Google ads

Jumat, 18 Januari 2013

HIV



INTISARI
1.      Infeksi HIV terjadi pada manusia terutama melalui 3 cara utama, yaitu: seksual, parenteral, dan perinatal. Umumnya penularan terjadi melalui hubungan seksual, terutama hubungan seks vaginal dan anal.
2.      Sewaktu virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia, glikoprotein terluar (gp160) berfungsi sebagai pembawa (carrier) bagi virus untuk berikatan dengan reseptor CD4, protein permukaan dari limfosit T-helper, monosit, makrofag, sel dendrit dan mikroglia otak. Sub unit gp120 dari gp160 memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor CD4 dan dapat merespon pembentukan ikatan antara virus dengan sel.
3.      Tujuan terapi antiretroviral adalah untuk mencapai penghambatan maksimum  terhadap replikasi HIV, hal ini ditunjukkan dengan kadar viral load dalam plasma lebih kecil dari batas terendah pengukuran dan peningkatan limfosit CD4 karena ini merupakan faktor penentu resiko berkembangnya infeksi oportunistik.
4.      Faktor utama yang membatasi kemampuan obat antiretroviral dalam menghambat replikasi virus dan perkembangan penyakit adalah munculnya varian HIV yang resisten. Pemakaian terapi kombinasi antiretroviral dilakukan untuk mengantisipasi interaksi tersebut sehingga penghambatan maksimum replikasi dapat tercapai.
5.      Secara klinis penggunaan obat antiretroviral dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obat yang lain. Interaksi tersebut ada yang menguntungkan dan ada juga yang merugikan, tergantung dari konsentrasi obatnya.
6.      Direkomendasikan bahwa pengobatan infeksi HIV minimal menggunakan 3 obat antiretroviral yang terdiri dari 2 analog nukleosida dan 1 penghambat enzim protease (non nukleosida).
7.      Prinsip umum penanggulangan infeksi oportunistik pada penderita HIV meliputi monitoring kondisi imun penderita, profilaksis primer, pengobatan dan profilaksis sekunder.
8.      Pengobatan infeksi Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) dengan obat-obat  seperti trimetoprim-sulfametoksazol (cotrimoxazole) atau pentamidin parenteral yang menghasilkan respon rate antara 60 - 100%. Trimetoprim-sulfametoksazol merupakan obat pilihan untuk pengobatan dan profilaksis pasien PCP dengan atau tanpa HIV karena efek toksiknya yang ringan.
9.      Kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin paling efektif untuk terapi HIV yang dikaitkan dengan toxoplasmosis pada Sistem Saraf Pusat (SSP).
10.  Terapi kombinasi tersebut diteruskan sampai 3 (tiga) minggu. Namun, untuk pasien dengan kondisi penyakit yang berat direkomendasikan agar terapi dilakukan sampai 6 minggu. Untuk pengobatan cryptococcal meningitis amfoterisin B lebih efektif dibanding flukonazol karena perkembangan penyakit dan laju kematian dapat diperlambat. Pasien dengan cryptococcal meningitis kemungkinan dapat diberikan amfotericin B sebagai terapi akut dengan dosis intravena 0,5 mg/kg per hari minimum selama 2 minggu.
11.  Pengobatan untuk infeksi yang kompleks dari Mycobacterium avium dilakukan dengan memberikan 2 obat antimikroba. Setiap rejimen terdiri atas klaritromisin atau azitromisin ditambah dengan antimikroba lain seperti etambutol. 1
12.  Acyclovir merupakan obat pilihan untuk pengobatan infeksi virus herpes simplex (HSV). Untuk pengobatan ulangan dapat diberikan terapi acyclovir dosis rendah secara oral.
Pada tahun 1981, AIDS (The Acquired Immune Deficiency Syndrome) pertama sekali dikenal oleh kalangan medis sebagai suatu kesatuan penyakit yang secara klinis berbeda (distinct clinical entity). Sindrom ini awalnya ditemukan pada seorang pemuda homoseksual yang mengalami kelemahan pada sistem kekebalan tubuhnya, Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), dan sarkoma Kaposi. Penyebab utama AIDS adalah retrovirus HIV tipe-1.1,2  Retroviral HIV tipe-2 juga menyebabkan AIDS tetapi penyebarannya lebih sedikit. Penyebaran virus tersebut terutama melalui kontak seksual dan darah atau produk darah yang terkontaminasi dengan virus HIV. Kebiasaaan - kebiasaan yang beresiko tinggi menyebabkan penyebaran infeksi HIV antara lain: melakukan hubungan seksual anorektal dan penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi virus HIV secara bergantian. Penyebaran HIV melalui hubungan heteroseksual dan penyebaran ibu hamil ke janinnya kian meningkat di dunia sehingga semakin memperburuk permasalahan. Data statistik mengenai prevalensi dan angka insidensi menunjukkan bahwa penyebaran infeksi HIV tidak berhasil diatasi dengan pengobatan. Namun, kombinasi agen antiretroviral yang dikenal sebagai highly active antiretroviral therapy (HAART) ternyata dapat menghambat replikasi virus HIV, memperlambat munculnya AIDS dan memperpanjang umur pasien.3 Namun sayangnya keberhasilan ini menjadi kurang maknanya karena toksisitas yang ditimbulkan akibat pemakaian jangka panjang dari obat antiretroviral tersebut.4 Tujuan dari bab ini adalah untuk menyediakan diskusi mengenai epidemiologi dan dan manifestasi penyakit HIV, strategi terapetik yang berhubungan langsung dengan penghambatan virus, manajemen HIV yang dihubungkan dengan infeksi opportunistik.

 
H I V

EPIDEMIOLOGI

Hasil surveilans dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengenai kasus infeksi HIV dan AIDS di AS dapat dilihat pada Tabel 123-1 dan dilaporkan oleh bagian pelayanan kesehatan di departemen kesehatan.5 Angka kumulatif kasus AIDS di AS pada akhir Desember 2001 mencapai  816.149/467.910 (lebih dari separuh) meninggal dunia. Jumlah yang terinfeksi HIV 181.976 orang, sementara AIDS mencapai 344.178 orang. Dilaporkan juga bahwa jumlah kasus yang terjadi pada laki-laki lebih besar dibanding wanita (6:1). Kasus HIV paling banyak menginfeksi penduduk keturunan Afrika-Amerika yakni masing-masing 42% dan 20% dari jumlah kasus AIDS yang terjadi.6 Diperkirakan prevalensi HIV di AS mencapai 850.000 sampai 950.000 orang. Setiap tahun CDC menemukan 40.000 kasus baru dari 70% penduduk yang diperiksa. Sementara dari jumlah tersebut hanya setengahnya yang memperoleh pelayanan medis. Proporsi wanita yang terinfeksi HIV terus meningkat.7 Sedangkan kasus terbanyak terjadi pada kelompok laki-laki homoseksual. Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 34 – 36 juta orang dewasa dan anak-anak di seluruh dunia telah terinfeksi HIV, terutama di kawasan sub-Sahara, Afrika (25 – 28,2 juta) dan Asia Tenggara (4,6 – 8,2 juta). Anak-anak usia di bawah 15 tahun yang terinfeksi mencapai 2,5 juta. Diperkirakan 5 juta kasus baru HIV pada anak ditemukan setiap tahun dimana 95% terjadi di negara berkembang dan penularannya paling banyak melalui hubungan seks lain jenis (heteroseks). 9

ETIOLOGI

HIV adalah salah satu anggota dari lentivirinae (lenti, berarti “lambat”) subfamili  dari retrovirus. Karakteristik lentivirus ditunjukkan oleh siklus hidupnya yang lambat. Virus HIV dikelompokkan kedalam 2 tipe yaitu HIV tipe-1 dan HIV tipe-2. HIV tipe-2 paling banyak ditemukan di Wilayah Afrika Bagian Barat yang dibedakan atas 6 subtipe berdasarkan filogeninya yaitu subtipe A, B, C, D, E dan F. HIV-1 juga dapat dikelompokkan menurut filogennya menjadi 3 tipe: Main (M), Outlier (O) dan N (Non-M atau Non-O). HIV-1 tipe M dikelompokkan menjadi 9 subtipe yaitu A, B, C, D, F, G, H, J dan K. Campuran dari subtipe disebut disebut sebagai bentuk rekombinan (circulating recombinant forms).10 Endemi HIV di Amerika Utara dan Eropa Barat terutama disebabkan oleh HIV-1 subtipe B.
Bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa HIV pada manusia terjadi akibat penyebaran silang (cross transmition) dari spesis primata yang terinfeksi simian immunodeficiency virus (SIV). Hubungan filogenetik dan geografi mendorong munculnya HIV-2 dari SIV yang menginfeksi sooty mangabeys. Tipe baru HIV-1 masih kurang jelas tetapi diperkirakan mirip dengan HIV-1 dan SIVcpz yaitu suatu virus yang menyerang simpanse (Pan troglodytes troglodytes). Secara kultural kebiasaan-kebiasaan seperti memberi makan atau membawa simpanse sebagai hewan peliharaan mungkin disertai dengan perpindahan virus dari primata ke manusia. Manusia yang terinfeksi HIV pertama kali ditemukan di Afrika Tengah pada tahun 1959. Transportasi modern, hubungan seksual dan penyalahgunaan obat menyebabkan penyebaran virus HIV menjadi meningkat di AS dan seluruh dunia.

DETEKSI DAN GEJALA PERKEMBANGAN PENYAKIT HIV

Ketika seseorang diduga terinfeksi HIV, baik yang memiliki kebiasaan beresiko tinggi atau dengan gejala-gejala tidak jelas, sebaiknya diperiksa dengan metode laboratorium. Pemeriksaan umumnya dilakukan dengan metode ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). Metode ini memiliki kemampuan untuk mendeteksi antibodi HIV-1. Uji ELISA memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi (> 99%), namun pemeriksaan dengan hasil positif-palsu bisa muncul pada wanita multiparous; pasien dengan infeksi hepatitis B, influenza atau pasien yang menerima vaksin rabies; pasien yang menerima transfusi darah berkali-kali, penyakit hati dan gangguan ginjal; atau mengalami hemodialisis kronik. Hasil negatif-palsu mungkin juga terjadi jika pasien yang baru terinfeksi dan uji dilakukan sebelum produksi antibodi memadai. Waktu pembentukan antibodi minimal sekitar 3 - 4 minggu setelah terinfeksi, lebih dari 95% individu mengalami perkembangan antibodi setelah 6 bulan. Metode terbaik untuk menentukan sampel ELISA telah dikembangkan antara lain oral sample collecting (OraSure), an over-the-counter home fingerstick blood-collection test system (Home Access), dan tes urin (Calpyte). Uji ELISA dilakukan dengan 2 kali pengulangan, jika satu atau dua tes tersebut reaktif maka dilakukan uji konfirmasi untuk diagnosa akhir. Uji konfirmasi yang umum digunakan adalah uji Western blot dan uji immunofluorosensi. Seseorang dikatakan terinfeksi HIV jika hasil uji ELISA dan konfirmasi menunjukkan hasil positif.  Apabila hasil uji konfirmasi meragukan, dapat dilakukan pengulangan setelah 30 hari atau mengukur viral load atau gejala yang muncul pada pasien yang beresiko tinggi HIV.12
Salah satu diagnosa HIV yang bisa dilakukan adalah memonitor gejala-gejala vital infeksi dengan mengukur jumlah viral load dan sel CD4. Uji viral load dilakukan untuk mengukur tingkat viremia yaitu jumlah viral RNA HIV dalam plasma. Ada beberapa metode yang digunakan untuk menentukan RNA HIV yaitu reverse transcriptase–coupled polymerase chain reaction (RT-PCR), branched-chain DNA (bDNA), transcription-mediated amplification, dan nucleic acid sequence based assay. RT-PCR dan bDNA lebih banyak dipakai dibanding teknik yang lain. Viral load diukur sebagai jumlah copi (penggandaan) viral RNA per milliliter (copi/mL). Setiap metode mempunyai sensitivitas tertentu terhadap subtipe viral sehingga hasilnya dapat bervariasi antara satu metode dengan metode lainnya. Oleh karena itu, disarankan agar senantiasa menggunakan satu metode saja pada pasien yang diperiksa.  Reduksi viral load dinyatakan dalam logaritma 10. Misalnya jika pasien pada awalnya jumlah memiliki viral load 100.000 copi/mL (105 copi/mL) dan kemudian menjadi 10.000 copi/mL (104 copi/mL), maka penurunan viral load adalah 1 log10. Umumnya, pasien dikatakan memberikan respon klinik, jika responnya lebih besar dari 0,5 log10. Penentuan viral load memiliki spesifisitas di atas 99% dan dapat digunakan untuk mendeteksi strain HIV. Lebih penting lagi bahwa viral load dapat digunakan sebagai faktor prognostik untuk memonitor perkembangan penyakit dan efek pengobatan.12
Karena HIV menyerang dan merusak sel yang berhubungan dengan reseptor CD4, maka jumlah limfosit CD4 dalam darah merupakan suatu tanda dari perkembangan penyakit. Orang dewasa normal mempunyai limfosit CD4 antara 500 - 1600 sel/µL atau 40% - 70% dari total limfosit. Jumlah CD4 pada anak-anak tergantung usia, dimana anak-anak dengan usia lebih muda mempunyai jumlah CD4 lebih tinggi. Penurunan jumlah sel CD4 diasosiasikan dengan perkembangan infeksi oportunistik dan gejala AIDS lainnya.13

PENULARAN HIV

Infeksi HIV terjadi melalui 3 cara utama yaitu seksual, parenteral dan perinatal. Penularan HIV umumnya melalui hubungan seksual, terutama seks anal dan vaginal. HIV dapat ditemukan pada semen dan sekresi serviks serta cairan tubuh lain dan ini bisa menularkan virus. Tidak ada satu pun aktivitas seksual yang benar-benar aman. Resiko penularan HIV pada orang yang melakukan hubungan anorektal sekitar 0,1% - 3% setiap kali kontak, seks vaginal 0,1% - 0,2%.14 Resiko infeksi akan meningkat apabila pasangan berada pada stadium tinggi dari perkembangan penyakit. Kaum heteroseksual dengan penyakit seksual ulseratif, senang berganti-ganti pasangan, pasangan dari pengguna narkoba jarum suntik merupakan golongan yang beresiko paling tinggi tertular HIV. Resiko penularan akan meningkat pada wanita dengan pengalaman pendarahan vagina selama berhubungan seks. Individu dengan ulser genital seperti sifilis, atau herpes memiliki resiko 4 kali lebih besar terhadap HIV. Gonorhea, klamidia, and trikhomoniasis meningkatkan resiko 2 -3 kalinya. Pasangan seks dari laki-laki yang berkhitan lebih kecil beresiko HIV dibanding pasangan dari laki-laki yang tidak berkhitan, dipercaya bahwa adanya kulit khitan (foreskin) merupakan suatu pelindung untuk pasangannya terhadap infeksi HIV. Infeksi juga dapat terjadi melalui inseminasi artifisial dengan semen yang terinfeksi. Resiko HIV pada seks oral kurang dapat dijelaskan. Kontak dengan pasien HIV/AIDS bukan merupakan faktor resiko penularan HIV yang signifikan. Pencegahan penularan seksual pada orang dewasa adalah dengan penggunaan kondom, menurunkan yang beresiko tinggi dan pengobatan penyakit menular seksual. Pendekatan melalui berbagai cara dapat dilakukan untuk mendukung keberhasilan program pencegahan penularan HIV. Yang terpenting adalah bagaimana menghindari faktor resiko penularan HIV selama masa remaja. Dimasa akan datang, pengembangan metode pencegahan seperti vaksin HIV dan sediaan topikal vaginal yang mengandung mikrobisida mungkin dapat membatasi penyebaran HIV secara seksual.
Pencegahan penularan HIV secara parenteral meliputi pengendalian kontaminasi terhadap darah dan produk darah, alat-alat suntik dan transplantasi organ. Penggunaan jarum dan alat injeksi lain yang terkontaminasi virus HIV oleh “pemakai narkoba” merupakan penyebab utama penularan melalui parenteral di AS yaitu seperempat dari total kasus. Sementara itu, penularan melalui transfusi darah, komponen darah dan transplantasi organ lebih kecil dari 1%.6 Ini menunjukkan bahwa prosedur inaktivasi viral dan skrining darah dan donor organ perlu untuk diperhatikan. Cara tersebut mampu menurunkan faktor resiko penularan melalui darah dan produk darah menjadi 1 per 493.000.15 Petugas kesehatan juga dapat tertular melalui luka insidental. Kasus terbanyak yang menimpah petugas diakibatkan oleh luka perkutan akibat tertusuk jarum suntik. Hasil studi menunjukan bahwa resiko penularan HIV pada petugas akibat jarum suntik mencapai 0,3%. Faktor resiko yang nyata penyebab serokonversi meliputi luka yang dalam, lebar dan paparan dari orang yang meninggal akibat AIDS. Pedoman keamanan untuk petugas pelayanan kesehatan telah dikembangkan untuk meminimalkan bahaya dari paparan peralatan kerja.16
Infeksi HIV secara perinatal atau vertikal dari ibu ke anak banyak dialami oleh anak-anak. Banyak infeksi terjadi selama kelahiran atau mendekati masa kelahiran dan oleh sebab itu pengobatan kepada ibu yang terinfeksi menjadi penting. Resiko penularan dari ibu ke anak diperkirakan sekitar 25% sewaktu menyusui dan terapi antiretroviral. Faktor-faktor yang meningkatkan penularan vertikal antara lain: pecahnya membran dalam waktu yang lama, chorioamnionitis, infeksi genital selama kehamilan, proses kelahiran, berat badan di bawah 2.500 g, penggunaan narkoba selama kehamilan, dan jumlah viral load maternal yang tinggi.17 Menyusui juga dapat menularkan HIV (diperkirakan 16,2% kasus) dengan mayoritas  infeksi berkembang pada 6 bulan pertama. Penggunaan menu makanan bayi dan menempatkannya di lingkungan yang bebas dari HIV (44%) dapat mencegah infeksi setelah 2 tahun.18 Di negara-negara, dimana infeksi HIV dari ibu ke anak tinggi dan tersedia makanan eksternal yang aman untuk bayi maka disarankan agar ibu tidak menyusui anaknya. 

PATOGENESIS

Siklus hidup HIV (Gambar. 123–1) cukup rumit tapi penting untuk diketahui karena berkaitan dengan strategi pengobatan. Sewaktu virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia, glikoprotein terluar (gp160) berfungsi sebagai pembawa (carrier) bagi virus untuk berikatan dengan reseptor CD4, protein permukaan dari limfosit T-helper, monosit, makrofag, sel dendrit dan mikroglia otak. Sub unit gp120 dari gp160 memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor CD4 dan dapat merespon ikatan antara virus dengan sel. Ketika ikatan terbentuk maka HIV yang melekat pada sel akan terbawa sampai ke co-reseptor kemokine. Ada 2 reseptor kemokine yang digunakan oleh HIV yaitu CCR5 and CXCR4. HIV yang memakai CCR5, yakni jenis virus R5 menyebabkan makrofag-tropik dan non-syncytium inducing. Jenis virus R5 paling banyak ditemukan pada kasus penularan HIV secara seksual. Virus X4 yang memakai CXCR4 sebagai co-reseptor yaitu sel tropik-T. Virus ini cukup dominan dalam stadium lanjut dan syncytium-inducing. Hasil pemeriksaan klinis menunjukkan bahwa isolat mengandung campuran virus R5 dan X4 serta beberapa strain viral, campuran ini disebut virus R5X4 yang bersifat dual-tropic (yaitu dapat menggunakan kedua co-reseptor). Secara genetik hambatan ekspresi reseptor kemokine akan mencegah perkembangan AIDS pada orang yang terpapar virus.19 Serangan HIV terhadap sel akan menyebabkan fusi dan adsorpsi virus (proses internalisasi) yaitu suatu proses yang diperantarai oleh subunit gp 41.


Setelah internalisasi, virus menjadi tidak terproteksi (uncoated) dan akan leluasa bereplikasi. Material genetik HIV berupa singlestrand RNA (ssRNA), virus harus menerjemahkan (transkripsi) RNA ini menjadi DNA agar replikasi dalam sel manusia dapat berjalan optimal (secara normal transkripsi terjadi dari DNA menjadi RNA, HIV bekerja sebaliknya sehingga disebut retrovirus). Untuk melakukan ini, virus HIV menggunakan suatu enzim yang unik yaitu RNA-dependent DNA polymerase (reverse transcriptase). Enzim ini pertama kali akan mensintesa suatu komplemen strand dari DNA dengan memakai RNA sebagai templet. Hibrid DNA-RNA ini kemudian digantikan secara parsial oleh ribonuclease-H (Rnase-H) dan reverse transcriptase selanjutnya bertanggungjawab untuk melengkapi sintesa molekul double-stranded DNA (dsDNA). Terbentuknya produk DNA yang salah akan mendorong virus bermutasi dengan cepat diikuti oleh resistensi obat. Produk dsDNA bermigrasi ke dalam inti sel dan bergabung dengan kromosom sel dari host oleh enzim integrase (enzim unik lain dari HIV).

Penggabungan virus HIV ke dalam kromosom host akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
1.      HIV dapat menimbulkan infeksi persisten dan kronik, terutama pada sel yang masa hidupnya panjang di sistem imun seperti limfosit-T.20
2.      Penggabungan tersebut bersifat acak sehingga sulit untuk mengekstraksi virus targetnya. Penggabungan ini akan menyebabkan abnormalitas seluler dan menginduksi apoptosis.
Sel yang terinfeksi akan diaktivasi oleh antigen, sitokin atau faktor stimulasi sel lain menjadi faktor inti sel κB (NF-κB) yaitu suatu faktor pembentuk ikatan protein. Secara normal NF-κB disamping berfungsi mengatur ekspresi gen limfosit-T untuk pertumbuhan, juga memiliki kemampuan untuk mengaktivasi replikasi virus HIV. Sewaktu replikasi HIV diinduksi, DNA polymerase pada host akan bergabung dengan DNA proviral menjadi messenger RNA (mRNA) yang akan ditranslasikan menjadi protein virus. Awalnya transkripsi dan translasi terjadi pada tingkat rendah menghasilkan berbagai pengatur protein HIV seperti Tat, Nef, dan Rev. Protein Tat merupakan suatu amplifier ekspresi gen HIV, berikatan dengan RNA spesifik HIV yang meng-inisiasi dan menstabilisasi elogasi (pemanjangan) transkripsi. Meskipun terlihat bahwa Nef memiliki fungsi regulasi terhadap molekul kelas I dan melindungi infeksi sel dari sitotoksik limfosit-T, 21 namun bukti mengenai fungsi Nef tersebut belum ada. Protein Rev mengatur aktivitas post-transkripsi dan merupakan protein esensial untuk replikasi seperti halnya protein Tat. Rev terutama berfungsi mengubah protein regulator menjadi protein struktural (misalnya gp120) melalui inhibisi ikatan mRNA virus dan meng-up take  mRNA dari luar intisel.21
Sejumlah partikel virion baru terbentuk setiap kali terjadi penggabungan protein HIV dalam sel lipid dari host. Nukleokapsid dibentuk oleh ssRNA virus dan komponen lain dalam sel. Virion kemudian menyatu dengan membran plasma dan menerima karakteristik lipid bilayer untuk selanjutnya memulai proses maturasi (pematangan). Melalui HIV protease, virion mulai membelah menjadi suatu prekursor polipeptida yang besar menjadi protein fungsional yang diperlukan untuk membentuk virus secara lengkap. Tanpa enzim ini virion akan mati dan tidak dapat menginfeksi sel. 21
HIV-1 menunjukkan laju pergantian (turnover) yang sangat tinggi, diperkirakan sekitar 10 miliar virus baru dihasilkan setiap hari. Lebih dari 99% dari virus tersebut akan menginfeksi sel. Akhirnya, sel yang terinfeksi akan hancur dengan sejumlah mekanisme termasuk lisis akibat berikatan dengan virion baru, sitotoksik limfosit-T, induksi sel pembunuh, pembentukan syncytia atau apoptosis. Pembentukan syncytia terjadi ketika protein virus menempel pada permukaan sel yang terinfeksi sebagai ligan reseptor bagi sel lain yang tidak terinfeksi. Sel-sel yang tidak terinfeksi akan terikat pada sel yang terinfeksi dan bergabung membentuk sel raksasa berinti banyak. Induksi syncytium dari fenotif virus X4 pada tahap selanjutnya akan akan mengalami perkembangan dan hal ini berkaitan dengan perkembangan penyakit yang lebih cepat. Rusaknya sel CD4 menyebabkan gangguan sistem imun dan akibatnya HIV akan berkembang menjadi AIDS.

TINJAUAN KLINIS

Secara klinis gejala infeksi HIV beraneka ragam tetapi keluhan kebanyakan pasien berupa sidrom retroviral akut atau penyakit mirip mononukleosis24, 25 (Tabel 123–2). Gejala muncul selama 2 minggu dan sekitar 15% pasien terjadi di rumah sakit.24 Infeksi primer sering dikaitkan dengan viral load yang tinggi dan perkembangan respon imun pada periode waktu tertentu. Selama perode ini HIV terperangkap oleh sel dendrit folikular dalam jaringan limfoid dan bereplikasi pada pusat germinal. Pada kondisi ini jumlah RNA HIV dalam plasma cukup besar dan gejala ini perlahan-lahan akan hilang. Penurunan ini dipengaruhi oleh perkembangan respon imun terhadap HIV. Secara klinis ini merupakan periode laten karena virus HIV terus melakukan replikasi sehingga sistem imun terus menerus memburuk. Kondisi persisten dengan menurunnya sel CD4 dapat diukur untuk melihat destruksi sitem imun.20 Selain itu, pada tingkat partikel jumlah viral load dalam plasma relatif stabil (disebut kondisi “set point”). Ini berkaitan langsung dengan perkembangan infeksi dan morbiditas. Selama 11 tahun The Multicenter AIDS Cohort Study (MACS) mengukur viral load pada 181 laki-laki yang terinfeksi HIV, hanya 8% pasien yang mengalami perkembangan menjadi HIV dengan jumlah viral load di bawah 4530 copi/mL dan 5% diantaranya meninggal dunia. Sementara pasien dengan viral load di bawah 36.270 copi/mL sebanyak 62%. Sekitar 26% pasien dengan viral load antara 13.020 – 4531 mengalami perkembangan menjadi AIDS dengan laju mortalitas 10% dan 49% dengan viral load 13.021 – 36.270 dengan laju mortalitas mencapai 25%. Lebih jelasnya, tingkat tertinggi dari viremia adalah pada onset yang berhubungan dengan prognosis yang lemah.26

Tabel 123–2. Tinjauan Klinis dari Infeksi Primer HIV pada Orang Dewasa
 

Gejala
Demam, tenggorokan kering, kehilangan berat badan dan mialgia
40%-80% dari pasien yang menunjukkan bentuk morbili atau tonjolan-tonjolan kemerahan biasanya termasuk trunk
Diare, nausea dan muntah
Limpadenopati, berkeringat pada malam hari
Meningitis aseptis (demam, sakit kepala, fotofobia, dan kaku leher), dapat terjadi pada ¼ kasus yang ada.
Lain-Lain
Jumlah virus yang tinggi (memiliki 50.000 kopi/mL pada dewasa atau                    500.000 kopi/mL pada anak-anak
Penurunan yang tetap di dalam limfosit CD4
 

 Pada anak-anak gejala fisiknya tidak jelas, seperti limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, gangguan pertumbuhan, kehilangan berat badan atau gejala penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya dan demam tanpa sebab. Sementara hasil pemeriksaan labolatorium menunjukkan gejala anemia, hipergammaglobulinemia (terutama IgA dan IgM), perubahan fungsi sel mononuklear dan rasio subset sel-T.27 Jumlah sel CD4 normal pada anak-anak tidak berbeda jauh dengan orang dewasa (Tabel 123–3). Infeksi bakteri meliputi Streptococcus pneumoniae, Salmonella spp. dan Mycobacterium tuberculosis, infeksi pada anak-anak dengan HIV lebih beragam dibanding orang dewasa. Pada anak-anak biasanya mengalami sarkoma kaposi. Anak-anak dengan infeksi HIV mengalami perkembangan pneumonia limfositis interstitial, hal ini ditandai dengan adanya Pneumocystis carinii atau mikroba patogen lain pada biopsi paru. Sebagian anak-anak mengalami progresivitas penyakit yang ditandai oleh gangguan neurologi yang tidak jelas, antara lain ditandai dengan menurunnya denyut jantung, perkembangan mental menurun, pertumbuhan otak berhenti dan ensepalopati yang tidak jelas. Bukti menunjukkan bahwa munculnya kembali infeksi bakteri, jamur atau virus akan menjadi kronis dan merupakan awal mula dari progresivitas penyakit seperti meningitis dan sepsis bakteria, otitis media kronis serta kandidiasis dan histoplasmosis. Hasil surveilans terbaru dari CDC pediatric AIDS (Tabel 123–3) menunjukkan bahwa progresivitas HIV pada anak-anak ditandai dengan konjenital, atau sitomegalivirus perinatal atau gejala defisiensi imun.28 Manajemen klinis untuk anak-anak yang terinfeksi HIV pada prinsipnya sama dengan orang dewasa yaitu: terapi antiretrovial, pengobatan dan profilaksis infeksi oportunistik serta supportif care.29

Pengobatan : H I V

HASIL YANG DIHARAPKAN

3Tujuan terapi antiretroviral adalah untuk mencapai penghambatan maksimum terhadap replikasi HIV. Hal ini diinterpretasikan dengan jumlah viral load dalam plasma berada di bawah batas pengukuran kuantitatif (artinya tidak dapat terdeteksi). Respon untuk jangka panjang ditentukan oleh jumlah viral load terendah yang diperoleh.30, 31 Hal lain yang sama pentingnya adalah meningkatnya jumlah limfosit CD4 karena ini menentukan resiko perkembangan infeksi oportunistik.32 Kadang-kadang pasien hanya memberikan respon secara virologis dan imunologis tetapi hal ini tidak dapat dijelaskan. Tujuan akhir dari terapi antiretroviral adalah untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.

v  GENERAL APPROACH TO TREATMENT

Pada pertengahan tahun 1997 the National Institutes of Health Office of AIDS Research melaksanakan panel untuk mendefinisikan prinsip-prinsip dasar sebagai pedoman klinis penggunaan agen antiretroviral.
1.      Replikasi HIV secara terus menerus menyebabkan kerusakan sistem imun dan perkembangan AIDS. Infeksi HIV selalu membahayakan dan menimbulkan disfungsi imun yang khas.
2.      Kadar RNA HIV dalam plasma mengindikasikan magnitude replikasi dan berkaitan dengan laju perusakan sel CD4, dimana jumlah sel CD4 menunjukkan perkembangan sistem imun akibat induksi HIV. Pengukuran kadar RNA HIV dan jumlah sel CD4 perlu dilakukan secara reguler untuk menentukan resiko perkembangan penyakit pada seseorang yang terinfeksi HIV serta menentukan kapan rejimen antiretroviral diberikan.
3.      Karena laju perkembangan penyakit berbeda untuk setiap individu keputusan pengobatan dberikan secara individual tergantung pada tingkat resiko yang ditunjukkan oleh kadar RNA HIV dan jumlah sel CD4.
4.      4Penggunaan terapi kombinasi antiretroviral bertujuan untuk menghambat  replikasi HIV 
5.      Antiretroviral dikatakan efektif berarti memiliki kemampuan menghambat replikasi HIV secara simultan diawali dari obat anti HIV yang efektif pada seseorang yang belum pernah diobati dan tidak terjadi resistensi silang dengan antiretroviral lain yang digunakan sebelumnya.
6.      Setiap obat antiretroviral digunakan dalam rejimen terapi kombinasi dan  digunakan sesuai dengan sediaan dan waktu pemberian yang optimal.
7.       Obat-obat antiretroviral tersedia dalam jumlah dan mekanisme kerja yang terbatas dan resistensi silang yang spesifik harus didokumentasikan.
8.      Wanita bisa diberikan terapi antiretroviral tanpa memperhatikan status kehamilan.
9.      Prinsip penggunaan terapi antiretroviral pada orang dewasa dan anak-anak adalah sama walaupun pengobatan infeksi pada anak-anak meliputi pendekatan imunologi, farmakologi dan virologi yang unik.
10.  Orang dengan infeksi HIV akut dapat diobati dengan terapi kombinasi antiretroviral untuk menghambat replikasi HIV dalam batas-batas yang ditetapkan yang dideteksi dengan uji HIV RNA plasma yang sensitif..
11.  Orang dengan HIV dimana kadar viral load tidak terdeteksi harus disarankan untuk menghindari kebiasaan seksual dan penggunaan obat yang dikaitkan dengan penularan HIV dan infeksi patogen lainnya.

Sekitar 20 obat antiretroviral saat telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) dan di masa datang akan lebih banyak lagi. Profesional pelayanan kesehatan harus melayani orang yang terinfeksi HIV dan senantiasa merujuk kepada literatur terbaru serta memperhatikan prinsip dan strategi terapi. Saat ini sumber informasi mengenai pedoman pengobatan dapat ditemui di www.AIDSinfo.NIH.gov. Tabel 123–4 menggambarkan tahapan pengobatan untuk orang yang terinfeksi HIV. Pengobatan direkomendasikan untuk semua pengidap HIV dengan jumlah limfosit CD4 di bawah 350 sel/µL, atau RNA HIV dalam plasma di atas 55.000 copi/mL yang diharapakan pada perhitungan CD4.34.

 TERAPI SECARA FARMAKOLOGI

Secara konseptual terdapat 3 cara utama intervensi terapetik untuk melawan HIV yaitu inhibisi replikasi viral, vaksinasi untuk merangsang lebih efektif respon imun, dan mengembalikan sistem imun dengan imunomodulator. Pendekatan dengan vaksin sedang dikembangkan meliputi virus pembunuh, vektor rekombinan dan penghambat pembentukan DNA. Studi klinis terhadap vaksin telah dilakukan, sedangkan cara untuk mengoptimalkan kerja vaksin sedang diteliti. Variabilitas genetik HIV dan pengaturan sistem imun merupakan penghambat yang nyata dalam menghambat replikasi virus untuk mengambangkan suatu vaksin HIV yang efektif dengan kerja panjang dan melindungi imunitas.35 Diantara imunomodulator, interleukin 2 (aldesleukin atau IL-2) nampaknya sangat menjanjikan. Berbagai rute pemberian dan dosis telah dicoba, yang paling umum adalah pemberian subkutan selama 5 hari berturut-turut dalam 2 bulan sekali. Keuntungan pemberian IL-2  dapat meningkatkan jumlah sel CD4, namun sayangnya hal ini juga diikuti dengan meningkatnya toksisitas yang nyata. Studi untuk mengkaji hasil akhir klinis sedang dilakukan.36

v  AGEN ANTIRETROVIRAL

Inhibisi replikasi virus dengan kombinasi agen antiretroviral secara klinis telah menunjukkan keberhasilan. Ada 3 kelompok obat utama yang digunakan yaitu  penghambat masuknya virus, reverse transcriptase inhibitor, dan protease inhibitor (Tabel 123–5). Reverse transcriptase inhibitor terdiri atas 2 tipe, turunan nukleosida dan nukleotida dengan gugus induk purin dan pirimidin nucleotides disebut Nucleoside/nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs) dan Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs). NRTIs meliputi analog thymidine seperti stavudine (d4T) dan zidovudine (AZT atau ZDV); analog cytosine seperti emtricitabine (FTC), lamivudine (3TC), dan zalcitabine (ddC); inosin derivat didanosine (ddI); dan analog guanosine seperti abacavir sulfat (ABC). Tenofovir disoproxil fumarate (TDF atau PMPA) adalah suatu NRTIs turunan adenosin. Beberapa analog nukleosida sedang dalam tahap pengembangan antara lain alovudine (FLT), dOTC, dan β-L-d4FC. Agar menjadi aktif kelompok NRTIs memerlukan fosforilasi menjadi 5-trifosfat moiety. Fosforilasi intraseluler terjadi oleh kerja dari kinase mitokondrial atau sitoplasmik dan enzim fosfotransfertase. Diikuti dengan aktivasi prodrug, 5-triphosphate moiety bekerja melalui 2 cara: (1) Berkompetisi dengan deoksinukleotida endogen terhadap enzim reverse transcriptase, dan (2) Terikat pada gugus 3-hidroksil dari rantai DNA.37 Hydroksiurea (suatu inhibitor ribonucleotide reductase) terbentuk dari deoksinukleotida intrasel dan digunakan dalam kombinasi dengan NRTIs. Reduksi trifosfat endogen oleh hidroksiurea mengubah kompetisi reverse transcriptase terhadap trifosfat eksogen. (misalnya: NRTI). Namun, hidroksiurea dapat menimbulkan efek samping seperti pankreatitis dari didanosin dan neuropati periferal dari kombinasi stavudine-didanosine.38 Asam mikofenolik, yaitu suatu inhibitor monofosfat dehidrogenase dapat menyebabkan pengaruh yang sama terhadap kelompok nukleotida endogen. Namun demikian, NRTIs spesifik untuk reverse transcriptase HIV, efek sampingnya merupakan bagian dari inhibisinya terhadap DNA polymerase manusia, khususnya DNA mitokondrial polymerase γ.39
Secara kimia NNRTIs merupakan kelompok senyawa heterogen yang terikat secara non-kompetitif terhadap reverse transcriptase pada tapak katalitik. Tidak seperti NRTIs, NNRTIs tidak memerlukan aktivasi seluler, tidak berkompetisi dengan deoksinukleotida endogen dan tidak memiliki aktivitas yang kuat melawan HIV-2.  NNRTIs yang tersedia meliputi efavirenz, delavirdine, dan nevirapine.40 Capravirine dan calanolide termasuk dalam kelompok ini yang masih dikembangkan.
 Inhibitor protease adalah kelompok yang poten terhadap antiretroviral, meliputi amprenavir, atazanavir, fosamprenavir, indinavir, lopinavir, nelfinavir, ritonavir, dan saquinavir. Saat topik ini ditulis tipranavir masih dalam tahap penelitian. Farmakologi, keamanan dan efikasi dari obat-obat tersebut telah ditelaah di berbagai tempat.41 Protease inhibitor memblok proses pematangan sehingga menghasilkan virion yang tidak menginfeksi.23
Enfuvirtide (T-20, atau pentafuside) hanya satu-satunya inhibitor pemasukan yang tersedia saat ini. Inhibitor fusi, enfuvirtide merupakan suatu senyawa peptida 36-asam amino sintetik turunan dari heptad repeat-2 (HR2) domain dari gp41. Senyawa ini menghambat penggabungan HIV dengan sel target melalui ikatan dengan heptad repeat-1 (HR1) domain gp41, sehingga terjadi ”interfering” dengan  proses “zipping” HR1 dan HR2. Karena enfuvirtide merupakan peptida alam, dapat diberikan secara oral dan injeksi subkutan.42 Derivat enfuvirtide yaitu T-1249 saat ini sedang diselidiki, ini juga diberikan secara injeksi subkutan.
Agen-agen antiretroviral dengan mekanisme kerja lain masih dikembangkan.
v  INTERAKSI OBAT

5Penggunaan agen antiretroviral secara klinis dipengaruhi oleh interaksi obat yang dapat terjadi dengan banyak berbagai macam obat. Beberapa interaksi menguntungkan dan digunakan untuk tujuan tertentu, sementara yang lain bersifat merugikan yang menyebabkan konsentrasi obat tidak memadai. Petugas kesehatan yang bergelu dalam bidang farmakoterapi HIV Clinicians mesti menguasai pengetahuan terbaru mengenai latar belakang interaksi tersebut. Secara umum amprenavir, efavirenz, nevirapine, dan tipranavir merupakan penginduksi metabolisme obat, sementara delavirdine dan protease inhibitor menghambat metabolisme obat. Ritonavir adalah inhibitor sitoktom P450 yang merangsang metabolisme dan saat ini digunakan sebagai pembanding untuk agen protease inhibitor lainnya. Untuk mengatasi hal ini lopinavir dikombinasikan dengan ritonavir (LPV/r).45 Obat-obat kelompok NRTIs juga saling berinteraksi. Zidovudine dan stavudine misalnya difosforilasi oleh beberapa kinase, kerja anataginis antara kedua obat tersebut terjadi baik secara in vitro dan in vivo, oleh karena itu keduanya tidak pernah diberikan secara bersamaan.46 Interaksi juga terjadi dengan obat-obat antituberkulosis terutama rifampisin. Rifampisin dikontraindikasikan dengan protease inhibitor karena konsentrasinya kan menurun. Jika pasien memerlukan pengobatan secara simultan untuk HIV dan TB diberikan rejimen yang terdiri atas efavirenz, ritonavir, atau saquinavir-ritonavir.47 Produk herbal Saint John’s wort (Hypericum perforatum) merupakan penginduksi metabolisme dan kontraindikasi dengan PI dan NNRTI. St. John’s wort menurunkan AUC indinavir rata-rata sekitar 57%.48

v  PERKEMBANGAN PENTING DALAM STRATEGI PENGOBATAN

Farmakoterapi infeksi HIV mengalami perubahan secara cepat dalam beberapa tahun terakhir dengan penyusunan paradigma pengobatan menggunakan agen antiretroviral yang baru. Perkembangan penting dari terapetik antiretroviral adalah:
·         Pemakaian zidovudine dalam bentuk tunggal memberikan keuntungan bagi penderita AIDS.49
·         Kombinasi dua NRTI (mis: zidovudine dan didanosine atau zalcitabine) lebih ampuh dibanding pemakaian tunggal zidovudine berdasarkan parameter imunologi dan virologi, khususnya pada pasien yang sebelumnya tidak memakai terapi antiretroviral, dan memberikan keuntungan yang lebih baik (ACTG 175).50
·         Pemakaian tiga kombinasi (2 NRTI dengan NNRTI atau PI) dapat menurunkan insiden infeksi oportunistik dan mengubahnya.3
6Rekomendasi terbaru untuk penanggulangan HIV minimal menggunakan 3 ARV. Rejimen yang terdiri atas 2 analog nukleosida dengan 1 PI (umumnya ritonavir) atau 1 NNRTI (berturut-turut, tenofovir, emtricitabine, lopinavir-ritonavir dan zidovudine, lamivudine, efavirenz). Kombinasi lain meliputi 3 analog nukleosida, 2 PI (salah satunya ritonavir), atau 1 PI dengan 1 NNRTI. Pada awalnya pemilihan obat ini cukup berhasil, dimana faktor-faktor seperti  adherens (penerimaan pasien), efikasi (virologis dan immunologi), lama penobatan, obat yang dipakai untuk pengobatan awal dan substitusi (seperti: sequencing), serta toleransi merupakan parameter keberhasilan pengobatan.34 Penjelasan lebih lanjut terhadap faktor-faktor ini dijelaskan pada berikutnya.
Yang dimaksud dengan adherence (ketaatan) adalah kemampuan pasien dalam memakai obat secara langsung. Terapi antiretroviral cukup kompleks dan memakan waktu lama serta resiko virologis yang tinggi jika pasien tidak mampu menerima obat. Pasien dengan lebih dari 95% ketaatannya terhadap regimen PI lebih baik keadaan virologis dan imunologisnya seta lebih rendah pengeluaran untuk rumah sakit daripada yang memiliki ketaatan di bawah ambang ini.51 Oleh karena itu sangat penting bagi petugas untuk melakukan komunikasi dan edukasi kepada pasien mengenai proses pengobatan dan peyakit, monitoring dan tujuan terapi. Kesiapan dari pasien untuk menerima obat harus jelas, sehingga pengobatan dapat dimulai. 34 Pasien dengan latar belakang pendidikan yang rendah harus diberikan penjelasan yang memadai sebelum memulai pengobatan, termasuk anggota keluarga, kerabat dan caregiver karena dukungan sosial dan psikologis sangat penting untuk pasien HIV.
 Beberapa percobaan klinis menunjukkan efikasi antiretroviral secara virologis dan imunologis. 53,55 Tetapi sayangnya studi komparatif masih sedikit. Pemberian lopinavir/ritonavir 400/100 mg 2 kali sehari memberikan efikasi virologis lebih baik dibandingkan dengan pemberian nelfinavir 750 mg 3 kali sehari pada pasien yang menjalani terapi dengan 40 mg stavudine 3 kali sehari dan lamivudine 150 mg 3 kali sehari. Hasil percobaan pada 637 pasien menunjukkan bahwa setelah 48 jam 75% pasien yang menerima lopinavir/ritonavir memiliki jumlah viral load di bawah 400 copi/mL sedangkan nelfinavir 63%. Rata-rata penurunan jumlah sel CD4 hampir sama, 195 sel/µL dengan nelfinavir dan 207 sel/µL dengan lopinavir-ritonavir. Secara keseluruhan efikasi kedua obat hampir sama.56 Studi pada 432 pasien menunjukkan bahwa penghambatan virus setelah 48 minggu lebih nyata pada pasien yang memakai NNRTI efavirenz yang diberikan dalam kombinasi dengan zidovudine-lamivudine dibandingkan dengan indinavir-zidovudine-lamivudine atau indinavir-efavirenz. Zidovudine dan lamivudine diberikan dengan dosis masing-masing 300 mg dan 150 mg 3 kali sehari. Dosis pemberian efavirenz adalah 600 mg setiap hari dan indinavir 800 mg setiap 8 jam. Untuk menyesuaikan terhadap kemungkinan interaksi obat efavirenz diberikan dengan dosis 600 mg setiap hari dan indinavir 1000 mg setiap 8 jam. Proporsi pasien dengan jumlah RNA HIV di bawah 400 copi/mL setelah menggunakan efavirenz-zidovudine-lamivudine adalah 70%, indinavir-efavirenz 53% dan indinavir-zidovudine-lamivudine 48%; rata-rata kenaikan jumlah sel CD4 masing-masing 201, 180, and 185 sel/µL.53
Lama pengobatan dan keteratutran rejimen sama pentingnya dengan efikasinya. Sejak HAART dikembangkan, masa hidup pasien dan kualitas hidup patients menjadi meningkat. Konsekuensi dari pasien yang akan bergantung pada pengobatan mereka untuk beberapa tahun ke depan, bukan bulan. Data pada durasi panjang dari HAART adalah jarang. Pengujian resistensi ARV dilakukan melalui 2 jenis tes, yaitu: tes fenotif dan genotif. Tes fenotif menentukan konsentrasi ARV yang diperlukan untuk menghambat replikasi virus sebanyak 50% (IC50) dalam suatu rekombinan virus. Semakin besar nilai fenotif maka keberhasilan pengobatan ARV kecil, dan untuk mengatasi ini dosis obat harus disesuaikan. Tes genotif untuk menilai perubahan kodon pada reverse transferase gp41, atau protease pasien dan membandingkannya dengan tipe ganas sequence. Mutasi terjadi akibat perubahan posisi urutan genetis dari protein atau enzim dan terakhir dengan mutasi yang ditemukan pada pasien. Misalnya:  mutasi yang disebabkan oleh lamivudine dan emtricitabine pada M184V yaitu suatu substitusi valin (V) terhadap methionine (M) pada pasisi 184 dari reverse transcriptase.
Efek samping akibat ARV mungkin akan membatasi kemampuan pasien terhadap pengobatan. Beberapa efek samping yang penting saat ini dihubungkan dengan ketersediaan antiretroviral. Antara lain toksisitas mitokondrial karena pemberian NRTI, rasa terbakar karena NNRTI, dan gangguan metabolisme (PI).

v  PENGOBATAN PADA KONDISI KHUSUS

§  KEHAMILAN

Rekomendasi pengobatan dibuat khusus untuk wanita hamil yang terinfeksi HIV dan mencegah transmisi vertikal dari ibu ke anak.62 Pemberian zidovudine tunggal dapat menurunkan transmisi. Hasil penelitian secara acak pada 477 wanita hamil yang terinfeksi HIV (14 - 34 minggu kehamilan) dengan zidovudine atau placebo. Rejimen zidovudine mengandung zidovudine antepartum (100 mg 5 kali sehari) ditambah infus zidovudine (2 mg/kg secara i.v. selama 1 jam, kemudian dilanjutkan dengan dosis 1 mg/kg per jam), dan zidovudine untuk bayi yang baru lahir (2 mg/ kg peroral setiap 6 jam untuk 6 minggu). Laju transmisi HIV untuk pasien yang menerima plasebo 25,5% sementara yang menerima zidofudin 8,3%. Hasil studi menunjukkan efek samping terapi menggunakan zidovudine yaitu konsentrasi Hb menurun pada bayi yang baru lahir, tetapi ini akan hilang setelah usia 12 minggu. Tidak ada perbedaan struktural antara plasebo dan pemberian zidovudine.63
KONTROVERSI KLINIS
Sayangnya, penggunaan ARV yang lain untuk wanita hamil dan pengaruh obat terhadap perkembangan janin masih sedikit diketahui. Dalam suatu studi retrospektif terhadap pemakaian Protease Inhibitor pada 89 wanita hamil menunjukkan bahwa obat ini aman untuk ibu dan bayinya. Secara umum, pengobatan pada wanita hamil sama dengan wanita normal, jika memungkinkan  zidovudine dapat digunakan untuk ibu dan bayinya.62

 
 











Pemakaian zidovudine secara teratur misalnya selama kerja atau 48 jam setelah bayi lahir juga dapat menurunkan transmisi serta lebih mudah diterapkan oleh pasien.64 Sebagai alternatif dosis tunggal nevirapine dapat diberikan kepada ibu hamil selama bekerja dan kepada bayi dengan usia 3 hari juga dapat menurunkan transmisi HIV.65

§  POSTEXPOSURE PROPHYLAXIS (PEP)
Perlindungan petugas kesehatan terhadap paparan HIV akibat kecelakaan sangat penting untuk diperhatikan. Pusat Penanggulangan Penyakit Menular telah menyusun pedoman untuk mencegah/menindaklanjuti eksposur HIV. Postexposure prophylaxis (PEP) dilakukan dengan rejimen tiga obat yang terdiri atas 2 NRTI dan 1 PI untuk eksposur darah perkutan termasuk resikonya (darah dari pasien yang terkontaminasi HIV/AIDS). Dua NRTI diupayakan untuk petugas kesehatan dengan resiko eksposur yang lebih kecil misalnya paparan pada membran mukosa atau kulit. Pengobatan tidak diperlukan jika sumber paparan adalah urin atau saliva. Lama pengobatan tidak diketahui, tapi disarankan pengobatan dilakukan selama 4 minggu. Idealnya, pengobatan dimulai 1-2 jam setelah paparan.16 Pedoman untuk profilaksis postcoital dan postinjection drug use sedang dikembangkan.67

EVALUASI HASIL TERAPI

Setelah menerima terapi pasien akan dimonitor 3 bulan sekali untuk memantau jumlah CD4, viral load (HIV RNA) dan klinis. Secara umum, ada 2 indikasi perubahan terapi yaitu: kegagalan penobatan atau toksisitas yang nyata. Obat ARV yang tersedia dibatasi oleh efek samping yang ditimbulkannya4; misalnya pasien yang memiliki pengalaman neuropati periferal, pemberian kombinasi didanosine dan stavudine diganti dengan kombinasi zidovudine dan lamivudine. Kriteria khusus untuk indikasi kegagalan pengobatan tidak ditetapkan melalui percobaan klinis secara terkontrol. Pedoman umum untuk perubahan terapi meliputi :
1.      Penurunan RNA HIV lebih kecil dari 1 log10 setelah 1 bulan menerima pengobatan atau gagal menekan replikasi HIV setelah 4 – 6 bulan.
2.      Jumlah sel CD4 terus menurun atau sama dengan jumlah sebelum terapi atau jumlah RNA HIV meningkat 0,3 – 0,5 log 10 copi/mL dari sebelumnya.
3.      Secara klinis progresivitas penyakit meningkat, umumnya ditemui perkembangan infeksi oportunistik baru.

KEGAGALAN TERAPI

Kegagalan terapi mungkin disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien menerima obat, berkembangnya resistensi obat, intoleransi satu atau lebih ARV, efek samping interaksi obat atau variabilitas farmakokinetik-farmakodinamik. Data klinis yang tersedia mengenai strategi alternatif untuk mengatasi hal ini masih sedikit. Lebih dari itu, heterogenetis pasien dan virus menyebabkan interpretasi menjadi sulit. Umumnya, pasien sulit menerima pengobatan pertama dengan obat dari kelompok yang baru (misalnya: jika pasien menerima PI, maka PI dapat diganti dengan NNRTI). Petunjuk yang mendasar (nomor 5 dan 7) merekomendasikan pergantian pada sedikitnya dua obat antiretroviral baru yang tidak mengalami resisten silang dengan agent yang sebelumnya diterima Tabel 123–4 menunjukkan beberapa contoh rejimen alternatif. Pengujian resistensi virologi dapat membantu sebagai pedoman bagi provider dalam memilih obat ARV yang sesuai.58 Sebagai tambahan untuk rejimen ARV alternatif untuk mengatasi kegagalan terapi meliputi drug holiday, strategi pengobatan interuptif (STIs) dan terapi intermiten yang terstruktur (SIT). Namun, apapun strategi yang dipilih dalam kaitannya dengan penghentian pemakaian ARV akan diikuti dengan meningkatnya replikasi virus dan menurunnya jumlah limfosit CD4. Masih ada hal – hal yang masih belum jelas dalam strategi  diskontinuasi ARV, antara lain meliputi: berapa lama pasien memperoleh pengobatan lanjutannya, seberapa sering siklus ini dilakukan, dan yang paling penting kemampuan strategi untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas seperti halnya penggunaan HAART. Studi prospektif kiranya perlu dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini.

Tidak ada komentar:

Google Ads