Analgetika
merupakan suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau
nyeri (diakibatkan oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan
mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang
memicu pelepasan mediator nyeri seperti brodikinin dan prostaglandin yang
akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak)
yang secara umum dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetika non narkotik
(seperti: asetosat, parasetamol) dan analgetika narkotik (seperti : morfin).
Terkadang,
nyeri dapat berarti perasaan emosional yang tidak nyaman dan berkaitan dengan
ancaman seperti kerusakan pada jaringan karena pada dasarnya rasa nyeri
merupakan suatu gejala, serta isyarat bahaya tentang adanya gangguan pada tubuh
umumnya dan jaringan khususnya.
Untuk
mengurangi atau meredakan rasa sakit atau nyeri tersebut maka banyak digunakan
obat-obat analgetik (seperti parasetamol, asam mefenamat dan antalgin) yang
bekerja dengan memblokir pelepasan mediator nyeri sehingga reseptor nyeri tidak
menerima rangsang nyeri.
Terdapat
perbedaan mencolok antara analgetika dengan anastetika umum yaitu meskipun
sama-sama berfungsi sebagai zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri
namun, analgetika bekerja tanpa menghilangkan kesadaraan. Nyeri sendiri terjadi
akibat rangsangan mekanis, kimiawi, atau fisis yang memicu pelepasan mediator
nyeri. Intensitas rangsangan terendah saat seseorang merasakan nyeri dinamakan
ambang nyeri (Tjay, 2002).
Analgetika yang bekerja perifer atau kecil memiliki kerja antipiretik
dan juga komponen kerja antiflogistika dengan pengecualian turunan
asetilanilida (Anonim, 2005).
Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer
(parasetamol, asetosal, mefenamat atau aminofenazon). Untuk nyeri sedang dapat
ditambahkan kofein dan kodein. Nyeri yang disertai pembengkakan sebaiknya
diobati dengan suatu analgetikum antiradang (aminofenazon, mefenaminat dan
nifluminat). Nyeri yang hebat perlu ditanggulangi dengan morfin. Obat terakhir
yang disebut dapat menimbulkan ketagihan dan menimbulkan efek samping sentral
yang merugikan (Tjay, 2002).
Berdasarkan
kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar yaitu:
1.
Analgetika
Opioid
Merupakan zat yang bekerja pada
reseptor opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respon emosional
terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tjay dan Rahardja, 2002). Analgesik opioid
memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin (Sujatno, 1998).
Analgetika narkotik (Opioid) merupakan kelompok obat yang
memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan
berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan
untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri yang hebat. Meskipun terbilang
ampuh, jenis ini dapat menimbulkan ketergantungan pada si pemakai. Seiring berjalannya
waktu, ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis jenis ini
yang mampu meniadakan ketergantungan fisik, maka penggunaan istilah analgesik
narkotik untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi (Anonim, 1995).
Atas dasar cara kerjanya, obat-obat
ini dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:
Agonis opiate, dapat dibagi menjadi
alkaloida candu (morfin, kodein, heroin, nicomorfin, zat-zat sintesis, metadon
dan derivatnya).
Agonis opiate: nalokson, nalorfin,
pentazosin, buprenorfin dan nalbufin.
Kombinasi: zat-zat ini juga mengikat
pada reseptor opioid tetapi tidak mengaktfiasi kerjanya dengan sempurna.
2.
Analgetika
perifer (non opioid)
Analgetika perifer terdiri dari
obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bersifat sentral. Secara kimiawi
analgetika perifer dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu
Paraaminofenol, Salisilat, Derivat Atralinat, Derivat Pirazolinon (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Roach dan Scherer (2000) membagi
obat analgesik nonopioid menjadi 3, yaitu golongan salisilat, NSAIDs dan
nonsalisilat.
Obat analgesik nonopioid mampu
meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi SSP atau
menurunkan kesadaran dan tidak menimbulkan ketagihan. Obat ini banyak digunakan
pada nyeri ringan sampai sedang yang penyebabnya beraneka ragam, seperti: nyeri
kepala, gigi, otot dan sendi (Tjay dan Rahardja, 2002).
Salah satu obat analgesic non opioid
adalah aspirin. Aspirin merupakan obat antidemam kuat dan mempunyai efek
menghambat agregasi trombosit pada dosis rendah (40 mg) sehingga selain sebagai
analgesik aspirin dewasa ini banyak digunakan sebagai alternatif dari
antikoagulansia sebagai pencegah infark ke 2 setelah terjadinya serangan (Tjay
dan Rahardja, 2002). Aspirin adalah salah satu obat yang paling sering
digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang karena berbagai sebab.
Aspirin bekerja dengan menghambat prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim
siklooksigenase (prostaglandin sintase) secara irreversible. Pada dosis yang
tepat, obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A2
tetapi tidak menghambat leukotrien. Selain itu, aspirin juga mempengaruhi
mediator kimia system kallikrein sehingga menghambat perlekatan granulosit pada
pembuluh darah yang rusak, menstabilkan membran lisosom, dan menghambat migrasi
leukosit polimorfonuklear dan makrophag ke tempat peradangan (Katzung, 1998).
Dosis terapi salisilat yang
digunakan untuk analgesik dan antipiretik biasanya sangat sedikit menimbulkan
efek samping. Tetapi penggunaan dosis besar pada anak-anak dapat menimbulkan
toksisitas. Gejalanya antara lain kehausan, berkeringat, penglihatan kabur,
tinitus, nausea, vomitus dan menyebabkan perubahan keseimbangan asam basa. Efek
samping yang paling sering terjadi adalah tukak lambung atau tukak peptid yang
kadang-kadang disertai anemi sekunder akibat perdarahan saluran pencernaan.
Keadaan ini terjadi melalui 2 mekanisme yaitu iritasi local dan iritasi atau
perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui penghambatan biosintesis PGE2
dan PGI2 (Wilmana, 1995).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar