Google ads

Selasa, 15 Maret 2016

Penyakit Ginjal Kronik


Defenisi (Levey, et al; 2005; Alan, 2013)
Penyakit ginjal Kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi dalam kurun waktu lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktur ginjal, dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang ditandai dengan : kelainan patologi, adanya tanda kerusakan ginjal seperti hasil laboratorium darah atau urine atau kelainan radiologi.

Klasifikasi
            Pengklasifikasian penyakit ginjal kronik ada 2 yaitu
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Derajat Penyakit
Menurut National Kidney Fundation, Penyakit ginjal kronis dapat dikelompokkan menjadi 5 stage:
Stage
Penjelasan
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) ml/min/1,73m2
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau tinggi
≥ 90
2
Kerusakan Ginjal dengan LFG ringan
60 -89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
30 -59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
15-29
5
Gagal ginjal
<15 atau dialisis
Tabel 1: Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan derajat penyakit
 (Alan, 2013; Black and Hawks, 2009; Levin et al, 2008, Suwitra, 2006)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Etiologi (Suwitra, 2006; Setiyohadi, 2007)
Penyakit ginjal kronik berdasarkan etiologi dapat dikelompokkan menjadi:
Penyakit
Tipe Mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit glomerular (autoimun, infeksi sistemik, obat)
Penyakit vaskular (penyakit pembesaran pembuluh darah, hipertensi)
Penyakit Tubulointertisial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikstik)
Penyakit pada transplantasi
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

Tabel 2: Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan etiologi
 Epidemiologi
Kasus penyakit ginjal kronik prevalensinya terus meningkat, diperkirakan untuk tahun 2025 di Asia Tenggara, Mediterania dan Timur tengah serta Afrika mencapai lebih dari 380 juta orang (Anonim, 2010). Di United States, penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan yang utama dengan angka morbiditas 8 juta orang, sebanyak 600 ribu orang meninggal akibat penyakit tersebut (Black and Hawks, 2009; Smeltzer and Bare, 2006). Di Indonesia sendiri berdasarkan data PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) baru-baru ini sampai tahun 2013 jumlah penderita sudah mencapai 30,7 juta penduduk (Kartika, 2013). Dimana penyakit diabetes menjadi penyebab utamanya (KDOQI, 2012).

Etiologi
a.    Inisiasi Faktor
Inisiasi faktor merupakan faktor yang secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor-faktor tersebut adalah diabetes melitus, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih dan obat yang menyebabkan toksisitas pada ginjal (Alan, 2013).
1.      Diabetes Melitus
Individu dengan diabetes melitus tipe I 40% beresiko terjadinya penyakit ginjal kronik, sedangkan individu dengan diabetes melitus tipe 2 50% beresiko terjadinya penyakit ginjal kronik. Prevalensi yang lebih besar dari DM tipe 2 di bandingkan DM tipe 1 umumnya dalam rasio 10:1 di sebagian besar negara. Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan secara prosfektif pada lebih dari 300.000 orang di perkirakan sekitar 3% dari penderita diabetes melitus akan akan berkembang menjadi penyakit Ginjal Kronik stage 5 selama hidupnya (Alan, 2013; Dipiro, 2005).

2.      Hipertensi
Adanya hipertensi juga akan meningkatkan resiko penyakit Ginjal Kronik. Berdasarkan studi epidemiologi hipertensi juga bisa menyebabkan penyakit ginjal yang progresif seperti jika Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) 90 mL/menit/1,73m2, 40% penderita menderita penyakit hipertensi, pada LFG 60 mL/menit/1,73 m2 55% penderita menderita hipertensi, dan pada LFG 30 mL/menit/1,73m2 lebih dari 75% penderita menderita hipertensi (Dipiro, 2005; Alan, 2013).

3.      Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah peradangan pada struktur ginjal (glomerulus), yang disebabkan oleh penyakit autoimun dimana terjadi proses inflamasi dan proliferasi sel glomerulus dengan manifestasi klinik dan pola hispatologik yang multipel (Setiyohadi, dkk., 2007). Pengaruh peradangan pada kedua ginjal sama dan peradangan ini bersifat menyebar ketubular, interstisial dan vaskular (Dipiro, 2005).

b.      Faktor Progresif
Faktor progresif adalah faktor yang memperburuk kerusakan ginjal dan berkaitan dengan kecepatan penurunan fungsi ginjal. Hal ini bisa di sebabkan oleh penyakit (misalnya diabetes melitus, glomerulonefritis, hiperlipidemia dan hipertensi) dan faktor lain seperti proteinurea, merokok, kurang minum, dan lain-lain (Alan, 2013; Dipiro, 2005)
1.      Albuminuria/Proteinuria
Proteinurea merupakan penanda kerusakan ginjal dan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Proteinurea dapat d klasifikasikan menjadi:
·         Normal : ekskresi albumin dibawah 30 mg/24 jam
·         Mikroalbuminuria : 30 – 300 mg/24 jam
·         Makroalbuminuria : lebih dari 300mg/24 jam (Alan, 2013; Stamatakis, 2010)
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa jika eksresi albumin > 30 mg/24 jam diduga kuat dapat menyebabkan nefropati dan berkurangnya fungsi ginjal (Dipiro, 2005).

2.      Hipertensi
Terkontrolnya tekanan darah dapat memperlama perkembangan penyakit ginjal kronik. Peningkatan tekanan darah dapat mempercepat penurunan nilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Jika tekanan darah sistolik 180 mmHg maka Laju Filtrasi Glomerulus akan mengalami penurunan 14 mL/menit pertahun, sedangkan jika tekanan darah sistolik 135 mmHg maka Laju Filtrasi Glomerulus akan menjadi 2 mL/menit pertahun. Target Tekanan darah untuk pasien penyakit ginjal kronik yaitu di bawah 130/80 mmHg. (Alan, 2013; Dipiro, 2005; Jerry, 2011).
3.      Diabetes
Adanya diabetes pada pasien penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan kerusakan mikrovaskular, termasuk kerusakan glomerulus ginjal. Kerusakan ini dapat disebabkan secara langsung oleh tingginya kadar glukosa dalam darah, metabolit glukosa atau tingginya kadar asam lemak dalam darah yang sering dijumpai pada penderita diabetes. (Corwin, 2009). Sehingga perlu pengontrolan kadar gula darah daoat memberi manfaat dalam memeperlambat kerusakan ginjal. Jika gula darah mualai terkontrol maka dapat membantu 39% dalam proses pengurangan resiko mikroalbuminuria (eksresi albumin ≥ 40 mg/hari) dan penurunan 54% resiko frank albuminurea (eksresi urin ≥ 300 mg/hari) (Dipiro, 2005).

4.      Merokok
Merokok dapat memberi kontribusi 36% untuk kejadian infark miokard dan 19% untuk kejadian stroke, sehingga pada pasien penyakit ginjal kronik juga akan meningkat karena adanya gangguan kardiovaskular. Merokok juga menjadi salah satu faktor resiko terjadinya mikroalbuminuria dan proteinuria, serta menjadi penyebab progresif penyakit ginjal kronik pada pasien diabetes tipe 1 dan 2. Merokok juga terkait dengan glomerulonefritis dan nephrosklerosis. Sedangkan pada pasien dengan lupus nepritis, polikistik ginjal dapat menjadi progresive pada pasien penyakit ginjal untuk mencapai ESRD (End Stage Renal Disease) (Fogarty, and Maarten, 2012; Taal, 2009).

5.      Dislipidemia
Penyakit ginjal kronik berkaitan dengan abnormalitas kadar lipid seperti peningkatan trigliserida, LDL, serta penurunan HDL. Penurunan HDL merupakan faktor progresivitas dari penyakit ginjal kronik. Rekomendasi yang dianjurkan untuk target yaitu LDL < 100 mg/dL (Dipiro, 2005; Fogarty, and Maarten, 2012; Taal, 2009).

Patofisiologi (Brenner dan Lazarus, 2000; Suwitra, 2006; Setiyohadi, dkk, 2007)
            Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin aldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
Pendekatan Diagnostik
 Gambaran Klinis (Sutiyohadi, dkk., 2007)
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
1.      Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi saluran kemih, hipertensi, lupus eritomatosus sistemik, dan lain-lain.
2.      Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, anoreksia, mual muntah, volume overload, neuropati perifer, pruritus, kejang-kejang sampai koma.
3.      Sesuai dengan gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, dan klorida).

              Gambaran Laboratorium (Sutiyohadi, dkk., 2007)
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
1.      Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2.      Adanya peningkatan kadar ureum dan kreatinin dan terjadinya penuruna Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
3.      Adanya kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, gangguan elektrolit, asidosis metabolik
4.      Adanya kelainan urinalisis meliputi : proteinurea, hematuria, dan leukosuria.
          Gambaran Radiologis (Ronald, 2004)
1.      Biopsi Ginjal : dilakukan untuk menentukan sel jaringan endoskopi berperan dalam diagnostik histologis.
2.      Kidney urether bladeer photo : untuk mengamati ukuran dari ginjal/uretra/kandung kemih dan adanya obstruksi (batu).
3.      Pielogram Retrograde : untuk mengamati kelainan pelvis ginjal dan uretra.
4.      Renal arteriogram : untuk menilai dan mngidentifikasi sirkulasi bagian ekstravaskular ginjal
5.      Sistouretrogram urination : untuk mengamati ukuran kandung kemih, dan retensi urin.
6.      Ultrasonik ginjal : untuk mengamati bentuk atrofi.
7.      Endoskopi ginjal : untuk mengamati pelvis ginjal, mengeluarkan batu ginjal, hematuria dan pengangkatan tumor.
8.      EKG : untuk melihat ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.

 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
Terapi nonfarmakologi (Setiyohadi, dkk, 2007; Suwitra, 2006; Tierney, 2003)
1.      Pengaturan asupan protein dan fosfat
LFG ml/menit
Asupan protein g/Kg/hari
Fosfat g/Kg/hari
>60
Tidak dibatasi
Tidak dibatasi
25-60
0,6 – 0,8 /Kg/hari, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hari nilai biologi tinggi
≤ 10 g
5 – 25
0,6 -0,8 /Kg/hari termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hari protein nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3 gram asam amino esensial atau asam keton
    ≤ 10 gr
< 60
(sindrom nefrotik)
0,8/kg/hari (+1 gr protein / g proteinuria atau 0,3 g/kg tambahan asam amino esensial atau asam keton
     ≤ 9 gr

Tabel 3 : Pengaturan asupan protein dan fosfat
2.      Pengaturan asupan kalori : 35 kal/KgBB ideal/hari
3.      Pengaturan asupan lemak : 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh.
4.      Pengaturan asupan karbohidrat : 50-60% dari kalori total
5.      Garam (NaCl) : 2-3 gram/hari
6.      Air : jumlah urin 24 jam + 500 mL (insensible water loss).
7.      Berhenti merokok.


          Terapi Farmakologi
a.       Kontrol tekanan darah
Target tekanan darah untuk pasien gagal ginjal adalah di bawah 130/80 mmHg. Penggunaan ACEI dan ARB merupakan pilihan utama dan digunakan untuk pasien dengan proteinurea meskipun pasien tidak hipertensi. Penggunaan ACEI atau ARB jika nilai K 5,6 atau klearence kreatinin naik lebih dari 30% setelah terkena gangguan ginjal (Alan, 2013).
Penggunaan kombinasi dengan diuretik (tiazid untuk stage 1-3 dan loop untuk stage 4-5), jika tekanan darah lebih dari 160/100 mmHg. Kalsium chanel bloker merupakan pilihan kedua setelah ACEI dan ARB, digunakan pada kasus emergensi dengan kombinasi terapi. Pasien juga dilakukan diet natrium kurang dari 2,4 g/hari (Alan, 2013; Hudson, 2011; Dipiro, 2009).
b.      Kontrol Gula Darah
Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6% (Alan, 2013; Dipiro, 2009).
c.       Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
Anemia terhadap penyakit ginjal kronik disebabkan karena defisiensi aritropoitin. Evaluasi terhadap anemia dimulai saan kadar hemoglobin di bawah 10 gr/dL atau hematokrit < 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum, kapasitas ikat besi total, feritin serum) mencari sumber pendarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis, dan lain lain. Pemberian eritropooitin merupakan hal yang dianjurkan(KDIGO, 2013; Setiyohadi, dkk., 2007).
d.      Penanganan osteodistrofi
Penatalaksanaannya dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kasitrol. Penatalaksanaan untuk hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat di saluran cerna, pemberian pengikat fosfat. Asupan fosfat dibatasi untuk pasien penyakit ginjal sebanyak 600-800 mg/hari (Setiyohadi, 2007)

Bahan/Cara
Efikasi
Efek Samping
Diet rendah fosfat
Tidak selalu berefek cepat
Malnutrisi
Al(OH)3
Bagus
Intoksikasi Al
CaCO3
Sedang
Hiperkalsemia
Ca asetat
Sangat bagus
Mual, muntah
Mg(OH)2/MgCO3
Sedang
Intoksikasi Mg

Tabel 4 : Macam-macam pengikat fosfat, efikasi, dan efek sampingnya.

e.       Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
f.       Koreksi hiperkalemia, target kadar kalium darah 3,5 – 5,5 mEq/lt
g.      Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin (Dipiro, 2009; Mansjoer, 2002)
h.      Penggunaan Obat Diuretik
Diuretik digunakan untuk mengatasi udem dan membantuk dalam proses penurunan tekanan darah
1.      Diutretik tiazid diberikan sekali sehari dianjurkan pada pasien dengan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) ≥ 30mL/min/1,73 m2 (untuk penyakit ginjal kronik stage 1-3).
2.      Loop diuretik diberikan sekali atau dua kali sehari dianjurkan untuk pasien dengan Laju Filtrasi Glomerulus < 30 mL/min/1,73m2 (penyakit ginjal kronik stage 4-5)
3.      Kombinasi loop diuretik dengan diuretik thiazid digunakan untuk mengatasi hipertensi yang disertai edema (KDOQI, 2002).

            Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik (Lan, 2013; Smeltzer and Bare, 2002)
Komplikasi yang bisa di timbulkan dari gagal ginjal adalah
1.         Hiperkalemia akibat dari penurunan eksresi, metabolik asidosis, dan katabolisme.
2.         Perikarditis, akibat retensi produk sampah uremik dan proses dialisis yang tidak memadai.
3.         Hipertensi karena retensi cairan dan natrium, dan gangguan fungsi sistem renin – aldosteron – angiostensin.
4.         Anemia akibat dari penurunan erytropoitin, sehingga menyebabkan penurunan waktu hidup sel darah merah, dan adanya pendarahan gastrointestinal akibat iritasi senyawa toksin dan kehilangan darah selama hemodialisa.
5.         Penyakit tulang akibat retensi fosfat, kalsium, dan gangguan metabolisme vitamin D.


Tidak ada komentar:

Google Ads