Google ads

Senin, 11 Mei 2015

Analgetika



Analgetika merupakan suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri (diakibatkan oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu pelepasan mediator nyeri seperti brodikinin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak) yang secara umum dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetika non narkotik (seperti: asetosat, parasetamol) dan analgetika narkotik (seperti : morfin).
Terkadang, nyeri dapat berarti perasaan emosional yang tidak nyaman dan berkaitan dengan ancaman seperti kerusakan pada jaringan karena pada dasarnya rasa nyeri merupakan suatu gejala, serta isyarat bahaya tentang adanya gangguan pada tubuh umumnya dan jaringan khususnya.
Untuk mengurangi atau meredakan rasa sakit atau nyeri tersebut maka banyak digunakan obat-obat analgetik (seperti parasetamol, asam mefenamat dan antalgin) yang bekerja dengan memblokir pelepasan mediator nyeri sehingga reseptor nyeri tidak menerima rangsang nyeri.
Terdapat perbedaan mencolok antara analgetika dengan anastetika umum yaitu meskipun sama-sama berfungsi sebagai zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri namun, analgetika bekerja tanpa menghilangkan kesadaraan. Nyeri sendiri terjadi akibat rangsangan mekanis, kimiawi, atau fisis yang memicu pelepasan mediator nyeri. Intensitas rangsangan terendah saat seseorang merasakan nyeri dinamakan ambang nyeri (Tjay, 2002).
Analgetika yang bekerja perifer atau kecil memiliki kerja antipiretik dan juga komponen kerja antiflogistika dengan pengecualian turunan asetilanilida (Anonim, 2005).
Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer (parasetamol, asetosal, mefenamat atau aminofenazon). Untuk nyeri sedang dapat ditambahkan kofein dan kodein. Nyeri yang disertai pembengkakan sebaiknya diobati dengan suatu analgetikum antiradang (aminofenazon, mefenaminat dan nifluminat). Nyeri yang hebat perlu ditanggulangi dengan morfin. Obat terakhir yang disebut dapat menimbulkan ketagihan dan menimbulkan efek samping sentral yang merugikan (Tjay, 2002).
Berdasarkan kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar yaitu:
1.      Analgetika Opioid
Merupakan zat yang bekerja pada reseptor opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tjay dan Rahardja, 2002). Analgesik opioid memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin (Sujatno, 1998).
Analgetika narkotik (Opioid) merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri yang hebat. Meskipun terbilang ampuh, jenis ini dapat menimbulkan ketergantungan pada si pemakai. Seiring berjalannya waktu, ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis jenis ini yang mampu meniadakan ketergantungan fisik, maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi (Anonim, 1995).
Atas dasar cara kerjanya, obat-obat ini dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:
Agonis opiate, dapat dibagi menjadi alkaloida candu (morfin, kodein, heroin, nicomorfin, zat-zat sintesis, metadon dan derivatnya).
Agonis opiate: nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin dan nalbufin.
Kombinasi: zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid tetapi tidak mengaktfiasi kerjanya dengan sempurna.
2.      Analgetika perifer (non opioid)
Analgetika perifer terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bersifat sentral. Secara kimiawi analgetika perifer dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu Paraaminofenol, Salisilat, Derivat Atralinat, Derivat Pirazolinon (Tjay dan Rahardja, 2002).
Roach dan Scherer (2000) membagi obat analgesik nonopioid menjadi 3, yaitu golongan salisilat, NSAIDs dan nonsalisilat.
Obat analgesik nonopioid mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran dan tidak menimbulkan ketagihan. Obat ini banyak digunakan pada nyeri ringan sampai sedang yang penyebabnya beraneka ragam, seperti: nyeri kepala, gigi, otot dan sendi (Tjay dan Rahardja, 2002).
Salah satu obat analgesic non opioid adalah aspirin. Aspirin merupakan obat antidemam kuat dan mempunyai efek menghambat agregasi trombosit pada dosis rendah (40 mg) sehingga selain sebagai analgesik aspirin dewasa ini banyak digunakan sebagai alternatif dari antikoagulansia sebagai pencegah infark ke 2 setelah terjadinya serangan (Tjay dan Rahardja, 2002). Aspirin adalah salah satu obat yang paling sering digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang karena berbagai sebab. Aspirin bekerja dengan menghambat prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase (prostaglandin sintase) secara irreversible. Pada dosis yang tepat, obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A2 tetapi tidak menghambat leukotrien. Selain itu, aspirin juga mempengaruhi mediator kimia system kallikrein sehingga menghambat perlekatan granulosit pada pembuluh darah yang rusak, menstabilkan membran lisosom, dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrophag ke tempat peradangan (Katzung, 1998).
Dosis terapi salisilat yang digunakan untuk analgesik dan antipiretik biasanya sangat sedikit menimbulkan efek samping. Tetapi penggunaan dosis besar pada anak-anak dapat menimbulkan toksisitas. Gejalanya antara lain kehausan, berkeringat, penglihatan kabur, tinitus, nausea, vomitus dan menyebabkan perubahan keseimbangan asam basa. Efek samping yang paling sering terjadi adalah tukak lambung atau tukak peptid yang kadang-kadang disertai anemi sekunder akibat perdarahan saluran pencernaan. Keadaan ini terjadi melalui 2 mekanisme yaitu iritasi local dan iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui penghambatan biosintesis PGE2 dan PGI2 (Wilmana, 1995).

Tidak ada komentar:

Google Ads