Definisi
Demam tifoid (typhoid fever, enteric fever)
adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B atau
C. Salmonella merupakan mikroorganisme gram
negatif yang berbentuk batang, genus Salmonellae, famili Enterobactericeae. Demam tifoid adalah penyakit infeksi
akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam lebih
dari satu minggu, gangguan pencernaan dengan gangguan kesadaran. Masa tunas demam tifoid berlangsung
selama 10-14 hari. Gejala-gejala yang timbul amat bervariasi. Dalam minggu
pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, diare atau obstipasi, perasaan tidak enak di perut, batuk dan apistaksis.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Dalam minggu
kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif,
lidah yang khas (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, meterokmus,
gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis (Darmowandowo,
2006).
b.
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella
typhi. Organisme
ini dapat bertahan hidup
lama di lingkungan kering dan beku. Organisme
ini juga mampu bertahan beberapa minggu di dalam air, es, debu, sampah kering dan pakaian, mampu
bertahan di sampah mentah selama satu minggu dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging,
telur atau produk lainnya
tanpa merubah warna atau bentuknya. Bakteri ini terdapat dalam kotoran, urin
manusia dan juga pada makanan dan minuman yang terkontaminasi bakteri yang
disebarkan oleh lalat
(Dipiro, 2008).
c.
Patofisiologi
Bakteri Salmonella
typhi bersama
makanan atau minuman masuk ke dalamtubuh melalui mulut.
Pada saat melewati
lambung dengan suasana asam (pH <2) banyak
bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus
halus dan diusus halus tepatnya di ileum dan yeyunum akan menembus dinding usus. Bakteri
mencapai folikel limfe usus halus,
ikut aliran ke dalam kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi
sistemik ke jaringan di organ hati dan limfa. Salmonella
typhi mengalami multifikasi di dalam sel fagosit
mononuklear, di dalam folikel
limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe. Pada periode tertentu (inkubasi), yang
lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun penderita maka Salmonella typhi akan
keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus akan masuk ke dalam
sirkulasi darah. Dengan cara ini bakteri dapat mencapai
organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limfa, sumsum tulang,
kantung empedu, payeris patch dari ileum terminal.
Peran endotoksin
dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limfa,
folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi
sitokin dan zat-zat lain. Produk makrofag inilah yang dapat menimbulkan
nekrosis sel, sistem vaskuler yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang,
kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik
(Dipiro, 2008).
Gambar 1. Patofisiologi terjaninya demam tifoid
d. Manifestasi Klinis
Kumpulan gejala-gejala
klinis tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid,
beberapa gejala klinis yang biasa ditemukan adalah:
1) Demam
Kasus
khas demam berlangsung 3 minggu dan suhu tidak terlalu
tinggi sekali. Minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari,
biasa menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari,
minggu kedua penderita terus dalam keadaan demam, pada minggu ketiga berangsur
turun dan suhu kembali normal pada akhir minggu ketiga (kepmenkes, 2006).
2) Gangguan pada saluran pencernaan
Pada
mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah tertutup selaput putih, ujung dan
tepinya kemerahan, perut
kembung. Hati dan limfa membesar
disertai nyeri pada perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga
dapat diare atau normal (kepmenkes,
2006).
3) Gangguan kesadaran
Umumnya
terdapat gangguan yang kebanyakan berupa penurunan kesadaran
ringan. Jarang terjadi koma dan gelisah
(kecuali penyakitnya berat dan terlambat mendapat pengobatan). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen
dan koma atau dengan gejala-gejala psychosis (organic brain syndrome). Pada penderita dengan toksik, gejala
delirium lebih menonjol (kepmenkes, 2006).
4) Hepatosplenomegali
Hati
dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan
(kepmenkes, 2006).
e.
Diagnosis Kerja
Untuk
memastikan diagnosis perlu dikerjakan pemeriksaan laboratorium sebagai berikut
:
1.
Pemeriksaan yang berguna untuk menyokong
diagnosis
a.
Pemeriksaan darah tepi
Terdapat gambaran
leucopenia, limfositosis relative dan aneosinofilia pada permulaan sakit.
b. Pemeriksaan
sumsum tulang
Terdapat
gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel
makrofag, sedangkan system eritropoeisis, granulopoesis dan thrombosis
berkurang.
2.
Pemeriksaan laboratorium untuk membuat
diagnosis
a.
Biakan empedu
Basil
Salmonella thypii dapat ditemukan dalam darah penderita biasanya dalam minggu
pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses dan
mungkina akan tetap positif untuk waktu yang lama. Pemeriksaan yang positif
dari sampel darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan pemeriksaan
negative dari sampel urin dan feses 2 kali berturut-turut digunakan untuk
menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan tidak menjadi pembawa
kuman (karier).
b.
Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan
yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan
serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang
masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Titer dapat positif karena keadaan sebagi
berikut :
v Titer
O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil Coli
pathogen dalam usus.
v Pada
neonates, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat
v Akibat
imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral (Baron et al.,
1994).
Tes
widal ada 2 metode:
·
Metode Tube (standard)
Titer O tinggi dan/atau terjadi kenaikan
titer 4 kali lipat dengan jarak waktu 7 hari pemeriksaan pertama dan kedua ( O
lebih spesifik dari H). Hasil
diperoleh setelah 2 – 3 hari
·
Metode slide
Lebih cepat dari metodeTube, hasil selesai dalam waktu 1 hari, hasil
lebih spesifik → nilai batas
titer O = 1/180 dan H = 1/20
c. Tes “Enzym Linked Immuno Sorbent Assay” (ELISA),
ada 2 macam:
deteksi antibodi,
menggunakan antigen O, H dan Vi. Dapat mendeteksi
antibodi IgA, IgM, dan IgG Salmonella typii. Dengan menggunakan protein Ag khusus
dibuat tes Dot enzyme immuno Assay
(Dot-EIA) dengan menggunakan kertas
nitrosellulose (tes Dipstick) :
v Diagnosa
cepat (3 – 4 jam)
v IgM
(+) → demam tifoid akut
v IgG
(+) → relaps
Diagnosis Banding
Bila terdapat demam yang lebih dari 1 minggu sedangkan
penyakit yang dapat menerangkan penyebab demam tersebut belum jelas, perlulah
dipertimbangkan pula selain tifus abdominalis, penyakit-penyakti seperti
paratifoid A, B dan C, influenza, malaria, tuberculosis, dengue, pneumonia
lobaris dan lain-lain.
f.
Terapi Demam Tifoid
Tujuan pengobatan secara keseluruhan adalah
mempercepat penyembuhan, meminimalkan komplikasi sekaligus untuk mencegah
penyebaran penyakit. Adapun penatalaksanaan terapi non-farmakologi untuk pasien
demam tifoid adalah:
1) Tirah baring absolut (bedrest total)
Penderita yang demam
tifoid harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama
pendarahan dan perforasi. Tirah baring minimal 7 hari bebas panas atau selama
14 hari (Dipiro, 2008).
2) Diet
Diet pada penderita
demam tifoid adalah diet tinggi kalori dan protein tetapi rendah serat untuk
mencegah pendarahan (Dipiro,
2008).
g. Antibiotik untuk Demam Tifoid
1)
Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotika pilihan pertama untuk demam tifoid, berdasarkan efikasi dan
harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, efek samping
serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps. Antimikroba
lini pertama untuk demam tifoid adalah kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin dan
trimetroprim-sulfametoksazol (Supari, 2006). Bila
pemberian salah satu anti mikroba lini pertama, dinilai tidak efektif, dapat diganti
dengan anti mikroba yang lain atau dipilih anti mikroba lini kedua. Antibiotik lini
kedua untuk demam tifoid adalah seftriakson, sefiksim dan antibiotik golongan quinolon
(Supari, 2006).
Kloramfenikol adalah
antibiotik spektrum luas yang paling sering digunakan untuk terapi demam
tifoid. Selain efektif, antibiotik ini juga
murah dan memiliki sensitivitas yang masih tinggi, namun karena efek sampingnya
yang cukup berbahaya, antibiotik ini makin jarang digunakan. Kloramfenikol
dapat diberikan secara peroral ataupun intravena dengan dosis 500 mg empat kali
sehari dan diberikan selama 14 hari
(Dipiro, 2008).
Kloramfenikol digunakan hanya pada
perawatan infeksi yang serius yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang masih
peka terhadap kloramfenikol. Obat ini tidak boleh digunakan sebagai profilaksis
infeksi bakteri atau tidak diindikasikan untuk pengobatan flu, atau infeksi
tenggorokan. Sebelum melakukan terapi
menggunakan kloramfenikol, dilakukan pengumpulan spesipen dan uji identifikasi
in vitro organisme penyebab infeksi. Penggunaan kloramfenikol dapat
dihentikan apabila hasil tes menunjukkan organisme penyebab telah resisten
terhadap kloramfenikol, atau dapat dimulai apabila bakteri/organisme peka
terhadap kloramfenikol.
Kloramfenikol digunakan pada terapi
demam tifoid yang disebabkan oleh Salmonella typhii yang peka terhadap
kloramfenikol. Beragam
anti infeksi telah digunakan untuk pengobatan demam tifoid, termasuk
kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin, kotrimoksazol, sefotaksim, seftriakson,
fluoroquinolon, dan azitromisin. S.typhii yang telah resisten terhadap banyak antibiotik (misalnya, resisten terhadap ampisilin,
kloramfenikol dan kotrimoksazol) dilaporkan telah
meningkat. Sefalosporin
generasi ketiga (seftriakson, sefotaksim) atau derivate fluorokuinolon (misalnya ciprofloksasin,
ofloksasin) adalah obat yang disarankan sebagai terapi pilihan pertama
pengobatan demam tifoid dan infeksi meluas lainnya atau infeksi yang diduga
disebabkan oleh bakteri ini. Meskipun waktu yang dibutuhkan untuk merespons
kloramfenikol lebih singkat daripada ampisilin pada demam tifoid, hasil
beberapa studi terkontrol menunjukkan
bahwa hingga 10% pasien yang mendapatkan kloramfenikol untuk pengobatan
demam tifoid menjadi karier S. typhii
yang menetap atau sementara.
Satu
dari efek samping yang
serius dari penggunaan kloramfenikol adalah depresi sumsum tulang. Meskipun jarang ditemukan, diskrasia
darah seperti anemia aplastis, anemia hipoplastis, trombositopenia, dan
granulositopenia telah terjadi selama terapi jangka pendek dan terapi jangka
panjang. Ada dua bentuk depresi sumsum tulang
yang terjadi pada pemberian kloramfenikol. Tipe
pertama adalah tidak berhubungan dengan dosis, depresi sumsum tulang
irreversible menyebabkan anemia aplastik dengan 50% kematian, biasanya
dihasilkan dari hemoragik atau infeksi. Aplasia
sumsum tulang atau hypoplasia dapat terjadi setelah pemberian kloramfenikol
dosis tunggal, tetapi lebih sering berkembang pada minggu-minggu atau bulan
setelah pemberian obat dihentikan.
Tipe
kedua dari depresi sumsum tulang adalah
yang terkait dosis dan biasanya reversible selama penggunaan
kloramfenikol dihentikan. Depresi sumsum tulang tipe ini ditandai dengan anemia,
retikulositopenia, leukopenia, trombositopenia, peningkatan konsentasi ion
serum dan peningkatan kapasitas ikatan ion serum. Depresi sumsum tulang yang
reversible terjadi apabila konsentrasi kloramfenikol aktif 25 mcg/mL atau dosis
yang diberikan lebih dari 4 g sehari.
Gray Syndrome
Merupakan
suatu bentuk kelainan sirkulasi, yang ditunjukkan sebagai sindrom abu-abu,
dapat terjadi pada bayi premature atau bayi baru lahir yang mendapatkan
kloramfenikol. Pada beberapa kasus, terapi kloramfenikol telah dimulai pada 48
jam pertama, akan tetapi, gray sindrom dapat terjadi pada anak-anak berumur 2
tahun dan bayi baru lahir apabila ibu mendapatkan kloramfenikol selama akhir
kehamilan. Gejala dari gray sindrom biasanya berkembang 2-9 hari setelah
pemberian kloramfenikol dan termauk gagal makanan, distensi abdominal dengan
atau tanpa muntah, sianosis yang progresif, dan respirasi yang tidak teratur. Kematian dapat terjadi selama
beberapa jam. Gray sindrom dihubungkan dengan konsentrasi obat yang tinggi
sebagai akibat dari ketidak mampuan bayi untuk mengkonjugasi kloramfenikol.
Efek pada
system syaraf
Neuritis
optik, jarang menyebabkan kebutaan, telah
dilaporkan pada penggunaan kloramfenikol jangka lama dan dosis tinggi. Gejala ocular termasuk pengurangan
ketajaman penglihatan bilateral. Neuritis perifer dapat terjadi apabila kloramfenikol
dihentikan secara tiba-tiba. Reaksi neurotoksis lainnya yang sering dilaporkan adalah sakit kepala,
depresi mental, kebingungan, dan delirium.
Efek pada GI dan hepatic
Efek
samping pada GI termasuk mual, muntah, diare, rasa tidak nyaman pada perut,
stomatitis, dan enterocolitis jarang terjadi pada pemberian kloramfenikol.
Reaksi
sensitifitas
Reaksi
hipersensitifitas dapat terjadi dan ditandai dengan demam, rash vesicular,
angioedema, urtikaria, hemoragik pada kulit dan mukosa, dan reaksi anafilaksis.
Mekanisme
aksi
Kloramfenikol
bersifat bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid pada konsentrasi
tinggi pada organisme yang peka. Kloramfenikol menghambat sintesis
protein pada organisme yang peka dengan menigkan sub unit 50S ; efek utama
inhibisi pada ikatan protein. Mekanisme aksi ini, mirip dengan eritromisin,
klindamisin, lincomisin, dan troleandomisin. Kloramfenikol juga menghambat
sintesis protein pada sel mamalia yang berproliperasi, depresi sumsum tulang
reversible dikarenakan penghambatan sintesis protein di mitokondria sel sumsum
tulang.
2) Siprofloksasin
Antibiotik golongan quinolon
ini dapat diberikan secara peroral dengan dosis 500
mg, dua kali sehari dan diberikan selama 10 hari.Tidak dianjurkan pada anak – anak karena efek samping pada
pertumbuhan tulang. Antibiotik ini termasuk aktif melawan bakteri gram negatif
seperti Salmonella dan Shigella (Dipiro, 2008).
3) Sefalosporin
Antibiotik dari
golongan ini biasanya digunakan jika bakteri sudah resisten terhadap antibiotik
lain. Seftriakson dan sefotaksim merupakan obat golongan sefalosporin yang
paling aktif terhadap bakteri yang resisten terhadap penisilin. Selain itu
seftriakson dan sefotaksim lebih efektif dalam mengobati bakteri gram negatif
dibandingkan dengan sefuroksim
(Dipiro, 2008).
Efek pada
saluran pencernaan
Efek
samping yang sering terjadi adalah berhubungan dengan saluran pencernaan. Diare
atau kehilangan cairan dilaporkan 27% terjadi dan nyeri perut, muntah, mual,
dyspepsia, kembung, pada 11% pasien.
Efek samping pada saluran cerna dapat terjadi pada terapi awal dan kedua
cefixime dan tidak mengubah flora usus normal. Pada sebuah studi, efek samping
pada saluran pencernaan lebih sering terjadi pada pasien yang mendapatkan 400
mg cefixime dari pada dosis 200 mg 2 x sehari.
Efek pada Sistem saraf
Sakit
kepala dilaporkan hingga 3-16% dan pusing, gugup, insomnia, somnolen, tidak
enak badan dan kelelahan dilaporkan hingga 4% pada pasien yang mendapatkan
cefixime.Seizure dilaporkan pada 2% pasien yang mendapatkan cefixime.Apabila
terjadi seizure terjadai selama penggunaan cefixime, pengobatan dihentikan.
Antibiotik golongan ini bersifat bakterisid, aktifitas
antibakterinya diperoleh dari penghambatan sintesa mukopeptida pada dinding sel
bakteri.
4)
Penisilin
Ampisilin adalah
antibiotik spektrum luas golongan penisilin yang dapat diberikan secara peroral
maupun intravena dengan dosis 3-4 gr sehari, diberikan selama 14 hari. Antibiotik ini aman digunakan oleh
wanita hamil. Sedangkan amoksisilin
adalah turunan ampisilin tetapi lebih mudah diabsorpsi dibandingkan ampisilin. Selain itu, absorpsi amoksisilin juga
tidak dipengaruhi oleh ada tidaknya makanan dalam lambung. Amoksisilin dapat
diberikan dengan rute peroral maupun intravena (Dipiro, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar