INTISARI
1. Infeksi HIV terjadi pada manusia terutama
melalui 3 cara utama, yaitu: seksual, parenteral, dan perinatal. Umumnya
penularan terjadi melalui hubungan seksual, terutama hubungan seks vaginal dan
anal.
2. Sewaktu virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia,
glikoprotein terluar (gp160) berfungsi sebagai pembawa (carrier) bagi virus untuk berikatan dengan reseptor CD4, protein
permukaan dari limfosit T-helper, monosit, makrofag, sel dendrit dan mikroglia
otak. Sub unit gp120 dari gp160 memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor
CD4 dan dapat merespon pembentukan ikatan antara virus dengan sel.
3. Tujuan terapi antiretroviral adalah untuk mencapai
penghambatan maksimum terhadap replikasi
HIV, hal ini ditunjukkan dengan kadar viral
load dalam plasma lebih kecil dari batas terendah pengukuran dan
peningkatan limfosit CD4 karena ini merupakan faktor penentu resiko
berkembangnya infeksi oportunistik.
4. Faktor utama yang membatasi kemampuan obat
antiretroviral dalam menghambat replikasi virus dan perkembangan penyakit
adalah munculnya varian HIV yang resisten. Pemakaian terapi kombinasi
antiretroviral dilakukan untuk mengantisipasi interaksi tersebut sehingga
penghambatan maksimum replikasi dapat tercapai.
5. Secara klinis penggunaan obat antiretroviral
dapat menimbulkan interaksi dengan obat-obat yang lain. Interaksi tersebut ada
yang menguntungkan dan ada juga yang merugikan, tergantung dari konsentrasi
obatnya.
6. Direkomendasikan bahwa pengobatan infeksi HIV
minimal menggunakan 3 obat antiretroviral yang terdiri dari 2 analog nukleosida
dan 1 penghambat enzim protease (non nukleosida).
7. Prinsip umum penanggulangan infeksi oportunistik
pada penderita HIV meliputi monitoring kondisi imun penderita, profilaksis
primer, pengobatan dan profilaksis sekunder.
8. Pengobatan infeksi Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) dengan obat-obat seperti trimetoprim-sulfametoksazol
(cotrimoxazole) atau pentamidin parenteral yang menghasilkan respon rate antara 60 - 100%.
Trimetoprim-sulfametoksazol merupakan obat pilihan untuk pengobatan dan
profilaksis pasien PCP dengan atau tanpa HIV karena efek toksiknya yang ringan.
9. Kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin paling
efektif untuk terapi HIV yang dikaitkan dengan toxoplasmosis pada Sistem Saraf
Pusat (SSP).
10. Terapi kombinasi tersebut
diteruskan sampai 3 (tiga) minggu. Namun, untuk pasien dengan kondisi penyakit
yang berat direkomendasikan agar terapi dilakukan sampai 6 minggu. Untuk
pengobatan cryptococcal meningitis
amfoterisin B lebih efektif dibanding flukonazol karena perkembangan penyakit
dan laju kematian dapat diperlambat. Pasien dengan cryptococcal meningitis kemungkinan dapat diberikan amfotericin B
sebagai terapi akut dengan dosis intravena 0,5 mg/kg per hari minimum selama 2
minggu.
11. Pengobatan untuk infeksi yang
kompleks dari Mycobacterium avium dilakukan dengan memberikan 2 obat
antimikroba. Setiap rejimen terdiri atas klaritromisin atau azitromisin
ditambah dengan antimikroba lain seperti etambutol. 1
12. Acyclovir merupakan obat pilihan untuk
pengobatan infeksi virus herpes simplex (HSV). Untuk pengobatan ulangan dapat
diberikan terapi acyclovir dosis rendah secara oral.
Pada tahun 1981, AIDS (The Acquired Immune Deficiency Syndrome) pertama sekali dikenal
oleh kalangan medis sebagai suatu kesatuan penyakit yang secara klinis berbeda
(distinct clinical entity). Sindrom
ini awalnya ditemukan pada seorang pemuda homoseksual yang mengalami kelemahan
pada sistem kekebalan tubuhnya, Pneumocystis carinii pneumonia (PCP),
dan sarkoma Kaposi. Penyebab utama AIDS adalah retrovirus HIV tipe-1.1,2
Retroviral HIV tipe-2 juga menyebabkan
AIDS tetapi penyebarannya lebih sedikit. Penyebaran virus tersebut terutama
melalui kontak seksual dan darah atau produk darah yang terkontaminasi dengan
virus HIV. Kebiasaaan - kebiasaan yang beresiko tinggi menyebabkan penyebaran
infeksi HIV antara lain: melakukan hubungan seksual anorektal dan penggunaan
jarum suntik yang terkontaminasi virus HIV secara bergantian. Penyebaran HIV
melalui hubungan heteroseksual dan penyebaran ibu hamil ke janinnya kian
meningkat di dunia sehingga semakin memperburuk permasalahan. Data statistik
mengenai prevalensi dan angka insidensi menunjukkan bahwa penyebaran infeksi
HIV tidak berhasil diatasi dengan pengobatan. Namun, kombinasi agen
antiretroviral yang dikenal sebagai highly active antiretroviral therapy (HAART)
ternyata dapat menghambat replikasi virus HIV, memperlambat munculnya AIDS dan
memperpanjang umur pasien.3 Namun sayangnya keberhasilan ini menjadi
kurang maknanya karena toksisitas yang ditimbulkan akibat pemakaian jangka
panjang dari obat antiretroviral tersebut.4 Tujuan dari bab ini
adalah untuk menyediakan diskusi mengenai epidemiologi dan dan manifestasi
penyakit HIV, strategi terapetik yang berhubungan langsung dengan penghambatan
virus, manajemen HIV yang dihubungkan dengan infeksi opportunistik.
EPIDEMIOLOGI
Hasil surveilans dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengenai kasus
infeksi HIV dan AIDS di AS dapat dilihat pada Tabel 123-1 dan dilaporkan oleh
bagian pelayanan kesehatan di departemen kesehatan.5 Angka kumulatif
kasus AIDS di AS pada akhir Desember 2001 mencapai 816.149/467.910 (lebih dari separuh)
meninggal dunia. Jumlah yang terinfeksi HIV 181.976 orang, sementara AIDS
mencapai 344.178 orang. Dilaporkan juga bahwa jumlah kasus yang terjadi pada
laki-laki lebih besar dibanding wanita (6:1). Kasus HIV paling banyak
menginfeksi penduduk keturunan Afrika-Amerika yakni masing-masing 42% dan 20%
dari jumlah kasus AIDS yang terjadi.6 Diperkirakan prevalensi HIV di
AS mencapai 850.000 sampai 950.000 orang. Setiap tahun CDC menemukan 40.000
kasus baru dari 70% penduduk yang diperiksa. Sementara dari jumlah tersebut hanya
setengahnya yang memperoleh pelayanan medis. Proporsi wanita yang terinfeksi
HIV terus meningkat.7 Sedangkan kasus terbanyak terjadi pada
kelompok laki-laki homoseksual. Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan
bahwa 34 – 36 juta orang dewasa dan anak-anak di seluruh dunia telah terinfeksi
HIV, terutama di kawasan sub-Sahara, Afrika (25 – 28,2 juta) dan Asia Tenggara
(4,6 – 8,2 juta). Anak-anak usia di bawah 15 tahun yang terinfeksi mencapai 2,5
juta. Diperkirakan 5 juta kasus baru HIV pada anak ditemukan setiap tahun
dimana 95% terjadi di negara berkembang dan penularannya paling banyak melalui
hubungan seks lain jenis (heteroseks).
9
ETIOLOGI
HIV adalah salah satu anggota dari lentivirinae (lenti, berarti
“lambat”) subfamili dari retrovirus.
Karakteristik lentivirus ditunjukkan oleh siklus hidupnya yang lambat. Virus
HIV dikelompokkan kedalam 2 tipe yaitu HIV tipe-1 dan HIV tipe-2. HIV tipe-2
paling banyak ditemukan di Wilayah Afrika Bagian Barat yang dibedakan atas 6
subtipe berdasarkan filogeninya yaitu subtipe A, B, C, D, E dan F. HIV-1 juga
dapat dikelompokkan menurut filogennya menjadi 3 tipe: Main (M), Outlier (O) dan
N (Non-M atau Non-O). HIV-1 tipe M dikelompokkan menjadi 9 subtipe yaitu A, B,
C, D, F, G, H, J dan K. Campuran dari subtipe disebut disebut sebagai bentuk
rekombinan (circulating recombinant forms).10 Endemi HIV di Amerika Utara dan Eropa Barat
terutama disebabkan oleh HIV-1 subtipe B.
Bukti-bukti yang berhasil
dikumpulkan menunjukkan bahwa HIV pada manusia terjadi akibat penyebaran silang
(cross transmition) dari spesis
primata yang terinfeksi simian
immunodeficiency virus (SIV). Hubungan filogenetik dan geografi mendorong
munculnya HIV-2 dari SIV yang menginfeksi sooty
mangabeys. Tipe baru HIV-1 masih kurang jelas tetapi diperkirakan mirip
dengan HIV-1 dan SIVcpz yaitu suatu virus yang menyerang simpanse (Pan troglodytes
troglodytes). Secara kultural kebiasaan-kebiasaan seperti memberi makan
atau membawa simpanse sebagai hewan peliharaan mungkin disertai dengan
perpindahan virus dari primata ke manusia. Manusia yang terinfeksi HIV pertama
kali ditemukan di Afrika Tengah pada tahun 1959. Transportasi modern, hubungan
seksual dan penyalahgunaan obat menyebabkan penyebaran virus HIV menjadi
meningkat di AS dan seluruh dunia.
DETEKSI DAN GEJALA PERKEMBANGAN PENYAKIT HIV
Ketika seseorang diduga terinfeksi
HIV, baik yang memiliki kebiasaan beresiko tinggi atau dengan gejala-gejala
tidak jelas, sebaiknya diperiksa dengan metode laboratorium. Pemeriksaan
umumnya dilakukan dengan metode ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay). Metode ini memiliki kemampuan untuk mendeteksi
antibodi HIV-1. Uji ELISA memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi (> 99%), namun pemeriksaan dengan hasil
positif-palsu bisa muncul pada wanita multiparous;
pasien dengan infeksi hepatitis B, influenza atau pasien yang menerima vaksin
rabies; pasien yang menerima transfusi darah berkali-kali, penyakit hati dan
gangguan ginjal; atau mengalami hemodialisis kronik. Hasil negatif-palsu
mungkin juga terjadi jika pasien yang baru terinfeksi dan uji dilakukan sebelum
produksi antibodi memadai. Waktu pembentukan antibodi minimal sekitar 3 - 4
minggu setelah terinfeksi, lebih dari 95% individu mengalami perkembangan
antibodi setelah 6 bulan. Metode terbaik untuk menentukan sampel ELISA telah
dikembangkan antara lain oral sample
collecting (OraSure), an
over-the-counter home fingerstick blood-collection test system (Home
Access), dan tes urin (Calpyte). Uji ELISA dilakukan dengan 2 kali pengulangan,
jika satu atau dua tes tersebut reaktif maka dilakukan uji konfirmasi untuk
diagnosa akhir. Uji konfirmasi yang umum digunakan adalah uji Western blot dan uji immunofluorosensi.
Seseorang dikatakan terinfeksi HIV jika hasil uji ELISA dan konfirmasi
menunjukkan hasil positif. Apabila hasil
uji konfirmasi meragukan, dapat dilakukan pengulangan setelah 30 hari atau
mengukur viral load atau gejala yang
muncul pada pasien yang beresiko tinggi HIV.12
Salah satu
diagnosa HIV yang bisa dilakukan adalah memonitor gejala-gejala vital infeksi
dengan mengukur jumlah viral load dan
sel CD4. Uji viral load dilakukan
untuk mengukur tingkat viremia yaitu
jumlah viral RNA HIV dalam plasma. Ada beberapa metode yang digunakan untuk
menentukan RNA HIV yaitu reverse
transcriptase–coupled polymerase chain reaction (RT-PCR), branched-chain DNA (bDNA), transcription-mediated amplification,
dan nucleic acid sequence based assay.
RT-PCR dan bDNA lebih banyak dipakai dibanding teknik yang lain. Viral load diukur sebagai jumlah copi
(penggandaan) viral RNA per milliliter (copi/mL). Setiap metode mempunyai
sensitivitas tertentu terhadap subtipe viral sehingga hasilnya dapat bervariasi
antara satu metode dengan metode lainnya. Oleh karena itu, disarankan agar
senantiasa menggunakan satu metode saja pada pasien yang diperiksa. Reduksi viral load dinyatakan dalam logaritma
10. Misalnya jika pasien pada awalnya jumlah memiliki viral load 100.000
copi/mL (105 copi/mL) dan kemudian menjadi 10.000 copi/mL (104 copi/mL), maka
penurunan viral load adalah 1 log10. Umumnya, pasien dikatakan memberikan
respon klinik, jika responnya lebih besar dari 0,5 log10. Penentuan viral load memiliki spesifisitas di atas
99% dan dapat digunakan untuk mendeteksi strain HIV. Lebih penting lagi bahwa viral load dapat digunakan sebagai
faktor prognostik untuk memonitor perkembangan penyakit dan efek pengobatan.12
Karena HIV
menyerang dan merusak sel yang berhubungan dengan reseptor CD4, maka jumlah
limfosit CD4 dalam darah merupakan suatu tanda dari perkembangan penyakit.
Orang dewasa normal mempunyai limfosit CD4 antara 500 - 1600 sel/µL atau 40% -
70% dari total limfosit. Jumlah CD4 pada anak-anak tergantung usia, dimana
anak-anak dengan usia lebih muda mempunyai jumlah CD4 lebih tinggi. Penurunan
jumlah sel CD4 diasosiasikan dengan perkembangan infeksi oportunistik dan
gejala AIDS lainnya.13
PENULARAN HIV
Infeksi HIV terjadi melalui 3 cara utama yaitu seksual,
parenteral dan perinatal. Penularan HIV umumnya melalui hubungan seksual,
terutama seks anal dan vaginal. HIV dapat ditemukan pada semen dan sekresi
serviks serta cairan tubuh lain dan ini bisa menularkan virus. Tidak ada satu pun aktivitas
seksual yang benar-benar aman. Resiko penularan HIV pada orang yang melakukan
hubungan anorektal sekitar 0,1% - 3% setiap kali kontak, seks vaginal 0,1% -
0,2%.14 Resiko infeksi akan meningkat apabila pasangan berada pada
stadium tinggi dari perkembangan penyakit. Kaum heteroseksual dengan penyakit
seksual ulseratif, senang berganti-ganti pasangan, pasangan dari pengguna
narkoba jarum suntik merupakan golongan yang beresiko paling tinggi tertular
HIV. Resiko penularan akan meningkat pada wanita dengan pengalaman pendarahan
vagina selama berhubungan seks. Individu dengan ulser genital seperti sifilis,
atau herpes memiliki resiko 4 kali lebih besar terhadap HIV. Gonorhea,
klamidia, and trikhomoniasis meningkatkan resiko 2 -3 kalinya. Pasangan seks
dari laki-laki yang berkhitan lebih kecil beresiko HIV dibanding pasangan dari
laki-laki yang tidak berkhitan, dipercaya bahwa adanya kulit khitan (foreskin) merupakan suatu pelindung
untuk pasangannya terhadap infeksi HIV. Infeksi juga dapat terjadi melalui inseminasi artifisial dengan semen yang
terinfeksi. Resiko HIV pada seks oral kurang dapat dijelaskan. Kontak dengan
pasien HIV/AIDS bukan merupakan faktor resiko penularan HIV yang signifikan.
Pencegahan penularan seksual pada orang dewasa adalah dengan penggunaan kondom,
menurunkan yang beresiko tinggi dan pengobatan penyakit menular seksual.
Pendekatan melalui berbagai cara dapat dilakukan untuk mendukung keberhasilan
program pencegahan penularan HIV. Yang terpenting adalah bagaimana menghindari
faktor resiko penularan HIV selama masa remaja. Dimasa akan datang,
pengembangan metode pencegahan seperti vaksin HIV dan sediaan topikal vaginal
yang mengandung mikrobisida mungkin dapat membatasi penyebaran HIV secara
seksual.
Pencegahan
penularan HIV secara parenteral meliputi pengendalian kontaminasi terhadap
darah dan produk darah, alat-alat suntik dan transplantasi organ. Penggunaan
jarum dan alat injeksi lain yang terkontaminasi virus HIV oleh “pemakai
narkoba” merupakan penyebab utama penularan melalui parenteral di AS yaitu
seperempat dari total kasus. Sementara itu, penularan melalui transfusi darah,
komponen darah dan transplantasi organ lebih kecil dari 1%.6 Ini
menunjukkan bahwa prosedur inaktivasi viral dan skrining darah dan donor organ
perlu untuk diperhatikan. Cara tersebut mampu menurunkan faktor resiko
penularan melalui darah dan produk darah menjadi 1 per 493.000.15
Petugas kesehatan juga dapat tertular melalui luka insidental. Kasus terbanyak
yang menimpah petugas diakibatkan oleh luka perkutan akibat tertusuk jarum
suntik. Hasil studi menunjukan bahwa resiko penularan HIV pada petugas akibat
jarum suntik mencapai 0,3%. Faktor resiko yang nyata penyebab serokonversi
meliputi luka yang dalam, lebar dan paparan dari orang yang meninggal akibat
AIDS. Pedoman keamanan untuk petugas pelayanan kesehatan telah dikembangkan
untuk meminimalkan bahaya dari paparan peralatan kerja.16
Infeksi HIV secara
perinatal atau vertikal dari ibu ke anak banyak dialami oleh anak-anak. Banyak
infeksi terjadi selama kelahiran atau mendekati masa kelahiran dan oleh sebab
itu pengobatan kepada ibu yang terinfeksi menjadi penting. Resiko penularan
dari ibu ke anak diperkirakan sekitar 25% sewaktu menyusui dan terapi
antiretroviral. Faktor-faktor yang meningkatkan penularan vertikal antara lain:
pecahnya membran dalam waktu yang lama, chorioamnionitis, infeksi genital
selama kehamilan, proses kelahiran, berat badan di bawah 2.500 g, penggunaan
narkoba selama kehamilan, dan jumlah viral
load maternal yang tinggi.17 Menyusui juga dapat menularkan HIV
(diperkirakan 16,2% kasus) dengan mayoritas
infeksi berkembang pada 6 bulan pertama. Penggunaan menu makanan bayi
dan menempatkannya di lingkungan yang bebas dari HIV (44%) dapat mencegah
infeksi setelah 2 tahun.18 Di negara-negara, dimana infeksi HIV dari
ibu ke anak tinggi dan tersedia makanan eksternal yang aman untuk bayi maka
disarankan agar ibu tidak menyusui anaknya.
PATOGENESIS
Siklus hidup HIV (Gambar. 123–1)
cukup rumit tapi penting untuk diketahui karena berkaitan dengan strategi
pengobatan. Sewaktu virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia, glikoprotein
terluar (gp160) berfungsi sebagai pembawa (carrier)
bagi virus untuk berikatan dengan reseptor CD4, protein permukaan dari limfosit
T-helper, monosit, makrofag, sel dendrit dan mikroglia otak. Sub unit gp120
dari gp160 memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor CD4 dan dapat
merespon ikatan antara virus dengan sel. Ketika ikatan terbentuk maka HIV yang
melekat pada sel akan terbawa sampai ke co-reseptor kemokine. Ada 2 reseptor
kemokine yang digunakan oleh HIV yaitu CCR5 and CXCR4. HIV yang memakai CCR5,
yakni jenis virus R5 menyebabkan makrofag-tropik dan non-syncytium inducing. Jenis virus R5 paling banyak ditemukan pada
kasus penularan HIV secara seksual. Virus X4 yang memakai CXCR4 sebagai
co-reseptor yaitu sel tropik-T. Virus ini cukup dominan dalam stadium lanjut
dan syncytium-inducing. Hasil
pemeriksaan klinis menunjukkan bahwa isolat mengandung campuran virus R5 dan X4
serta beberapa strain viral, campuran ini disebut virus R5X4 yang bersifat dual-tropic (yaitu dapat menggunakan
kedua co-reseptor). Secara genetik hambatan ekspresi reseptor kemokine akan
mencegah perkembangan AIDS pada orang yang terpapar virus.19
Serangan HIV terhadap sel akan menyebabkan fusi dan adsorpsi virus (proses
internalisasi) yaitu suatu proses yang diperantarai oleh subunit gp 41.
Setelah
internalisasi, virus menjadi tidak terproteksi (uncoated) dan akan leluasa bereplikasi. Material genetik HIV berupa
singlestrand RNA (ssRNA), virus harus
menerjemahkan (transkripsi) RNA ini menjadi DNA agar replikasi dalam sel
manusia dapat berjalan optimal (secara normal transkripsi terjadi dari DNA
menjadi RNA, HIV bekerja sebaliknya sehingga disebut retrovirus). Untuk
melakukan ini, virus HIV menggunakan suatu enzim yang unik yaitu RNA-dependent DNA polymerase (reverse transcriptase). Enzim ini
pertama kali akan mensintesa suatu komplemen strand dari DNA dengan memakai RNA
sebagai templet. Hibrid DNA-RNA ini kemudian digantikan secara parsial oleh ribonuclease-H (Rnase-H) dan reverse transcriptase selanjutnya
bertanggungjawab untuk melengkapi sintesa molekul double-stranded DNA (dsDNA). Terbentuknya produk DNA yang salah akan
mendorong virus bermutasi dengan cepat diikuti oleh resistensi obat. Produk
dsDNA bermigrasi ke dalam inti sel dan bergabung dengan kromosom sel dari host oleh enzim integrase (enzim unik lain dari HIV).
Penggabungan virus HIV ke dalam
kromosom host akan menimbulkan
hal-hal sebagai berikut:
1. HIV dapat menimbulkan infeksi
persisten dan kronik, terutama pada sel yang masa hidupnya panjang di sistem
imun seperti limfosit-T.20
2. Penggabungan tersebut bersifat acak sehingga
sulit untuk mengekstraksi virus targetnya. Penggabungan ini akan menyebabkan
abnormalitas seluler dan menginduksi apoptosis.
Sel yang terinfeksi akan diaktivasi
oleh antigen, sitokin atau faktor stimulasi sel lain menjadi faktor inti sel κB
(NF-κB) yaitu suatu faktor pembentuk ikatan protein. Secara normal NF-κB
disamping berfungsi mengatur ekspresi gen limfosit-T untuk pertumbuhan, juga
memiliki kemampuan untuk mengaktivasi replikasi virus HIV. Sewaktu replikasi
HIV diinduksi, DNA polymerase pada host
akan bergabung dengan DNA proviral
menjadi messenger RNA (mRNA) yang
akan ditranslasikan menjadi protein virus. Awalnya transkripsi dan translasi
terjadi pada tingkat rendah menghasilkan berbagai pengatur protein HIV seperti
Tat, Nef, dan Rev. Protein Tat merupakan suatu amplifier ekspresi gen HIV, berikatan dengan RNA spesifik HIV yang
meng-inisiasi dan menstabilisasi elogasi (pemanjangan) transkripsi. Meskipun
terlihat bahwa Nef memiliki fungsi regulasi terhadap molekul kelas I dan
melindungi infeksi sel dari sitotoksik limfosit-T, 21 namun bukti
mengenai fungsi Nef tersebut belum ada. Protein Rev mengatur aktivitas
post-transkripsi dan merupakan protein esensial untuk replikasi seperti halnya
protein Tat. Rev terutama berfungsi mengubah protein regulator menjadi protein
struktural (misalnya gp120) melalui inhibisi ikatan mRNA virus dan meng-up take mRNA dari luar intisel.21
Sejumlah partikel virion baru
terbentuk setiap kali terjadi penggabungan protein HIV dalam sel lipid dari host. Nukleokapsid dibentuk oleh ssRNA
virus dan komponen lain dalam sel. Virion kemudian menyatu dengan membran
plasma dan menerima karakteristik lipid bilayer untuk selanjutnya memulai
proses maturasi (pematangan). Melalui HIV
protease, virion mulai membelah menjadi suatu prekursor polipeptida yang
besar menjadi protein fungsional yang diperlukan untuk membentuk virus secara
lengkap. Tanpa
enzim ini virion akan mati dan tidak dapat menginfeksi sel. 21
HIV-1 menunjukkan
laju pergantian (turnover) yang
sangat tinggi, diperkirakan sekitar 10 miliar virus baru dihasilkan setiap
hari. Lebih dari 99% dari virus tersebut akan menginfeksi sel. Akhirnya, sel
yang terinfeksi akan hancur dengan sejumlah mekanisme termasuk lisis akibat
berikatan dengan virion baru, sitotoksik limfosit-T, induksi sel pembunuh,
pembentukan syncytia atau apoptosis.
Pembentukan syncytia terjadi ketika
protein virus menempel pada permukaan sel yang terinfeksi sebagai ligan
reseptor bagi sel lain yang tidak terinfeksi. Sel-sel yang tidak terinfeksi
akan terikat pada sel yang terinfeksi dan bergabung membentuk sel raksasa
berinti banyak. Induksi syncytium
dari fenotif virus X4 pada tahap selanjutnya akan akan mengalami perkembangan
dan hal ini berkaitan dengan perkembangan penyakit yang lebih cepat. Rusaknya
sel CD4 menyebabkan gangguan sistem imun dan akibatnya HIV akan berkembang
menjadi AIDS.
TINJAUAN KLINIS
Secara klinis gejala infeksi HIV
beraneka ragam tetapi keluhan kebanyakan pasien berupa sidrom retroviral akut
atau penyakit mirip mononukleosis24, 25 (Tabel 123–2). Gejala muncul
selama 2 minggu dan sekitar 15% pasien terjadi di rumah sakit.24
Infeksi primer sering dikaitkan dengan viral
load yang tinggi dan
perkembangan respon imun pada periode waktu tertentu. Selama perode ini HIV
terperangkap oleh sel dendrit folikular dalam jaringan limfoid dan bereplikasi
pada pusat germinal. Pada kondisi ini jumlah RNA HIV dalam plasma cukup besar
dan gejala ini perlahan-lahan akan hilang. Penurunan ini dipengaruhi oleh
perkembangan respon imun terhadap HIV. Secara klinis ini merupakan periode
laten karena virus HIV terus melakukan replikasi sehingga sistem imun terus
menerus memburuk. Kondisi persisten dengan menurunnya sel CD4 dapat diukur
untuk melihat destruksi sitem imun.20 Selain itu, pada tingkat
partikel jumlah viral load dalam
plasma relatif stabil (disebut kondisi “set
point”). Ini berkaitan langsung dengan perkembangan infeksi dan morbiditas.
Selama 11 tahun The Multicenter AIDS
Cohort Study (MACS) mengukur viral
load pada 181 laki-laki yang terinfeksi HIV, hanya 8% pasien yang mengalami
perkembangan menjadi HIV dengan jumlah viral
load di bawah 4530 copi/mL dan 5% diantaranya meninggal dunia. Sementara pasien dengan viral load di bawah 36.270 copi/mL
sebanyak 62%. Sekitar 26% pasien dengan viral
load antara 13.020 – 4531 mengalami perkembangan menjadi AIDS dengan laju
mortalitas 10% dan 49% dengan viral load 13.021 – 36.270 dengan laju mortalitas
mencapai 25%. Lebih jelasnya, tingkat
tertinggi dari viremia adalah pada onset yang berhubungan dengan prognosis yang
lemah.26
Tabel 123–2. Tinjauan Klinis dari Infeksi Primer
HIV pada Orang Dewasa
Gejala
Demam, tenggorokan kering, kehilangan berat badan dan mialgia
40%-80% dari pasien yang menunjukkan bentuk morbili atau tonjolan-tonjolan
kemerahan biasanya termasuk trunk
Diare, nausea dan muntah
Limpadenopati, berkeringat pada malam hari
Meningitis aseptis (demam, sakit kepala, fotofobia, dan kaku leher), dapat
terjadi pada ¼ kasus yang ada.
Lain-Lain
Jumlah virus yang tinggi (memiliki 50.000 kopi/mL pada dewasa atau 500.000 kopi/mL pada
anak-anak
Penurunan yang tetap di dalam limfosit CD4
Pada anak-anak
gejala fisiknya tidak jelas, seperti limfadenopati, hepatomegali, splenomegali,
gangguan pertumbuhan, kehilangan berat badan atau gejala penurunan berat badan
yang tidak jelas penyebabnya dan demam tanpa sebab. Sementara hasil pemeriksaan labolatorium
menunjukkan gejala anemia, hipergammaglobulinemia (terutama IgA dan IgM),
perubahan fungsi sel mononuklear dan rasio subset sel-T.27 Jumlah
sel CD4 normal pada anak-anak tidak berbeda jauh dengan orang dewasa (Tabel
123–3). Infeksi bakteri meliputi Streptococcus pneumoniae, Salmonella spp.
dan Mycobacterium tuberculosis, infeksi
pada anak-anak dengan HIV lebih beragam dibanding orang dewasa. Pada anak-anak
biasanya mengalami sarkoma kaposi. Anak-anak dengan infeksi HIV
mengalami perkembangan pneumonia limfositis interstitial, hal ini ditandai
dengan adanya Pneumocystis carinii atau mikroba patogen lain pada biopsi
paru. Sebagian anak-anak mengalami progresivitas penyakit yang ditandai oleh
gangguan neurologi yang tidak jelas, antara lain ditandai dengan menurunnya
denyut jantung, perkembangan mental menurun, pertumbuhan otak berhenti dan
ensepalopati yang tidak jelas. Bukti menunjukkan bahwa munculnya kembali
infeksi bakteri, jamur atau virus akan menjadi kronis dan merupakan awal mula
dari progresivitas penyakit seperti meningitis dan sepsis bakteria, otitis
media kronis serta kandidiasis dan histoplasmosis. Hasil surveilans terbaru
dari CDC pediatric AIDS (Tabel 123–3)
menunjukkan bahwa progresivitas HIV pada anak-anak ditandai dengan konjenital,
atau sitomegalivirus perinatal atau gejala defisiensi imun.28
Manajemen klinis untuk anak-anak yang terinfeksi HIV pada prinsipnya sama
dengan orang dewasa yaitu: terapi antiretrovial, pengobatan dan profilaksis
infeksi oportunistik serta supportif care.29
HASIL YANG DIHARAPKAN
Tujuan terapi antiretroviral adalah untuk mencapai
penghambatan maksimum terhadap replikasi HIV. Hal ini diinterpretasikan dengan
jumlah viral load dalam plasma berada
di bawah batas pengukuran kuantitatif (artinya tidak dapat terdeteksi). Respon
untuk jangka panjang ditentukan oleh jumlah viral
load terendah yang diperoleh.30, 31 Hal lain yang sama
pentingnya adalah meningkatnya jumlah limfosit CD4 karena ini menentukan resiko
perkembangan infeksi oportunistik.32 Kadang-kadang pasien hanya
memberikan respon secara virologis dan imunologis tetapi hal ini tidak dapat
dijelaskan. Tujuan akhir dari terapi antiretroviral adalah untuk menurunkan
mortalitas dan morbiditas.
v GENERAL APPROACH TO TREATMENT
Pada pertengahan tahun 1997 the National Institutes of Health Office of AIDS Research
melaksanakan panel untuk mendefinisikan prinsip-prinsip dasar sebagai pedoman
klinis penggunaan agen antiretroviral.
1. Replikasi HIV secara terus menerus menyebabkan
kerusakan sistem imun dan perkembangan AIDS. Infeksi HIV selalu membahayakan
dan menimbulkan disfungsi imun yang khas.
2. Kadar RNA HIV dalam plasma mengindikasikan
magnitude replikasi dan berkaitan dengan laju perusakan sel CD4, dimana jumlah
sel CD4 menunjukkan perkembangan sistem imun akibat induksi HIV. Pengukuran
kadar RNA HIV dan jumlah sel CD4 perlu dilakukan secara reguler untuk
menentukan resiko perkembangan penyakit pada seseorang yang terinfeksi HIV
serta menentukan kapan rejimen antiretroviral diberikan.
3. Karena laju perkembangan penyakit berbeda untuk
setiap individu keputusan pengobatan dberikan secara individual tergantung pada
tingkat resiko yang ditunjukkan oleh kadar RNA HIV dan jumlah sel CD4.
4. Penggunaan terapi kombinasi antiretroviral bertujuan untuk
menghambat replikasi HIV
5. Antiretroviral dikatakan efektif berarti
memiliki kemampuan menghambat replikasi HIV secara simultan diawali dari obat
anti HIV yang efektif pada seseorang yang belum pernah diobati dan tidak
terjadi resistensi silang dengan antiretroviral lain yang digunakan sebelumnya.
6. Setiap obat antiretroviral digunakan dalam
rejimen terapi kombinasi dan digunakan
sesuai dengan sediaan dan waktu pemberian yang optimal.
7. Obat-obat
antiretroviral tersedia dalam jumlah dan mekanisme kerja yang terbatas dan
resistensi silang yang spesifik harus didokumentasikan.
8. Wanita bisa diberikan terapi antiretroviral
tanpa memperhatikan status kehamilan.
9. Prinsip penggunaan terapi antiretroviral pada
orang dewasa dan anak-anak adalah sama walaupun pengobatan infeksi pada
anak-anak meliputi pendekatan imunologi, farmakologi dan virologi yang unik.
10. Orang dengan infeksi HIV akut dapat diobati
dengan terapi kombinasi antiretroviral untuk menghambat replikasi HIV dalam
batas-batas yang ditetapkan yang dideteksi dengan uji HIV RNA plasma yang
sensitif..
11. Orang dengan HIV dimana kadar viral load tidak terdeteksi harus
disarankan untuk menghindari kebiasaan seksual dan penggunaan obat yang
dikaitkan dengan penularan HIV dan infeksi patogen lainnya.
Sekitar 20 obat antiretroviral saat
telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) dan di masa datang akan lebih banyak lagi. Profesional
pelayanan kesehatan harus melayani orang yang terinfeksi HIV dan senantiasa merujuk
kepada literatur terbaru serta memperhatikan prinsip dan strategi terapi. Saat ini sumber informasi
mengenai pedoman pengobatan dapat ditemui di www.AIDSinfo.NIH.gov. Tabel
123–4 menggambarkan tahapan pengobatan untuk orang yang terinfeksi HIV. Pengobatan
direkomendasikan untuk semua pengidap HIV dengan jumlah limfosit CD4 di bawah
350 sel/µL, atau RNA HIV dalam plasma di atas 55.000 copi/mL yang diharapakan
pada perhitungan CD4.34.
TERAPI SECARA FARMAKOLOGI
Secara konseptual terdapat 3 cara
utama intervensi terapetik untuk melawan HIV yaitu inhibisi replikasi viral,
vaksinasi untuk merangsang lebih efektif respon imun, dan mengembalikan sistem
imun dengan imunomodulator. Pendekatan dengan vaksin sedang dikembangkan
meliputi virus pembunuh, vektor rekombinan dan penghambat pembentukan DNA.
Studi klinis terhadap vaksin telah dilakukan, sedangkan cara untuk
mengoptimalkan kerja vaksin sedang diteliti. Variabilitas genetik HIV dan
pengaturan sistem imun merupakan penghambat yang nyata dalam menghambat
replikasi virus untuk mengambangkan suatu vaksin HIV yang efektif dengan kerja
panjang dan melindungi imunitas.35 Diantara imunomodulator, interleukin
2 (aldesleukin atau IL-2) nampaknya sangat menjanjikan. Berbagai rute pemberian
dan dosis telah dicoba, yang paling umum adalah pemberian subkutan selama 5
hari berturut-turut dalam 2 bulan sekali. Keuntungan pemberian IL-2 dapat meningkatkan jumlah sel CD4, namun
sayangnya hal ini juga diikuti dengan meningkatnya toksisitas yang nyata. Studi
untuk mengkaji hasil akhir klinis sedang dilakukan.36
v
AGEN ANTIRETROVIRAL
Inhibisi replikasi virus dengan
kombinasi agen antiretroviral secara klinis telah menunjukkan keberhasilan. Ada
3 kelompok obat utama yang digunakan yaitu
penghambat masuknya virus, reverse
transcriptase inhibitor, dan protease
inhibitor (Tabel 123–5). Reverse transcriptase
inhibitor
terdiri atas 2 tipe, turunan nukleosida dan nukleotida dengan gugus induk purin
dan pirimidin nucleotides disebut Nucleoside/nucleotide
Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs) dan Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs). NRTIs
meliputi analog thymidine seperti stavudine (d4T) dan zidovudine (AZT atau
ZDV); analog cytosine seperti emtricitabine (FTC), lamivudine (3TC), dan
zalcitabine (ddC); inosin derivat didanosine (ddI); dan analog guanosine
seperti abacavir sulfat (ABC). Tenofovir disoproxil fumarate (TDF atau PMPA)
adalah suatu NRTIs turunan adenosin. Beberapa analog nukleosida sedang dalam
tahap pengembangan antara lain alovudine (FLT), dOTC, dan β-L-d4FC. Agar
menjadi aktif kelompok NRTIs memerlukan fosforilasi menjadi 5-trifosfat moiety.
Fosforilasi intraseluler terjadi oleh kerja dari kinase mitokondrial atau
sitoplasmik dan enzim fosfotransfertase. Diikuti dengan aktivasi prodrug, 5-triphosphate moiety bekerja
melalui 2 cara: (1) Berkompetisi dengan deoksinukleotida endogen terhadap enzim
reverse transcriptase, dan (2)
Terikat pada gugus 3-hidroksil dari rantai DNA.37 Hydroksiurea
(suatu inhibitor ribonucleotide reductase)
terbentuk dari deoksinukleotida intrasel dan digunakan dalam kombinasi dengan
NRTIs. Reduksi trifosfat endogen oleh hidroksiurea mengubah kompetisi reverse transcriptase terhadap trifosfat
eksogen. (misalnya: NRTI). Namun, hidroksiurea dapat menimbulkan efek samping
seperti pankreatitis dari didanosin dan neuropati periferal dari kombinasi
stavudine-didanosine.38 Asam mikofenolik, yaitu suatu inhibitor
monofosfat dehidrogenase dapat menyebabkan pengaruh yang sama terhadap kelompok
nukleotida endogen. Namun demikian, NRTIs spesifik untuk reverse transcriptase HIV, efek sampingnya merupakan bagian dari
inhibisinya terhadap DNA polymerase manusia, khususnya DNA mitokondrial
polymerase γ.39
Secara kimia NNRTIs merupakan
kelompok senyawa heterogen yang terikat secara non-kompetitif terhadap reverse transcriptase pada tapak
katalitik. Tidak seperti NRTIs, NNRTIs tidak memerlukan aktivasi seluler, tidak
berkompetisi dengan deoksinukleotida endogen dan tidak memiliki aktivitas yang
kuat melawan HIV-2. NNRTIs yang tersedia
meliputi efavirenz, delavirdine, dan nevirapine.40 Capravirine dan
calanolide termasuk dalam kelompok ini yang masih dikembangkan.
Inhibitor protease adalah kelompok yang poten
terhadap antiretroviral, meliputi amprenavir, atazanavir, fosamprenavir,
indinavir, lopinavir, nelfinavir, ritonavir, dan saquinavir. Saat topik ini
ditulis tipranavir masih dalam tahap penelitian. Farmakologi, keamanan dan
efikasi dari obat-obat tersebut telah ditelaah di berbagai tempat.41
Protease inhibitor memblok proses pematangan sehingga menghasilkan virion yang
tidak menginfeksi.23
Enfuvirtide (T-20, atau pentafuside)
hanya satu-satunya inhibitor pemasukan yang tersedia saat ini. Inhibitor fusi,
enfuvirtide merupakan suatu senyawa peptida 36-asam amino sintetik turunan dari
heptad repeat-2 (HR2) domain dari gp41. Senyawa ini menghambat penggabungan HIV
dengan sel target melalui ikatan dengan heptad
repeat-1 (HR1) domain gp41, sehingga terjadi ”interfering” dengan proses “zipping” HR1 dan HR2. Karena
enfuvirtide merupakan peptida alam, dapat diberikan secara oral dan injeksi
subkutan.42 Derivat enfuvirtide yaitu T-1249 saat ini sedang
diselidiki, ini juga diberikan secara injeksi subkutan.
Agen-agen antiretroviral dengan mekanisme kerja
lain masih dikembangkan.
v INTERAKSI OBAT
Penggunaan agen antiretroviral secara klinis dipengaruhi
oleh interaksi obat yang dapat terjadi dengan banyak berbagai macam obat. Beberapa
interaksi menguntungkan dan digunakan untuk tujuan tertentu, sementara yang
lain bersifat merugikan yang menyebabkan konsentrasi obat tidak memadai.
Petugas kesehatan yang bergelu dalam bidang farmakoterapi HIV Clinicians mesti
menguasai pengetahuan terbaru mengenai latar belakang interaksi tersebut. Secara
umum amprenavir, efavirenz, nevirapine, dan tipranavir merupakan penginduksi
metabolisme obat, sementara delavirdine dan protease
inhibitor menghambat metabolisme obat. Ritonavir adalah inhibitor sitoktom
P450 yang merangsang metabolisme dan saat ini digunakan sebagai pembanding
untuk agen protease inhibitor
lainnya. Untuk mengatasi hal ini lopinavir dikombinasikan dengan ritonavir
(LPV/r).45 Obat-obat kelompok NRTIs
juga saling berinteraksi. Zidovudine dan stavudine misalnya difosforilasi oleh
beberapa kinase, kerja anataginis antara kedua obat tersebut terjadi baik
secara in vitro dan in vivo, oleh karena itu keduanya tidak pernah diberikan
secara bersamaan.46 Interaksi juga terjadi dengan obat-obat
antituberkulosis terutama rifampisin. Rifampisin dikontraindikasikan dengan protease inhibitor karena konsentrasinya
kan menurun.
Jika pasien memerlukan pengobatan secara simultan untuk HIV dan TB diberikan
rejimen yang terdiri atas efavirenz, ritonavir, atau saquinavir-ritonavir.47
Produk herbal Saint John’s wort (Hypericum perforatum) merupakan
penginduksi metabolisme dan kontraindikasi dengan PI dan NNRTI. St. John’s wort
menurunkan AUC indinavir rata-rata sekitar 57%.48
v PERKEMBANGAN PENTING DALAM STRATEGI PENGOBATAN
Farmakoterapi infeksi HIV mengalami perubahan
secara cepat dalam beberapa tahun terakhir dengan penyusunan paradigma
pengobatan menggunakan agen antiretroviral yang baru. Perkembangan penting dari
terapetik antiretroviral adalah:
·
Pemakaian
zidovudine dalam bentuk tunggal memberikan keuntungan bagi penderita AIDS.49
·
Kombinasi
dua NRTI (mis: zidovudine dan didanosine atau zalcitabine) lebih ampuh
dibanding pemakaian tunggal zidovudine berdasarkan parameter imunologi dan
virologi, khususnya pada pasien yang sebelumnya tidak memakai terapi
antiretroviral, dan memberikan keuntungan yang lebih baik (ACTG 175).50
·
Pemakaian
tiga kombinasi (2 NRTI dengan NNRTI atau PI) dapat menurunkan insiden infeksi
oportunistik dan mengubahnya.3
Rekomendasi terbaru untuk penanggulangan HIV minimal
menggunakan 3 ARV. Rejimen yang terdiri atas 2 analog nukleosida dengan 1 PI
(umumnya ritonavir) atau 1 NNRTI (berturut-turut, tenofovir, emtricitabine,
lopinavir-ritonavir dan zidovudine, lamivudine, efavirenz). Kombinasi lain
meliputi 3 analog nukleosida, 2 PI (salah satunya ritonavir), atau 1 PI dengan
1 NNRTI. Pada awalnya pemilihan obat ini cukup berhasil, dimana faktor-faktor
seperti adherens (penerimaan pasien),
efikasi (virologis dan immunologi), lama penobatan, obat yang dipakai untuk
pengobatan awal dan substitusi (seperti: sequencing),
serta toleransi merupakan parameter keberhasilan pengobatan.34 Penjelasan
lebih lanjut terhadap faktor-faktor ini dijelaskan pada berikutnya.
Yang dimaksud dengan adherence (ketaatan) adalah kemampuan
pasien dalam memakai obat secara langsung. Terapi antiretroviral cukup kompleks
dan memakan waktu lama serta resiko virologis yang tinggi jika pasien tidak
mampu menerima obat. Pasien dengan lebih dari 95% ketaatannya terhadap regimen
PI lebih baik keadaan virologis dan imunologisnya seta lebih rendah pengeluaran
untuk rumah sakit daripada yang memiliki ketaatan di bawah ambang ini.51
Oleh karena itu sangat penting bagi petugas untuk melakukan komunikasi dan
edukasi kepada pasien mengenai proses pengobatan dan peyakit, monitoring dan
tujuan terapi. Kesiapan dari pasien untuk menerima obat harus jelas, sehingga
pengobatan dapat dimulai. 34 Pasien dengan latar belakang pendidikan
yang rendah harus diberikan penjelasan yang memadai sebelum memulai pengobatan,
termasuk anggota keluarga, kerabat dan caregiver
karena dukungan sosial dan psikologis sangat penting untuk pasien HIV.
Beberapa percobaan klinis menunjukkan efikasi
antiretroviral secara virologis dan imunologis. 53,55 Tetapi
sayangnya studi komparatif masih sedikit. Pemberian lopinavir/ritonavir 400/100
mg 2 kali sehari memberikan efikasi virologis lebih baik dibandingkan dengan
pemberian nelfinavir 750 mg 3 kali sehari pada pasien yang menjalani terapi
dengan 40 mg stavudine 3 kali sehari dan lamivudine 150 mg 3 kali sehari. Hasil
percobaan pada 637 pasien menunjukkan bahwa setelah 48 jam 75% pasien yang
menerima lopinavir/ritonavir memiliki jumlah viral load di bawah 400 copi/mL
sedangkan nelfinavir 63%. Rata-rata penurunan jumlah sel CD4 hampir sama, 195 sel/µL dengan
nelfinavir dan 207 sel/µL dengan lopinavir-ritonavir. Secara keseluruhan
efikasi kedua obat hampir sama.56 Studi pada 432 pasien menunjukkan
bahwa penghambatan virus setelah 48 minggu lebih nyata pada pasien yang memakai
NNRTI efavirenz yang diberikan dalam kombinasi dengan zidovudine-lamivudine
dibandingkan dengan indinavir-zidovudine-lamivudine atau indinavir-efavirenz.
Zidovudine dan lamivudine diberikan dengan dosis masing-masing 300 mg dan 150
mg 3 kali sehari. Dosis pemberian efavirenz adalah 600 mg setiap hari dan
indinavir 800 mg setiap 8 jam. Untuk menyesuaikan terhadap kemungkinan
interaksi obat efavirenz diberikan dengan dosis 600 mg setiap hari dan
indinavir 1000 mg setiap 8 jam. Proporsi pasien dengan jumlah RNA HIV di bawah
400 copi/mL setelah menggunakan efavirenz-zidovudine-lamivudine adalah 70%,
indinavir-efavirenz 53% dan indinavir-zidovudine-lamivudine 48%; rata-rata kenaikan
jumlah sel CD4 masing-masing 201, 180, and 185 sel/µL.53
Lama pengobatan
dan keteratutran rejimen sama pentingnya dengan efikasinya. Sejak HAART
dikembangkan, masa hidup pasien dan kualitas hidup patients menjadi meningkat. Konsekuensi
dari pasien yang akan bergantung pada pengobatan mereka untuk beberapa tahun ke
depan, bukan bulan. Data pada durasi panjang dari HAART adalah jarang. Pengujian resistensi ARV dilakukan melalui 2
jenis tes, yaitu: tes fenotif dan genotif. Tes fenotif menentukan konsentrasi ARV
yang diperlukan untuk menghambat replikasi virus sebanyak 50% (IC50)
dalam suatu rekombinan virus. Semakin besar nilai fenotif maka keberhasilan
pengobatan ARV kecil, dan untuk mengatasi ini dosis obat harus disesuaikan. Tes genotif untuk menilai perubahan kodon pada
reverse transferase gp41, atau protease pasien dan membandingkannya dengan tipe
ganas sequence. Mutasi terjadi akibat perubahan posisi
urutan genetis dari protein atau enzim dan terakhir dengan mutasi yang
ditemukan pada pasien. Misalnya: mutasi
yang disebabkan oleh lamivudine dan emtricitabine pada M184V yaitu suatu
substitusi valin (V) terhadap methionine (M) pada pasisi 184 dari reverse transcriptase.
Efek samping akibat ARV mungkin akan
membatasi kemampuan pasien terhadap pengobatan. Beberapa efek samping yang
penting saat ini dihubungkan dengan ketersediaan antiretroviral. Antara lain
toksisitas mitokondrial karena pemberian NRTI, rasa terbakar karena NNRTI, dan
gangguan metabolisme (PI).
v
PENGOBATAN PADA KONDISI KHUSUS
§
KEHAMILAN
Rekomendasi pengobatan dibuat khusus
untuk wanita hamil yang terinfeksi HIV dan mencegah transmisi vertikal dari ibu
ke anak.62 Pemberian zidovudine tunggal dapat menurunkan transmisi.
Hasil penelitian secara acak pada 477 wanita hamil yang terinfeksi HIV (14 - 34
minggu kehamilan) dengan zidovudine atau placebo. Rejimen zidovudine mengandung
zidovudine antepartum (100 mg 5 kali sehari) ditambah infus zidovudine (2 mg/kg
secara i.v. selama 1 jam, kemudian dilanjutkan dengan dosis 1 mg/kg per jam),
dan zidovudine untuk bayi yang baru lahir (2 mg/ kg peroral setiap 6 jam untuk
6 minggu). Laju transmisi HIV untuk pasien yang menerima plasebo 25,5%
sementara yang menerima zidofudin 8,3%. Hasil studi menunjukkan efek samping
terapi menggunakan zidovudine yaitu konsentrasi Hb menurun pada bayi yang baru
lahir, tetapi ini akan hilang setelah usia 12 minggu. Tidak ada perbedaan
struktural antara plasebo dan pemberian zidovudine.63
|
Pemakaian zidovudine secara teratur
misalnya selama kerja atau 48 jam setelah bayi lahir juga dapat menurunkan
transmisi serta lebih mudah diterapkan oleh pasien.64 Sebagai
alternatif dosis tunggal nevirapine dapat diberikan kepada ibu hamil selama bekerja
dan kepada bayi dengan usia 3 hari juga dapat menurunkan transmisi HIV.65
§
POSTEXPOSURE PROPHYLAXIS (PEP)
Perlindungan petugas kesehatan
terhadap paparan HIV akibat kecelakaan sangat penting untuk diperhatikan. Pusat
Penanggulangan Penyakit Menular telah menyusun pedoman untuk mencegah/menindaklanjuti
eksposur HIV. Postexposure prophylaxis
(PEP) dilakukan dengan rejimen tiga obat yang terdiri atas 2 NRTI dan 1 PI
untuk eksposur darah perkutan termasuk resikonya (darah dari pasien yang
terkontaminasi HIV/AIDS). Dua NRTI diupayakan untuk petugas kesehatan dengan
resiko eksposur yang lebih kecil misalnya paparan pada membran mukosa atau
kulit. Pengobatan tidak diperlukan jika sumber paparan adalah urin atau saliva.
Lama pengobatan tidak diketahui, tapi disarankan pengobatan dilakukan selama 4
minggu. Idealnya, pengobatan dimulai 1-2 jam setelah paparan.16
Pedoman untuk profilaksis postcoital
dan postinjection drug use sedang
dikembangkan.67
EVALUASI HASIL TERAPI
Setelah menerima terapi pasien akan
dimonitor 3 bulan sekali untuk memantau jumlah CD4, viral load (HIV RNA) dan
klinis. Secara umum, ada 2 indikasi perubahan terapi yaitu: kegagalan penobatan
atau toksisitas yang nyata. Obat ARV yang tersedia dibatasi oleh efek samping
yang ditimbulkannya4; misalnya pasien yang memiliki pengalaman
neuropati periferal, pemberian kombinasi didanosine dan stavudine diganti
dengan kombinasi zidovudine dan lamivudine. Kriteria khusus untuk indikasi
kegagalan pengobatan tidak ditetapkan melalui percobaan klinis secara
terkontrol. Pedoman umum untuk perubahan
terapi meliputi :
1. Penurunan RNA HIV lebih kecil dari 1 log10
setelah 1 bulan menerima pengobatan atau gagal menekan replikasi HIV setelah 4
– 6 bulan.
2. Jumlah sel CD4 terus menurun atau sama dengan
jumlah sebelum terapi atau jumlah RNA HIV meningkat 0,3 – 0,5 log 10 copi/mL
dari sebelumnya.
3. Secara klinis progresivitas penyakit meningkat,
umumnya ditemui perkembangan infeksi oportunistik baru.
KEGAGALAN TERAPI
Kegagalan terapi mungkin disebabkan oleh ketidakpatuhan
pasien menerima obat, berkembangnya resistensi obat, intoleransi satu atau
lebih ARV, efek samping interaksi obat atau variabilitas
farmakokinetik-farmakodinamik. Data klinis yang tersedia mengenai strategi
alternatif untuk mengatasi hal ini masih sedikit. Lebih dari itu, heterogenetis
pasien dan virus menyebabkan interpretasi menjadi sulit. Umumnya, pasien sulit
menerima pengobatan pertama dengan obat dari kelompok yang baru (misalnya: jika
pasien menerima PI, maka PI dapat diganti dengan NNRTI). Petunjuk yang mendasar
(nomor 5 dan 7) merekomendasikan pergantian pada sedikitnya dua obat
antiretroviral baru yang tidak mengalami resisten silang dengan agent yang
sebelumnya diterima Tabel 123–4 menunjukkan beberapa contoh rejimen alternatif.
Pengujian resistensi virologi dapat membantu sebagai pedoman bagi provider dalam memilih obat ARV yang
sesuai.58 Sebagai tambahan untuk rejimen ARV alternatif untuk
mengatasi kegagalan terapi meliputi drug
holiday, strategi pengobatan interuptif (STIs) dan terapi intermiten yang terstruktur
(SIT). Namun, apapun strategi yang dipilih dalam kaitannya dengan penghentian
pemakaian ARV akan diikuti dengan meningkatnya replikasi virus dan menurunnya
jumlah limfosit CD4. Masih ada hal – hal yang masih belum jelas dalam strategi diskontinuasi ARV, antara lain meliputi:
berapa lama pasien memperoleh pengobatan lanjutannya, seberapa sering siklus
ini dilakukan, dan yang paling penting kemampuan strategi untuk menurunkan
mortalitas dan morbiditas seperti halnya penggunaan HAART. Studi prospektif
kiranya perlu dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar