1.
Pendahuluan
Lupus
eritematosus sistemik adalah penyakit autoimun kompleks yang dapat mengenai
hampir semua sistem organ dan memiliki manifestasi klinis yang bervariasi.
Penyakit lupus merupakan penyakit kelebihan kekebalan tubuh. Sistemik lupus
erythematosus (SLE) adalah penyakit yang dominan terjadi pada wanita (Dipiro, et al., 2005). SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang
multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang
mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh
terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh. Lupus
eritematosus sistemik merupakan prototipe dari penyakit autoimun
sistemik dimana autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya sendiri. Karakteristik primer peyakit ini berupa
kelemahan, nyeri sendi, dan traum berulang pada pembuluh darah. Lupus
eritematosus sistemik melibatkan hampir semua organ, namun paling sering
mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung dan ginjal.
Kriteria
klasifikasi Lupus Sistemik Erythematosus (Dipiro, et al., 2008) :
Kriteria
|
Batasan
|
Ruam malar
|
Eritema
yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak
melibatkan lipat nasolabial
|
Ruam diskoid
|
Plak
eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan fotikular. Pada SLE lanjut
dapat ditemukan parut atrofik.
|
Fotosensifitas
|
Ruam kulit
yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis
pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
|
Ulkus mulut
|
Ulkus
mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
|
Arthritis
|
Arthritis
non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
|
Serositis
|
ü Pleuritis
- Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritik friction yang didengar oleh dokter
pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura
atau
ü Perikarditis
– Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapatbukti effusi pericardium
|
Gangguan renal
|
a.
Proteinuria menetap > 50 gram perhari atau >
3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
Atau
b.
Silinder sekunder : dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
|
Gangguan neurologi
|
a.
Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan dan
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan
elektrolit)
atau
b.
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan dan
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidak seimbangan
elektrolit)
|
Gangguan hematologik
|
a.
Anemia hemolitik dengan retikulosis
atau
b.
Leukopenia < 4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
atau
c.
Limfofenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
atau
d.
Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
obat-obatan.
|
Gangguan imunologik
|
a.
Anti DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
yang abnormal.
atau
b.
Anti-Sm:terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm
atau
c.
Temuan posistif terhadap antibodi antifosfolipid
yang didasarkan atas :
1)
Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM
2)
Tes lupus anti koagulanpositif menggunakan metoda
standar, atau
3)
Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema
pollidium atau tes fluoresensi absorbsi antibodi treponema
|
Antibodi antinuklear positif (ANA)
|
Titer
abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi
atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat
yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat
|
Ket :
*klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4
dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang
waktu.
Lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang,
dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul :
ü Lupus
Ringan
Manifestasi yang umum adalah nyeri sendi, ruam,
sensitif terhadap cahaya matahari, sariawan di mulut, Raynaud’s syndrome (perubahan
warna pada ujung jari akibat suhu dingin), rambut rontok, dan kelelahan.
Seringkali gejala tersebut cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi
paparan sinar matahari dengan menggunakan tabir surya. Hidroksikloroquin umumnya
digunakan dalam gejala ini. Kelelahan merupakan gejala lain dari tingkatan ini
yang terkadang menjadi alasan digunakannya steroid dosis rendah, walaupun
hasilnya kadang tidak maksimal. Nyeri sendi atau ruam kulit dapat juga
menggunakan dosis tersebut. Dosis steroid yang tinggi harus dihindari jika
resiko efek samping yang timbul cenderung lebih besar dari manfaatnya. Hal ini
penting untuk dipertimbangkan dalam membuat keputusan pemberian steroid karena
efek samping obat lebih umum terjadi pada orang dengan lupus dibandingkan populasi
lainnya. Pola hidup sehat (makanan sehat dan olah raga ringan yang teratur)
juga sangat dianjurkan.
ü
Lupus Sedang
Tingkatan ini meliputi pleuritis (radang selaput
paru), perikarditis (radang selaput jantung), ruam berat dan manifestasi darah seperti
trombositopenia atau leukopenia.
Dalam kasus ini, terapi steroid biasanya sudah
dibutuhkan, namun dengan penggunaan dosis yang cukup untuk mengendalikan
penyakit dan kemudian menguranginya menjadi dosis pemeliharaan serendah
mungkin. Agak sulit untuk menstandarisasi dosis, namun pada umumnya Pleuritis
dapat dikontrol dengan 20 mg prednisolon perhari, kelainan darah membutuhkan dosis
40 mg atau lebih. Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan steroid,
tapi kadang obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine dan Methotrexate.
Siklosporin juga dapat digunakan khususnya dalam pengobatan trombositopenia,
tetapi karena kecendrungan menyebabkan hipertensi dan merusak fungsi ginjal
harus digunakan secara hati-hati. Obat-obat immunosupresan ini membutuhkan
waktu 1-3 bulan sampai efeknya muncul, sehingga dalam periode tersebut steroid
masih dibutuhkan dalam dosis yang cukup untuk mengontrol penyakit. Jika pasien
sudah dapat distabilkan dengan obat imunosupresan, dosis steroid harus segera diturunkan
ke dosis terendah untuk pengendalian penyakit.
ü
Lupus Berat
Ginjal, SSP dan
manifestasi kulit berat atau kelainan darah berat termasuk ke dalam tingkatan
ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini dengan tambahan obat immunosupresan.
Prednisolon atau metilprednisolon intravena mungkin dibutuhkan untuk
mengendalikan penyakit ini. Azathioprin, methotrexate, atau mychophenolate
dapat digunakan sebagai imunosupresif dan dapat mengurangi dosis steroid yang
diperlukan.
2.
Etiologi
Penyakit
Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum
wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai
peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus
(SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian. Penyakit Sistemik Lupus
Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan. Etiologi SLE disebabkan
pertumbuhan autobodi yang tidak diketahui. Namun, beberapa faktor penyebab
lupus disebabkan oleh beberapa hal diantaranya genetik, faktor lingkungan dan
faktor hormonal. Faktor genetik memegang peranan penting dalam
kerentanan dan ekspresi penyakit. Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap
pasien memiliki manifestasi klinik yang berbeda) sedangkan
non-identik 2-9%. Jika seorang ibu menderita
SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang sama
adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir menunjukkan
adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun.
Faktor lingkungan dapat menyebabkan SLE
menajdi aktif, diantaranya sinar matahari ( sinar ultraviolet ), obat – obatan,
bahan kimia seperti hydrazin (terdapat dalam tembakau) dan amina aromatik
(dalam pewarna rambut), diet, estrogen dan infeksi virus atau bakteri. Penyebab
SLE lainnya yaitu hormon, secara umum estrogen dapat meningkatkan produksi
autoimunitas dan androgen dapat menghambat autoimunitas. Wanita yang menderita
SLE biasanya memiliki hormon androgen yang rendah. Penelitian
lain menyebutkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun
(Dipiro,et al., 2005).
3.
Patofisiologi
SLE mempunyai gejala spektrum yang besar
pada sistem organ. Dalam perkembangan SLE dapat terjadi karena produksi
autoantibodi yang berlebih dan tidak normal dalam pembentukan kompleks imun.
Hasil produksi autoantibodi yang berlebihan berasal dari β-limfosit yang hiperaktif. Beberapa
mekanisme yang menyebabkan hiperaktivitas sel B, termasuk kehilangan kekebalan
tubuh dan beban antigen yang tinggi yang terdiri dari lingkungan antigen dan
diberikan oleh sel B atau spesifik sel antigen (APC), perpindahan sel T-helper
(Th1), sel Th2 yang berlebihan untuk meningkatkan produksi antibodi sel B dan
menahan sel B. Penurunan proses regulasi kekebalan lain melibatkan limfosit T (
sel T suppressor), sitokin (misalnya interleukin, interferon-γ, nekrosis faktor
α, faktor pertumbuhan dan sel pembunuh alami yang mungkin terlibat. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Pada SLE, autoantibodi yang
terbentuk tertuju pada antigen yang terletak pada nukleoplasma. Sasaran antigen
ini yaitu DNA, protein histon dan non histon. Sebagian diantaranya dalam
keadaan alami yang berbentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang
disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Antibodi ini disebut juag dengan ANA
(Anti Nuclear Antibody). Dengan antigennya, ANA akan membentuk kompleks imun
yang beredar dalam sirkulasi, sehingga kompleks imun pada SLE akan terganggu.
Dengan antigen yang spesifik, ANA akan membentuk kompleks imun yang tersebar
dalam sirkulasi. Sehingga penangan kompleks imun pada SLE terganggu. Gangguan
ini memungkinkan terbentuknya kompleks imun yang berada pada luar sistem
mononuklear fagosit. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai organ
sehingga terjadi berbagai gangguan pada organ tersebut. Selain itu gangguan ini
juga dapat menyebabkan terjadinya radang pada organ tersebut, seperti pada
ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.
Biasanya pasien SLE memiliki lebih dari satu spesifik antigen
antinuklear antibodi yang terdapat di dalam serum dan jaringan pasien. Beberapa
antibodi ini terdapat unsur nuklear seperti untai ganda, DNA (dsDNA), untai
tunggal atau terdenaturasi, DNA (ssDNA) dan RNA. Empat antigen RNA yang sering
terjadi pada SLE yaitu Smith (Sm) antigen, yang punya ribonukleoprotein yang
kecil (snRNP), Ro (SS-A) antigen dan La (SS-B) antigen. Kromatin dan nukleosom
merupakan komponen nuklear yang penting dalam pembentukan antibodi antinuklear
pada pasien lupus. Selain itu antibodi juga ditujukan pada bagian fosfolipid
yang terdapat pada aktivator kompleks protombin dan terhadap cadiolipin.
Antikoagulan lupus dan antibodicardiolipin merupakan dua jenis utama dalam
kelompok yang disebut autoantibodi dan antibodi antifosfolipid.
4.
Persentasi
klinik
Namun sebagian pasien SLE, memiliki
follow up yang berbeda-beda. Tanda – tanda spesifik dan gejala seperti
kelelahan, demam, anoreksia dan penurunan berat badan sering terlihat pada
pasien SLE ini. Pada muskoskeletal (misalnya arthralgia, mialgia dan arthritis)
umumnya terjadi pada awal penyakit. Artralgia,
artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku terjadi pada pagi hari.
Manifestasi klinik pada
kulit yang melibatkan sistem muskuloskeletal adalah ruam kupu-kupu yang
terdapat pada bagian wajah. Ruam kupu kupu tersebut akan terlihat setelah
pasien terpapar sianr matahari langsung. Bahkan, umunya fotosensifitas banyak
terjadi pada pasien SLE. Karakteristik lesi kulit pada lupus diskoid terjadi
pada 10% sampai 20% dan dapat terjadi tanpa bukti klinis atau serologis. Beberapa
gejala klinis lainnya yang terdapat pada kulit yaitu vaskulitis, livedo
reticularis, periungual eritema dan alopecia.
Gejala yang lain
terjadi pada SLE adalah pada paru – paru seperti radang selaput dada, batuk,
dyspnea dan pleuritis. Pada lupus pneumonitis dapat terjadi demam, dyspnea,
tachypnea, batuk. Lupus pneumonitis merupakan manifestasi umum dari SLE yang
sulit dibedakan dengan pneumonia menular. Manifestasi klinik pada jantung
penderita SLE dapat dilihat dengan perubahan yang terjadi pada perubahan
elektrokardiografi atau penyakit pada katup jantung. Terapi kortikosteroid dan
penyakit ginjal juga merupakan faktor resiko jantung. Meskipun hipertensi,
obesitas dan hiperlipidemia umumnya juga terjadi pada pasien SLE. Selain itu,
penelitian lain melaporkan bahwa pasien dengan yang menggunakan prednison dalam
jangka panjang akan terjadi pembentukan sedikit plak pada penderita SLE.
Manifestasi SLE pada
neuropsikiatri terjadi seperti sakit kepala, psikosis, depresi, neuropati
perifer, gangguan kognitif. Umumnya depresi dan kecemasan sering trjaddi pada
pasien SLE. Selain itu, manifestasi yang berhubungan dengan gastrointestinal
yang spesifik untuk lupus adalah dyspepsia, nyeri perut, mual dan sulit
menelan. Hepatitis dan pankreatitis juga dapat terjadi pada penderita SLE ini.
Anemia
juga banyak ditemukan pada pasien SLE ini. Biasanya berupa peradangan kronis
dengan normokromik ringan. Beberapa pasien juga dapat menderita anemia
hemolitik, biasanya ringan terjadi dan hanya terjadi pada sebagian pasien SLE.
Trombositopenia juga dapat terjadi pada penderita SLE, tapi biasanya ringan dan
tidak meningkatkan pendarahan. Temuan lain yang berhubungan dengan SLE adalah
adanya antibodi antifosfolipid seperti antikoagulan lupus dan antibodi
anticardiolipin. Namun, hanya terjadi pada 10% pada pasien SLE (Dipiro, et al., 2008).
5.
Diagnosa
SLE dapat didiagnosis dengan menggunakan
tes ANA (antinuklear antibodi) yang hasilnya akan positif. Diagnosis
SLE dibuat jika memenuhi paling sedikit 4 diantara 11 manifestasi berikut
(kriteria dari the American Rheumatism Association) :
ü Eritema
fasial (butterfly rash)
ü Lesi diskoid
ü Fotosensitivitas
ü Oral ulcers
ü Arthritis
ü Serositis
(pleuritis or perikarditis)
ü Gangguan
ginjal (persistent proteinuria (> 0,5 g/hari) atau cellular casts)
ü Gangguan
neurologi (seizures atau psykhosis)
ü Gangguan
hematologi (anemia hemolitik, leukopenia (<4000/uL) atau limfopenia
pada 2 atau lebih pemeriksaan, trombositopenia)
ü Gangguan
Immunologi (preparat sel LE positif, jumlah anti-DNA atau anti-Sm
abnormal, tes VDRL sifilis positif palsu)
ü Abnormal ANA
titer
6.
Penatalaksanaan
SLE
Pengobatan untuk pasien SLE ada dua cara
:
a) Tahap
gejala dan induksi yang aktif dikendalikan selama penyakit
b) Tahap
pemeliharaan selama penyakit
Selain itu, perawatan pasien SLE dengan
optimal dapat meliputi pendidikan atau edukasi serta dukungan selain terapi
farmakologi dan non farmakologi.
v Terapi non Farmakologi
Beberapa
terapi non farmakologi yang dapat mengurangi SLE pada pasien :
ü Rutinitas
yang seimbang antara istirahat dan olah raga, untuk menghindari kelelahan
ü Hindari
rokok, karena asap dari tembakau tersebut dapat memicu SLE pada pasien.
ü Hindari
paparan sinar matahari langsung, karena efek ulraviolet akan memperburuk pasien
SLE tersebut.
v Terapi Farmakologi
Terapi obat-obatan pada pasien SLE
digunakan untuk menekan kekebalan tubuh pasien terhadap respon dan peradangan
(Dipiro, et al., 2008).
1.
NSAID
(Non Steroid Anti Inflamasi Drug)
Seperti dibahas sebelumnya, tanda yang
paling umu pada pasien SLE ini adalah demam, arthritis dan serositis. Oleh
karena itu, pengobatan awal diberikan NSAID sebagai pilihan utama, dan dosis
yang diberikan pun untuk memberikan effek anti inflamasi dan dalam dosis
rendah. NSAID merupakan pengobatan yang efektif untuk mengendalikan tingkatan
yang ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering menimbulkan
efek samping. NSAID juga dapat meningkatkan resiko iritasi lambung dan tukak
lambung. Selain itu, NSAID juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi
ginjal dan glomerulus, filtrasi aktif dan harus hati-hati digunakan pada pasien
dengan nefritis.
2.
Antimalaria
Obat antimalaria seperti klorokuin dan
hydroxyklorokuin telah digunakan dengan sukses dalam pengobatan lupus diskoid.
Terapi antimalaria ini dapat mengendalikan eksaserbasi penyakit. Namun,
hydroxyklorokuin lebih efektif digunakan dibandingkan dengan klorokuin karena
memiliki efek samping yang lebih rendah pada mata. Secara umum, manifestasi
dari SLE yang dapat diobati dengan antimalaria adalah artralgia, pleuritis, peradangan ringan, kelelahan dan leukopenia. Selama dosis tidak
melebihi, resiko yang terjadi pada mata tersebut sangat kecil. Dan pasien
dianjurkan untuk memeriksakan mata setiap 6 bulan selama pengobatan. Mekanisme
kerja dari obat antimalaria ini yaitu dapat mengganggu aktifasi limfosit-T.
Obat ini juga memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek
antiplatelet sederhana, penurunan sensivitas terhadap sinar ultraviolet. Dosis
dan lama terapi tergantung padda respon pasien. Dosis yang disarankan pada SLE
yaitu hydroxychloroquine 200 hingga 400 mg / hari dan chloroquine
250 sampai 500 mg / hari. Setelah 1 atau 2 tahun pengobatan, maka dosis diturunkan
secara tappering off.
Efek samping
dari obat ini diantaranya sakit kepala, gelisah, insomnia, ruam, pigmentasi
perubahan kulit dan rambut dan toksisitas mata reversibel seperti gangguan pada
kornea.
3.
Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid dapat digunakan
dalam terapi untuk SLE. Pada lupus nefritis dapat dilakukan dengan menggunakan
terapi kortikosteroid. Seorang pasien tidak langsung memerlukan terapi
kortikosteroid, tapi apabila tidak menimbulkan respon terhadap NSAID atau
antimalaria baru digunakan kortikosteroid. Tujuan dari pengobatan dengan
kortikosteroid pada SLE yaitu untuk menekan dan mempertahankan penyakit yang
aktif dengan dosis serendah mungkin. Pada pasien dengan penyakit yang ringan,
terapi dosis rendah (Prednison 10-20 mg/hari), tetapi pada pasien yang dengan
penyakit lebih parah, memerlukan dosis yang lebih tinggi (Prednison 1-2 mg/kg
BB sehari). Dan setelah efek dicapai, maka dosis diturnkan secara
berngsur-angsur untuk menekan penyakit lanjutan. Selain itu, pada pengguanaan
kortikosteroid ini juga harus diperrtimbangkan hal yang lain seperti infeksi,
hipertensi, penyakit arterosklerosis, diabetes, obesitas.
4.
Cytotoxic
· Azathioprine
Azathioprine (Imuran) adalah
antimetabolit imunosupresan: mengurangi biosintesis purin yang diperlukan untuk
perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan tubuh. Mual adalah efek
samping yang umum terjadi, sedangkan leukopenia dan trombositopenia terjadi
hanya pada sekitar 4% kasus. Pemantauan efek obat bisa menjadi masalah jika
odapus sudah memiliki gejala klinis tersebut. Azathioprine dianggap aman
digunakan selama kehamilan.
· Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat
sintesis purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan
siklofosfamid, MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung telur)
dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau alopecia (kebotakan).
Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada
azathioprine namun kontra indikasi dalam kehamilan, sehingga hanya boleh
digunakan pada wanita usia subur bila disertai penggunaan kontrasepsi yang
dapat diandalkan. Karena panjangnya waktu paruh, pengobatan harus dihentikan
sedikitnya enam minggu sebelum konsepsi yang direncanakan.
· Methotrexate
Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang
diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki banyak
efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk modulasi produksi sitokin.
Digunakann seminggu sekali dan jika diperlukan diberikan pula asam folat sekali
seminggu (tidak pada hari yang sama dengan methotrexate) secara rutin untuk
mengurangi risiko efek samping. Mual dan sariawan cukup sering terjadi,
leukopenia, trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormal kadang-kadang
dapat terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selama kehamilan .
· Cyclosporin
Cyclosporin menghambat
aksi kalsineurin sehingga menyebabkan penurunan fungsi efektor limfosit T.
Hipertensi dan peningkatan kreatinin serum merupakan efek samping yang paling
sering terjadi sehingga pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting.
Obat ini dianggap aman untuk digunakan selama kehamilan dalam dosis efektif
terendah dengan memonitor secara seksama tekanan darah dan fungsi ginjal.
· Cyclophosphamide
Obat ini telah digunakan secara luas untuk
pengobatan lupus yang mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir.
Telah terbukti meningkatkan efek pengobatan terhadap pasien lupus ginjal
dibandingkan hanya diberikan steroid saja. Obat ini juga banyak digunakan untuk
pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan penyakit paru berat. Dapat diberikan
dalam dosis oral harian atau sebagai infus intravena. Sesuai dengan keparahan
penyakit.
Efek samping utama yang harus diperhatikan adalah
peningkatan risiko infeksi, kegagalan fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih,
dan peningkatan risiko keganasan. Obat ini teratogenik dan mengganggu fungsi organ
reproduksi baik pada pria maupun wanita. Sehingga penggunaan obat harus
dihentikan tiga bulan sebelum konsepsi.
· Rituximab
Rituximab bekerja
pada sel B yang diduga merupakan sel esensial dalam perkembangan lupus.
Sekarang ini Rituximab sering diberikan kombinasi dengan methotrexate. Setelah
infus rituximab ditemukan penurunan tingkat autoantibodi. Rituximab telah
menyebabkan kemajuan dramatis pada beberapa odapus. Saat ini Rituximab termasuk
salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar