Reseptor adalah bagian dari sistem syaraf yang
berperan sebagai penerima rangsangan dan sekaligus sebagai pengubah rangsangan
yang diterimanya menjadi impuls sensoris, impuls sensoris inilah yang
dikirimkan ke sistem saraf pusat. Stimulasi pada suatu reseptor merupakan
informasi mengenai terjadinya perubahan dari lingkungan eksternal dan internal
tubuh terhadap sistem saraf pusat, selanjutnya sistem saraf pusat akan
mengolahnya dan memberikan jawaban berupa pengaturan yang sesuai, sehingga
kelestarian hidup tetap terjamin dan terpelihara kelangsungannya. Stimulus
merupakan suatu bentuk energi yang banyak ragamnya di alam ini.
Berdasarkan strukturnya, reseptor di bagi menjadi dua
yaitu :
-
Reseptor saraf
Merupakan reseptor saraf yang paling sederhana yang
hanya berupa ujung dendrite dari suatu sel saraf (tidak memiliki selubung
mielin) dapat ditemukan pada reseptor nyeri nosiseptor
-
Reseptor nonsaraf
Merupakan struktur saraf yang lebih rumit dapat ditemukan
dalam organ pendengaran vertebrata (berupa sel rambut) dan pada organ
penglihatan (berupa sel batang dan kerucut). Reseptor ini merupakan reseptor
khusus dan bukan reseptor saraf.
Berdasarkan
jenis rangsang yang dapat diterimanya, reseptor dapat dibedakan menjadi enam,
yaitu :
-
Kemoreseptor adalah reseptor yang menerima
rangsang berupa rangsangan zat kimia
-
Termoreseptor adalah reseptor yang menerima
rangsang yang berupa rangsangan suhu
-
Mekanoreseptor adalah reseptor yang menerima
rangsang yang berupa rangsangan mekanik
-
Fotoreseptor adalah reseptor yang menerima
rangsang yang berupa rangsangan cahaya
-
Megnetoreseptor adalah reseptor yang menerima
rangsang yang berupa rangsangan medan magnet
-
Elektroreseptor, reseptor yang menerima rangsang
yang berupa rangsangan listrik
Berdasarkan
lokasi sumber rangsang yang dapat diterimanya, reseptor dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu :
-
Interoreseptor merupakan reseptor yang berfungsi
untuk menerima rangsang dari dalam tubuh. Contoh interoreseptor ialah
kemoreseptor untuk memantau pH, kadar gula dan kadar kalsium dalam cairan
tubuh.
-
Eksteroreseptor berfungis untuk menerima
rangsang dari lingkungan
Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup, mengandung
gugus fungsional atau atom-atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan
bersifat spesifik, dapat berinteraksi secara reversibel dengan molekul obat
yang mengandung gugus fungsional spesifik, menghasilkan respons biologis yang
spesifik pula. Interaksi obat-reseptor terjadi melalui dua tahap, yaitu:
a.
Interaksi molekul obat dengan reseptor spesifik. Interaksi
ini memerlukan afinitas.
b.
Interaksi yang dapat menyebabkan perubahan konformasi
makromolekul protein sehingga timbul respons biologis.
A.
Teori Klasik
Crum, Brown dan Fraser
(1869), mengatakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa merupakan fungsi
dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis
mempunyai sifat yang karakteristik. Langley (1878), dari studi efek
antagonis dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan konsep reseptor yang
pertama kali dan kemudian dikembangkan oleh Ehrlich. Ehrlich
(1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana tentang
interaksi obat-reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixata atau obat
tidak dapat menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor.
B.
Teori Pendudukan
Clark (1926),
memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati satu sisi reseptor dan
obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebih agar tetap efektif selama
proses pembentukan kompleks. Obat akan berinteraksi dengan reseptor membentuk
kompleks obat-reseptor. Clark hanya meninjau dari segi agonis saja yang
kemudian dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari segi
antagonis. Respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat
merupakan:
1.
Rangsangan aktivitas (efek agonis)
2.
Pengurangan aktivitas (efek antagonis)
Ariens (1954) dan Stephenson
(1956), memodifikasi dan membagi interaksi obat reseptor menjadi dua tahap,
yaitu:
1.
Pembentukan kompleks obat-reseptor
2.
Menghasilkan respons biologis
Setiap
struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat menunjang
afinitas interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk menimbulkan
respons biologis sebagai akibat pembentukan kompleks obat reseptor.
Afinitas
Efikasi
O + R ----------> Kompleks O-R -----------> Respons
biologis
O + R O-R ----------> Respons
(+) : Senyawa agonis
O + R O-R ----------> Respons (-) :
Senyawa antagonis
C.
Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro
(1956), memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat berinteraksi
dengan reseptor. Paton (1961), mengatakan bahwa efek biologis dari obat
setara dengan kecepatan ikatan obat-reseptor dan bukan dari jumlah
reseptor yang didudukinya.
Asosiasi
Disosiasi
O + R
Kompleks O-R ----------> Respons biologis
Senyawa dikatakan agonis bila mempunyai kecepatan
asosiasi atau sifat mengikat reseptor besar dan disosiasi yang besar.
Senyawa dikatakn antagonis bila mempunyai
kecepatan asosiasi sangat besar sedang disosiasi nya sangat kecil.
Senyawa dikatakan agonis parsial bila kecepatan
asosiasi dan disosiasinya tidak maksimal.
D.
Teori Kesesuaian Terimbas
Menurut Koshland (1958),
ikatan enzim (E) dengan substrat (S) dapat menginduksi terjadinya perubahan
konformasi struktur enzim sehingga menyebabkan orientasi gugus-gugus aktif
enzim.
(E) + (S)
Kompleks E-S ----------->
Respons biologis
E.
Teori Ganguan Makromolekul
Belleau (1964),
memperkenalkan teori model kerja obat yang disebut teori gangguan makromolekul.
Menurut Belleau, interaksi mikromolekul obat dengan makromolekul protein
(reseptor) dapat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk konformasi reseptor
sebagai berikut:
1.
Gangguan konformasi spesifik (Specific
Conformational Perturbation = SCP)
2.
Gangguan konformasi tidak spesifik (Non Specific
Conformational Perturbation = NSCP.
Obat agonis adalah obat
yang mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah struktur reseptor menjadi
bentuk SCP sehingga menimbulkan respons biologis.
Obat
antagonis adalah obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah
struktur reseptor menjadi bentuk NSCP sehingga menimbulkan efek
pemblokan.
Pada teori
ini ikatan hidrofob merupakan faktor penunjang yang penting pada proses
pengikatan obat-reseptor.
F.
Teori Pendudukan-Aktivasi
Ariens dan Rodrigues
de Miranda (1979), mengemukakan teori pendudukan-aktivasi dari model dua
keadaan yaitu bahwa sebelum berinteraksi dengan obat, reseptor berada dalam
kesetimbangan dinamik antara dua keadaan yang berbeda fungsinya, yaitu:
1. Bentuk
teraktifkan (R*) : dapat menunjang efek biologis
2. Bentuk
istirahat (R) : tidak dapat menunjang efek biologis
G. Konsep Kurir Kedua
Reseptor dari banyak hormon berhubungan erat dengan
sistem adenil siklase. Sebagai contoh katekolamin, glukagon, hormon paratiroid,
serotonin dan histamin telah menunjukkan pengaruhnya terhadap kadar siklik-AMP
dalam intrasel, tergantung pada hambatan atau rangsangan adenil siklase. Bila
rangsangan tersebut meningkatkan kadar siklik-AMP, hormon dianggap sebagai
kurir pertama (first messenger), sedang siklik-AMP sebagai kurir kedua (second
messenger).
H. Teori
Mekanisme dan Farmakofor sebagai dasar Rancangan Obat
Teori mekanisme dan farmakofor sebagai dasar rancangan
obat dapat diilustrasikan oleh obat antihipertensi penghambat kompetitif enzim
pengubah angiotensin (Angiotensin-converting enzyme = ACE).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar