawab penuh kepala bagian pemastian mutu. Pada bab ini meliputi tanggung jawab
industri farmasi terhadap Otoritas Pengawasan Obat (OPO) dalam hal pemberian
izin edar dan pembuatan obat.
2.2.12 Kualifikasi dan validasi
CPOB mengisyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi
validasi yang diperlukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari
kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan dan
proses yang dapat mempengaruhi mutu produk hendaklah divalidasi. Pendekatan dengan kajian risiko hendaklah
digunakan untuk menentukan ruang lingkup dan cakupan validasi.
Seluruh kegiatan validasi hendaklah
direncanakan. Unsur utama program validasi hendaklah dirinci dengan jelas dan didokumentasikan
dalam Rencana Induk Validasi (RIV) atau dokumen setara. RIV merupakan dokumen
yang singkat, tepat dan jelas serta
mencakup sekurang-kurangnya kebijakan validasi, struktur organisasi kegiatan
validasi, ringkasan fasilitas, sistem, peralatan, proses yang akan divalidasi,
format dokumen, format protokol, laporan validasi, perencanaan dan jadwal
pelaksanaan, pengendalian perubahan, serta acuan dokumen yang digunakan.
RIV dapat dibuat tersendiri untuk suatu
proyek besar dan/atau kompleks, misalnya bangunan dan fasilitas baru, sistem
HVAC, sistem pengolahan air dan sistem komputerisasi, fasilitas betalaktam,
fasilitas steril, validasi metode analisis, validasi
pembersihan atau digabungkan ke dalam satu dokumen RIV. Pada
validasi proses dapat berupa validasi prospektif, validasi concurent,
validasi retrospektif, selain validasi proses ada pula validasi pembersihan,
validasi metode analisis. Kualifikasi adalah suatu tindakan pembuktian yang
terdokumentasi dengan tujuan untuk memastikan bahwa instrumen atau sistem yang
digunakan sesuai dengan yang telah ditetapkan.
Kualifikasi mencakup :
a)
Kualifikasi desain (Design
Qualification) yaitu suatu tindakan yang terdokumentasi untuk memastikan
bahwa desain dari fasilitas, sistem dan peralatan sesuai dengan tujuan yang
diinginkan
b)
Kualifikasi instalasi (Installation
Qualification) yaitu suatu tindakan yang terdokumentasi untuk memastikan
bahwa alat atau instrumen telah dipasang sesuai dengan desain dari spesifikasi
instalasi alat tersebut.
c)
Kualifikasi Operasional (Operational
Qualification) adalah suatu tindakan yang terdokumentasi untuk memastikan
bahwa alat atau instrumen tersebut telah dapat beroperasi sesuai
spesifikasinya.
d)
Kualifikasi Kinerja (Performance
Qualification) yaitu suatu tindakan yang terdokumentasi untuk memastikan
kinerja dari alat tersebut telah menghasilkan produk atau keluaran (output)
lain secara konsisten sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan.
Kualifikasi fasilitas, peralatan dan
sistem terpasang yang telah operasional yaitu suatu tindakan yang
terdokumentasi untuk memastikan parameter operasional dan batas variabel kritis
pengoperasian alat, kalibrasi, pembersihan, perawatan preventif serta prosedur
dan catatan pelatihan operator.
2.3
Peran, Fungsi, dan Tugas Apoteker di
Industri
Peran apoteker di industri seperti yang
disarankan oleh World Health Organization
(WHO), yaitu Eight Star of Pharmacist
yang meliputi :
1.
Care
Giver
Apoteker
sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk informasi obat, efek samping obat dan
lain-lain kepada profesi kesehatan. Perlu ada interaksi dengan
individu/kelompok di dalam industri (regulatory, QA/QC, produksi dll) dan
individu/kelompok di luar industri.
2.
Decision
maker
Apoteker
sebagai pengambil keputusan yang tepat untuk mengefisienkan dan mengefektifkan
sumber daya yang ada di industri.
3.
Communicator
Apoteker
harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik secara lisan maupun
tulisan.
4.
Leader
Apoteker
sebagai pemimpin yang berani mengambil keputusan dalam mengatasi berbagai
permasalahan di industri dan memberikan bimbingan ke bawahannya dalam mencapai
sasaran industri.
5.
Manager
Apoteker
sebagai pengelola seluruh sumber daya yang ada di industri farmasi dan mampu
mengakumulasikannya untuk meningkatkan kinerja industri dari waktu ke waktu.
6.
Long-life learner
Apoteker
belajar terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan.
7.
Teacher
Bertanggung
jawab untuk memberikan pendidikan dan pelatihan mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan dunia industri kepada sejawat apoteker atau lainnya.
8.
Researcher
Berperan
serta dalam berbagai penelitian guna mengembangkan ilmu kefarmasian dan
kemajuan bidang kesehatan.
Peran
tersebut diterapkan di dalam semua aspek CPOB. Menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 9,
dimana Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai
penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan
pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi. Kepala bagian Produksi dan
kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) atau kepala bagian Pengawasan
Mutu harus independen satu terhadap yang lain.
2.3.1 Kepala
Bagian Produksi
Tugas dari kepala bagian
produksi diantaranya :
1.
Kepala bagian produksi hendaklah
apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi, memperoleh pelatihan dan sesuai,
memiliki pengalaman praktis yang memadai dalam bidang pembuatan obat dan
keterampilan manajerial sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara
profesional. Kepala bagian produksi hendaklah diberi kewenangan dan tanggung
jawab penuh dalam produksi obat, termasuk kepada kepala bagian Manajemen Mutu
(Pemastian Mutu).
2.
Memeriksa pemeliharaan bangunan dan
fasilitas serta peralatan di bagian produksi.
3.
Memastikan bahwa validasi yang sesuai
telah dilaksanakan.
4.
Memastikan bahwa obat diproduksi dan
disimpan sesuai prosedur agar memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan.
5.
Memberikan persetujuan petunjuk kerja yang terkait dengan produksi dan
memastikan bahwa petunjuk kerja diterapkan secara tepat.
6.
Memastikan bahwa catatan produksi telah
dievaluasi dan ditandatangani oleh Kepala Bagian Produksi sebelum diserahkan.
7.
Memastikan bahwa pelatihan awal dan
berkesinambungan bagi personil di departemennya dilaksanakan dan diterapkan
sesuai kebutuhan.
2.3.2 Kepala Bagian Pengawasan Mutu
Kepala
Bagian Pengawasan Mutu hendaklah seorang yang terkualifikasi dan lebih
diutamakan seorang apoteker, memperoleh pelatihan yang sesuai, memiliki
pengalaman praktis yang memadai dan keterampilan manajerial sehingga
memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara profesional. Kepala bagian
pengawasan mutu hendaklah diberi kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam
pengawasan mutu, termasuk:
1. Menyetujui
atau menolak bahan awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan dan
produk jadi.
2. Memastikan
bahwa seluruh pengujian yang diperlukan telah dilaksanakan.
3. Memberi
persetujuan terhadap spesifikasi, petunjuk kerja pengambilan contoh, metode
pengujian dan prosedur pengawasan mutu lain.
4. Memberi
persetujuan dan memantau semua kontrak analisis.
5. Memeriksa
pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian pengawasan mutu.
6. Memastikan
bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan.
7. Memastikan
bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di departemennya dilaksanakan dan
diterapkan sesuai kebutuhan.
2.3.3
Kepala Bagian Pemastian Mutu
Kepala
Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) hendaklah seorang apoteker yang
terdaftar dan terkualifikasi memperoleh pelatihan yang sesuai, memiliki
pengalaman praktis yang memadai dan keterampilan manajerial sehingga
memungkinkan untuk melaksanakan tugas secara profesional. Kepala Bagian
Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) hendaklah diberi kewenangan dan tanggung jawab
penuh untuk melaksanakan tugas yang berhubungan dengan sistem mutu/pemastian
mutu, termasuk:
1. Memastikan
penerapan (dan, bila diperlukan, membentuk) sistem mutu.
2. Ikut
serta dalam atau memprakarsai pembentukan acuan mutu perusahaan.
3. Memprakarsai
dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala.
4. Melakukan
pengawasan terhadap fungsi bagian Pengawasan Mutu.
5. Memprakarsai
dan berpartisipasi dalam pelaksanaan audit eksternal (audit terhadap pemasok).
6. Memprakarsai
dan berpartisipasi dalam program validasi.
7. Memastikan
pemenuhan persyaratan teknik atau peraturan Otoritas Pengawasan Obat (OPO) yang berkaitan dengan mutu
produk jadi.
8. Mengevaluasi/mengkaji
catatan bets.
9. Meluluskan
atau menolak produk jadi untuk penjualan dengan mempertimbangkan semua faktor terkait.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar