Google ads

Rabu, 23 September 2015

LUPUS ERYMATHOSUS SISTEMIK



1.         Pendahuluan
Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit autoimun kompleks yang dapat mengenai hampir semua sistem organ dan memiliki manifestasi klinis yang bervariasi. Penyakit lupus merupakan penyakit kelebihan kekebalan tubuh. Sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit yang dominan terjadi pada wanita (Dipiro, et al., 2005). SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh. Lupus eritematosus sistemik merupakan prototipe dari penyakit autoimun  sistemik dimana autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya sendiri. Karakteristik  primer peyakit ini berupa kelemahan, nyeri sendi, dan traum berulang pada pembuluh darah. Lupus eritematosus sistemik  melibatkan hampir semua organ, namun paling sering mengenai  kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung dan ginjal.
Kriteria klasifikasi Lupus Sistemik Erythematosus (Dipiro, et al., 2008) :
Kriteria
Batasan
Ruam malar
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial
Ruam diskoid
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan fotikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Fotosensifitas
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
Arthritis
Arthritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis
ü  Pleuritis - Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritik friction yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura
atau
ü  Perikarditis – Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapatbukti effusi pericardium
Gangguan renal
a.       Proteinuria menetap > 50 gram perhari atau > 3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
Atau
b.      Silinder sekunder : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan neurologi
a.       Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan dan gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
atau
b.      Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan dan gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidak seimbangan elektrolit)
Gangguan hematologik
a.       Anemia hemolitik dengan retikulosis
atau
b.      Leukopenia < 4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
c.       Limfofenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
d.      Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan obat-obatan.
Gangguan imunologik
a.       Anti DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal.
atau
b.      Anti-Sm:terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm
atau
c.       Temuan posistif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas :
1)      Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM
2)      Tes lupus anti koagulanpositif menggunakan metoda standar, atau
3)      Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema pollidium atau tes fluoresensi absorbsi antibodi treponema
Antibodi antinuklear positif (ANA)
Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu  perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat
Ket :
*klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
Lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul :
ü  Lupus Ringan
Manifestasi yang umum adalah nyeri sendi, ruam, sensitif terhadap cahaya matahari, sariawan di mulut, Raynaud’s syndrome (perubahan warna pada ujung jari akibat suhu dingin), rambut rontok, dan kelelahan. Seringkali gejala tersebut cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar matahari dengan menggunakan tabir surya. Hidroksikloroquin umumnya digunakan dalam gejala ini. Kelelahan merupakan gejala lain dari tingkatan ini yang terkadang menjadi alasan digunakannya steroid dosis rendah, walaupun hasilnya kadang tidak maksimal. Nyeri sendi atau ruam kulit dapat juga menggunakan dosis tersebut. Dosis steroid yang tinggi harus dihindari jika resiko efek samping yang timbul cenderung lebih besar dari manfaatnya. Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam membuat keputusan pemberian steroid karena efek samping obat lebih umum terjadi pada orang dengan lupus dibandingkan populasi lainnya. Pola hidup sehat (makanan sehat dan olah raga ringan yang teratur) juga sangat dianjurkan.


ü   Lupus Sedang
Tingkatan ini meliputi pleuritis (radang selaput paru), perikarditis (radang selaput jantung), ruam berat dan manifestasi darah seperti trombositopenia atau leukopenia.
Dalam kasus ini, terapi steroid biasanya sudah dibutuhkan, namun dengan penggunaan dosis yang cukup untuk mengendalikan penyakit dan kemudian menguranginya menjadi dosis pemeliharaan serendah mungkin. Agak sulit untuk menstandarisasi dosis, namun pada umumnya Pleuritis dapat dikontrol dengan 20 mg prednisolon perhari, kelainan darah membutuhkan dosis 40 mg atau lebih. Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan steroid, tapi kadang obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine dan Methotrexate. Siklosporin juga dapat digunakan khususnya dalam pengobatan trombositopenia, tetapi karena kecendrungan menyebabkan hipertensi dan merusak fungsi ginjal harus digunakan secara hati-hati. Obat-obat immunosupresan ini membutuhkan waktu 1-3 bulan sampai efeknya muncul, sehingga dalam periode tersebut steroid masih dibutuhkan dalam dosis yang cukup untuk mengontrol penyakit. Jika pasien sudah dapat distabilkan dengan obat imunosupresan, dosis steroid harus segera diturunkan ke dosis terendah untuk pengendalian penyakit.
ü   Lupus Berat
Ginjal, SSP dan manifestasi kulit berat atau kelainan darah berat termasuk ke dalam tingkatan ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini dengan tambahan obat immunosupresan. Prednisolon atau metilprednisolon intravena mungkin dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit ini. Azathioprin, methotrexate, atau mychophenolate dapat digunakan sebagai imunosupresif dan dapat mengurangi dosis steroid yang diperlukan.
2.         Etiologi
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian. Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan. Etiologi SLE disebabkan pertumbuhan autobodi yang tidak diketahui. Namun, beberapa faktor penyebab lupus disebabkan oleh beberapa hal diantaranya genetik, faktor lingkungan dan faktor hormonal. Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit. Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi klinik yang berbeda)  sedangkan non-identik 2-9%. Jika seorang ibu menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir menunjukkan adanya peran dari gen-gen yang mengkode  unsur-unsur sistem imun.
Faktor lingkungan dapat menyebabkan SLE menajdi aktif, diantaranya sinar matahari ( sinar ultraviolet ), obat – obatan, bahan kimia seperti hydrazin (terdapat dalam tembakau) dan amina aromatik (dalam pewarna rambut), diet, estrogen dan infeksi virus atau bakteri. Penyebab SLE lainnya yaitu hormon, secara umum estrogen dapat meningkatkan produksi autoimunitas dan androgen dapat menghambat autoimunitas. Wanita yang menderita SLE biasanya memiliki hormon androgen yang rendah. Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun (Dipiro,et al., 2005).


3.         Patofisiologi
SLE mempunyai gejala spektrum yang besar pada sistem organ. Dalam perkembangan SLE dapat terjadi karena produksi autoantibodi yang berlebih dan tidak normal dalam pembentukan kompleks imun. Hasil produksi autoantibodi yang berlebihan berasal dari  β-limfosit yang hiperaktif. Beberapa mekanisme yang menyebabkan hiperaktivitas sel B, termasuk kehilangan kekebalan tubuh dan beban antigen yang tinggi yang terdiri dari lingkungan antigen dan diberikan oleh sel B atau spesifik sel antigen (APC), perpindahan sel T-helper (Th1), sel Th2 yang berlebihan untuk meningkatkan produksi antibodi sel B dan menahan sel B. Penurunan proses regulasi kekebalan lain melibatkan limfosit T ( sel T suppressor), sitokin (misalnya interleukin, interferon-γ, nekrosis faktor α, faktor pertumbuhan dan sel pembunuh alami yang mungkin terlibat. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk tertuju pada antigen yang terletak pada nukleoplasma. Sasaran antigen ini yaitu DNA, protein histon dan non histon. Sebagian diantaranya dalam keadaan alami yang berbentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Antibodi ini disebut juag dengan ANA (Anti Nuclear Antibody). Dengan antigennya, ANA akan membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi, sehingga kompleks imun pada SLE akan terganggu. Dengan antigen yang spesifik, ANA akan membentuk kompleks imun yang tersebar dalam sirkulasi. Sehingga penangan kompleks imun pada SLE terganggu. Gangguan ini memungkinkan terbentuknya kompleks imun yang berada pada luar sistem mononuklear fagosit. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai organ sehingga terjadi berbagai gangguan pada organ tersebut. Selain itu gangguan ini juga dapat menyebabkan terjadinya radang pada organ tersebut, seperti pada ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.
Biasanya pasien SLE memiliki lebih dari satu spesifik antigen antinuklear antibodi yang terdapat di dalam serum dan jaringan pasien. Beberapa antibodi ini terdapat unsur nuklear seperti untai ganda, DNA (dsDNA), untai tunggal atau terdenaturasi, DNA (ssDNA) dan RNA. Empat antigen RNA yang sering terjadi pada SLE yaitu Smith (Sm) antigen, yang punya ribonukleoprotein yang kecil (snRNP), Ro (SS-A) antigen dan La (SS-B) antigen. Kromatin dan nukleosom merupakan komponen nuklear yang penting dalam pembentukan antibodi antinuklear pada pasien lupus. Selain itu antibodi juga ditujukan pada bagian fosfolipid yang terdapat pada aktivator kompleks protombin dan terhadap cadiolipin. Antikoagulan lupus dan antibodicardiolipin merupakan dua jenis utama dalam kelompok yang disebut autoantibodi dan antibodi antifosfolipid.
4.         Persentasi klinik
Namun sebagian pasien SLE, memiliki follow up yang berbeda-beda. Tanda – tanda spesifik dan gejala seperti kelelahan, demam, anoreksia dan penurunan berat badan sering terlihat pada pasien SLE ini. Pada muskoskeletal (misalnya arthralgia, mialgia dan arthritis) umumnya terjadi pada awal penyakit. Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku terjadi pada pagi hari.
Manifestasi klinik pada kulit yang melibatkan sistem muskuloskeletal adalah ruam kupu-kupu yang terdapat pada bagian wajah. Ruam kupu kupu tersebut akan terlihat setelah pasien terpapar sianr matahari langsung. Bahkan, umunya fotosensifitas banyak terjadi pada pasien SLE. Karakteristik lesi kulit pada lupus diskoid terjadi pada 10% sampai 20% dan dapat terjadi tanpa bukti klinis atau serologis. Beberapa gejala klinis lainnya yang terdapat pada kulit yaitu vaskulitis, livedo reticularis, periungual eritema dan alopecia.
Gejala yang lain terjadi pada SLE adalah pada paru – paru seperti radang selaput dada, batuk, dyspnea dan pleuritis. Pada lupus pneumonitis dapat terjadi demam, dyspnea, tachypnea, batuk. Lupus pneumonitis merupakan manifestasi umum dari SLE yang sulit dibedakan dengan pneumonia menular. Manifestasi klinik pada jantung penderita SLE dapat dilihat dengan perubahan yang terjadi pada perubahan elektrokardiografi atau penyakit pada katup jantung. Terapi kortikosteroid dan penyakit ginjal juga merupakan faktor resiko jantung. Meskipun hipertensi, obesitas dan hiperlipidemia umumnya juga terjadi pada pasien SLE. Selain itu, penelitian lain melaporkan bahwa pasien dengan yang menggunakan prednison dalam jangka panjang akan terjadi pembentukan sedikit plak pada penderita SLE.
Manifestasi SLE pada neuropsikiatri terjadi seperti sakit kepala, psikosis, depresi, neuropati perifer, gangguan kognitif. Umumnya depresi dan kecemasan sering trjaddi pada pasien SLE. Selain itu, manifestasi yang berhubungan dengan gastrointestinal yang spesifik untuk lupus adalah dyspepsia, nyeri perut, mual dan sulit menelan. Hepatitis dan pankreatitis juga dapat terjadi pada penderita SLE ini.
Anemia juga banyak ditemukan pada pasien SLE ini. Biasanya berupa peradangan kronis dengan normokromik ringan. Beberapa pasien juga dapat menderita anemia hemolitik, biasanya ringan terjadi dan hanya terjadi pada sebagian pasien SLE. Trombositopenia juga dapat terjadi pada penderita SLE, tapi biasanya ringan dan tidak meningkatkan pendarahan. Temuan lain yang berhubungan dengan SLE adalah adanya antibodi antifosfolipid seperti antikoagulan lupus dan antibodi anticardiolipin. Namun, hanya terjadi pada 10% pada pasien SLE (Dipiro, et al., 2008).
5.         Diagnosa
SLE dapat didiagnosis dengan menggunakan tes ANA (antinuklear antibodi) yang hasilnya akan positif. Diagnosis SLE dibuat jika memenuhi paling sedikit 4 diantara 11 manifestasi berikut (kriteria dari the American Rheumatism Association) :
ü  Eritema fasial (butterfly rash)
ü  Lesi diskoid
ü  Fotosensitivitas
ü  Oral ulcers
ü  Arthritis
ü  Serositis (pleuritis or perikarditis)
ü  Gangguan ginjal (persistent proteinuria (> 0,5 g/hari) atau cellular casts)
ü  Gangguan neurologi (seizures atau psykhosis)
ü  Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia (<4000/uL) atau  limfopenia pada 2 atau lebih pemeriksaan, trombositopenia)
ü  Gangguan Immunologi (preparat sel  LE positif, jumlah anti-DNA atau anti-Sm abnormal, tes VDRL sifilis positif palsu)
ü  Abnormal ANA titer
6.         Penatalaksanaan SLE
Pengobatan untuk pasien SLE ada dua cara :
a)      Tahap gejala dan induksi yang aktif dikendalikan selama penyakit
b)      Tahap pemeliharaan selama penyakit
Selain itu, perawatan pasien SLE dengan optimal dapat meliputi pendidikan atau edukasi serta dukungan selain terapi farmakologi dan non farmakologi.
v  Terapi non Farmakologi
Beberapa terapi non farmakologi yang dapat mengurangi SLE pada pasien :
ü  Rutinitas yang seimbang antara istirahat dan olah raga, untuk menghindari kelelahan
ü  Hindari rokok, karena asap dari tembakau tersebut dapat memicu SLE pada pasien.
ü  Hindari paparan sinar matahari langsung, karena efek ulraviolet akan memperburuk pasien SLE tersebut.
v  Terapi Farmakologi
Terapi obat-obatan pada pasien SLE digunakan untuk menekan kekebalan tubuh pasien terhadap respon dan peradangan (Dipiro, et al., 2008).

1.      NSAID (Non Steroid Anti Inflamasi Drug)
Seperti dibahas sebelumnya, tanda yang paling umu pada pasien SLE ini adalah demam, arthritis dan serositis. Oleh karena itu, pengobatan awal diberikan NSAID sebagai pilihan utama, dan dosis yang diberikan pun untuk memberikan effek anti inflamasi dan dalam dosis rendah. NSAID merupakan pengobatan yang efektif untuk mengendalikan tingkatan yang ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping. NSAID juga dapat meningkatkan resiko iritasi lambung dan tukak lambung. Selain itu, NSAID juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan glomerulus, filtrasi aktif dan harus hati-hati digunakan pada pasien dengan nefritis.
2.      Antimalaria
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hydroxyklorokuin telah digunakan dengan sukses dalam pengobatan lupus diskoid. Terapi antimalaria ini dapat mengendalikan eksaserbasi penyakit. Namun, hydroxyklorokuin lebih efektif digunakan dibandingkan dengan klorokuin karena memiliki efek samping yang lebih rendah pada mata. Secara umum, manifestasi dari SLE yang dapat  diobati dengan antimalaria adalah  artralgia, pleuritis, peradangan ringan, kelelahan dan leukopenia. Selama dosis tidak melebihi, resiko yang terjadi pada mata tersebut sangat kecil. Dan pasien dianjurkan untuk memeriksakan mata setiap 6 bulan selama pengobatan. Mekanisme kerja dari obat antimalaria ini yaitu dapat mengganggu aktifasi limfosit-T. Obat ini juga memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek antiplatelet sederhana, penurunan sensivitas terhadap sinar ultraviolet. Dosis dan lama terapi tergantung padda respon pasien. Dosis yang disarankan pada SLE yaitu hydroxychloroquine 200 hingga 400 mg / hari dan chloroquine 250 sampai 500 mg / hari. Setelah 1 atau 2 tahun pengobatan, maka dosis diturunkan secara tappering off.
Efek samping dari obat ini diantaranya sakit kepala, gelisah, insomnia, ruam, pigmentasi perubahan kulit dan rambut dan toksisitas mata reversibel seperti gangguan pada kornea.
3.      Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid dapat digunakan dalam terapi untuk SLE. Pada lupus nefritis dapat dilakukan dengan menggunakan terapi kortikosteroid. Seorang pasien tidak langsung memerlukan terapi kortikosteroid, tapi apabila tidak menimbulkan respon terhadap NSAID atau antimalaria baru digunakan kortikosteroid. Tujuan dari pengobatan dengan kortikosteroid pada SLE yaitu untuk menekan dan mempertahankan penyakit yang aktif dengan dosis serendah mungkin. Pada pasien dengan penyakit yang ringan, terapi dosis rendah (Prednison 10-20 mg/hari), tetapi pada pasien yang dengan penyakit lebih parah, memerlukan dosis yang lebih tinggi (Prednison 1-2 mg/kg BB sehari). Dan setelah efek dicapai, maka dosis diturnkan secara berngsur-angsur untuk menekan penyakit lanjutan. Selain itu, pada pengguanaan kortikosteroid ini juga harus diperrtimbangkan hal yang lain seperti infeksi, hipertensi, penyakit arterosklerosis, diabetes, obesitas.

4.      Cytotoxic
· Azathioprine
Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan: mengurangi biosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan tubuh. Mual adalah efek samping yang umum terjadi, sedangkan leukopenia dan trombositopenia terjadi hanya pada sekitar 4% kasus. Pemantauan efek obat bisa menjadi masalah jika odapus sudah memiliki gejala klinis tersebut. Azathioprine dianggap aman digunakan selama kehamilan.
· Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan siklofosfamid, MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau alopecia (kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada azathioprine namun kontra indikasi dalam kehamilan, sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia subur bila disertai penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan. Karena panjangnya waktu paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam minggu sebelum konsepsi yang direncanakan.
· Methotrexate
Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk modulasi produksi sitokin. Digunakann seminggu sekali dan jika diperlukan diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak pada hari yang sama dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi risiko efek samping. Mual dan sariawan cukup sering terjadi, leukopenia, trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormal kadang-kadang dapat terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selama kehamilan .

· Cyclosporin
Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan penurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan kreatinin serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi sehingga pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting. Obat ini dianggap aman untuk digunakan selama kehamilan dalam dosis efektif terendah dengan memonitor secara seksama tekanan darah dan fungsi ginjal.
· Cyclophosphamide
Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir. Telah terbukti meningkatkan efek pengobatan terhadap pasien lupus ginjal dibandingkan hanya diberikan steroid saja. Obat ini juga banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan penyakit paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian atau sebagai infus intravena. Sesuai dengan keparahan penyakit.
Efek samping utama yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko infeksi, kegagalan fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan peningkatan risiko keganasan. Obat ini teratogenik dan mengganggu fungsi organ reproduksi baik pada pria maupun wanita. Sehingga penggunaan obat harus dihentikan tiga bulan sebelum konsepsi.
· Rituximab
Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan kombinasi dengan methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan penurunan tingkat autoantibodi. Rituximab telah menyebabkan kemajuan dramatis pada beberapa odapus. Saat ini Rituximab termasuk salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus.

Tidak ada komentar:

Google Ads