Defenisi (Levey, et al; 2005; Alan, 2013)
Penyakit ginjal Kronik adalah
kerusakan ginjal yang terjadi dalam kurun waktu lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktur ginjal, dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) yang ditandai dengan : kelainan patologi, adanya tanda kerusakan ginjal
seperti hasil laboratorium darah atau urine atau kelainan radiologi.
Klasifikasi
Pengklasifikasian
penyakit ginjal kronik ada 2 yaitu
Klasifikasi Penyakit
Ginjal Kronik Berdasarkan Derajat Penyakit
Menurut National Kidney Fundation, Penyakit
ginjal kronis dapat dikelompokkan menjadi 5 stage:
Stage
|
Penjelasan
|
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) ml/min/1,73m2
|
1
|
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau tinggi
|
≥ 90
|
2
|
Kerusakan Ginjal dengan LFG ringan
|
60 -89
|
3
|
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
|
30 -59
|
4
|
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
|
15-29
|
5
|
Gagal ginjal
|
<15 atau dialisis
|
Tabel 1: Klasifikasi penyakit ginjal kronik
berdasarkan derajat penyakit
(Alan,
2013; Black and Hawks, 2009; Levin et al, 2008, Suwitra, 2006)
Klasifikasi Penyakit
Ginjal Kronik Berdasarkan Etiologi (Suwitra, 2006; Setiyohadi, 2007)
Penyakit ginjal kronik berdasarkan etiologi
dapat dikelompokkan menjadi:
Penyakit
|
Tipe Mayor (contoh)
|
Penyakit ginjal
diabetes
|
Diabetes tipe 1 dan 2
|
Penyakit ginjal non
diabetes
|
Penyakit glomerular (autoimun, infeksi
sistemik, obat)
Penyakit vaskular (penyakit pembesaran pembuluh darah,
hipertensi)
Penyakit Tubulointertisial (pielonefritis
kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikstik)
|
Penyakit pada
transplantasi
|
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
|
Tabel 2: Klasifikasi penyakit ginjal kronik
berdasarkan etiologi
Epidemiologi
Kasus penyakit ginjal kronik
prevalensinya terus meningkat, diperkirakan untuk tahun 2025 di Asia Tenggara,
Mediterania dan Timur tengah serta Afrika mencapai lebih dari 380 juta orang
(Anonim, 2010). Di United States, penyakit ginjal kronik merupakan masalah
kesehatan yang utama dengan angka morbiditas 8 juta orang, sebanyak 600 ribu
orang meninggal akibat penyakit tersebut (Black and Hawks, 2009; Smeltzer and
Bare, 2006). Di Indonesia sendiri berdasarkan data PERNEFRI (Perhimpunan
Nefrologi Indonesia) baru-baru ini sampai tahun 2013 jumlah penderita sudah
mencapai 30,7 juta penduduk (Kartika, 2013). Dimana penyakit diabetes menjadi
penyebab utamanya (KDOQI, 2012).
Etiologi
a. Inisiasi
Faktor
Inisiasi faktor merupakan faktor yang secara
langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor-faktor tersebut adalah diabetes
melitus, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih
dan obat yang menyebabkan toksisitas pada ginjal (Alan, 2013).
1. Diabetes Melitus
Individu dengan
diabetes melitus tipe I 40% beresiko terjadinya penyakit ginjal kronik,
sedangkan individu dengan diabetes melitus tipe 2 50% beresiko terjadinya
penyakit ginjal kronik. Prevalensi yang lebih besar dari DM tipe 2 di
bandingkan DM tipe 1 umumnya dalam rasio 10:1 di sebagian besar negara. Sebuah
studi baru-baru ini yang dilakukan secara prosfektif pada lebih dari 300.000
orang di perkirakan sekitar 3% dari penderita diabetes melitus akan akan
berkembang menjadi penyakit Ginjal Kronik stage 5 selama hidupnya (Alan, 2013;
Dipiro, 2005).
2. Hipertensi
Adanya hipertensi
juga akan meningkatkan resiko penyakit Ginjal Kronik. Berdasarkan studi
epidemiologi hipertensi juga bisa menyebabkan penyakit ginjal yang progresif
seperti jika Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) 90 mL/menit/1,73m2, 40% penderita
menderita penyakit hipertensi, pada LFG 60 mL/menit/1,73 m2 55% penderita
menderita hipertensi, dan pada LFG 30 mL/menit/1,73m2 lebih dari 75% penderita
menderita hipertensi (Dipiro, 2005; Alan, 2013).
3.
Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah peradangan pada
struktur ginjal (glomerulus), yang disebabkan oleh penyakit autoimun dimana
terjadi proses inflamasi dan proliferasi sel glomerulus dengan manifestasi
klinik dan pola hispatologik yang multipel (Setiyohadi, dkk., 2007). Pengaruh
peradangan pada kedua ginjal sama dan peradangan ini bersifat menyebar ketubular,
interstisial dan vaskular (Dipiro, 2005).
b. Faktor
Progresif
Faktor progresif adalah faktor yang memperburuk
kerusakan ginjal dan berkaitan dengan kecepatan penurunan fungsi ginjal. Hal
ini bisa di sebabkan oleh penyakit (misalnya diabetes melitus,
glomerulonefritis, hiperlipidemia dan hipertensi) dan faktor lain seperti
proteinurea, merokok, kurang minum, dan lain-lain (Alan, 2013; Dipiro, 2005)
1. Albuminuria/Proteinuria
Proteinurea
merupakan penanda kerusakan ginjal dan faktor risiko penyakit kardiovaskular.
Proteinurea dapat d klasifikasikan menjadi:
·
Normal : ekskresi albumin
dibawah 30 mg/24 jam
·
Mikroalbuminuria : 30 – 300
mg/24 jam
·
Makroalbuminuria : lebih dari
300mg/24 jam (Alan, 2013; Stamatakis, 2010)
Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa jika eksresi albumin > 30 mg/24 jam
diduga kuat dapat menyebabkan nefropati dan berkurangnya fungsi ginjal (Dipiro,
2005).
2. Hipertensi
Terkontrolnya
tekanan darah dapat memperlama perkembangan penyakit ginjal kronik. Peningkatan
tekanan darah dapat mempercepat penurunan nilai Laju Filtrasi Glomerulus (LFG).
Jika tekanan darah sistolik 180 mmHg maka Laju Filtrasi Glomerulus akan
mengalami penurunan 14 mL/menit pertahun, sedangkan jika tekanan darah sistolik
135 mmHg maka Laju Filtrasi Glomerulus akan menjadi 2 mL/menit pertahun. Target
Tekanan darah untuk pasien penyakit ginjal kronik yaitu di bawah 130/80 mmHg.
(Alan, 2013; Dipiro, 2005; Jerry, 2011).
3. Diabetes
Adanya
diabetes pada pasien penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan kerusakan
mikrovaskular, termasuk kerusakan glomerulus ginjal. Kerusakan ini dapat
disebabkan secara langsung oleh tingginya kadar glukosa dalam darah, metabolit
glukosa atau tingginya kadar asam lemak dalam darah yang sering dijumpai pada
penderita diabetes. (Corwin, 2009). Sehingga perlu pengontrolan kadar gula
darah daoat memberi manfaat dalam memeperlambat kerusakan ginjal. Jika gula
darah mualai terkontrol maka dapat membantu 39% dalam proses pengurangan resiko
mikroalbuminuria (eksresi albumin ≥ 40 mg/hari) dan penurunan 54% resiko frank
albuminurea (eksresi urin ≥ 300 mg/hari) (Dipiro, 2005).
4. Merokok
Merokok
dapat memberi kontribusi 36% untuk kejadian infark miokard dan 19% untuk
kejadian stroke, sehingga pada pasien penyakit ginjal kronik juga akan
meningkat karena adanya gangguan kardiovaskular. Merokok juga menjadi salah
satu faktor resiko terjadinya mikroalbuminuria dan proteinuria, serta menjadi
penyebab progresif penyakit ginjal kronik pada pasien diabetes tipe 1 dan 2.
Merokok juga terkait dengan glomerulonefritis dan nephrosklerosis. Sedangkan
pada pasien dengan lupus nepritis, polikistik ginjal dapat menjadi progresive pada
pasien penyakit ginjal untuk mencapai ESRD (End
Stage Renal Disease) (Fogarty, and Maarten, 2012; Taal, 2009).
5. Dislipidemia
Penyakit
ginjal kronik berkaitan dengan abnormalitas kadar lipid seperti peningkatan
trigliserida, LDL, serta penurunan HDL. Penurunan HDL merupakan faktor
progresivitas dari penyakit ginjal kronik. Rekomendasi yang dianjurkan untuk
target yaitu LDL < 100 mg/dL (Dipiro, 2005; Fogarty, and Maarten, 2012;
Taal, 2009).
Patofisiologi (Brenner dan Lazarus, 2000;
Suwitra, 2006; Setiyohadi, dkk, 2007)
Patofisiologi penyakit ginjal kronik
pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan
massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan
fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat
hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan
aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis
renin-angiotensin aldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka
panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor ß. Beberapa hal
yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal
kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini
penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve),
pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%,
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti
infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna.
Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15%
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara
lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan
sampai pada stadium gagal ginjal.
Pendekatan Diagnostik
Gambaran Klinis (Sutiyohadi, dkk., 2007)
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
1. Sesuai
dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi saluran kemih,
hipertensi, lupus eritomatosus sistemik, dan lain-lain.
2. Sindrom
uremia yang terdiri dari lemah, anoreksia, mual muntah, volume overload,
neuropati perifer, pruritus, kejang-kejang sampai koma.
3. Sesuai
dengan gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, dan
klorida).
Gambaran
Laboratorium (Sutiyohadi, dkk., 2007)
Gambaran
laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
1. Sesuai
dengan penyakit yang mendasarinya
2. Adanya
peningkatan kadar ureum dan kreatinin dan terjadinya penuruna Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG)
3. Adanya
kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, gangguan elektrolit, asidosis metabolik
4. Adanya
kelainan urinalisis meliputi : proteinurea, hematuria, dan leukosuria.
Gambaran
Radiologis (Ronald, 2004)
1. Biopsi
Ginjal : dilakukan untuk menentukan sel jaringan endoskopi berperan dalam
diagnostik histologis.
2.
Kidney urether bladeer photo : untuk
mengamati ukuran dari ginjal/uretra/kandung kemih dan adanya obstruksi (batu).
3.
Pielogram Retrograde : untuk
mengamati kelainan pelvis ginjal dan uretra.
4.
Renal arteriogram : untuk
menilai dan mngidentifikasi sirkulasi bagian ekstravaskular ginjal
5.
Sistouretrogram urination
: untuk
mengamati ukuran kandung kemih, dan retensi urin.
6.
Ultrasonik ginjal : untuk mengamati bentuk
atrofi.
7.
Endoskopi ginjal : untuk mengamati pelvis
ginjal, mengeluarkan batu ginjal, hematuria dan pengangkatan tumor.
8. EKG :
untuk melihat ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik
Penatalaksanaan
penyakit ginjal kronik meliputi:
Terapi nonfarmakologi (Setiyohadi, dkk,
2007; Suwitra, 2006; Tierney, 2003)
1. Pengaturan
asupan protein dan fosfat
LFG ml/menit
|
Asupan protein
g/Kg/hari
|
Fosfat
g/Kg/hari
|
>60
|
Tidak dibatasi
|
Tidak dibatasi
|
25-60
|
0,6 – 0,8 /Kg/hari, termasuk ≥
0,35 gr/kg/hari nilai biologi tinggi
|
≤ 10 g
|
5 – 25
|
0,6 -0,8
/Kg/hari termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hari protein nilai biologi tinggi atau
tambahan 0,3 gram asam amino esensial atau asam keton
|
≤ 10 gr
|
< 60
(sindrom nefrotik)
|
0,8/kg/hari (+1
gr protein / g proteinuria atau 0,3 g/kg tambahan asam amino esensial atau
asam keton
|
≤ 9 gr
|
Tabel 3
: Pengaturan asupan protein dan fosfat
2. Pengaturan
asupan kalori : 35 kal/KgBB ideal/hari
3. Pengaturan
asupan lemak : 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara
asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh.
4. Pengaturan
asupan karbohidrat : 50-60% dari kalori total
5. Garam
(NaCl) : 2-3 gram/hari
6.
Air : jumlah urin 24 jam +
500 mL (insensible water loss).
7.
Berhenti merokok.
Terapi
Farmakologi
a.
Kontrol tekanan darah
Target tekanan darah
untuk pasien gagal ginjal adalah di bawah 130/80 mmHg. Penggunaan ACEI dan ARB
merupakan pilihan utama dan digunakan untuk pasien dengan proteinurea meskipun
pasien tidak hipertensi. Penggunaan ACEI atau ARB jika nilai K 5,6 atau
klearence kreatinin naik lebih dari 30% setelah terkena gangguan ginjal (Alan,
2013).
Penggunaan kombinasi
dengan diuretik (tiazid untuk stage 1-3 dan loop untuk stage 4-5), jika tekanan
darah lebih dari 160/100 mmHg. Kalsium chanel bloker merupakan pilihan kedua
setelah ACEI dan ARB, digunakan pada kasus emergensi dengan kombinasi terapi.
Pasien juga dilakukan diet natrium kurang dari 2,4 g/hari (Alan, 2013;
Hudson, 2011; Dipiro, 2009).
b. Kontrol
Gula Darah
Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin
dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe
1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6% (Alan, 2013;
Dipiro, 2009).
c.
Koreksi anemia dengan target
Hb 10-12 g/dl
Anemia terhadap penyakit ginjal kronik
disebabkan karena defisiensi aritropoitin. Evaluasi terhadap anemia dimulai
saan kadar hemoglobin di bawah 10 gr/dL atau hematokrit < 30%, meliputi
evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum, kapasitas ikat besi total,
feritin serum) mencari sumber pendarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan
adanya hemolisis, dan lain lain. Pemberian eritropooitin merupakan hal yang
dianjurkan(KDIGO, 2013; Setiyohadi, dkk., 2007).
d.
Penanganan osteodistrofi
Penatalaksanaannya dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormon kasitrol. Penatalaksanaan untuk
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat di saluran cerna, pemberian
pengikat fosfat. Asupan fosfat dibatasi untuk pasien penyakit ginjal sebanyak
600-800 mg/hari (Setiyohadi, 2007)
Bahan/Cara
|
Efikasi
|
Efek Samping
|
Diet rendah fosfat
|
Tidak selalu berefek cepat
|
Malnutrisi
|
Al(OH)3
|
Bagus
|
Intoksikasi Al
|
CaCO3
|
Sedang
|
Hiperkalsemia
|
Ca asetat
|
Sangat bagus
|
Mual, muntah
|
Mg(OH)2/MgCO3
|
Sedang
|
Intoksikasi Mg
|
Tabel 4 : Macam-macam pengikat fosfat, efikasi,
dan efek sampingnya.
e.
Koreksi asidosis metabolik
dengan target HCO3 20-22 mEq/l
f.
Koreksi hiperkalemia, target
kadar kalium darah 3,5 – 5,5 mEq/lt
g.
Kontrol dislipidemia dengan
target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin (Dipiro, 2009; Mansjoer, 2002)
h.
Penggunaan Obat Diuretik
Diuretik
digunakan untuk mengatasi udem dan membantuk dalam proses penurunan tekanan
darah
1.
Diutretik tiazid diberikan
sekali sehari dianjurkan pada pasien dengan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) ≥
30mL/min/1,73 m2 (untuk penyakit ginjal kronik stage 1-3).
2.
Loop diuretik diberikan
sekali atau dua kali sehari dianjurkan untuk pasien dengan Laju Filtrasi
Glomerulus < 30 mL/min/1,73m2 (penyakit ginjal kronik stage 4-5)
3.
Kombinasi loop diuretik
dengan diuretik thiazid digunakan untuk mengatasi hipertensi yang disertai
edema (KDOQI, 2002).
Komplikasi
Penyakit Ginjal Kronik (Lan, 2013; Smeltzer and Bare, 2002)
Komplikasi yang bisa di timbulkan dari gagal
ginjal adalah
1.
Hiperkalemia akibat dari
penurunan eksresi, metabolik asidosis, dan katabolisme.
2.
Perikarditis, akibat retensi
produk sampah uremik dan proses dialisis yang tidak memadai.
3.
Hipertensi karena retensi
cairan dan natrium, dan gangguan fungsi sistem renin – aldosteron –
angiostensin.
4.
Anemia akibat dari penurunan
erytropoitin, sehingga menyebabkan penurunan waktu hidup sel darah merah, dan
adanya pendarahan gastrointestinal akibat iritasi senyawa toksin dan kehilangan
darah selama hemodialisa.
5.
Penyakit tulang akibat
retensi fosfat, kalsium, dan gangguan metabolisme vitamin D.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar