Google ads

Rabu, 28 Oktober 2015

PENGEMBANGAN OBAT (DEVELOPMENT OF DRUG)

   
Pengembangan bahan obat diawali dengan sintesis atau isolasi dari berbagai sumber yaitu dari tanaman (glikosida jantung untuk mengobati lemah jantung), jaringan hewan (heparin untuk mencegah pembekuan darah), kultur mikroba (penisilin G sebagai antibiotik pertama), urin manusia (choriogonadotropin) dan dengan teknik bioteknologi dihasilkan human insulin untuk menangani penyakit diabetes. Dengan mempelajari hubungan struktur obat dan aktivitasnya maka pencarian zat baru lebih terarah dan memunculkan ilmu baru yaitu kimia medisinal dan farmakologi molekular. 7
Sebagian besar obat baru atau produk obat ditemukan atau dikembangkan melalui satu atau lebih dari enam pendekatan berikut: 7
1.                       Identifikasi atau elusidasi target obat baru
2.                       Desain obat baru yang rasional berdasarkan pemahaman akan mekanisme biologik, struktur reseptor, dan struktur obat.
3.                       Modifikasi molekul terkait secara kimiawi.
4.                       Skrining terhadap aktivitas biologik produk-produk alamiah, kumpulan berbagai unsur kimiawi yang telah ditemukan sebelumnya, dan kumpulan berbagai peptida, asam nukleat, dan molekul organik lainnya.
5.                       Bioteknologi dan kloning menggunakan gen untuk menghasilkan berbagai peptida dan protein. Upaya untuk menemukan target dan pendekatan dalam pengembangan dan penemuan obat baru terus dilakukan melalui berbagai penelitian dalam bidang genomik, proteomik, asam nukleat dan farmakologi molekuler untuk terapi medikamentosa. Peningkatan jumlah target obat pada penyakit secara signifikan hendaknya memotivasi pembaruan dan peningkatan obat.
6.                       Kombinasi berbagai obat yang telah dikenal untuk mendapatkan efek aditif atau sinergistik atau reposisi obat tersebut untuk keperluan pengobatan yang baru.

a.                       Penyaringan Obat
   Tanpa memandang sumber atau gagasan utama yang mengarah pada suatu molekul kandidat obat, uji obat melibatkan serangkaian eksperimen dan penelitian pada makhluk hidup yang dilaksanakan secara konsisten. Proses ini dinamakan skrining obat. Beragam uji (assay) biologik pada hewan percobaan baik pada tingkat molekular, selular, organ, maupun holistik digunakan untuk menentukan aktivitas dan selektivitas obat. Jenis dan jumlah uji skrining awal bergantung pada tujuan farmakologi dan terapeutik. Berbagai obat anti-infeksi akan diuji terhadap berbagai organisme penyebab infeksi, beberapa diantaranya menunjukkan resitensi terhadap obat standar, dan berbagai obat hipoglikemik akan diuji kemampuannya untuk menurunkan gula darah, dan sebagainya. Selain itu, kumpulan berbagai kerja lainnya dari satu molekul juga akan diteliti untuk menentukan mekanisme kerja dan selektivitas obat.
Hal ini mempunyai keuntungan karena dapat memperlihatkan berbagai efek toksik baik yang diduga maupun yang tidak diduga. Terkadang, seorang pengamat yang cukup teliti dapat menemukan suatu efek terapeutik yang tidak diduga sebelumnya. Pemilihan molekul-molekul yang akan diteliti lebih lanjut paling efisien dilakukan melalui model penyakit manusia pada hewan percobaan. Pada umumnya, manusia memiliki obat-obatan yang adekuat untuk berbagai keadaan dengan model perkiraan pra klinis yang baik (contohnya obat antibakterial, penyakit hipertensi atau trombotik). Untuk penyakit yang memiliki model pra klinis yang buruk atau yang sama sekali belum memiliki model pra klinis, seperti pada penyakit Alzheimer, obat-obatan yang adekuat umumnya belum tersedia dan jarang terdapat terobosan baru dalam peningkatan terapi. 7
  
b.                       UJI KEAMANAN DAN TOKSISITAS PRAKLINIK
Semua obat bersifat toksik pada dosis tertentu. Menetapkan batas toksisitas dan indeks terapeutik antara manfaat dan risiko (risk and benefit) suatu obat secara tepat mungkin merupakan bagian terpenting dari proses pengembangan suatu obat baru. Sebagian besar kandidat obat gagal dipasarkan, tetapi seni pengembangan dan penemuan obat terletak pada kajian dan manajemen resiko yang efektif, bukan pada penghindaran risiko secara total. 7
Berbagai obat kandidat yang telah melewati prosedur skrining dan penetapan profil awal harus dievaluasi secara hati-hati akan adanya berbagai risiko potensial sebelum dan selama dilakukannya uji klinis.
Uji yang harus ditempuh oleh calon obat adalah uji praklinik dan uji klinik. 4
1.                       Uji praklinik
Merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau aman. 4
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi :
• Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis.
• Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas).
• Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas).
• Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas)
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia. 4
Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in vitro. 4
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki. 4

2.                       Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :
1.                       Fase I ,
Calon obat diuji pada sukarelawan sehat (25-50) untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia. Meskipun tujuan dari fase I ini adalah untuk mendapatkan dosis maksimum yang dapat ditoleransi, namun studi fase I ini diatur untuk mencegah keracunan berat. Jika obat yang hendak diuji memiliki toksisitas yang signifikan, seperti pada kasus terapi kanker dan AIDS, pasien sukarelawan dengan penyakit yang berkaitanlah yang digunakan pada fase I dibanding menggunakan sukarelawan normal. Percobaan fase I dilakukan untuk menentukan apakah manusia dan hewan memperlihatkan respon yang berbeda secara signifikan terhadap obat dan untuk menentukan batas rentang dosis klinis aman yang memungkinkan. Percobaan ini “terbuka”; dimana penguji dan subyek mengetahui apa yang diberikan selama percobaan. Banyak dugaan keracunan terdeteksi pada fase ini. Pengukuran farmakokinetik penyerapan, waktu paruh, dan metabolisme biasanya dilakukan pada fase I. Studi fase I biasanya dilakukan pada pusat-pusat penelitian dengan ahli farmakologi klinis yang telah dilatih khusus. 4,7
2.                       Fase II,
Calon obat diuji pada pasien tertentu (100-200), diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. Rentang toksisitas yang lebih luas mungkin saja terdeteksi pada fase ini, dimana uji fase II biasanya dilakukan pada pusat-pusat klinis khusus (misal rumah sakit universitas). 4,7
3.                       Fase III
Melibatkan kelompok besar pasien (mencapai ribuan), disini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Sejumlah efek toksik, khususnya yang disebabkan oleh proses imunologis, pertama kali terlihat nyata pada fase III. 4,7

Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh EMEA ( European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). 7
Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. 7
Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi. Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug delivery system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, sediaan liposom, tablet salut enterik, mikroenkapsulasi dll. Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll. 7
Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter. 7
4.                       Fase IV,
Setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan, sebagai contoh Cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON disease), fenilpropanolamin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi, talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.

Tidak ada komentar:

Google Ads