Dewasa ini, kita dihadapakan
pada suatu masalah lingkungan yang cukup komplek. Isu lingkungan pada saat ini
sudah mulai menyaingi isu ekonomi dan politik. Masalah lingkungan bukan hanya
dalam lingkup nasional, namun sudah mengglobal. Isu lingkungan yang paling
populer adalah pemanasan global( global warming).
Saat ini pemanasan
global menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup di bumi ini. Efeknya tidak
hanya mengancam manusia tapi mahluk hidup lain yang tinggal di bumi juga ikut
terancam. Sebab utama dari pemanasan global adalah efek rumah kaca yang
diakibatkan meningkatnya gas karbon yang berada di atsmosfer. Gas karbon banyak
dihasilkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Mulai dari bangun tidur hingga
tidur lagi kita selalu menghasilkan gas karbon. Ketika bernafas sebernarnya
kita juga menghasilkan gas karbon. Keterkaitan kita dengan karbon terjadi
karena energi yang digunakan dihasilakan dari bahan-bakar fosil.
Di negara maju saja
mereka juga tidak bisa lepas dengan penggunaan bahan-bakar fosil, walaupun
sudah ada riset dan penelitian yang menemukan sumber energi lain. Seperti
energi matahari, panas bumi, angin dan bahan bakar nabati. Tetapi itu semua
belum dapat menggantikan secara penuh bahan-bakar fosil.
Masalah pemanasan
global yang pelik mendorong munculnya gagasan membuat Protokol Kyoto . Dalam
Protokol Kyoto mengatur tiga cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu joint implementation, clean development
Mechanism dan emissions tradng.
Sejalan dengan meningkatnya perhatian terhadap perbaikan mutu
lingkungan, Organisasi-organisasi dengan berbagai jenis dan ukuran makin
meningkatkan perhatian mereka pada dampak lingkungan dari kegiatan, produk dan
jasanya. Kinerja lingkungan dari suatu organisasi semakin penting bagi pihak
terkait di lingkungan internal maupun eksternal. Untuk mencapai kinerja
lingkungan yang baik diperlukan komitmen organisasi untuk melakukan pendekatan
yang sistematik dan penyempurnaan yang berkelanjutan dalam suatu sistem
manajemen lingkungan (EMS).
Sistem
Manajemen lingkungan dikembangkan untuk memberikan panduan dasar agar kegiatan
bisnis senantiasa akrab lingkungan. Kondisi lingkungan yang memburuk akibat
kegiatan manusia (yang pada gilirannya akan merusak tempat hidup bersama) sudah
waktunya untuk dikendalikan. Hal ini dapat
menunjukkan bahwa sistem pengelolaan lingkungan yang jelas dan terintegrasi,
seperti penerapan ECC dan ISCC tidak hanya akan mendorong
perbaikan lingkungan organisasi, tetapi juga meningkatkan pemahaman lingkungan
yang lebih baik.
Pemerintah,
industri dan masyarakat pada umumnya, menyadari bahwa dunia tidak bisa berjalan
tanpa menggunakan sumber daya Namun,
yang jadi permasalahan adalah siapa yang berhak menerima tanggung jawab untuk
memberikan tanggapan atau respon yang diperlukan terhadap kelangsungan
lingkungan.
Hal ini
menunjukkan adanya tantangan bahwa secara keseluruhan masyarakat telah menciptakan budaya yang sesuai dan mengakui
bahwa lingkungan tidak memiliki kapasitas yang besar untuk mempertahankan
pembangunan global. Oleh karena itu di perlukan pendekatan yang lebih radikal
dalam penggunaan dan pengelolaan sumber
daya alam jika masyarakat ingin tetap
untuk bertahan hidup dalam jangka panjang.
Organisasi
dengan jelas memiliki peran dalam pengembangan teknologi dan inovasi, yaitu
peran untuk tetap mempertahankan perannya dalam pengembangan dan inovasi,
mempertahankan operasi bisnis untuk jangka panjang yang akan mengurangi limbah dan
menggunakan sumber daya alam lebih efisien.
APA ITU SERTIFIKASI ISCC ?
ISCC
(International Sustainability & Carbon Certification) merupakan sistem
sertifikasi bertaraf internasional pertama untuk membuktikan “sustainability”,
“traceability” dan penghematan dari efek gas rumah kaca untuk segala jenis
produksi biomass (energi yang terbarukan). CPO bersertifikasi ISCC berpotensi untuk mendapatkan
premium sekitar 20 – 30 dolar AS per metrik ton dari harga di pasar dunia.
ISCC menjelaskan
peraturan dan prosedur untuk sertifikasi biomassa dan bioenergi dalam bahan
bakar dan sektor listrik, yang bertujuan mengurangi gas rumah kaca, pengelolaan
lahan yang berkelanjutan dan perlindungan habitat alam. Sertifikakasi
tersebut bersifat independen, yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi dan
diakui BLE yang bekerja sama dengan ISCC. Audit dilaksanakan
berdasarkan prosedur terdokumentasi dan daftar periksa ISCC yang telah dikembangkan.
Sertifikasi ISCC (International Sustainability & Carbon Certification) adalah sistem sertifikasi terkenal didunia untuk kelestarian lingkungan hidup dan pencegahan emisi gas rumah kaca (baca: green house gases emissions). Pada tahun 2010, pengakuan resmi sebagai organisasi internasional oleh negara Jerman. Pada Juli 2011, komisi negara Uni Eropa mengakui ISCC sebagai skema sertifikasi pertama yang mampu menunjukkan kesesuaian dengan persyaratan Uni Eropa “Renewable Energy Directive’s (RED).
Sebagai informasi, ISCC PLUS telah dikembangkan untuk pangan dan makanan ternak, teknikal/kimiawi (contoh: bioplastik) dan penerapan bioenergi lainnya (contoh biomassa padatan)
Sertifikasi ISCC dapat diterapkan untuk memenuhi persyaratan pada pangsa pasar bioenergi dalam upaya mendemonstrasikan kelestarian dan mampu telusur dari stok makanan ternak, dan industri kimia.
Sertifikasi ISCC EU, ISCC DE dan ISCC DE 36th BimSchV, untuk sertifikasi bionergi pada pasar Uni Eropa sesuai dengan RED dan peraturan perundangan Jerman.
Sertifikasi ISCC PLUS adalah sertifikasi sukarela untuk produk dan aplikasinya pada pangan, makanan ternak dan industri kimia.
Sertifikasi ISCC (International Sustainability & Carbon Certification) adalah sistem sertifikasi terkenal didunia untuk kelestarian lingkungan hidup dan pencegahan emisi gas rumah kaca (baca: green house gases emissions). Pada tahun 2010, pengakuan resmi sebagai organisasi internasional oleh negara Jerman. Pada Juli 2011, komisi negara Uni Eropa mengakui ISCC sebagai skema sertifikasi pertama yang mampu menunjukkan kesesuaian dengan persyaratan Uni Eropa “Renewable Energy Directive’s (RED).
Sebagai informasi, ISCC PLUS telah dikembangkan untuk pangan dan makanan ternak, teknikal/kimiawi (contoh: bioplastik) dan penerapan bioenergi lainnya (contoh biomassa padatan)
Sertifikasi ISCC dapat diterapkan untuk memenuhi persyaratan pada pangsa pasar bioenergi dalam upaya mendemonstrasikan kelestarian dan mampu telusur dari stok makanan ternak, dan industri kimia.
Sertifikasi ISCC EU, ISCC DE dan ISCC DE 36th BimSchV, untuk sertifikasi bionergi pada pasar Uni Eropa sesuai dengan RED dan peraturan perundangan Jerman.
Sertifikasi ISCC PLUS adalah sertifikasi sukarela untuk produk dan aplikasinya pada pangan, makanan ternak dan industri kimia.
Mengapa perusahaan seharusnya memilih Sistem ISCC untuk sertifikasi ?
- ISCC mencakup keseluruhan rantai pasokan dari perkebunan hingga ke pelanggan dan memastikan mampu telusur pada keseluruhan rantai pasokan
·
ISCC merupakan skema global yang mencakup keseluruhan jenis biomassa diperuntukkan di pasar internal Eropa dan
internasional. Merupakan “one stop shop” untuk perusahaan dan perdagangan
internasional
·
ISCC telah terbukti secara praktek internasional, lebih dari 4000 sertifikasi
telah dikeluarkan
·
ISSC bukan merupakan “pasar tertutup” (closed shop) – fitur utamanya adalah
keterwakilan pemangku kepentingan (stakeholder) secara berimbang dan adanya
proses yang transparan. Hal ini memberikan kredibilitas pada persepsi
masyarakat dan keamanan jangka panjang bagi perusahaan yang menggunakan skema
ini
·
ISCC memastikan program audit yang memiliki efektivitas dan efisiensi tinggi
pada sistem dokumen ISCC dan tool
audit lainnya
·
ISCC memberikan perusahaan tingkat keamanan yang tinggi karena ISCC juga mencakup issue keberlangsungan
secara sosail kemasyarakatan – dengan atau tanpa biaya tambahan.
·
ISCC menawarkan tool yang unik dan menyeluruh untuk perhitungan gas rumah kaca.
2.2 Tujuan
dari ISCC
Tujuan dari ISCC
adalah untuk pembentukan system yang berorientasi internasional, praktis, dan
transparan untuk sertifikasi biomassa dan bioenergi. ISCC difokuskan pada :
- Pengurangan gas rumah kaca,
- Pengelolaan lahan berkelanjutan,
- Perlindungan habitat alam dan
- Keberlanjutan sosial.
MEDAN | DNA Asian Agri berhasil meraih
sertifikat International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) Plus,
menjadikannya sebagai perusahaan sawit pertama di Indonesia yang menerima
sertifikasi bagi rantai pasokan untuk minyak inti sawit.
ISCC diuji dalam
fase uji coba selama dua tahun, dan pada 18/01/2010 telah dilakukan sistem
sertifikasi pertama untuk Ordonansi Keberlanjutan Biofuel (Biofuel Ordonansi
Keberlanjutan) oleh Badan Federal untuk Pertanian dan Pangan (BLE). Jadi ISCC telah berjalan sejak awal 2010 dan
telah mengeluarkan lebih dari 200 sertifikat (Februari 2011).
ISCC dapat
digunakan untuk segala bentuk biomassa. Di antaranya tanaman klasik untuk
produksi energi termasuk gandum, tebu, jagung, kedelai, dan kelapa sawit.
Sistem
ISCC telah diakui secara
internasional oleh berbagai pemangku kepentingan termasuk LSM dan
lembaga-lembaga ilmiah.
Sertifikat
ISCC PLUS diterbitkan pada 17 Juni
2014 oleh SGS Germany; sebuah badan sertifikasi independen yang berfokus pada
inspeksi, verifikasi, pengujian, dan sertifikasi. SGS memeriksa persyaratan
sustainability berdasarkan dokumen-dokumen dan prosedur-prosedur ISCC.
ISCC
dan ISCC PLUS independen, sistem sertifikasi yang
berlaku secara global untuk emisi
gas rumah kaca dan keberlanjutan.
ISCC dapat digunakan untuk menunjukkan kepatuhan dengan persyaratan keberlanjutan dari pemerintah, pelanggan bisnis dan konsumen akhir. ISCC dapat diterapkan untuk sertifikasi semua jenis biomassa dan bioenergi serta untuk produk-produk berbasis biomassa dalam makanan, pakan dan industri kimia. ISCC memastikan bahwa :
ISCC dapat digunakan untuk menunjukkan kepatuhan dengan persyaratan keberlanjutan dari pemerintah, pelanggan bisnis dan konsumen akhir. ISCC dapat diterapkan untuk sertifikasi semua jenis biomassa dan bioenergi serta untuk produk-produk berbasis biomassa dalam makanan, pakan dan industri kimia. ISCC memastikan bahwa :
Emisi
gas rumah kaca berkurang, Biomassa
tidak diproduksi di tanah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi
dan stok karbon tinggi, Praktek
pertanian yang baik melindungi
tanah, air dan udara yang diterapkan Hak asasi manusia, hak-hak buruh dan lahan dihormati.
·
Sertifikasi ISCC
dilakukan oleh badan sertifikasi independen yang memeriksa kesinambungan operasional berdasarkan dokumen sistem ISCC, dan prosedur.
dilakukan oleh badan sertifikasi independen yang memeriksa kesinambungan operasional berdasarkan dokumen sistem ISCC, dan prosedur.
·
Pendekatan multi-stakeholder
ISCC dikembangkan melalui proses multi-pihak terbuka yang melibatkan sekitar 250 asosiasi, korporasi, lembaga penelitian internasional dan LSM. Sebagai forum dialog pemangku kepentingan, asosiasi ISCC diresmikan di Berlin pada bulan Januari 2010 dan saat ini memiliki lebih dari 60 anggota., yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi dan diakui BLE yang bekerja sama dengan ISCC
ISCC dikembangkan melalui proses multi-pihak terbuka yang melibatkan sekitar 250 asosiasi, korporasi, lembaga penelitian internasional dan LSM. Sebagai forum dialog pemangku kepentingan, asosiasi ISCC diresmikan di Berlin pada bulan Januari 2010 dan saat ini memiliki lebih dari 60 anggota., yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi dan diakui BLE yang bekerja sama dengan ISCC
ISCC diuji dalam
fase uji coba selama dua tahun, dan pada 18/01/2010 telah dilakukan sistem
sertifikasi pertama untuk Ordonansi Keberlanjutan Biofuel (Biofuel Ordonansi
Keberlanjutan) oleh Badan Federal untuk Pertanian dan Pangan (BLE). Jadi ISCC telah berjalan sejak awal 2010 dan
telah mengeluarkan lebih dari 200 sertifikat (Februari 2011).
ISCC dapat
digunakan untuk segala bentuk biomassa. Di antaranya tanaman klasik untuk
produksi energi termasuk gandum, tebu, jagung, kedelai, dan kelapa sawit.
2.3 Kriteria Sertifikasi ISCC
1. Persyaratan mengenai sustainability
Penanaman untuk produksi biomassa harus mematuhi
persyaratan sustainability, yakni:
- v Perlindungan terhadap area HCV
- v Perlindungan terhadap area dengan stok karbon yang tinggi
- v Perlindungan terhadap lahan gambut, dan
- v Pengelolaan kebun yang berkelajutan
- v Standar-standar yang harus dipenuhi dituangkan dalam dokumen ISCC 202 Sustainability Requirements for the Production of Biomass.
2. Persyaratan mengenai reduksi emisi gas rumah kaca
dan metodologi perhitungannya
Untuk pemenuhan persyaratan ini, produksi biomassa
cair harus dapat mereduksi emisi gas rumah kaca sebesar 35%. Oleh karena itu
dibutuhkan data-data seperti:
- v Kebutuhan bahan energi (pemupukan, transportasi operasional, listrik dan pompa, land application)
- v Peralatan yang mengakibatkan munculnya emisi (genset, transport operasional, transport buah, dll)
- Standar-standar yang harus dipenuhi dituangkan dalam dokumen ISCC 205 GHG Emissions Calculation Methodology and GHG Audit.
3. Persyaratan mengenai traceability (penelusuran)
Asal mula biomassa berkelanjutan (dalam hal ini adalah
TBS) yang digunakan untuk memproduksi biomassa cair harus ditelusuri melalui
berbagai tahap produksi dan pasokan sampai ke produksi biomassa tersebut.
Standar-standar yang harus dipenuhi mengenai sistem
penelusuran tertuang dalam dokumen ISCC
203 Requirements for Traceability. Sedangkan metodologi perhitungan mass
balance tertuang dalam dokumen ISCC 204
Mass Balance Calculation Methodology.
SERTIFIKAT EMISI KARBON
Indonesia Produsen Emisi Karbon Dunia
Perdagangan emisi karbon merupakan kebutuhan yang
penting bagi kelangsungan ekosistem global di masa mendatang. Hal pemicu
perlunya perdagangan emisi karbon muncul setelah para ilmuwan mengemukakan
perubahan iklim dunia yang meningkat mencapai 5 derajat celcius. Jika iklim
dunia itu terus meningkat maka akan berpotensi membawa malapetaka kerusakan
lingkungan.
Menurut para ilmuwan, emisi gas rumah kaca (green
house gases- GHG) dianggap sebagai penyebab perubahan iklim global yang
ditakutkan. Sektor energi khususnya kegiatan pembakaran bahan bakar fosil
(batubara, minyak bumi, gas bumi), merupakan penyumbang terbesar emisi
gas rumah kaca (khususnya karbondioksida, CO2). Oleh karena itu,
sektor ini akan terkena dampak langsung kesepakatan dunia mengenai manajemen
perubahan iklim tersebut.
Untuk mencapai target pengurangan emisi
karbondioksida, maka pada Protoko Kyoto (1997) yang membahas kerangka
kerja konvensi perubahan iklim (Framework Convention on Climate Change,
FCCC) telah menyepakati bahwa negara-negara industri akan mengurangi tingkat
emisi rata-rata 5,2 % dibawah level 1990 pada tahun 2008 hingga 2012.
Protokol Kyoto dilengkapi dengan mekanisme lentur
(flexible mechanisms) yang menjadi bagian sangat penting dari Protokol
tersebut. Termasuk dalam mekanisme lentur Protokol Kyoto tersebut adalah
perdagangan emisi (emission trading- ET), penerapan bersama (joint
implementation- JI) dan “mekanisme pembangunan bersih” (clean development
mechanism- CDM).
Perdagangan karbon merupakan cara meringankan
beban negara industri dalam mengurangi emisi gas mereka. Biasanya perdagangan
itu dilakukan antara negara maju dan negara berkembang. Negara maju akan
membeli ECC (Emision Carbon
certificate) dari negara berkembang. Karenanya, negara berkembang mendapat uang
dari penjualan tersebut. Di sisi lain, hutan dari negara berkembang juga
lebih terjaga karena perawatannya mendapat upah.
Perdagangan karbon atau yang lebih umum dikenal dengan
emission trading, yang merupakan istilah dalam perdagangan sertifikat
untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan target yang dicantumkan dalam
sertifikat, dengan cara melakukan pendekatan untuk mengendalikan GHG dan emisi
karbon.
Dalam perdagangan karbon setiap penurunan satu ton
karbon akan mendapatkan sebuah sertifikat ECC.
Sertifikat tersebut menjadi alat jual beli pada perdagangan karbon. Harganya
bervariasi tergantung pada pihak yang bertransaksi. ECC dikeluarkan oleh dewan CDM. Sertifikat CDM itu hanya
mengeluarkan ECC jika negara
bersangkutan telah memenuhi kriteria additionality, real, measurable dan
long-term benefit.
Bursa Karbon
Perdagangan emisi merupakan mekanisme untuk menjual
dan membeli izin untuk melakukan pencemaran (emission permit) atau melakukan
perdagangan karbon, yang dapat dilakukan misalnya di bursa karbon dunia yang
diharapkan berkembang. JI mewadahi mekanisme untuk melakukan investasi proyek
pengurangan emisi di suatu negara industri oleh suatu negara industri lainnya.
Kredit pengurangan emisi yang diperoleh dari pelaksanaan proyek tersebut akan
diberikan kepada negara yang melakukan investasi.
Selanjutnya, mekanisme yang melibatkan negara
berkembang adalah yang dikenal sebagai ECC.
ECC merupakan mekanisme Protokol
Kyoto yang memungkinkan negara industri dan negara berkembang bekerja sama
untuk melakukan “pembangunan bersih”. Dengan fasilitas ECC, negara industri dapat memenuhi kewajiban pengurangan emisinya
dengan melakukan proyek “pengurangan emisi” di suatu negara berkembang dan si
negara berkembang akan mendapatkan kompensasi finansial dan teknologi dari
kerja-sama tersebut.
Tujuan ECC adalah
membantu negara berkembang melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) dan turut menyumbang bagi pencapaian tujuan pengurangan emisi
global, serta untuk membantu negara industri mencapai target pengurangan
emisi mereka. Investasi negara industri di negara berkembang yang
menghasilkan penurunan emisi akan disertifikasi dan kredit dari “pengurangan
emisi yang disertifikasi” (Emisi Carbon
certificate, ECC) tersebut akan diberikan kepada negara industri.
Kelebihan dari ECC
yang tidak dipunyai oleh mekanisme lentur Protokol Kyoto lainnya adalah bahwa ECC
yangdapat digunakan sebagai kredit untuk memenuhi target pengurangan
emisi dalam periode pertama penerapan Protokol Kyoto (2008-2012). Dengan
demikian ECC merupakan komoditas baru
dalam perdagangan berjangka yang prospektif.
ECC merupakan komoditas yang menguntungkan sama halnya dengan sekuritas
yang banyak diperdagangkan. Bahkan bukan suatu hal yang mustahil bila pada masa
datang, perdagangan karbon menjadi komoditas yang laku seperti halnya
perdagangan minyak dan emas seperti sekarang ini.
Saat ini, negara-negara yang sudah melakukan
perdagangan karbon dalam bursa diantaranya seperti negara-negara Uni Eropa,
Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Jepang. Dengan bursanya antara lain,
European Climate Bursa , NASDAQ OMX Komoditas Eropa , PowerNext, Commodity
Exchange Bratislava, Bursa Energi Eropa, Carbon Trade Exchange, Chicago Climate
Bursa.
Sistem Perdagangan
Manfaat ekonomi yang bisa diperoleh dari emisi gas
karbon tersebut adalah penanaman pohon untuk menyimpan emisi gas carbon, yang
kemudian diperdagangkan. Sekedar ilustrasi, Australia yang dikenal sebagai
negara industri akan membayar negara-negara berkembang seperti India dan
Indonesia untuk menyimpan carbon yang diperoleh melalui proyek ECC atau dibeli melalui pasar Emission
Trading Schme (ETS).
Lebih lanjut mengenai perdagangan emisi karbon, secara
umum terdapat dua sistem utama dalam perdagangan tersebut, yaitu cap and trade
dan baseline and credit. Kadang-kadang kedua jenis skema tersebut dapat
diterapkan secara bersama-sama dalam sistem perdagangan emisi. Misalnya,
Protokol Kyoto memasukan baik skema capand trade untuk negara-negara maju
maupun skema baseline and credit untuk proyek-proyek pengurangan emisi di
negara-negara berkembang.
Hal ini disebut Mekanisme Pengembangan Bersih.
Perdagangan emisi dapat bersifat wajib (diharuskan oleh pemerintah) atau
sukarela. Dalam sistem cap and trade, sebuah otoritas pusat (biasanya sebuah
badan pemerintah) menentukan batas atau cap jumlah karbon yang dapat
dikeluarkan. Negara-negara atau perusahaan-perusahaan kemudian diperbolehkan
untuk mengeluarkan gas-gas rumah kaca (misalnya, karbon dioksida) sampai dengan
jumlah yang dibatasi.
Apabila emisi karbon lebih tinggi dari pada batas
tersebut, maka negara atau perusahaan tersebut perlu membeli kredit karbon
untuk diperhitungkan dengan emisi mereka. Apabila jumlah emisi lebih rendah
dari batas yang ditentukan, maka negara atau perusahaan tersebut diperbolehkan
menjual selisih antara emisi aktual dan batas yang diizinkan bagi mereka dalam
bentuk ‘kredit karbon’ (dengan demikian mereka memperoleh insentif finansial
atas pengurangan emisi mereka).
Berdasarkan sistem baseline and credit, sebuah
kelompok atau perusahaan yang tidak menganut sistem cap and trade (seperti
Indonesia) dapat menciptakan kredit dengan mengurangi emisi mereka di bawah
tingkat skenario baseline (usaha seperti biasa). Salah satu contoh adalah
sebuah perusahaan yang menukar bahan bakar fosil dengan energi terbarukan
seperti biofuel dari minyak Jarak.
Baseline untuk perusahaan tersebut adalah emisi dari
diesel yang mempunyai keluaran (output) gasgas rumah kaca yang tinggi. Pada
saat diganti dengan biofuel, jumlah emisi jauh lebih rendah dan selisih yang
tercatat antara jumlah emisi karbon dapat dinyatakan sebagai kredit karbon yang
kemudian dapat dijual di pasar internasional. Hal ini memberikan insentif bagi
pengembangan sumber daya energi terbarukan dan pengurangan emisi.
Sistem perdagangan emisi baseline and credit merupakan
suatu sistem di mana perusahaan dihargai untuk mengurangi polusi karbon di
bawah “baseline”. Pengurangan ini menjadi “credit” yang dapat diperdagangkan.
Pihak bertanggung jawab dalam skema tersebut harus membeli kredit ini, dan
kemudian menyerahkan mereka ke regulator pada akhir setiap tahun untuk memenuhi
bagian mereka dari ekonomi-lebar atau sektor-lebar target. Setiap ‘kredit’
merupakan satu ton karbon dioksida ekuivalen mereda. Baseline umumnya intensitas
berbasis, yaitu polusi karbon per unit produksi.
Sebuah harga karbon akan ditetapkan oleh perdagangan
kredit. Harga kredit akan variabel, tergantung pada keseimbangan antara pasokan
kredit dari mereka yang melaksanakan proyek pembawa polusi karbon di bawah
baseline dan permintaan kredit dari orang orang yang harus memenuhi target.
Perusahaan yang berpartisipasi dalam mekanisme baseline and credit,
menghasilkan pendapatan dengan menghasilkan kredit dan menjualnya.
Indonesia yang merupakan negara di mana sektor energi
memberikan sumbangan besar tak hanya untuk menggerakkan ekonomi nasional, tapi
juga dalam menyumbangkan pendapatan langsung dari penjualan produk produk
energi, khususnya bahan bakar fosil. Ekspor minyak bumi, gas bumi dan
batubara merupakan sumber utama pendapatan pemerintah sejak lebih 3 dekade yang
lalu. Indonesia juga adalah negara agraris, mempunyai hutan–hutan tropis
serta garis pantai yang terpanjang di dunia, sehingga perubahan iklim yang akan
berpengaruh terhadap pemanasaan global merupakan masalah yang menjadi perhatian
Indonesia.
Peluang perdagangan karbon di Indonesia sangatlah
besar dengan perhitungan potensi karbon yang terserap di hutan Indonesia capai
25,773 miliar ton. Potensi itu belum termasuk karbon yang terdapat di lahan
hutan gambut dan lahan kering. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI)
mencatat Indonesia diperkirakan mampu menyerap 5,5 giga ton CO2.
Karena itu, Indonesia menduduki urutan kelima di dunia
yang berpotensi melakukan suplai 10% kredit karbon dunia. Dengan luas hutan
lindung sekitar 36,5 juta hektar, nilai penyerapan karbon Indonesia berkisar
US$105 miliar hingga US$114 miliar.
PT Narkata Rimba adalah salah satu perusahaan kayu di
Indonesia yang makin gencar bergerak dari praktek ‘bisnis seperti biasa’ menuju
praktek penebangan yang menjamin bahwa kayu yang dipanen legal dan lestari –
mengurangi dampak kegiatan penebangan terhadap lingkungan, meningkatkan mata
pencaharian lokal dan membantu mengurangi emisi karbon dari deforestasi. Ini
adalah salah satu contoh penting bagaimana pengelolaan yang lebih baik di area
konsesi pembalakan dapat membantu mengurangi ‘jejak karbon’ di Indonesia sambil
dalam waktu yang sama mempertahankan produksi kayu guna memenuhi permintaan
pasar dunia.
Capaian sertifikasi ini adalah buah kerja keras dan
dedikasi manajemen dan staf PT Narkata Rimba yang bekerja bersama lembaga dan
prakarsa lainnya. PT Narkata Rimba, konsesi kayu di Kabupaten Kutai Timur
Provinsi Kalimantan Timur, memberi tambahan terbaru ke hampir 1,3 juta hektar
hutan tropis di Asia dan Pasifik yang mendapat sertifikasi ECC dengan program bantuan dari Responsible Asia Forestry and Trade
(RAFT)-USAID. Program ini dikelola oleh TNC dan dilaksanakan bersama kelompok
inti yang terdiri dari tujuh mitra organisasi non-pemerintah.Sertifikasi ECC dianggap sebagai standar global yang
paling kredibel untuk mengukur pengelolaan hutan berkelanjutan yang
menghasilkan berbagai manfaat sosial, lingkungan dan ekonomi.
“Sebagai organisasi konservasi, TNC mempromosikan
pengelolaan hutan lestari bersama-sama dengan para pemangku kepentingan yang
terdiri dari pemerintah, sektor swasta, komunitas lokal dan organisasi lain.
Tujuannya adalah untuk mengurangi dampak pembalakan hutan terhadap lingkungan,
meningkatkan mata pencaharian masyarakat dan mendukung upaya Indonesia dalam
mengurangi emisi karbon, ” kata Wahjudi Wardojo, Penasehat Senior Kebijakan
Karbon Hutan Internasional TNC.
Komitmen PT Narkata Rimba untuk meningkatkan
pengelolaan hutan secara lebih baik juga mendukung langsung upaya Kementerian
Kehutanan dalam memperkuat akuntabilitas dan transparansi di sektor kehutanan
dengan peluncuran Timber Legality Assurance System (atau Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu/SVLK) tahun 2010.SVLK secara luas dianggap sebagai sistem yang kredibel
untuk memberi jaminan kepada importir mengenai legalitas kayu dan keberlanjutan
hutan Indonesia.
PT. Narkata Rimba adalah salah satu dari sekelompok
kecil perusahaan kayu di Indonesia yang menggunakan sistem ‘monocable’ guna
mengurangi jejak karbon mereka sambil mempertahankan produksi kayu pada tingkat
yang berkelanjutan dan ramah lingkungan sekaligus menguntungkan secara
ekonomis. Presiden Direktur Untung Iskandar mengakui peran penting teknologi
yang bisa mengurangi dampak pembalakan dalam upaya untuk memerangi perubahan
iklim global: “kami percaya bahwa pengelolaan hutan secara lestari adalah salah
satu upaya yang berguna dalam mengatasi isu pemanasan global karena di bawah
REDD+ kegiatan adalah reboisasi dan kemudian mencegah deforestasi.”
Penelitian awal oleh para ilmuwan karbon hutan di TNC
menunjukkan bahwa kombinasi antara berbagai praktek khusus dalam pengelolaan
hutan yang berkelanjutan – termasuk penggunaan monocable – dapat mengurangi
emisi karbon dari penebangan hingga 35%.
Monocable adalah
mesin kabel tunggal yang dijalankan oleh sebuah motor kecil yang menarik satu
log pada satu waktu dari tunggul pohon yang dipanen ke area penumpukan kayu di
jalan pengangkutan log. Ketika dikombinasikan dengan pemetaan pra-panen antara
pohon yang akan ditebang dan jalur penyaradan yang akan digunakan untuk menarik
log keluar, penggunaan monocable terbukti mengurangi kerusakan hutan hingga 70
persen. Hal ini karena monocable menyusut lebar jejak penyaradan dari 5 meter
dengan buldoser menjadi hanya selebar kayu yang ditebang. Selain mengurangi
dampak penebangan di hutan, monocable juga menciptakan lebih banyak pekerjaan
yang halal bagi penebang lokal –karena kepraktisan cara kerjanya, monocable
dulu sering digunakan oleh para pembalak liar.
Diperkirakan 15 persen emisi karbon global dikaitkan dengan perusakan hutan – ini berarti
lebih dari gabungan semua moda transportasi. Pada perundingan iklim tahunan
PBB, mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan adalah salah satu
item utama di meja perundingan, dan item langka yang sebagian besar negara
setuju.
Pada tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
membuat komitmen berani untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26-41%, sambil
mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% per tahun. Dengan lebih dari
setengah luas total hutan Indonesia yang ditunjuk sebagai Hutan Produksi,
praktek-praktek peningkatan pengelolaan hutan yang mengurangi emisi yang juga
tetap memungkinkan produksi kayu terus berjalan, merupakan strategi kunci untuk
mencapai tujuan ini.
Acara pengumuman sertifikasi hari ini diikuti dengan
diskusi panel tentang ‘hutan dan masyarakat’ untuk membahas isu hutan rakyat
dan REDD+ yang berpotensi dapat memulihkan hak-hak masyarakat adat atas tanah
dan hutan.Kegiatan lain selama Hari Hutan di Amerika berkisar dari pemutaran
film, bincang blogging untuk konservasi berikut pengumuman kompetisi blogging
yang memberikan pemenang kesempatan untuk mengunjungi hutan dan hidup
berdampingan dengan masyarakat hutan, dan terakhir klinik foto untuk memotret
manusia, hutan dan alam.
2.7 MEKANISME PERDAGANGAN KARBON
Hutan Indonesia seluas 120,35
juta hektar atau seluas 63% luas daratan, merupakan hutan tropis urutan ketiga
terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire. Hutan merupakan sumberdaya alam yang
mempunyai berbagai fungsi, baik ekologi, ekonomi, dan sosial budaya yang
diperlukan untuk menunjang kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Dengan
demikian, selain berperan sebagai penggerak utama (primer mover) pembangunan nasional dan daerah, sumberdaya hutan
juga berfungsi sebagai penyangga sistem kehidupan, yang berdampak lokal,
nasional, dan regional.
Manfaat keberadaan hutan
diperlukan oleh semua lapisan masyarakat di dalam suatu negara bahkan
masyarakat di negara lain. Hutan bukan saja memberikan hasil hutan yang berupa
barang, namun juga berupa berupa jasa seperti tata air, suplai oksigen, dan
penyerapan karbon.
Hutan sebagai common
property resources memberikan konsekuensi bahwa pemanfaatan hutan yang
dilakukan oleh suatu negara tidak lepas dari pengamatan dan perhatian
masyarakat internasional. Setelah KTT Bumi Rio de Jenairo pada tahun 1992,
terjadi kecenderungan demand dunia
terhadap hutan tropis yang mulai bergesar – dari produk kayu – ke manfaat
lingkungan, seperti pengaruhnya terhadap iklim global. Oleh karena itu, pembangunan kehutanan dituntut untuk lebih
memperhatikan keseimbangan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial.
Fungsi hutan dari sisi non-kayu ternyata
memiliki nilai yang jika dikuantitatifkan justru lebih besar manfaatnya
daripada fungsi sebagai produsen kayu. Diketahui bahwa nilai nisbi ekonomi kayu
tropis hanya senilai kurang dari 5% dari total nilai ekonomi sumberdaya hutan.
Sebaliknya, nilai jasa lingkungan (yang memberikan manfaat intangible) beserta hasil non-kayunya bernilai tidak kurang dari
95% dari total nilai intrinsik sumberdaya hutan. Hal itu menunjukkan bahwa
manfaat hutan dari hasil hutan non-kayu sangat tinggi melebihi manfaat hasil
hutan kayu.
Hutan berperan
penting dalam menjaga kestabilan iklim global. Secara kimiawi, vegetasi hutan
akan menyerap gas karbon (CO2) melalui proses fotosintesis. Jika
hutan terganggu maka siklus CO2 dan O2 di atmosfer
akan terganggu. Umumnya karbon tersimpan dalam biomasa vegetasi, nekromasa
(baik diatas permukaan dan dalam tanah) dan bahan organik tanah di dalam
ekosistem hutan. Tidak terkendalinya jumlah gas CO2 di atmosfer,
bersama-sama dengan uap air, gas CFCs, metana dan gas-gas rumah kaca lainnya,
berpotensi meningkatkan suhu atmosfir bumi (baca ; pemanasan global) yang dapat
menimbulkan pemanasan bumi dan perubahan iklim. Gas-gas itulah yang dinamakan
Gas Rumah Kaca (GRK).
Semakin meningkatnya konsentrasi GRK,
maka semakin meningkat pula suhu atmosfer bumi. Kenaikan sebesar 0,5°C mungkin
tidak begitu kita rasakan bila terjadi pada skala yang kecil (misal : dalam
ruangan). Namun apabila hal ini terjadi pada lingkungan dunia secara
global, maka akan terjadi berbagai fenomena ekstrim seperti :
1.
gejala pemekaran air laut akibat dari mencairnya es di kutub sehingga
permukaan air laut naik dengan kemampuan menenggelamkan pulau-pulau;
2. rusaknya infrastruktur di tepi pantai (dimana sebagian
besar kota-kota penting dunia terletak di pesisir pantai);
lahan daratan di dunia. Pada luasan itu
telah terjadi rata – rata deforestasi 13 juta/ha/tahun pada waktu yang sama
pembangunan hutan tanaman dan ekspansi terhadap hutan alam mempunyai
signifiknsi kuat terhadap penurunan luasan hutan. Pada sekitar tahun 1990
sampai dengan 2005, dunia telah kehilangan 3 persen dari total luas areal hutan
yang ada dengan rata – rata penurunan 0,2 persen per tahun. Dari tahun 2000–2005 menunjukan bahwa rata-rata bersih
pengurangan berkorelasi dengan aktivitas pembangunan. Pada periode yang sama,
57 negara dilaporkan mengalami peningkatan luasan hutannya dan 83 negara
dilaporkan penurunan luasan hutan (termasuk 36 negara dengan laju terbesarnya
lebih dari 1 persen per tahun).
Masih pada
laporan yang sama secara global, diperkirakan sekitar 6 juta hektar dari hutan
alam primer telah berkurang dan dipakai untuk penggunaan lain setiap tahun.
Sembilan dari sepuluh negara yang memiliki hutan primer lebih dari 80 persen di
dunia telah mengalami penurunan lebih dari satu persen dari kurun waktu 2000 –
2005 diantaranya Indonesia (13 %), Mexico (6 %), Papua New Guinea (5 %) dan
Brazil (4 %).
Kerusakan
hutan turut berkontribusi terhadap cadangan karbon. Cadangan karbon didalam
biomassa hutan pada tingkat global berkurang mencapai angka 5,5 persen pada
kurun waktu 1990 – 2005. Secara umum trend cadangan karbon mengikuti kecenderungan
luasan areal hutan dan ketersediaan sumberdaya hutan. Cadangan karbon di dunia
meningkat di daerah Eropa dan Amerika Utara dan menurun di wilayah
tropika (FAO, 2007). Hutan tropika menyumbang emisi CO2 sebesar 1,6
milyar ton per tahun. Seperti dilansir oleh Stem Review (Koran Tempo, 24
Oktober 2007), bahwa deforestasi di negara-negara berkembang (umumnya wilayah
tropika) menyumbang emisi CO2 sekitar 20 persen dari emisi global.
Dari total emisi gas rumah kaca, 18 persen berasal dari sektor kehutanan, yang
75 persennya berasal dari negara berkembang termasuk Indonesia. Kota Jakarta
menduduki kualitas udara terburuk ketiga di dunia, kedua di Asia dan nomor satu
di Indonesia.
Pemanasan
global yang diikuti dengan perubahan iklim dirasakan oleh semua negara di
dunia, namun negara-negara miskin dan berkembang akan menerima dampak terbesar
meskipun kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca rendah. Dampak yang
ditimbulkan dari pemanasan global dapat secara langsung maupun tidak langsung.
Secara global perubahan iklim dapat berdampak negatif terhadap munculnya
penyakit baru, kepunahan jenis dan perubahan ekosistem. Dari beberapa skenario
perubahan iklim diprediksi 15-37 % spesies didaratan akan punah dan
diproyeksikan pada tahun 2050 suhu bumi telah meningkat sebesar 0,8-1,7oC
ini akan mencairkan es di daerah kutub yang menyebabkan permukaan air laut
meningkat, hal ini menjadi ancaman bagi daerah pesisir.
Perubahan
iklim dunia yang dulu hanya digulirkan beberapa orang ahli kemudian menjadi
ramai diperbincangkan orang. Apalagi setelah diselenggarakannya pertemuan WMO (World
Meteorology Organization) pada dekade 1980-an, isu perubahan iklim semakin
mendunia. Berbagai penelitian dan data yang ada menggambarkan kaitan yang erat
antara peningkatan konsentrasi CO2 dengan peningkatan temperatur
rata-rata permukaan bumi. Demikian pula dengan perkiraan dampak yang akan
ditimbulkannya.
Perkembangan
inilah yang akhirnya mendorong World Meteorological Organization (WMO)
dan United Nations Environment Programme (UNEP) untuk membentuk Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988. IPCC sendiri merupakan
kelompok para ilmuwan dari seluruh dunia yang bertugas untuk meneliti fenomena
perubahan iklim serta solusi yang diperlukan. Laporan pertama IPCC diterbitkan
pada tahun 1990 dan dikenal sebagai First Assessment Report yang
menyimpulkan suhu meningkat sekitar 0,3-0,6° C dalam satu abad terakhir.
Laporan itu juga menyebutkan emisi yang dihasilkan manusia telah menambah gas
rumah kaca alami dan penambahan itu akan menyebabkan kenaikan suhu. Karenanya,
IPCC menyerukan pentingnya sebuah kesepakatan global untuk menanggulanginya.
Pada Desember 1990, Majelis Umum PBB akhirnya menanggapi seruan IPCC untuk
mengatasi masalah perubahan iklim secara global dengan meluncurkan negosiasi
mengenai kerangka konvensi perubahan iklim dan dengan membentuk Intergovernmental
Negotiating Committee (INC) untuk pelaksanaan negosiasi tersebut. Akhirnya,
pada bulan Mei 1992, INC menyepakati Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan
Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC).
PBB menyelenggarakan United Nations Conference on
Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Khusus tentang Masalah
Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan KTT Bumi (Earth
Summit) pada 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. KTT Bumi
menekankan pentingnya semangat kebersamaan (multilaterisme) untuk mengatasi
berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara upaya-upaya melaksanakan
pembangunan (oleh developmentalist) dan upaya-upaya melestarikan
lingkungan (oleh environmentalist). Setelah diratifikasi oleh sekitar
175 negara, pada tanggal 21 Maret 1994, Konvensi Perubahan Iklim akhirnya
dinyatakan berkekuatan hukum dan bersifat mengikat para pihak yang telah meratifikasi.
Indonesia
meratifikasi konvensi/UNFCCC tahun 1994, melalui Undang-Undang No. 6 tahun
1994. Konsekuensinya,
Indonesia berkewajiban mengkomunikasikan berbagai upaya yang dilakukan dalam
rangka mengurangi dampak pemanasan global akibat terjadinya perubahan
terjadinya perubahan iklim global. Termasuk menginventarisasi emisi GRK yang
berasal dari sumber-sumbernya dan penyerapannya oleh rosotnya (sink)
seperti penyerapan CO2 oleh hutan. Dari hasil inventarisasi gas-gas
rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metoda IPCC 1996, diketahui bahwa
pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4
sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO
sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih
sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2
di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah
menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil
perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink
atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya
Indonesia ikut memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas
rumah kaca secara global di atmosfer.
Setelah
KTT Bumi, diselenggarakanlah beberapa COP (Conference of the Parties).
Yang paling penting di antaranya adalah COP III di Kyoto, Jepang bulan Desember
1997 yang menghasilkan Protokol Kyoto yang terkenal itu. Protokol Kyoto disusun
untuk mengatur target kuantitatif penurunan emisi dan target waktu penurunan
emisi bagi negara maju anggota Annex I untuk secara bersama-sama
menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% (Quantified Emission
Limitation and Rediction Objectives/QELROs) dari tingkat emisi tahun
1990 pada periode tahun 2008–2012. Emisi gas rumah kaca menurut protokol ini
meliputi CO2, CH4, N2O, HFC, PFC, dan SF6.
Ada tiga mekanisme fleksibel yang
diwadahi Protokol Kyoto :
1.
Implementasi Bersama (Joint Implementation).
Adalah
mekanisme penurunan emisi yang dapat dilaksanakan antarnegara industri yang
diuraikan dalam Pasal 6. Implementasi Bersama ini mengutamakan cara-cara yang
paling murah atau paling menguntungkan.
2.
Perdagangan Emisi (Emission Trading).
Adalah
mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antarnegara industri
untuk menghasilkan Assigned Amounts Unit (AAU). Negara industri yang
GRK-nya di bawah batas yang diijinkan dapat memperdagangkan kelebihan jatah
emisinya dengan negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli tetap
memenuhi kewajibannya.
3.
Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Management/CDM).
Pada
dasarnya adalah gabungan dari JI dan IET yang berlangsung antara negara Annex I
dengan negara non-Annex I dengan persyaratan mendukung pembangunan
berkelanjutan di negara non-Annex I. Negara industri melakukan investasi
di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu,
negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan utama konvensi dan
tujuan pembangunan berkelanjutan. Komoditas yang digunakan adalah ECC (Emision
Carbon Certificate) yaitu jumlah penurunan emisi yang telah
disertifikasi.
Kewajiban
bersama antarnegara industri yang termasuk pada Annex 1 dengan negara
berkembang disesuaikan dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan.
Berarti, semua negara mempunyai semangat yang sama untuk menjaga dan melindungi
kehidupan manusia dan integritas ekosistem bumi tetapi dengan kontribusi yang
berbeda disesuaikan dengan kemampuannya.
2.7.1
CDM/Mekanisme Pembangunan Bersih
CDM
adalah mekanisme dimana negara-negara yang ada pada Annex 1 yang punya
kewajiban menurunkan emisinya membantu negara-negara non-Annex 1 untuk
melaksananakan proyek-proyek yang mampu menurunkan atau menyerap emisi
setidaknya satu dari enam jenis gas rumah kaca (CO2, CH4,
N2O, HFC, PFC dan SF6). Negara maju menanamkan modalnya
di negara berkembang dalam proyek-proyek yang dapat menghasilkan pengurangan
emisi GRK, dengan imbalan ECC (Emision
carbon certificate). ECC ini
diperhitungkan sebagai upaya negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan
nilai ECC ini setara dengan nilai
penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dan karenanya dapat
diperhitungkan dalam pemenuhan target penurunan emisi GRK negara Annex I
seperti yang disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto. Mekanisme ini
adalah satu-satunya mekanisme fleksibel yang melibatkan negara berkembang.
Tujuan
CDM sebagaimana yang tercantum dalam Protokol Kyoto adalah :
1. Membantu
negara-negara Annex I dalam memenuhi
target penurunan emisi negaranya
2. Membantu negara Non Annex I dalam mencapai
pembangunan yang berkelanjutan dan
untuk berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan
Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi
gas rumah kaca di atmosfer.
CDM
(Mekanisme Pembangunan Bersih) mencakup tiga kategori implementasi yaitu “Clean
Production” (Produksi Bersih), “Saving Energy” (Penghematan Energi)
dan “Fuel Switching” (Pengalihan Bahan Bakar). Realisasi program CDM
adalah melakukan reduksi emisi gas rumah kaca serta sekuestrasi (penyerapan
karbon) melalui penanaman pohon di lahan produksi yang mengalami eksploitasi
berlebihan. Kegiatan dalam CDM
meliputi kegiatan reduksi emisi GRK dan penyerapan karbon.
Kegiatan dalam
CDM meliputi kegiatan reduksi emisi GRK dan penyerapan karbon, sebagaimana
dalam Gambar 1
Gambar
1. CDM merupakan salah satu mekanisme yang ada dalam Protokol Kyoto.
Siklus umum proyek CDM dijelaskan sebagai berikut :
1. Identifikasi Proyek.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan
identifikasi apakah rencana kegiatan tersebut memiliki potensi untuk menurunkan
emisi GRK atau menyerap GRK dari atmosfer. Dalam hal ini, pengusul proyek perlu
melakukan penghitungan potensi penurunan ataupun penyerapan GRK.
2. Desain Proyek.
Langkah berikutnya adalah pengumpulan informasi yang
diperlukan dalam menyiapkan dokumen rancangan proyek (Project Design
Document, PDD). Informasi yang diperlukan antara lain adalah
mengenai deskripsi proyek, batasan proyek, penentuan baseline (keadaan
tanpa adanya proyek tersebut) dan informasi mengenai sumber pendanaan.
3.
Dokumen Rancangan Proyek/Project Design
Document (PDD).
Selanjutnya,
pemilik proyek menyiapkan dokumen proyek yang berisi informasi lengkap mengenai
proyek serta sisi ke-CDM-annya. Beberapa hal yang harus tercantum dalam dokumen
tersebut antara lain:
a.
Deskripsi umum proyek, termasuk penjelasan
mengenai teknologi yang digunakan.
b.
Metodologi baseline, termasuk pemenuhan
additionality.
a. Durasi proyek/crediting period.
c.
Rencana pemantauan, prosedur pemantauan dan verifikasi.
d.
Perhitungan emisi GRK dan pengurangan emisi yang
dihasilkan proyek.
e.
Dampak lingkungan.
f.
Komentar para pemangku kepentingan.
Jika
pengembang proyek menggunakan metodologi baseline dan pemantauan yang baru,
maka harus diusulkan oleh institusi yang berwenang, biasa disebut badan
validator independen/Designated Operational Entity (DOE), kepada Badan
Eksekutif.
DOE (Designated
Operational Entity) adalah suatu lembaga berbadan hukum domestik atau
international yang telah diakreditasi dan ditunjuk oleh Badan Eksekutif untuk
melakukan fungsi sebagai berikut:
a. Melakukan
validasi dan kemudian meregistrasi suatu usulan proyek MPB.
b. Melakukan
verifikasi reduksi emisi dari proyek MPB, kemudian melakukan sertifikasi dan
memohon agar Badan Pelaksana untuk menerbitkan ECC.
Badan
Eksekutif merupakan badan internasional di bawah COP/MOP, yaitu pertemuan
tahunan para negara yang sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim dan
Protokol Kyoto.
Tugas
utama Badan Pelaksanaan proyek-proyek ECC
di negara berkembang dan bertanggung jawab pada COP/MOP.
4. Validasi.
Pada
tahap ini, seluruh informasi yang terdapat di dalam PDD, terutama penghitungan baseline
divalidasi oleh badan validator independen yang telah diakreditasi oleh Badan ECC Internasional. Badan independen ini
akan mengevaluasi apakah proyek tersebut telah memenuhi persyaratan ECC dan apakah proyek perhitungan ECC yang dilakukan dapat diterima.
Pada
tahap ini DOE mengkaji PDD dan dokumen-dokumen pendukungnya untuk
mengkonfirmasikan bahwa :
a.
Negara-negara yang terlibat telah meratifikasi Protokol Kyoto.
b.
PDD dapat diakses oleh publik, dan para pemangku kepentingan lokal telah diberi
kesempatan selama 30 hari untuk memberikan komentar. Ringkasan komentar dan
laporan bagaimana komentar tersebut telah ditindaklanjuti dicantumkan dalam
PDD.
c.
Pengembang proyek telah menyerahkan analisis dampak lingkungan kepada DOE.
d.
Kegiatan proyek akan menghasilkan reduksi GRK yang additional.
5. Persetujuan oleh Otoritas ECC Nasional/Designated National
Authority (DNA).
Setelah
PDD selesai dibuat dan dilampiri semua informasi yang dibutuhkan, kemudian PDD
diserahkan ke Otoritas ECC
Nasional/DNAuntuk disetujui. Sebuah proyek ECC
harus meminta persetujuan dari negara tuan rumah ECC. Negara tuan rumahlah yang akan memberikan penilaian apakah
proyek tersebut mendukung pembangunan berkelanjutan di negaranya atau tidak.
Setelah dinilai dan dievaluasi berdasarkan semua informasi yang tertera di
dalamnya, terutama sumbangannya untuk pembangunan berkelanjutan, transparansi,
dan partisipasi masyarakat, DNA akan memberikan persetujuannya.
6.
Registrasi
Proyek
ECC didaftarkan oleh DOE ke ECC Executive Board (EB). Tahap
ini dinamakan registrasi, dimana EB menerima secara formal pengajuan PDD dari
kandidat proyek ECC. EB merupakan
badan internasional di bawah COP/MOP, atau pertemuan tahunan para negara yang
telah meratifikasi Protokol Kyoto, yang tugasnya adalah mengatur dan mengawasi
pelaksanaan ECC di seluruh dunia.
Sebuah proyek yang didaftarkan ke EB akan melalui sebuah proses komentar publik
selama 30 hari, dimana PDD akan ditaruh di website EB untuk mendapatkan
komentar terbuka dari semua pihak. Jika ada keberatan dari EB atau dari pihak
yang terlibat dalam kegiatan proyek mengenai dokumen yang diserahkan, maka EB
akan melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai proyek yang diajukan. Jika
tidak ada keberatan dari EB, maka proses registrasi akan selesai dalam waktu 8
minggu.
7.
Implementasi.
Tahapan
dimana proyek ECC dijalankan biasanya
dinamakan implementasi yang pada dasarnya dapat dilakukan sebelum registrasi
maupun sesudahnya. Jika dilakukan sebelum registrasi, batas waktu paling awal
adalah tahun 2000, artinya hanya proyek yang berjalan sejak tahun 2000 saja
yang dapat diajukan sebagai proyek ECC.
8.
Pengawasan/monitoring.
Setelah
proyek ini didaftarkan dan diimplementasikan, maka pemilik proyek bertanggung
jawab atas pengawasan atau monitoring atas penurunan emisi GRK maupun
penyerapan GRK akibat adanya proyek yang bersangkutan. Pelaksanaannya sendiri
harus sesuai dengan rencana pengawasan yang tertera pada PDD dan dilakukan oleh
monitor independen. Kegiatan pengawasan meliputi kegiatan pengumpulan dan
penyimpanan data-data yang digunakan untuk menghitung emisi baseline dan
emisi proyek.
9.
Verifikasi.
Pada
tahap ini hasil pengawasan akan dikaji ulang, termasuk metodologi yang
digunakan dalam melakukan pengawasan, dan kemudian dilaporkan secara tertulis.
Jumlah emisi GRK yang berhasil diturunkan harus tertera di dalamnya sehingga
dapat dilihat apakah penurunan ataupun penyerapan GRK yang diperkirakan telah
terpenuhi. Laporan pengawasan yang dilakukan oleh badan independen ini harus
dipublikasikan sebagai proses keterlibatan publik.
10.
Sertifikasi penurunan emisi.
Sertifikasi
adalah jaminan tertulis oleh badan independen yang menyatakan bahwa proyek yang
bersangkutan, dalam perioda tertentu, telah berhasil menurunkan emisi gas rumah
kaca sebagaimana yang telah diverifikasi.
11.
Penerbitan penurunan emisi tersertifikasi/Emision carbon certificate (ECC).
ECC
Executive Board mempunyai waktu maksimal 15 hari setelah permohonan
penerbitan ECC diberikan untuk
mengkaji ulang surat sertifikasi proyek yang bersangkutan. Setelah itu Executive
Board harus segera mengumumkan hasilnya dan mempublikasikan keputusannya
sehubungan dengan disetujui atau tidaknya ECC
yang diusulkan beserta alasannya.
Satu
unit ECC menurut Protokol Kyoto,
setara dengan 1 metrik ton CO2.
Setelah
ECC diperoleh, maka pelaku proyek ECC menjualnya kepada pembeli
internasional secara langsung atau melalui perantaraan broker (financial
intermediary). Contohnya, Pemkot Bekasi (dengan project proponent PT
Gikoko Kogyo Indonesia) yang telah berhasil meneken kontrak penjualan ECC kepada Bank Dunia sebagai ‘trustee’
dari Netherlands ECC Facility (NCDMF)
Estimasi proposal Pemkot Bekasi tahun 2006, harga ECC 4,5-5,5 USD/ton CO2
eq.
Sebenarnya,
tidak ada harga yang pasti/tetap untuk ECC
ini, karena ia mengikuti harga pasar. Carbonpositive dalam laporannya tanggal
22 Oktober 2010 menyebutkan bahwa Bank Dunia membayar 1 unit ECC untuk proyek ECC Kehutanan di Afrika
seharga 4 USD.
Adapun
proses pengesahan proyek oleh KN-MPB sebagai berikut :
1. Pengusul
Proyek (dapat dibantu oleh konsultan) menyiapkan dokumen-dokumen aplikasi yang
terdiri dari : (i) Formulir Aplikasi yang diantaranya berisi penjelasan bahwa
usulan proyek memenuhi seluruh kriteria pembangunan berkelanjutan; (ii) Project
Design Document; (iii) laporan AMDAL, bila usulan proyek wajib AMDAL; (iv)
catatan proses konsultasi publik; (v) surat rekomendasi dari Departemen
Kehutanan, khusus untuk usulan proyek MPB kehutanan, serta; (vi)
dokumen-dokumen lain yang dirasa perlu untuk medukung justifikasi proyek.
2. Dokumen aplikasi lengkap
kemudian diserahkan oleh Pengusul Proyek kepada Sekretariat Komnas MPB untuk
diproses. Pengusul proyek harus menyiapkan 25 (dua puluh lima) copy dari
dokumen aplikasi tersebut dan 1 (satu) dokumen elektronik (soft copy).
Sekretariat harus memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen aplikasi. Sekretaris
Eksekutif menempatkan (posting) Usulan Proyek yang masuk di Sekretariat di
situs elektronik (website) Komnas MPB untuk mengundang tanggapan dari
masyarakat dan Pemangku Kepentingan lainnya. Setiap tanggapan masyarakat yang
diterima Sekretariat akan langsung ditempatkan (posting) di situs elektronik
(website) Komnas MPB.
3. Sekretaris Eksekutif
menyerahkan dan menyajikan dokumen Usulan Proyek yang diterima sampai tenggat
waktu penyerahan Usulan Proyek kepada Komnas MPB dalam Rapat Koordinasi
Internal. Batas waktu Rapat Koordinasi Internal adalah 1 hari.
3a. Bila dianggap perlu oleh
Komnas MPB, Sekretariat akan meminta Para Pakar untuk melakukan Evaluasi
Tambahan terhadap Usulan Proyek sebagai bahan pembanding. Batas waktu evaluasi
Para Pakar adalah 5 hari.
4. Komnas MPB menugaskan
anggota-anggota Tim Teknis yang diperlukan untuk mengevaluasi Usulan Proyek
tersebut berdasarkan Kriteria dan Indikator Pembangunan Berkelanjutan.
4a. Bila dianggap perlu, anggota
Tim Teknis dari sektor yang sama dengan sektor dimana Usulan Proyek berada
dapat membawa Usulan Proyek ke dalam rapat evaluasi Tim Teknis Sektoral yang
telah terbentuk di dalam departemen teknis yang bersangkutan.
4b. Bila dianggap perlu, Tim
Teknis meminta Para Pakar untuk membantu proses evaluasi, melalui Sekretariat
dengan persetujuan Komisi Nasional. Batas waktu keseluruhan proses (4), (4a)
and (4b) adalah 21 hari. Jika Tim Teknis atau Para Pakar menilai data yang
diberikan kurang lengkap, maka mereka akan menulis catatan mengenai hal
tersebut dan melampirkannya pada Laporan Evaluasi yang akan diserahkan kepada
Komnas MPB.
5. Tim Teknis menyerahkan Laporan
Evaluasi Usulan Proyek, dan Para Pakar menyerahkan Laporan Evaluasi Tambahan
kepada Sekretariat untuk kemudian diserahkan kepada Komnas MPB. Kedua Laporan
Evaluasi tersebut akan ditempatkan di situs elektronik Komnas MPB oleh
Sekretariat.
6. Komnas MPB menerima laporan
dari Sekretariat mengenai hasil evaluasi Usulan Proyek dan masukan dari
Pemangku Kepentingan yang disampaikan melalui website Komnas MPB atau dikirim
langsung ke Sekretariat. Sesudah mempertimbangkan semua masukan dalam Rapat
Pengambilan Keputusan, Komnas MPB mengambil keputusan mengenai pemberian (atau
tidak diberikannya) Surat Persetujuan kepada Usulan Proyek tersebut. Batas
waktu Rapat Pengambilan Keputusan adalah 1 hari.
6a. Bila terjadi perbedaan
pendapat yang tajam di antara Pemangku Kepentingan yang mendukung Usulan Proyek
dan yang berkeberatan atas Usulan tersebut, melalui Rapat Komnas MPB yang
dibuat khusus untuk itu, Komnas MPB dapat mengundang Pertemuan Khusus FPK. Pada
Pertemuan Khusus FPK, Komnas MPB menyampaikan Usulan Proyek yang kontroversial
tersebut dan kemudian menampung aspirasi, dukungan dan kritik dari peserta
Pertemuan Khusus FPK. Batas waktu Pertemuan Khusus FPK adalah 1 hari.
7. Bila Komnas MPB tidak dapat
memberikan Surat Persetujuan karena ketidak-lengkapan data Usulan Proyek,
berdasarkan catatan dari Tim Teknis atau Para Pakar, maka Pengusul Proyek
diberikan waktu sampai 3 (tiga) bulan untuk melengkapi kekurangan tersebut dan
menyerahkan kembali dokumen Usulan Proyek yang sudah diperbaiki ke Sekretariat.
Sekretariat akan memproses dokumen Usulan Proyek yang sudah diperbaiki dengan
proses yang sama seperti Usulan Proyek yang baru. Namun, Tim Teknis atau Para
Pakar akan mengevaluasi hanya bagian proposal yang mendapatkan tambahan data
baru. Proses pengembalian Usulan Proyek oleh Tim Teknis atau Para Pakar untuk
diperbaiki Pengusul Proyek hanya boleh dilakukan satu kali untuk setiap Usulan.
8. Sekretariat menyerahkan Surat
Persetujuan Komisi Nasional kepada Pengusul Proyek.
9. Usulan Proyek yang tidak
memenuhi kriteria harus mengalami perbaikan yang mencakup pengubahan desain
proyek sebelum dapat diajukan kembali untuk mendapatkan persetujuan nasional.
Gambar
2. Proses pengusulan proyek kepada KN-MPB hingga pengesahannya.
Menurut
data KN-MKB, sampai dengan bulan Juli 2009, telah ada 104 proyek ECC yang telah disetujui oleh KN-MPB dan
24 proyek yang telah teregistrasi oleh Badan Eksekutif ECC. Dari 104 proyek tadi, belum ada satu pun proyek kehutanan yang
masuk dan mendapat persetujuan.
ECC
sektor kehutanan merupakan mekanisme yang berbeda dengan ECC
sektor lainnya, karena penurunan emisi dilakukan dengan
cara penyerapan karbon di atmosfer oleh pohon (carbon sequestration),
sedangkan sektor lainnya adalah penurunan emisi pada sumber emisinya. Kegiatan
penyerapan karbon yang dapat diwadahi oleh proyek ECC
berdasarkan ketentuan Protokol
Kyoto adalah afforestasi dan reforestasi. Ada banyak kendala
tentang ECC
sektor kehutanan, di antaranya yang pokok adalah
permasalahan definisi afforestasi, reforestasi, dan hutan dalam
skema ECC
(sebagaimana dijelaskan dalam Marrakech Accord)
berbeda dengan definisi formal yang berlaku di Indonesia :
1.
Hutan didefinisikan sebagai area dengan luas minimun
0,5-1,0 hektar, dengan lebih dari 10 – 30 persennya ditumbuhi tumbuhan dewasa,
yang tinggi minimumnya mencapai 2 - 5 meter.
2.
Aforestasi adalah aktivitas
langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area yang minimal selama 50
tahun bukan merupakan wilayah hutan menjadi hutan.
3.
Reforestasi adalah
aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area bukan hutan
menjadi area hutan melalui penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya
yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam, di area yang pada awalnya
merupakan wilayah hutan namun mengalami perubahan menjadi wilayah bukan hutan. Dalam periode komitmen pertama, aktivitas reforestasi dibatasi
pada area tidak berhutan pada 31 Desember 1989.
Selain itu, juga karena belum mantapnya sistem pengelolaan
hutan, sehingga kebocoran ekologi (leakage) hutan Indonesia cukup besar,
padahal kebocoran ini tidak diperbolehkan dalam ECC. Kebocoran tersebut antara lain berasal dari kebakaran hutan, illegal
logging, dan inkosistensi kebijakan penataan ruang.
Oleh karenanya, tidak banyak proyek kehutanan yang bisa
masuk dalam skema ECC
ini.
Protokol Kyoto valid hingga tahun 2012. Itu artinya,
segala instrumen atau mekanisme yang mengikutinya pun akan berakhir pada tahun
tersebut. Oleh karenanya, banyak negara yang memikirkan mekanisme baru setelah
tahun tersebut untuk mengatasi perubahan iklim yang yang lebih menguntungkan
bagi negara berkembang, khususnya mereka yang mempunyai sumberdaya hutan luas.
Pada
COP 11 di Montreal tahun 2005, Costa Rica, Papua New Guinea (PNG), dan
negara-negara pemilik hutan tropis yang tergabung dalam CfRN (Coalition for
Rainforest Nation) mengusulkan proposal tentang insentif avoided
deforestation. Dalam pertemuan yang sama, beberapa LSM dan ilmuwan dengan
dipimpin oleh Environmental Defense menegaskan kembali seruan mereka
agar isu hutan dimasukkan dalam instrumen-instrumen perdagangan Kyoto.
Karenanya, COP 11 meminta agar Badan Subsider UNFCCC untuk Pertimbangan Ilmiah
dan Teknologi (SBSTA) mengevaluasi isu pengurangan emisi dari deforestasi dan
melaporkan kembali ke COP 13/MOP 3 UNFCCC pada bulan Desember 2007. Sementara
itu, UNFCCC menyelenggarakan dua pertemuan mengenai pengurangan emisi dari
deforestasi (RED) di negara-negara berkembang (dalam bulan Juli 2006 dan Maret
2007). Pada bulan Desember 2007, dalam Konferensi Para Pihak ke-13 UNFCCC yang
diadakan di Bali (Indonesia), kemungkinan untuk memasukkan isu hutan dalam
rezim iklim internasional semakin berkembang.
Konferensi
Para Pihak ke-13 (COP 13) di Bali tahun 2007
menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), sebuah rencana atau
peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto.
Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan
besarnya potensi yang terkandung dalam REDD. Upaya mitigasi harus mengutamakan
pengurangan emisi dari penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara industri.
Meskipun pengaruhnya relatif kecil, kegiatan penanaman pohon untuk menyerap
karbon juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Namun demikian, untuk
mengurangi 20 persen dari emisi yang berkaitan dengan hutan, kita memerlukan
pendekatan konservasi yang baru dan lebih efektif. Salah satu pendekatan yang
dimaksud adalah REDD, kependekan dari reducing emissions from deforestation
and forest degradation (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan). Ide ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena
dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan
menyimpan karbon di hutan.
REDD
dilaksanakan atas dasar sukarela (voluntary basis) dengan prinsip
menghormati kedaulatan negara (sovereignity).
Satu tahun setelah
Rencana Aksi Bali disetujui, para juru runding mengadakan pertemuan kembali di
Poznań, Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa kegiatan REDD sebaiknya
diperluas. REDD-plus menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut
bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di
negara-negara berkembang. Dua ketetapan awal REDD adalah:
a. Mengurangi emisi
dari deforestasi dan
b. Mengurangi emisi
dari degradasi hutan
Beberapa strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi melalui
:
c. Peranan konservasi
d. Pengelolaan hutan
secara lestari
e. Peningkatan
cadangan karbon hutan
Definisi yang lebih luas ini memudahkan negara-negara lain untuk
ikut berpartisipasi. Banyak pihak dengan kondisi nasional yang berbeda dapat
dilibatkan ke dalam kerangka yang akan datang.
Sejak penyelenggaraan COP 13 di Bali Pemerintah Indonesia c.q. Departemen
Kehutanan sangat giat mengembangkan perangkat hukum atau peraturan yang terkait
langsung dengan pelaksanaan REDD.
Di antara perangkat tersebut terdapat tiga Peraturan Menteri yang
telah resmi diundangkan, yaitu:
1. Permenhut No. P.
68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan
Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (www.dephut.go.id/files/P68_08.pdf).
Peraturan ini pada dasarnya menguraikan prosedur permohonan dan
pengesahan kegiatan demonstrasi REDD, sehingga metodologi, teknologi dan
kelembagaan REDD dapat dicoba dan dievaluasi. Tantangannya adalah bagaimana
kegiatan demonstrasi dapat dialihkan menjadi proyek REDD yang sesungguhnya di
masa yang akan datang.
2. Permenhut No. P.
30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan (REDD) (www.dephut.go.id/files/P36_09.pdf).
Peraturan ini mengatur tata cara pelaksanaan REDD, termasuk
persyaratan yang harus dipenuhi pengembang, verifikasi dan sertifikasi, serta
hak dan kewajiban pelaku REDD. Hingga saat ini ketentuan mengenai penetapan
tingkat emisi acuan sebagai pembanding belum ditetapkan.
3. Permenhut No. P.
36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan
dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (www.dephut.go.id/files/P36_09.pdf).
Peraturan ini mengatur izin usaha REDD melalui penyerapan dan
penyimpanan karbon. Di dalamnya juga diatur perimbangan keuangan, tata cara
pengenaan, pemungutan, penyetoran dan penggunaan penerimaan negara dari REDD.
Peraturan ini membedakan antara kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon di
berbagai jenis hutan dan jenis usaha.
Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya REDD
sudah dapat dilaksanakan. Petunjuk Teknis untuk hal-hal tertentu akan
diperlukan untuk menunjang pelaksanaan REDD. Seperti kebanyakan peraturan,
ketiga Permenhut tersebut juga mengacu pada berbagai peraturan/perundangan yang
terkait.
Mekanisme
REDD/REDD-plus secara internasional belum diatur secara tegas, kecuali ada yang
mengacu skema CDM. Adapun mekanisme yang diatur dalam Permenhut
No. P. 30/Menhut-II/2009 sebagai berikut :
1.
Pelaku REDD mengajukan permohonan kepada Menteri dengan
melampirkan beberapa persyaratan berupa :
a.
SK tentang wilayah hutan yang dikelola dari Menteri Kehutanan.
b.
Rekomendasi dari Pemda setempat khusus bagi pengelola HA, HT, HTR, HKM, dan RE.
c.
Memenuhi kriteria lokasi untuk pelaksanaan REDD.
d.
Memiliki rencana pelaksanaan REDD.
2.
Menteri menugaskan Komisi REDD untuk melakukan penilaian atas
permohonan REDD.
Komisi REDD adalah komisi yang dibentuk oleh Menteri dan bertugas
dalam pengurusan pelaksanaan REDD.
3.
Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima hasil
penilaian Komisi REDD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat
menyetujui atau menolak usulan permohonan REDD dalam bentuk surat persetujuan
pelaksanaan REDD.
4.
Paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah mendapat persetujuan dari Menteri, pemohon dapat segera melaksanakan kegiatan REDD.
Apabila setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja, pemohon tidak
memulai kegiatan REDD, maka persetujuan Menteri dibatalkan.
Jangka waktu pelaksanaan REDD paling lama 30 tahun dan dapat
diperpanjang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5.
Melakukan pemantauan secara periodik paling lama setiap 5 (lima) tahun sekali
kecuali untuk periode sampai dengan 2012 dilakukan setiap tahun, untuk
mengetahui perubahan stok karbon dari Referensi Emisi (REL) dan manfaat
lainnya. Pemantauan dilakukan oleh pelaku, Pemda, dan Dephut.
6.
Paling lambat 14 hari kerja setelah laporan hasil pemantauan dari
pelaku REDD diterima Komisi REDD, Komisi REDD menugaskan Lembaga Penilai
Independen untuk melakukan verifikasi.
Sebelum ada keputusan COP tentang Tata Cara REDD, maka verifikasi
kegiatan REDD antara lain mengacu petunjuk pada Lampiran Keputusan COP 13 No.2
tahun 2007. Begitu juga sebelum ada keputusan negara pihak Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim mengenai mekanisme
pelaksanaan REDD di tingkat internasional, Komisi REDD meminta Komite
Akreditasi Nasional (KAN) untuk melakukan akreditasi Lembaga Penilai Independen.
7.
Lembaga Penilai Independen melaporkan hasil verifikasi kepada Komisi REDD dan
kepada pelaku REDD. Biaya verifikasi dibebankan kepada pelaku REDD.
8.
Dalam hal semua persyaratan terpenuhi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah menerima laporan hasil verifikasi dari Lembaga Penilai Independen,
Komisi REDD menerbitkan Sertifikat Pengurangan Emisi Karbon.
Sertifikat Pengurangan Emisi Karbon tersebut dapat
diperjualbelikan.
Komisi
REDD secara berkala menyampaikan laporan pelaksanaan REDD kepada Menteri
(Kehutanan) dan Focal Point Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang
Perubahan Iklim untuk selanjutnya dilaporkan kepada Konvensi Perserikatan
Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim. Sampai saat ini – untuk sementara –
harga ECC relatif masih lebih mahal
dibandingkan harga Sertifikat Pengurangan Emisi
Karbon REDD. Selain masih dalam taraf pembahasan dan negosiasi, belum
ada entitas internasional yang memberikan sertifikasi terhadap produk REDD
sebagaimana ECC.
Daftar
Pusataka
Harian aceh(2008). Berdagang Karbon untuk Sejahterakan Rakyat?. From http://blog.harian-aceh.com/berdagang-karbon-untuk-sejahterakan-rakyat.jsp, 10 April 2012
Dewa Gumay(2008). Perdagangan Karbon di Hutan Aceh. From http://dewagumay.wordpress.com/2008/07/20/perdagangan-karbon-di-hutan-aceh/, 10 April 2012
Harian Analisa(2010).Aceh Belum Peroleh Dana Kompensasi Karbon. From
http://www.analisadaily.com/news/read/2011/08/22/9599/aceh_belum_peroleh_dana_kompensasi_karbon,
10 April 2012
Arsito(2012). Investasi Pasar Karbon Dinilai Masih Terlalu Riskan. From http://www.beritasatu.com/ekonomi/30136-investasi-pasar-karbon-dinilai-masih-terlalu-riskan.html, 10 April 2012
Anonim. 2010. REDD,
Apakah Itu ? Pedoman CIFOR tentang Hutan, Perubahan Iklim, dan REDD. CIFOR.
Atkinson, B. The
CDM, Kyoto Protocol and The Sugar, Ethanol and Bio-Fuels Industry.
Awang, S.A. 2007. Membangun
Agenda dan Implementasi UNFCCC di Tingkat Nasional dan Lokal. Makalah yang
disampaikan pada parallel event COP 13 Bali.
Edwards, R. 2010. Advance
Market Commitments/Emission Reduction Underwriting Mechanism for Climate Change
Finance. Climate Change Capital.
Griffith, T. 2009. REDD
? Awas ! : Hutan, Mitigasi Perubahan Iklim, dan Hak-Hak Masyarakat Adat.
Forest for Peoples Programme.
Masripatin, N.
2008. Apa Itu REDD ?. Warta Tenure.
Panjiwibowo, C.,
Soejahmoen, M.H., Tanujaya, O., dan Rusmantoro, W. 2003. Mencari Pohon Uang
: CDM Kehutanan di Indonesia. Yayasan Pelangi.
Situs internet :
http://en.wikipedia.org/wiki/Carbon_credit. Carbon Credit.
http://elsdwika.wordpress.com/berita-lingkungan/clean-development-mechanism-cdm.
Clean Development Management.
http://cdm.unfccc.int/DOE/index.html. Designated Operational Entities (DOE).
http://dna-cdm.menlh.go.id/id/info/?sub=11. Pengantar dan Potensi Mengenai MPB.
1 komentar:
saya senang bekerja sama dengan mr pedro selama beberapa tahun sebagai mitra bisnis. selama waktu itu pedro dan tim perusahaan pinjamannya menjabat sebagai perwakilan hipotek untuk rumah saya juga untuk pembiayaan bisnis saya dan dia membantu saya menutup pinjaman yang sangat membantu saya dalam bisnis saya hari ini, kami secara konsisten jauh di atas tujuan kami dan ini hanya bisa bisa diatribusikan pada kerja keras mr pedro. saya menghargai kerja keras Anda dan juga terima kasih banyak kepada tim Anda karena telah membantu saya dengan pinjaman untuk mengembangkan bisnis saya. jika Anda mencari pinjaman dalam bentuk apa pun, hubungi mr pedro di pedroloanss@gmail.com mr pedro adalah petugas pinjaman jujur yang bekerja dengan sejumlah besar investor yang bersedia membiayai proyek apa pun. untungnya, seiring waktu hubungan kami tumbuh melampaui pekerjaan dan saya masih senang memanggilnya teman tepercaya.
Posting Komentar