Google ads

Kamis, 19 November 2015

ASMA



Asma adalah keadaan klinik yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversible, dipisahkan oleh masa di mana ventilasi relatif mendekati normal (1). Sedangkan  Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T (2).

1.2 Epidemiologi
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor.(2) Asma dapat timbul pada berbagai umur; 30 % bergejala pada umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak asma mempunyai gejala pertamanya sebelum umur 4-5 tahun (3,4). Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar 3% dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama (2).

1.3 Patofisiologis
Manifestasi penyumbatan jalan nafas pada asma disebabkan oleh bronkokontriksi, hipersekresi mucus, edema mukosa, infiltrasi seluler dan deskuamasi sel epitel serta sel radang. Berbagai rangsangan alergi dan rangsangan nonspesifik, akan adanya jalan nafas yang hiperaktif, mencetus respon bronkokotriksi dan radang. Rangsangan ini meliputi allergen  yang dihirup (tungau, debu, tepung sari) infeksi virus, asap rokok, polutan, udara, bau busuk, obat-obatan (anti radang nonsteroid), udara dingin dan olahraga (4).
Asma ditandai dengan kontraksi dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila bereaksi dengan antigen spesifiknya (5,6).
Pada asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibodi IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrien), faktor kemotaktik, eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat (5,6).
Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea (pernapasan sulit atau menyakitkan; sesak napas). Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru (5,6).
Gambar 1. Inflamasi dan remodeling pada asma
1.4 Gejala Asma
Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan nafas yang berbunyi (mengi, bengek), batuk dan sesak nafas. Bunyi mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan nafasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau bisa berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari (2,4).
Gejala awal pada anak-anak bisa berupa rasa gatal di dada atau di leher. Batuk kering di malam hari atau ketika melakukan olah raga juga bisa merupakan satu-satunya gejala. Selama serangan asma, sesak nafas bisa menjadi semakin berat, sehingga timbul rasa cemas. Sebagai reaksi terhadap kecemasan, penderita juga akan mengeluarkan banyak keringat (2,4)
Sedangkan menurut Pedoman Nasional Asma Anak di dalam batasan operasionalnya menyepakatinya kecurigaan asma apabila anak menunjukkan gejala batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi
pada penderita atau keluarganya (2,4).

1.5 Diagnosa
Baik Global Initiative for Asthma (GINA), Konsensus Internasional, maupun Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menekankan diagnosis asma didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme kemungkinan diagnosis asma (diagram 1). Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu asma. Untuk sampai pada diagnosis asma perlu suatu pemeriksaan tambahan seperti uji fungsi paru atau pemberian obat bronkodilator yang digunakan sebagai indikator untuk melihat respons pengobatan, bahkan bila diperlukan dapat dilakukan uji provokasi bronkus dengan histamin atau metakolin (2,4).
Akhir-akhir ini banyak yang berpendapat bahwa untuk menegakkan diagnosis asma pada anak di bawah lima tahun sebaiknya berhati-hati apabila tidak pernah dijumpai adanya wheezing. Hal itu disebabkan pada usia tersebut kemungkinan batuk yang berulang hanyalah akibat infeksi respiratorik saja. Demikian pula apabila dijumpai wheezing pada usia di bawah tiga tahun (batita) hendaknya berhati-hati dalam mendiagnosis asma. Wheezing yang dijumpai pertama kali belum tentu merupakan gejala asma. Bila dijumpai keadaan batuk kronis dan/atau berulang dengan/atau tanpa wheezing dengan karakteristik seperti di atas, tetap perlu dipertimbangkan diagnosis asma (2,4).




Diagram 1. Alur Diagnosa Asma Pada Anak

Metoda untuk diagnosa Asma:
1        Spirometri
Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas dan kooperasi pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75%.
Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma, yaitu adanya perbaikan VEP1 > 15 % secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu (5).

2        Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)
Alat ini adalah alat yang paling sederhana untuk memeriksa gangguan sumbatan jalan napas, yang relatif sangat murah, mudah dibawa. Dengan PEF meter fungsi paru yang dapat diukur adalah arus puncak ekspirasi (APE).
Cara pemeriksaan APE dengan PEF meter adalah sebagai berikut :
Penuntun meteran dikembalikan ke posisi angka 0. Pasien diminta untuk menghirup napas dalam, kemudian diinstruksikan untuk menghembuskan napas dengan sangat keras dan cepat ke bagian mulut alat tersebut, sehingga penuntun meteran akan bergeser ke angka tertentu. Angka tersebut adalah nilai APE yang dinyatakan dalam liter/menit.
Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai APE < 80% nilai prediksi. Selain itu juga dapat memeriksa reversibiliti, yang ditandai dengan perbaikan nilai APE > 15 % setelah inhalasi bronkodilator, atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.  Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam yang berbeda nilainya), dan nilai normal variabilitas ini < 20% (5).

Cara pemeriksaan variabilitas APE:
Pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi (5).
Gambar 2. Cara Mengatur Arus puncak ekspirasi dengan PEF meter

1.6   Diagnosis Banding
            Kebanyakan anak yang menderita episode batuk dan mengi berulang menderita asma. Penyebab lain penyumbatan jalan nafas adalah malformasi konginetal (sistem pernafasan, kardiovaskular, bronkiolitis atau gastrointestinal), benda asing pada jalan nafas atau esophagus, bronkiolitis infeksius, kistik fibrosis, penyakit defisiensi immunologic, pneumonitis hipersensitivitas dan berbagai keadaan lebih jarang mengganggu jalan nafas termasuk tuberculosis endobronkial, penyakit jamur dan adenoma bronkus (4).

1.7   Klasifikasi
Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana lanjutan (jangka panjang). GINA membagi asma menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat.2 Berbeda dengan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik ringan, asma episodik sedang, dan asma persisten. Dasar pembagian ini karena pada asma anak kejadian episodik lebih sering dibanding persisten (kronisitas). Dasar pembagian atau klasifikasi asma pada anak adalah frekuensi serangan, lamanya serangan, aktivitas diluar serangan dan beberapa pemeriksaan penunjang (Tabel 1) (2, 7).

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma pada anak

1.7     Tatalaksana Asma
Tatalaksana medikamentosa dibagi dalam dua kelompok besar yaitu tatalaksana saat serangan dan tatalaksana jangka panjang (2,8,9,10).

 a.            Tatalaksana saat serangan
·         Anak dengan episode pertama wheezing tanpa distress pernapasan,  bisa dirawat di rumah hanya dengan terapi penunjang. Tidak perlu diberi bronkodilator
·         Anak dengan distres pernapasan atau mengalami wheezing berulang,  beri salbutamol dengan nebulisasi atau MDI (metered dose inhaler).  Jika salbutamol tidak tersedia, beri suntikan epinefrin/adrenalin subkutan. Periksa kembali anak setelah 20 menit untuk menentukan terapi  selanjutnya:
o   Jika distres pernapasan sudah membaik dan tidak ada napas cepat, nasihati ibu untuk merawat di rumah dengan salbutamol hirup atau bila tidak tersedia, beri salbutamol sirup per oral atau tablet.
o   Jika distres pernapasan menetap, pasien dirawat di rumah sakit dan beri terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan obat lain seperti yang diterangkan di bawah.
·         Jika anak mengalami sianosis sentral atau tidak bisa minum, rawat dan beri terapi oksigen, bronkodilator kerja-cepat dan dosis pertama steroid dengan segera.
·         Respons positif (distres pernapasan berkurang, udara masuk terdengar lebih baik saat auskultasi) harus terlihat dalam waktu 20 menit. Bila tidak terjadi, beri bronkodilator kerja cepat dengan interval 20 menit.
·         Jika tidak ada respons setelah 3 dosis bronkodilator kerja-cepat, beri  aminofilin IV.

 b.            Tatalaksana Jangka Panjang
Tatalaksana jangka panjang (aspek kronis) pada asma anak diberikan pada asma episodik sering dan persisten, sedangkan pada asma episodik jarang tidak diperlukan. Proses inflamasi kronis yang terjadi pada asma bersamaan dengan proses remodelling yang ditandai dengan disfungsi epitel. Dengan dasar tersebut penanganan asma lebih ditujukan pada kedua proses tersebut. Obat ini harus digunakan setiap hari untuk penanganan jangka panjang. Adapun obat-obatnya adalah sebagai berikut:



·         Inhalasi kortikosteroid
Beberapa kortikosteroid efektik dalam sekali atau dua kali sehari. Suspensi inhalasi Budesonide (Pulmicort Respules®) adalah satu-satunya kortikosteroid nebulizer untuk anak-anak berumur 1-8 tahun.
·         Agonis beta2 kerja lama
Walaupun tidak seefektif kortikosteroid inhalasi, namun agonis beta 2 kerja lama dapat digunakan sebagai terapi tambahan bersama kortikosteroid inhalasi untuk mengurangi gejala asma pada malam hari dan mencegah terjadi bronkospasme. Obat ini tidak dapat digunakan untuk mengobati pasien dengan gejala akut atau eksaserbasi.  Agonis beta 2 kerja lama, salmeterol (Serevent®) dapat memberikan efek bronkodilatasi selama 24 jam dengan dosis dua kali sehari dan dapat mengurangi gejala asma pada malam hari. Kombinasi inhalasi salmeterol dan flutikason (Advair Diskus®) dapat digunakan dua kali sehari.
·         Teofilin
Teofilin dapat menimbulkan efek bronkodilatasi ringan sampai sedang yang dapat digunakan sebagai terapi tambahan bersama obat anti inflamasi. Namun, teofilin mempunyai efek terapi sempit, interaksi obat dan efek samping yang serius. Teofilin hanya digunakan untuk pengobatan asma berat ketika polifarmasi diperlukan.
·         Cromolyn sodium dan nedokromil
Obat ini merupakan lini pertama inhalasi anti inflamasi harian yang dapat menghambat bronkokontriksi tanpa efek samping yang serius. Obat ini kurang efektif dari pada kortikosteroid karena penggunaannya hingga empat kali sehari. Selain itu rasa pahit nedokromil dapat menghambat kepatuhan pasien.
·         Antileukotrien
Reseptor leukotrien antagonis montelukast (Singulair®) dan zafirlukast (Accolate®) dan 5-ipoxygenase inhibitor zileuton (Zyflo®) menangani inflamasi. Montelukast tersedia  dengan dosis 5 mg sehari pada waktu tidur. Tablet 10 mg telah disetujui untuk digunakan pada anak-anak berumur lebih dari 15 tahun, dan 4 – 5 mg tablet kunyah digunakan untuk anak-anak 2-5 tahun. Zafirlukast digunakan untuk pengobatan anak-anak dari 7 tahun keatas dengan dosis 10 mg dua kalo sehari. Zileuton harang diresepkan karena hepatotoksik.

1.        Oksigen  
Berikan oksigen pada semua anak dengan asma yang terlihat sianosis atau mengalami kesulitan bernapas yang mengganggu berbicara, makan atau menyusu (serangan sedang-berat).
2.        Bronkodilator kerja-cepat 
Beri anak bronkodilator kerja-cepat dengan salah satu dari tiga cara  berikut: nebulisasi salbutamol, salbutamol dengan MDI dengan alat spacer,  atau suntikan epinefrin/adrenalin subkutan, seperti yang diterangkan di bawah.

a.      Salbutamol Nebulisasi 
Alat nebulisasi harus dapat menghasilkan aliran udara minimal 6-10 L/ menit. Alat yang direkomendasikan adalah jet-nebulizer (kompresor udara) atau silinder oksigen. Dosis salbutamol adalah 2.5 mg/kali nebulisasi; bisa diberikan setiap 4 jam, kemudian dikurangi sampai setiap 6-8 jam bila kondisi anak membaik. Bila diperlukan, yaitu pada kasus yang berat, bisa diberikan setiap jam untuk waktu singkat.

b.      Salbutamol MDI dengan  alat spacer  
Alat spacer dengan berbagai volume tersedia  secara komersial.  Penggunaannya mohon  lihat buku Pedoman Nasional Asma Anak.  Pada anak dan bayi biasanya lebih baik jika  memakai masker wajah yang menempel  pada spacer dibandingkan memakai  mouthpiece. Jika  spacer tidak  tersedia, spacer bisa dibuat  menggunakan gelas plastik  atau botol plastik 1 liter. Dengan alat ini diperlukan 3-4 puff salbutamol dan anak harus bernapas dari alat selama 30 detik.

c.       Epinefrin (adrenalin) subkutan   
Jika kedua cara untuk pemberian salbutamol tidak tersedia, beri suntikan epinefrin (adrenalin) subkutan dosis 0.01 ml/kg dalam larutan 1:1 000   (dosis maksimum: 0.3 ml), menggunakan semprit 1 ml (untuk teknik injeksi lihat halaman 331). Jika tidak ada perbaikan setelah 20  menit, ulangi dosis dua kali lagi dengan interval dan dosis yang sama.  Bila gagal, dirawat sebagai serangan berat dan diberikan steroid dan aminofilin.

3.        Bronkodilator Oral   
Ketika anak jelas membaik untuk bisa dipulangkan, bila tidak tersedia atau tidak mampu membeli salbutamol hirup, berikan salbutamol oral (dalam sirup atau tablet). Dosis salbutamol: 0.05-0.1 mg/kgBB/kali setiap 6-8 jam

4.        Kortikosteroid 
Jika anak mengalami serangan wheezing akut berat berikan kortikosteroid sistemik metilprednisolon 0.3 mg/kgBB/kali tiga kali sehari pemberian oral atau deksametason 0.3 mg/kgBB/kali IV/oral tiga kali sehari pemberian  selama 3-5 hari.

5.        Aminofilin  
Jika anak tidak membaik setelah 3 dosis bronkodilator kerja cepat, beri  aminofilin IV dengan dosis awal (bolus) 6-8 mg/kgBB dalam 20 menit. Bila  8 jam sebelumnya telah mendapatkan aminofilin, beri dosis setengahnya. Diikuti dosis rumatan 0.5-1 mg/kgBB/jam. Pemberian aminofilin harus  hati-hati, sebab margin of safety aminofilin amat sempit. Hentikan pemberian aminofilin IV segera bila anak mulai muntah, denyut nadi >180x/menit, sakit kepala, hipotensi, atau kejang. Jika aminofilin IV tidak tersedia, aminofilin supositoria bisa menjadi alternatif.

6.        Antibiotik
Antibiotik tidak diberikan secara rutin untuk asma atau anak asma yang bernapas cepat tanpa disertai demam. Antibiotik diindikasikan bila terdapat tanda infeksi bakteri.

Pemantauan
Anak yang dirawat di rumah sakit seharusnya diperiksa oleh perawat sedikitnya setiap 3 jam, atau setiap 6 jam setelah anak memperlihatkan perbaikan dan oleh dokter minimal 1x/hari. Catat tanda vital. Jika respons terhadap terapi buruk, rujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya.



Tidak ada komentar:

Google Ads