Google ads

Rabu, 23 September 2015

SYOK ANAFILAKSIS



1. DEFINISI
Syok anafilaksik (reaksi hipersensitif pada pembuluh darah) adalah suatu reaksi antigen-antibody (Immunoglobulin E) yang menyebabkan degranulasi sel mast dan mengeluarkan mediator-mediator endogen, seperti histamin. Syok anafilaktik disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk kedalam sirkulasi darah yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.
2. PREVALENSI
·         40-60 % akibat gigitan serangga,
·         20-40 % akibat zat kontras radiografi, dan
·         10-20 % akibat pemberian obat penicillin. Kematian terjadi setalah 60 menit pemakaian. Reaksi hipersensitif akibat obat dapat disebabkan oleh ikatan obat-obat yang berukuran kurang dari 1000 dalton bergabung dengan protein menjadi molekul besar.
·         Insiden reaksi obat yang fatal terjadi 0,1 % pada pasien, sedangkan pada pembedahan angka kejadiannya 0,01 %.
·         Di Amerika Serikat insiden reaksi alergi dan anafilaksis yang dicatat dari bagian gawat darurat rumah sakit didapatkan bahwa 0,5 % dan 0,02 % kejadian.
·         Di Australia reaksi anafilaktik terjadi 1:5000, dan kejadian penderita yang dianestesi sebanyak 1:25.000 dengan angka kematian 3,4 %.
·         Di Inggris reaksi anafilaktik menyebabkan kematian sebanyak 4,3 % dan menyebabkan kerusakan otak sebanyak 5,6 %.
·         Di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
3. PATOFISIOLOGI
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu. IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan terikat pada IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok.

Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor H2 menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Reaksi Anafilaktoid
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang sama dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen antibodi. Pelepasan mediator biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya dapat diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras radiografi (idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin maupun NSAID lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga sebagai akibat terhambatnya enzim siklooksgenase.
4. ETIOLOGI
Contoh-contoh alergen:
·         Obat
-          Antibiotik : Penisilin, Streptomisin dll
-          NSAID : Salisilat, Aminopirin
-          Narkotik analgesik : Morfin, kodein
-          Obat-obat lain : Protamin, Yodium
-          Anestetik lokal : Prokain, Lidokain
-          Anestetik Umum : Tiopental
-          Pelumpuh otot : Suksinil kolin, Tubokurarin
-          Produk darah dan Anti sera : Eritrosit, ABU
·         Bahan diagnostik : Radiokontras Yodium
·         Makanan : Telur, Kerang
·         Bisa : Lebah, Ular
·         Hormon : Insulin, ACTH
·         Ensim : Asetilsistein, Pankreas
·         Ekstrak alergen : Tepung sari, Makanan
5. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu
-          reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan allergen,
-          reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan allergen,
-          reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat:


·         Ringan
Dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.
·         Sedang
Mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi.
·         Berat
Reaksi yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospasme, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut. Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis. Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin. Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR.
6. DIAGNOSA
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik, maka dilakukan beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :  
·         Skin test
Skin test merupakan cara yang banyak digunakan, sedikit lebih mahal dan lebih mudah mengevaluasi sensitivitas alerginya. Keterbatasan skin test adalah adanya hasil positif palsu dan adanya reexposure dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping serius yang akan datang, oleh karena itu pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari dosis initial.
·         Kadar komplemen dan antibodi
Pada tes ini penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra vena, kemudian diamati kadar IgE nya, akan tetapi cara ini dapat mengancam kehidupan.
·         Radio allergo sorbent test ( RAST )
Antigen spesifik antibodi IgE dapat diukur dengan menggunakan RAST. Pada RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks yang tidak larut diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah imunospesifik antibodi IgE ditentukan dengan inkubasi pada kompleks dan serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig E. ikatan radioaktif ini mencerminkan antigen-spesifik antibodi.
Diagnosis pembanding:
1.      Reaksi Vasovagal.
2.      Ashma bronkiale
3.      Reaksi hihoglikemik.
4.      Rhinitis anergi
5.      Infark miokard.
7. FAKTOR RESIKO
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia, anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.
8. PENANGANAN NON-FARMAKOLOGI
Menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis.
9. PENANGANAN FARMAKOLOGI
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan pengelolaannya. Terapi syok anafilaksis menurut Pharmacotherapy, a Phatophysiologic Approach tahun 2008 yaitu:
1.     Tempatkan pasien dalam posisi terlentang.
2.     Memonitor tanda-tanda vital yang sering muncul ( setiap 2-5 menit ) dan tetap bersama pasien .
3.     Pemberian epinefrin 1:1.000
Dengan dosis:
·      dewasa : 0,01 mL / kg sampai maksimum 0,2-0,5 mL setiap 10 sampai 15 menit sesuai kebutuhan,
·      anak : 0,01 mL / kg sampai dosis maksimum 0,2-0,5 mL ) secara subkutan atau intramuskular . Jika perlu , ulangi setiap 15 menit , sampai dengan 2 dosis.
Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor yaitu :
-       Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
-       Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.
-       Adrenalin merupakan histamine-bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.
4.     Pemberian oksigen
Biasanya 8-10 L / menit, namun konsentrasi yang lebih rendah mungkin cocok untuk pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik. Pemberian oksigen bertujuan menjaga jalan nafas dengan perangkat saluran napas orofaringeal.

5.     Pemberian diphenhydramine (antihistamin)
Benadryl : dewasa 25-50 mg, anak-anak 1-2 mg / kg, biasanya diberikan secara parenteral. Terapkan tourniquet proksimal tempat suntikan antigen, kurangi setiap 10-15 menit.
6.     Jika anafilaksis disebabkan oleh suntikan, penggunaan larutan epinefrin 1:1.000 dengan injeksi antigen 0,15-0,3 mL.
7.     Pengobatan hipotensi dan mempertimbangkan penggunaan vasopresor seperti dopamin.
8.     Pengobatan bronkospasme dengan β2 - agonis diberikan beberapa hari saja atau terus-menerus, mempertimbangkan dosis aminofilin 5,6 mg / kg sebagai dosis secara IV dan loading dose.
9.     Berikan hidrokortison 5 mg / kg, atau sekitar 250 mg secara IV (prednisone 20 mg oral dapat diberikan dalam kasus-kasus ringan). Untuk mengurangi risiko berulang atau berkepanjangan anafilaksis. Dosis ini dapat diulang setiap enam jam sesuai kebutuhan.
10.                        Dalam kasus-kasus refrakter tidak menanggapi epinephrine karena pemblokir β - adrenergik memperumit terapi , glukagon 1 mg secara IV sebagai bolus mungkin berguna . pemberian infus glukagon secara kontinu  1-5 mg / jam dapat diberikan jika diperlukan .
Terapi supportif
Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan sebaiknya dilakukan secara bersamaan.
1.      Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 – 5 liter/menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
2.      Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi) akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.
3.      Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan tindakan secepatnya.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Panduan Gawat Darurat, Jilid I, FKUI, Penerbit FKUI Jakarta 2000, 17-18.
Dipiro, J. T., Pharmacotherapy, a Patophisiologic Approach Seventh Edition, The McGraw-Hill Companies, New York, 2008.
Effendi, C., Anaphylaxis dalam PKB XV , Lab. Ilmu Penyakit Dalam FKUA/RSUD Dr. Soetomo, 2000 : 91-99.
Sunatrio, S, Penanggulangan Reaksi Syok Anafilaksis dalam Anestesiologi, Bag. Anestesiologi dan terapi intensif FKUI Jakarta 1990, 77-85.

Tidak ada komentar:

Google Ads