Google ads

Rabu, 06 Mei 2015

Demam Typhoid



Definisi
Demam tifoid (typhoid fever, enteric fever) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B atau C. Salmonella merupakan mikroorganisme gram negatif yang berbentuk batang, genus Salmonellae, famili Enterobactericeae.  Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan dengan gangguan kesadaran. Masa tunas demam tifoid berlangsung selama 10-14 hari. Gejala-gejala yang timbul amat bervariasi. Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, diare atau obstipasi, perasaan tidak enak di perut, batuk dan apistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang khas (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, meterokmus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis (Darmowandowo, 2006).

b.   Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi. Organisme ini dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku. Organisme ini juga mampu bertahan beberapa minggu di dalam air, es, debu, sampah kering dan pakaian, mampu bertahan di sampah mentah selama satu minggu dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur atau produk lainnya tanpa merubah warna atau bentuknya. Bakteri ini terdapat dalam kotoran, urin manusia dan juga pada makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri yang disebarkan oleh lalat (Dipiro, 2008).



c.    Patofisiologi

Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalamtubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH <2)  banyak bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus dan diusus halus tepatnya di ileum dan yeyunum akan menembus dinding usus. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, ikut aliran ke dalam kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik ke jaringan di organ hati dan limfa. Salmonella typhi mengalami multifikasi di dalam sel fagosit mononuklear, di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe. Pada periode tertentu (inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun penderita maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus akan masuk ke dalam sirkulasi darah. Dengan cara ini bakteri dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limfa, sumsum tulang, kantung empedu, payeris patch dari ileum terminal. Peran endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limfa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskuler yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Dipiro, 2008).

Gambar 1. Patofisiologi terjaninya demam tifoid

d.    Manifestasi Klinis
Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid, beberapa gejala klinis yang biasa ditemukan adalah:
1) Demam



2) Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah tertutup selaput putih, ujung dan tepinya kemerahan, perut kembung.  Hati dan limfa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga dapat diare atau normal (kepmenkes, 2006).


3) Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan yang kebanyakan berupa penurunan kesadaran ringan. Jarang terjadi koma dan gelisah (kecuali penyakitnya berat dan terlambat mendapat pengobatan). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psychosis (organic brain syndrome). Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol (kepmenkes, 2006).

4) Hepatosplenomegali 
                        Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan (kepmenkes, 2006).

e.   Diagnosis Kerja
     Untuk memastikan diagnosis perlu dikerjakan pemeriksaan laboratorium sebagai berikut :
1.    Pemeriksaan yang berguna untuk menyokong diagnosis
a.    Pemeriksaan darah tepi
Terdapat gambaran leucopenia, limfositosis relative dan aneosinofilia pada permulaan sakit.
b.    Pemeriksaan sumsum tulang
Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya  sel makrofag, sedangkan system eritropoeisis, granulopoesis dan thrombosis berkurang.



2.    Pemeriksaan laboratorium untuk membuat diagnosis
a.  Biakan empedu
Basil Salmonella thypii dapat ditemukan dalam darah penderita biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses dan mungkina akan tetap positif untuk waktu yang lama. Pemeriksaan yang positif dari sampel darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan pemeriksaan negative dari sampel urin dan feses 2 kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan tidak menjadi pembawa kuman (karier).
b.    Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Titer dapat positif karena keadaan sebagi berikut :
v  Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil Coli pathogen dalam usus.
v  Pada neonates, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat
v  Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral (Baron et al., 1994). 
                  Tes widal ada 2 metode:
·                                   Metode Tube (standard)
Titer O tinggi dan/atau terjadi kenaikan titer 4 kali lipat dengan jarak waktu 7 hari pemeriksaan pertama dan kedua ( O lebih spesifik dari H). Hasil diperoleh setelah 2 – 3 hari
·                                   Metode slide
Lebih cepat dari metodeTube, hasil selesai dalam waktu 1 hari, hasil lebih spesifik → nilai batas titer O = 1/180 dan H = 1/20
           
c.  Tes  “Enzym Linked Immuno Sorbent Assay” (ELISA), ada 2 macam:
                   deteksi antibodi, menggunakan antigen O, H dan Vi. Dapat mendeteksi      
antibodi IgA, IgM, dan IgG Salmonella typii. Dengan menggunakan protein Ag khusus dibuat tes Dot enzyme immuno Assay (Dot-EIA) dengan  menggunakan kertas nitrosellulose (tes Dipstick) :
v    Diagnosa cepat (3 – 4 jam)
v    IgM (+) → demam tifoid akut
v    IgG (+) → relaps

            Diagnosis Banding
            Bila terdapat demam yang lebih dari 1 minggu sedangkan penyakit yang dapat menerangkan penyebab demam tersebut belum jelas, perlulah dipertimbangkan pula selain tifus abdominalis, penyakit-penyakti seperti paratifoid A, B dan C, influenza, malaria, tuberculosis, dengue, pneumonia lobaris dan lain-lain.

f.  Terapi Demam Tifoid
Tujuan pengobatan secara keseluruhan adalah mempercepat penyembuhan, meminimalkan komplikasi sekaligus untuk mencegah penyebaran penyakit. Adapun penatalaksanaan terapi non-farmakologi untuk pasien demam tifoid adalah:
1) Tirah baring absolut (bedrest total)
Penderita yang demam tifoid harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama pendarahan dan perforasi. Tirah baring minimal 7 hari bebas panas atau selama 14 hari (Dipiro, 2008).
2) Diet
Diet pada penderita demam tifoid adalah diet tinggi kalori dan protein tetapi rendah serat untuk mencegah pendarahan (Dipiro, 2008).

g. Antibiotik untuk Demam Tifoid

1)      Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotika pilihan pertama untuk demam tifoid, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, efek samping serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps. Antimikroba lini pertama untuk demam tifoid adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin dan trimetroprim-sulfametoksazol (Supari, 2006). Bila pemberian salah satu anti mikroba lini pertama, dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan anti mikroba yang lain atau dipilih anti mikroba lini kedua. Antibiotik lini kedua untuk demam tifoid adalah seftriakson, sefiksim dan antibiotik golongan quinolon (Supari, 2006).
Kloramfenikol adalah antibiotik spektrum luas yang paling sering digunakan untuk terapi demam tifoid. Selain efektif, antibiotik ini juga murah dan memiliki sensitivitas yang masih tinggi, namun karena efek sampingnya yang cukup berbahaya, antibiotik ini makin jarang digunakan. Kloramfenikol dapat diberikan secara peroral ataupun intravena dengan dosis 500 mg empat kali sehari dan diberikan selama 14 hari (Dipiro, 2008).
Penggunaan
Kloramfenikol digunakan hanya pada perawatan infeksi yang serius yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang masih peka terhadap kloramfenikol. Obat ini tidak boleh digunakan sebagai profilaksis infeksi bakteri atau tidak diindikasikan untuk pengobatan flu, atau infeksi tenggorokan. Sebelum melakukan terapi menggunakan kloramfenikol, dilakukan pengumpulan spesipen dan uji identifikasi in vitro organisme penyebab infeksi. Penggunaan kloramfenikol dapat dihentikan apabila hasil tes menunjukkan organisme penyebab telah resisten terhadap kloramfenikol, atau dapat dimulai apabila bakteri/organisme peka terhadap kloramfenikol.

Penggunaan kloramfenikol pada demam tifoid
Kloramfenikol digunakan pada terapi demam tifoid yang disebabkan oleh Salmonella typhii yang peka terhadap kloramfenikol. Beragam anti infeksi telah digunakan untuk pengobatan demam tifoid, termasuk kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin, kotrimoksazol, sefotaksim, seftriakson, fluoroquinolon, dan azitromisin. S.typhii yang telah resisten terhadap banyak antibiotik (misalnya, resisten terhadap ampisilin, kloramfenikol dan  kotrimoksazol)  dilaporkan telah meningkat. Sefalosporin generasi ketiga (seftriakson, sefotaksim) atau derivate fluorokuinolon (misalnya ciprofloksasin, ofloksasin) adalah obat yang disarankan sebagai terapi pilihan pertama pengobatan demam tifoid dan infeksi meluas lainnya atau infeksi yang diduga disebabkan oleh bakteri ini. Meskipun waktu yang dibutuhkan untuk merespons kloramfenikol lebih singkat daripada ampisilin pada demam tifoid, hasil beberapa studi terkontrol menunjukkan  bahwa hingga 10% pasien yang mendapatkan kloramfenikol untuk pengobatan demam tifoid menjadi karier S. typhii yang menetap atau sementara.

Perhatian
Efek hematologis
Satu dari efek samping yang serius dari penggunaan kloramfenikol adalah depresi sumsum tulang. Meskipun jarang ditemukan, diskrasia darah seperti anemia aplastis, anemia hipoplastis, trombositopenia, dan granulositopenia telah terjadi selama terapi jangka pendek dan terapi jangka panjang. Ada dua bentuk depresi sumsum tulang yang terjadi pada pemberian kloramfenikol. Tipe pertama adalah tidak berhubungan dengan dosis, depresi sumsum tulang irreversible menyebabkan anemia aplastik dengan 50% kematian, biasanya dihasilkan dari hemoragik atau infeksi. Aplasia sumsum tulang atau hypoplasia dapat terjadi setelah pemberian kloramfenikol dosis tunggal, tetapi lebih sering berkembang pada minggu-minggu atau bulan setelah pemberian obat dihentikan.
Tipe kedua dari depresi sumsum tulang adalah  yang terkait dosis dan biasanya reversible selama penggunaan kloramfenikol dihentikan. Depresi sumsum tulang tipe ini ditandai dengan anemia, retikulositopenia, leukopenia, trombositopenia, peningkatan konsentasi ion serum dan peningkatan kapasitas ikatan ion serum. Depresi sumsum tulang yang reversible terjadi apabila konsentrasi kloramfenikol aktif 25 mcg/mL atau dosis yang diberikan lebih dari 4 g sehari.

Gray Syndrome
Merupakan suatu bentuk kelainan sirkulasi, yang ditunjukkan sebagai sindrom abu-abu, dapat terjadi pada bayi premature atau bayi baru lahir yang mendapatkan kloramfenikol. Pada beberapa kasus, terapi kloramfenikol telah dimulai pada 48 jam pertama, akan tetapi, gray sindrom dapat terjadi pada anak-anak berumur 2 tahun dan bayi baru lahir apabila ibu mendapatkan kloramfenikol selama akhir kehamilan. Gejala dari gray sindrom biasanya berkembang 2-9 hari setelah pemberian kloramfenikol dan termauk gagal makanan, distensi abdominal dengan atau tanpa muntah, sianosis yang progresif, dan respirasi yang tidak teratur. Kematian dapat terjadi selama beberapa jam. Gray sindrom dihubungkan dengan konsentrasi obat yang tinggi sebagai akibat dari ketidak mampuan bayi untuk mengkonjugasi kloramfenikol.
Efek pada system syaraf
Neuritis optik, jarang menyebabkan kebutaan, telah dilaporkan pada penggunaan kloramfenikol jangka lama dan dosis tinggi. Gejala ocular termasuk pengurangan ketajaman penglihatan bilateral. Neuritis perifer dapat terjadi apabila kloramfenikol dihentikan secara tiba-tiba. Reaksi neurotoksis lainnya  yang sering dilaporkan adalah sakit kepala, depresi mental, kebingungan, dan delirium.
                               
Efek pada GI dan hepatic
Efek samping pada GI termasuk mual, muntah, diare, rasa tidak nyaman pada perut, stomatitis, dan enterocolitis jarang terjadi pada pemberian kloramfenikol.

Reaksi sensitifitas
Reaksi hipersensitifitas dapat terjadi dan ditandai dengan demam, rash vesicular, angioedema, urtikaria, hemoragik pada kulit dan mukosa, dan reaksi anafilaksis.

Mekanisme aksi
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid pada konsentrasi tinggi pada organisme yang peka. Kloramfenikol menghambat sintesis protein pada organisme yang peka dengan menigkan sub unit 50S ; efek utama inhibisi pada ikatan protein. Mekanisme aksi ini, mirip dengan eritromisin, klindamisin, lincomisin, dan troleandomisin. Kloramfenikol juga menghambat sintesis protein pada sel mamalia yang berproliperasi, depresi sumsum tulang reversible dikarenakan penghambatan sintesis protein di mitokondria sel sumsum tulang.

2) Siprofloksasin
Antibiotik golongan quinolon ini dapat diberikan secara peroral dengan dosis 500 mg, dua kali sehari dan diberikan selama 10 hari.Tidak dianjurkan pada anakanak karena efek samping pada pertumbuhan tulang. Antibiotik ini termasuk aktif melawan bakteri gram negatif seperti Salmonella dan Shigella (Dipiro, 2008).

3) Sefalosporin
Antibiotik dari golongan ini biasanya digunakan jika bakteri sudah resisten terhadap antibiotik lain. Seftriakson dan sefotaksim merupakan obat golongan sefalosporin yang paling aktif terhadap bakteri yang resisten terhadap penisilin. Selain itu seftriakson dan sefotaksim lebih efektif dalam mengobati bakteri gram negatif dibandingkan dengan sefuroksim (Dipiro, 2008).
Efek pada saluran pencernaan
Efek samping yang sering terjadi adalah berhubungan dengan saluran pencernaan. Diare atau kehilangan cairan dilaporkan 27% terjadi dan nyeri perut, muntah, mual, dyspepsia, kembung, pada 11% pasien.  Efek samping pada saluran cerna dapat terjadi pada terapi awal dan kedua cefixime dan tidak mengubah flora usus normal. Pada sebuah studi, efek samping pada saluran pencernaan lebih sering terjadi pada pasien yang mendapatkan 400 mg cefixime dari pada dosis 200 mg 2 x sehari.

Efek pada Sistem saraf
Sakit kepala dilaporkan hingga 3-16% dan pusing, gugup, insomnia, somnolen, tidak enak badan dan kelelahan dilaporkan hingga 4% pada pasien yang mendapatkan cefixime.Seizure dilaporkan pada 2% pasien yang mendapatkan cefixime.Apabila terjadi seizure terjadai selama penggunaan cefixime, pengobatan dihentikan.

Mekasnisme aksi
Antibiotik golongan ini bersifat bakterisid, aktifitas antibakterinya diperoleh dari penghambatan sintesa mukopeptida pada dinding sel bakteri.

4) Penisilin
Ampisilin adalah antibiotik spektrum luas golongan penisilin yang dapat diberikan secara peroral maupun intravena dengan dosis 3-4 gr sehari, diberikan selama 14 hari. Antibiotik ini aman digunakan oleh wanita hamil. Sedangkan amoksisilin adalah turunan ampisilin tetapi lebih mudah diabsorpsi dibandingkan ampisilin. Selain itu, absorpsi amoksisilin juga tidak dipengaruhi oleh ada tidaknya makanan dalam lambung. Amoksisilin dapat diberikan dengan rute peroral maupun intravena (Dipiro, 2008).

Tidak ada komentar:

Google Ads