1. DEFINISI
Syok anafilaksik (reaksi hipersensitif
pada pembuluh darah) adalah suatu reaksi antigen-antibody (Immunoglobulin E) yang menyebabkan degranulasi sel mast dan
mengeluarkan mediator-mediator endogen, seperti histamin. Syok anafilaktik
disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu timbul segera setelah suatu
antigen yang sensitif masuk kedalam sirkulasi darah yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat yang dapat menyebabkan terjadinya
kematian.
2.
PREVALENSI
·
40-60 % akibat gigitan
serangga,
·
20-40 % akibat zat
kontras radiografi, dan
·
10-20 % akibat
pemberian obat penicillin. Kematian terjadi setalah 60 menit pemakaian. Reaksi
hipersensitif akibat obat dapat disebabkan oleh ikatan obat-obat yang berukuran
kurang dari 1000 dalton bergabung dengan protein menjadi molekul besar.
·
Insiden reaksi obat
yang fatal terjadi 0,1 % pada pasien, sedangkan pada pembedahan angka
kejadiannya 0,01 %.
·
Di Amerika Serikat
insiden reaksi alergi dan anafilaksis yang dicatat dari bagian gawat darurat
rumah sakit didapatkan bahwa 0,5 % dan 0,02 % kejadian.
·
Di Australia reaksi anafilaktik
terjadi 1:5000, dan kejadian penderita yang dianestesi sebanyak 1:25.000 dengan
angka kematian 3,4 %.
·
Di Inggris reaksi anafilaktik
menyebabkan kematian sebanyak 4,3 % dan menyebabkan kerusakan otak sebanyak 5,6
%.
·
Di Indonesia, khususnya
di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien
anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun
2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
3. PATOFISIOLOGI
Reaksi
anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap alergen
tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan
maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE
spesifik terhadap alergen tertentu. IgE spesifik ini kemudian terikat pada
reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan
terikat pada IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi yang
menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain histamin dari granula yang
terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu sintesis SRS-A (
Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam arachidonik
pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini
segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine (SRS-A)
dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus menyebabkan
timbulnya gejala pernafasan dan syok.
Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor
H2 menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Reaksi
Anafilaktoid
Reaksi
anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang
sama dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen
antibodi. Pelepasan mediator biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme
nonimunologik ini belum seluruhnya dapat diterangkan. Zat-zat yang sering
menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras radiografi (idionated), opiate,
tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin maupun NSAID lainnya
juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga sebagai akibat terhambatnya
enzim siklooksgenase.
4.
ETIOLOGI
Contoh-contoh alergen:
·
Obat
-
Antibiotik : Penisilin,
Streptomisin dll
-
NSAID : Salisilat, Aminopirin
-
Narkotik analgesik : Morfin,
kodein
-
Obat-obat lain : Protamin,
Yodium
-
Anestetik lokal : Prokain,
Lidokain
-
Anestetik Umum : Tiopental
-
Pelumpuh otot : Suksinil kolin,
Tubokurarin
-
Produk darah dan Anti sera :
Eritrosit, ABU
·
Bahan diagnostik : Radiokontras
Yodium
·
Makanan : Telur, Kerang
·
Bisa : Lebah, Ular
·
Hormon : Insulin, ACTH
·
Ensim : Asetilsistein, Pankreas
·
Ekstrak alergen : Tepung sari,
Makanan
5. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat
bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu
-
reaksi cepat yang terjadi
beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan allergen,
-
reaksi moderat terjadi
antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan allergen,
-
reaksi lambat terjadi
lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal
baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat:
·
Ringan
Dengan keluhan kesemutan perifer,
sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti
hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair.
Gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.
·
Sedang
Mencakup semua gejala-gejala ringan
ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk
dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering
terjadi.
·
Berat
Reaksi yang sangat mendadak dengan
tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas
disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospasme,
edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram
pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang
terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau
renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah
terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau lebih organ target,
antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan
saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang
sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal
pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual,
pusing, lemas dan sakit perut. Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema,
sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic
shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak.
Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau
dingin, lembab/basah, dan diaphoresis. Pada sistem respirasi terjadi
hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi oksigen,
peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran
nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga
terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika
edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian
paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas
bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi
batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin. Keadaan bingung dan gelisah
diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan
pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,
takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina),
kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan
aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan
penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR.
6.
DIAGNOSA
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik, maka
dilakukan beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :
·
Skin test
Skin test merupakan cara yang banyak digunakan, sedikit
lebih mahal dan lebih mudah mengevaluasi sensitivitas alerginya. Keterbatasan
skin test
adalah adanya hasil positif palsu dan adanya reexposure dengan agen yang akan
mengakibatkan efek samping serius yang akan datang, oleh karena itu
pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari dosis initial.
·
Kadar komplemen dan antibodi
Pada tes ini penderita diberikan obat
yang dicurigai secara intra vena, kemudian diamati kadar IgE nya, akan tetapi
cara ini dapat mengancam kehidupan.
·
Radio allergo sorbent test (
RAST )
Antigen spesifik antibodi IgE dapat
diukur dengan menggunakan RAST. Pada RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen
berikatan dengan matriks yang tidak larut diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah
imunospesifik antibodi IgE ditentukan dengan inkubasi pada kompleks dan serum
dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig E. ikatan radioaktif ini
mencerminkan antigen-spesifik antibodi.
Diagnosis
pembanding:
1. Reaksi Vasovagal.
2. Ashma bronkiale
3. Reaksi hihoglikemik.
4. Rhinitis anergi
5. Infark miokard.
7.
FAKTOR RESIKO
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras
di dunia, anafilaksis lebih
sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden
lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada
anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang
terjadi.
8.
PENANGANAN NON-FARMAKOLOGI
Menghentikan kontak dengan alergen yang
diduga menyebabkan reaksi anafilaksis.
9.
PENANGANAN FARMAKOLOGI
Prognosis
suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan
pengelolaannya. Terapi syok anafilaksis menurut
Pharmacotherapy, a Phatophysiologic Approach
tahun 2008 yaitu:
1.
Tempatkan pasien dalam
posisi terlentang.
2.
Memonitor tanda-tanda
vital yang sering muncul ( setiap 2-5 menit ) dan tetap bersama pasien .
3.
Pemberian epinefrin
1:1.000
Dengan
dosis:
·
dewasa : 0,01 mL / kg
sampai maksimum 0,2-0,5 mL setiap 10 sampai 15 menit sesuai kebutuhan,
·
anak : 0,01 mL / kg
sampai dosis maksimum 0,2-0,5 mL ) secara subkutan atau intramuskular . Jika
perlu , ulangi setiap 15 menit , sampai dengan 2 dosis.
Adrenalin merupakan drug of choice
dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor yaitu :
-
Adrenalin merupakan
bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat terhindar dari
hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
-
Adrenalin merupakan
vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat sehingga tekanan darah
dengan cepat naik kembali.
-
Adrenalin merupakan histamine-bloker, melalui
peningkatan produksi cyclic AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical
mediator dapat berkurang atau berhenti.
4.
Pemberian oksigen
Biasanya
8-10 L / menit, namun konsentrasi yang lebih rendah mungkin cocok untuk pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik. Pemberian
oksigen bertujuan menjaga jalan nafas dengan perangkat saluran napas
orofaringeal.
5.
Pemberian
diphenhydramine (antihistamin)
Benadryl : dewasa 25-50 mg,
anak-anak 1-2 mg / kg, biasanya
diberikan secara parenteral. Terapkan
tourniquet proksimal tempat suntikan antigen, kurangi setiap 10-15 menit.
6.
Jika anafilaksis
disebabkan oleh suntikan, penggunaan larutan epinefrin 1:1.000 dengan injeksi
antigen 0,15-0,3 mL.
7.
Pengobatan hipotensi
dan mempertimbangkan penggunaan vasopresor seperti dopamin.
8.
Pengobatan bronkospasme
dengan β2 - agonis diberikan beberapa hari saja atau terus-menerus,
mempertimbangkan dosis aminofilin 5,6 mg / kg sebagai dosis secara IV dan
loading dose.
9.
Berikan hidrokortison 5 mg / kg, atau sekitar
250 mg secara IV (prednisone 20 mg oral dapat diberikan dalam kasus-kasus
ringan). Untuk mengurangi risiko berulang atau berkepanjangan anafilaksis.
Dosis ini dapat diulang setiap enam jam sesuai kebutuhan.
10.
Dalam kasus-kasus
refrakter tidak menanggapi epinephrine karena pemblokir β - adrenergik
memperumit terapi , glukagon 1 mg secara IV sebagai bolus mungkin berguna .
pemberian infus glukagon secara kontinu
1-5 mg / jam dapat diberikan jika diperlukan .
Terapi supportif
Terapi atau tindakan supportif sama
pentingnya dengan terapi medikamentosa dan sebaiknya dilakukan secara
bersamaan.
1.
Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2
3 – 5 liter/menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan
trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
2.
Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat
(diganjal dengan kursi) akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan
darah ikut meningkat.
3.
Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi
tekanan darah masih tetap rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan.
Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi
volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer
Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian
cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan
stabil.
4.
Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka
prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan
falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung
pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek
seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan
cairannya juga perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan
tindakan secepatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Panduan
Gawat Darurat, Jilid I, FKUI, Penerbit FKUI
Jakarta 2000, 17-18.
Dipiro, J. T., Pharmacotherapy,
a Patophisiologic Approach Seventh Edition, The McGraw-Hill Companies, New York, 2008.
Effendi,
C., Anaphylaxis dalam PKB XV , Lab. Ilmu Penyakit Dalam FKUA/RSUD Dr. Soetomo,
2000 : 91-99.
Sunatrio,
S, Penanggulangan Reaksi Syok Anafilaksis
dalam Anestesiologi, Bag. Anestesiologi
dan terapi intensif
FKUI Jakarta 1990, 77-85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar