Asma adalah
keadaan klinik yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversible,
dipisahkan oleh masa di mana ventilasi relatif mendekati normal (1).
Sedangkan
Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi
kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil,
dan limfosit T (2).
1.2 Epidemiologi
Asma
merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak.
Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut
diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan
terutama polusi baik indoor maupun outdoor.(2) Asma
dapat timbul pada berbagai umur; 30 % bergejala pada umur 1 tahun, sedangkan
80-90% anak asma mempunyai gejala pertamanya sebelum umur 4-5 tahun (3,4).
Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma
pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar 3% dan sekitar 6,5% pada usia
sekolah menengah pertama (2).
1.3 Patofisiologis
Manifestasi penyumbatan
jalan nafas pada asma disebabkan oleh bronkokontriksi, hipersekresi mucus,
edema mukosa, infiltrasi seluler dan deskuamasi sel epitel serta sel radang.
Berbagai rangsangan alergi dan rangsangan nonspesifik, akan adanya jalan nafas
yang hiperaktif, mencetus respon bronkokotriksi dan radang. Rangsangan ini
meliputi allergen yang dihirup (tungau,
debu, tepung sari) infeksi virus, asap rokok, polutan, udara, bau busuk,
obat-obatan (anti radang nonsteroid), udara dingin dan olahraga (4).
Asma ditandai dengan
kontraksi dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab
yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus terhadap benda-benda asing di
udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara
sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan
reaksi alergi bila bereaksi dengan antigen spesifiknya (5,6).
Pada asma, antibodi ini
terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang
berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup
alergen maka antibodi IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan
antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang
bereaksi lambat (yang merupakan leukotrien), faktor kemotaktik, eosinofilik dan
bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema
lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam
lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan
tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat (5,6).
Pada asma , diameter
bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena
peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar
bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan
selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi
berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan
inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal
ini menyebabkan dispnea (pernapasan sulit atau menyakitkan; sesak napas).
Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat
selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru (5,6).
Gambar 1. Inflamasi dan remodeling pada asma
1.4 Gejala Asma
Suatu serangan asma dapat terjadi secara
tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (mengi, bengek), batuk dan sesak
nafas. Bunyi mengi terutama
terdengar ketika penderita menghembuskan nafasnya. Di lain waktu, suatu
serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap
semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh
seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa berlangsung
dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama
beberapa hari (2,4).
Gejala awal pada anak-anak
bisa berupa rasa gatal di dada atau di leher. Batuk kering di malam hari atau ketika melakukan
olah raga juga bisa merupakan satu-satunya gejala. Selama serangan asma, sesak
nafas bisa menjadi semakin berat, sehingga timbul rasa cemas. Sebagai reaksi
terhadap kecemasan, penderita juga akan mengeluarkan banyak keringat (2,4)
Sedangkan
menurut Pedoman Nasional Asma Anak di dalam batasan operasionalnya
menyepakatinya kecurigaan asma apabila anak menunjukkan gejala batuk dan/atau
mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan
atopi
pada penderita atau keluarganya (2,4).
1.5 Diagnosa
Baik Global
Initiative for Asthma (GINA),
Konsensus Internasional, maupun Pedoman
Nasional Asma Anak (PNAA) menekankan diagnosis asma didahului batuk dan
atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme kemungkinan
diagnosis asma (diagram 1). Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi
yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan
adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau
tanda yang patut diduga suatu asma. Untuk sampai pada diagnosis asma perlu
suatu pemeriksaan tambahan seperti uji fungsi paru atau pemberian obat bronkodilator
yang digunakan sebagai indikator untuk melihat respons pengobatan, bahkan bila
diperlukan dapat dilakukan uji provokasi bronkus dengan histamin atau metakolin
(2,4).
Akhir-akhir
ini banyak yang berpendapat bahwa untuk menegakkan diagnosis asma pada anak di
bawah lima tahun sebaiknya berhati-hati apabila tidak pernah dijumpai adanya wheezing.
Hal itu disebabkan pada usia tersebut kemungkinan batuk yang berulang hanyalah
akibat infeksi respiratorik saja. Demikian pula apabila dijumpai wheezing pada
usia di bawah tiga tahun (batita) hendaknya berhati-hati dalam mendiagnosis
asma. Wheezing yang dijumpai pertama kali belum tentu merupakan gejala
asma. Bila dijumpai keadaan batuk kronis dan/atau berulang dengan/atau tanpa wheezing
dengan karakteristik seperti di atas, tetap perlu dipertimbangkan diagnosis
asma (2,4).
Diagram 1. Alur Diagnosa Asma Pada Anak
Metoda untuk diagnosa Asma:
1
Spirometri
Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur
kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1).
Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada kemampuan pasien sehingga diperlukan
instruksi operator yang jelas dan kooperasi pasien. Untuk mendapatkan nilai
yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan
jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio
VEP1/KVP < 75%.
Selain itu, dengan spirometri dapat
mengetahui reversibiliti asma, yaitu adanya perbaikan VEP1 > 15 %
secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau
setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu (5).
2
Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)
Alat ini adalah alat yang paling sederhana
untuk memeriksa gangguan sumbatan jalan napas, yang relatif sangat murah, mudah
dibawa. Dengan PEF meter fungsi paru yang dapat diukur adalah arus puncak
ekspirasi (APE).
Cara pemeriksaan APE dengan PEF meter adalah
sebagai berikut :
Penuntun meteran dikembalikan ke posisi angka
0. Pasien diminta untuk menghirup napas dalam, kemudian diinstruksikan untuk
menghembuskan napas dengan sangat keras dan cepat ke bagian mulut alat
tersebut, sehingga penuntun meteran akan bergeser ke angka tertentu. Angka
tersebut adalah nilai APE yang dinyatakan dalam liter/menit.
Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai APE
< 80% nilai prediksi. Selain itu juga dapat memeriksa reversibiliti, yang
ditandai dengan perbaikan nilai APE > 15 % setelah inhalasi bronkodilator,
atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.
Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam yang
berbeda nilainya), dan nilai normal variabilitas ini < 20% (5).
Cara pemeriksaan variabilitas APE:
Pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan
nilai terendah dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi (5).
Gambar 2.
Cara Mengatur Arus puncak ekspirasi dengan PEF meter
1.6 Diagnosis Banding
Kebanyakan
anak yang menderita episode batuk dan mengi berulang menderita asma. Penyebab
lain penyumbatan jalan nafas adalah malformasi konginetal (sistem pernafasan,
kardiovaskular, bronkiolitis atau gastrointestinal), benda asing pada jalan
nafas atau esophagus, bronkiolitis infeksius, kistik fibrosis, penyakit
defisiensi immunologic, pneumonitis hipersensitivitas dan berbagai keadaan
lebih jarang mengganggu jalan nafas termasuk tuberculosis endobronkial,
penyakit jamur dan adenoma bronkus (4).
1.7 Klasifikasi
Klasifkasi
asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana lanjutan (jangka
panjang). GINA membagi asma menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten, asma
persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat.2 Berbeda
dengan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik ringan, asma
episodik sedang, dan asma persisten. Dasar pembagian ini karena pada asma anak
kejadian episodik lebih sering dibanding persisten (kronisitas). Dasar
pembagian atau klasifikasi asma pada anak adalah frekuensi serangan, lamanya
serangan, aktivitas diluar serangan dan beberapa pemeriksaan penunjang (Tabel
1) (2, 7).
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma pada anak
1.7 Tatalaksana Asma
Tatalaksana
medikamentosa dibagi dalam dua kelompok besar yaitu tatalaksana saat serangan
dan tatalaksana jangka panjang (2,8,9,10).
a.
Tatalaksana saat serangan
·
Anak dengan episode pertama wheezing tanpa distress
pernapasan, bisa dirawat di rumah
hanya dengan terapi penunjang. Tidak perlu diberi bronkodilator
·
Anak dengan distres
pernapasan atau mengalami wheezing berulang, beri salbutamol dengan nebulisasi atau MDI (metered
dose inhaler). Jika salbutamol tidak
tersedia, beri suntikan epinefrin/adrenalin subkutan. Periksa kembali anak
setelah 20 menit untuk menentukan terapi
selanjutnya:
o
Jika distres pernapasan sudah membaik dan tidak ada napas
cepat, nasihati ibu untuk merawat di rumah dengan salbutamol hirup atau bila
tidak tersedia, beri salbutamol sirup per oral atau tablet.
o
Jika distres pernapasan menetap, pasien dirawat di
rumah sakit dan beri terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain
seperti yang diterangkan di bawah.
·
Jika anak mengalami sianosis sentral atau tidak bisa
minum, rawat dan beri terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan dosis
pertama steroid dengan segera.
·
Respons positif (distres pernapasan berkurang, udara
masuk terdengar lebih baik saat auskultasi) harus terlihat dalam waktu 20
menit. Bila tidak terjadi, beri bronkodilator kerja cepat dengan interval 20
menit.
·
Jika tidak ada respons setelah 3 dosis bronkodilator
kerja-cepat, beri aminofilin IV.
b.
Tatalaksana Jangka Panjang
Tatalaksana jangka panjang (aspek kronis)
pada asma anak diberikan pada asma episodik sering dan persisten, sedangkan
pada asma episodik jarang tidak diperlukan. Proses inflamasi kronis yang
terjadi pada asma bersamaan dengan proses remodelling yang ditandai
dengan disfungsi epitel. Dengan dasar tersebut penanganan asma lebih ditujukan
pada kedua proses tersebut. Obat ini harus digunakan setiap hari untuk penanganan jangka panjang.
Adapun obat-obatnya adalah sebagai berikut:
·
Inhalasi kortikosteroid
Beberapa
kortikosteroid efektik dalam sekali atau dua kali sehari. Suspensi inhalasi
Budesonide (Pulmicort Respules®) adalah satu-satunya kortikosteroid
nebulizer untuk anak-anak berumur 1-8 tahun.
·
Agonis beta2 kerja lama
Walaupun tidak seefektif kortikosteroid inhalasi,
namun agonis beta 2 kerja lama dapat digunakan sebagai terapi tambahan bersama
kortikosteroid inhalasi untuk mengurangi gejala asma pada malam hari dan
mencegah terjadi bronkospasme. Obat ini tidak dapat digunakan untuk mengobati
pasien dengan gejala akut atau eksaserbasi.
Agonis beta 2 kerja lama, salmeterol (Serevent®) dapat
memberikan efek bronkodilatasi selama 24 jam dengan dosis dua kali sehari dan
dapat mengurangi gejala asma pada malam hari. Kombinasi inhalasi salmeterol dan
flutikason (Advair Diskus®) dapat digunakan dua kali sehari.
·
Teofilin
Teofilin dapat menimbulkan efek bronkodilatasi ringan sampai sedang yang dapat digunakan
sebagai terapi tambahan bersama obat anti inflamasi. Namun, teofilin mempunyai
efek terapi sempit, interaksi obat dan efek samping yang serius. Teofilin hanya
digunakan untuk pengobatan asma berat ketika polifarmasi diperlukan.
·
Cromolyn sodium dan nedokromil
Obat ini merupakan lini pertama inhalasi anti inflamasi harian
yang dapat menghambat bronkokontriksi tanpa efek samping yang serius. Obat ini
kurang efektif dari pada kortikosteroid karena penggunaannya hingga empat kali
sehari. Selain itu rasa pahit nedokromil dapat menghambat kepatuhan pasien.
·
Antileukotrien
Reseptor leukotrien
antagonis montelukast (Singulair®) dan
zafirlukast (Accolate®) dan 5-ipoxygenase inhibitor zileuton (Zyflo®)
menangani inflamasi. Montelukast tersedia
dengan dosis 5 mg sehari pada waktu tidur. Tablet 10 mg telah disetujui
untuk digunakan pada anak-anak berumur lebih dari 15 tahun, dan 4 – 5 mg tablet
kunyah digunakan untuk anak-anak 2-5 tahun. Zafirlukast digunakan untuk
pengobatan anak-anak dari 7 tahun keatas dengan dosis 10 mg dua kalo sehari.
Zileuton harang diresepkan karena hepatotoksik.
1.
Oksigen
Berikan oksigen pada semua anak dengan asma yang terlihat sianosis atau
mengalami kesulitan bernapas yang mengganggu berbicara, makan atau menyusu
(serangan sedang-berat).
2.
Bronkodilator kerja-cepat
Beri anak bronkodilator kerja-cepat dengan salah satu dari tiga cara berikut: nebulisasi salbutamol, salbutamol
dengan MDI dengan alat spacer,
atau suntikan epinefrin/adrenalin subkutan, seperti yang diterangkan di
bawah.
a.
Salbutamol Nebulisasi
Alat nebulisasi harus dapat menghasilkan aliran udara
minimal 6-10 L/ menit. Alat yang direkomendasikan adalah jet-nebulizer
(kompresor udara) atau silinder oksigen. Dosis salbutamol adalah 2.5 mg/kali
nebulisasi; bisa diberikan setiap 4 jam, kemudian dikurangi sampai setiap 6-8
jam bila kondisi anak membaik. Bila diperlukan, yaitu pada kasus yang berat,
bisa diberikan setiap jam untuk waktu singkat.
b.
Salbutamol MDI dengan alat spacer
Alat spacer dengan berbagai volume tersedia secara komersial. Penggunaannya mohon lihat buku Pedoman Nasional Asma Anak. Pada anak dan bayi biasanya lebih baik
jika memakai masker wajah yang
menempel pada spacer dibandingkan
memakai mouthpiece. Jika spacer tidak tersedia, spacer bisa dibuat menggunakan gelas plastik atau botol plastik 1 liter. Dengan alat ini
diperlukan 3-4 puff salbutamol dan
anak harus bernapas dari alat selama 30 detik.
c.
Epinefrin (adrenalin) subkutan
Jika kedua cara untuk pemberian salbutamol tidak
tersedia, beri suntikan epinefrin (adrenalin) subkutan dosis 0.01 ml/kg dalam
larutan 1:1 000 (dosis maksimum: 0.3
ml), menggunakan semprit 1 ml (untuk teknik injeksi lihat halaman 331). Jika
tidak ada perbaikan setelah 20 menit,
ulangi dosis dua kali lagi dengan interval dan dosis yang sama. Bila gagal, dirawat sebagai serangan berat
dan diberikan steroid dan aminofilin.
3.
Bronkodilator Oral
Ketika anak jelas membaik untuk bisa dipulangkan, bila tidak tersedia atau
tidak mampu membeli salbutamol hirup, berikan salbutamol oral (dalam sirup atau
tablet). Dosis salbutamol: 0.05-0.1 mg/kgBB/kali setiap 6-8 jam
4.
Kortikosteroid
Jika anak mengalami serangan wheezing akut berat berikan
kortikosteroid sistemik metilprednisolon 0.3 mg/kgBB/kali tiga kali sehari
pemberian oral atau deksametason 0.3 mg/kgBB/kali IV/oral tiga kali sehari
pemberian selama 3-5 hari.
5.
Aminofilin
Jika anak tidak membaik setelah 3 dosis bronkodilator kerja cepat,
beri aminofilin IV dengan dosis awal
(bolus) 6-8 mg/kgBB dalam 20 menit. Bila
8 jam sebelumnya telah mendapatkan aminofilin, beri dosis setengahnya.
Diikuti dosis rumatan 0.5-1 mg/kgBB/jam. Pemberian aminofilin harus hati-hati, sebab margin of safety
aminofilin amat sempit. Hentikan pemberian aminofilin IV segera bila anak mulai
muntah, denyut nadi >180x/menit, sakit kepala, hipotensi, atau kejang. Jika
aminofilin IV tidak tersedia, aminofilin supositoria bisa menjadi alternatif.
6.
Antibiotik
Antibiotik tidak diberikan secara rutin untuk asma atau anak asma yang
bernapas cepat tanpa disertai demam. Antibiotik diindikasikan bila terdapat
tanda infeksi bakteri.
Pemantauan
Anak yang dirawat di rumah sakit seharusnya diperiksa
oleh perawat sedikitnya setiap 3 jam, atau setiap 6 jam setelah anak
memperlihatkan perbaikan dan oleh dokter minimal 1x/hari. Catat tanda vital.
Jika respons terhadap terapi buruk, rujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap
fasilitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar