Google ads

Jumat, 24 April 2015

Gagal jantung kongestif (CHF)



Gagal jantung adalah kondisi patologis dimana jantung mengalami abnormalitas fungsi (dapat dideteksi atau tidak), sehingga gagal untuk memompa darah dalam jumlah yang tepat untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Gagal jantung juga bisa disebabakan kegagalan miokardial, bisa pula terjadi pada jantung dengan fungsi mendekati normal tapi dalam kondisi permintaan sirkulasi yang tinggi.

Gagal jantung adalah kondisi patologis dimana jantung mengalami abnormalitas fungsi (dapat dideteksi atau tidak), sehingga gagal untuk memompa darah dalam jumlah yang tepat untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Gagal jantung juga bisa disebabakan kegagalan miokardial, bisa pula terjadi pada jantung dengan fungsi mendekati normal tapi dalam kondisi permintaan sirkulasi yang tinggi.
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan.
Diperkirakan terdapat 23 juta orang mengidap gagal jantung di seluruh dunia. America Heart Association memperkirakan terdapat 4,7 juta orang menderita gagal jantung di Amerika Serikat pada tahun 2000 dan dilaporkan terdapat 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Di Indonesia berdasarkan data dari RS Jantung Harapan Kita, peningkatan kasus ini dimulaipada 1997 dengan 248 kasus, kemudian meningkat dengan cepat hingga  padatahun 2000 dengan 532 kasus.
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara maju penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan poenyakit jantung malnutrisi.

·      Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungdi otot jantung mencakup ateroslerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit degeneratif atau inflamasi
·      Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karenaterganggunya aliran darah ke otot jantung. Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
·      Hipertensi Sistemik atau pulmunal (peningkatan after load) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
·      Penyakit jantung lain, terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katub semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, pericardium, perikarditif konstriktif atau stenosis AV), peningkatan mendadak after load.
·       Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar factor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam, tirotoksikosis). Hipoksia dan anemi juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolic dan abnormalita elektronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung.

I.       PATOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG
            Pada keadaan normal, cardiac output (volume darah yang dikeluarkan per satuan waktu) adalah 5 L/menit dengan rata-rata denyut jantung 70 kali/menit. Dengan pengisian ventrikel normal 130 ml, fraksi ejeksi normalnya lebih dari 50% isi ventrikel sehingga sekitar 60 ml volume yang tersisa di ventrikel. Pada keadaan LVSD (Left Ventricle Sistolik Disease), fraksi ejeksi menurun hingga di bawah 45% dan gejala baru akan muncul ketika fraksi ejeksi di bawah 35%. Jika fraksi ejeksi dibawah 10%, pasien beresiko terhadap pembentukan trombus di dalam ventrikel kiri (Hudson, 2003).
            Pada saat jantung mengalami gangguan fungsi secara tiba-tiba, curah jantung dan tekanannya masih dapat dipertahankan dengan mekanisme kompensasi walaupun tidak sama dengan nilai normalnya. Oleh karena itu, jika gangguan fungsi jantung yang mendadak tersebut segera dapat pertolongan yang memadai, maka mekanisme kompensasinya dapat dipertahankan lebih lama, sehingga memberikan kesempatan fungsi inotropik jantung untuk mempertahankan curah jantung dan oksigenasi jaringan sampai keadaan stabil (Masud, 1989).
            Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah sebagai berikut (Dipiro, et al., 2008):
a.       Takikardi dan peningkatan kontraktilitas dengan aktivasi sistem saraf simpatik.
b.      Mekanisme Frank-Starling, dimana peningkatan preload dapat meningkatkan  volume sekuncup.
           Perfusi ginjal pada gagal jantung diturunkan baik karena penurunan cardiac output dan redistribusi darah dari organ non-vital. Penurunan perfusi ginjal tersebut mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA). Dimana penurunan perfusi ginjal dan peningkatan saraf simpatik tersebut akan menstimulasi pelepasan renin dari sel juxtaglomerular di ginjal. Renin bertanggungjawab terhadap perubahan angiotensinogen menjadi angiotensin I yang kemudian angiotensin I tersebut akan diubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II akan menstimulasi pelepasan aldosteron, dimana aldosteron tersebut berperan dalam retensi air dan natrium di ginjal. Selanjutnya, retensi air dan natrium tersebut akan meningkatkan volume intravaskular, volume ventrikel kiri, dan peningkatan preload dan daya kontraksi meningkat. 
a.       Vasokontriksi.
            Vasokontriksi terjadi pada pasien gagal jantung untuk membantu aliran darah dari organ ke jantung dan sirkulasi otak untuk membantu tekanan darah. Beberapa neurohormonal terlibat dalam mekanisme ini seperti norepinefrin, angiotensin II dan arginin vasopressin (AVP).
b.      Hipertofi ventrikel dan remodeling.
            Merupakan pelebaran yang menerangkan perubahan baik pada sel miokardium dan matriks ekstraseluler yang mengakibatkan perubahan ukuran, bentuk, struktur, dan fungsi dari jantung. Hipertrofi ventrikel dan remodeling terjadi pada kondisi yang disebabkan oleh luka sel miokardium, termasuk infark miokardial, kardiomiopati, dan hipertensi.
            Walaupun mekanisme kompensasi tersebut pada awalnya dapat menjaga fungsi jantung, akan tetapi mekanisme tersebut juga berperan dalam pemunculan gejala gagal jantung dan dapat memperparah penyakit (Dipiro, et al., 2008).
Manifestasi Klinis
            Gejala yang dirasakan pasien bervariasi dari asimptomatis (tidak bergejala) hingga syok kardiogenik (Sukandar, et al., 2008). Sedangkan gejala utama yang timbul pada pasien gagal jantung adalah dyspnea (sesak nafas) dan kelelahan, yang dapat menyebabkan intoleransi terhadap aktivitas fisik dan overload cairan, dimana hal tersebut dapat menimbulkan kongestif paru dan edema perifer (Dipiro, et al., 2008).
            Penurunan curah jantung, kurangnya oksigen dan pasokan darah ke otot menyebabkan kelelahan, pernafasan pendek pada saat beraktivitas (dyspnea) ataupun saat berbaring (orthopnea). Karena ketika pasien berbaring, perubahan postural menyebabkan tekanan perut pada diafragma menyebarkan edema ke paru-paru, dan menyebabkan sesak nafas. Pada malam hari, gejala yang di timbulkan oleh paru-paru menimbulkan batuk dan meningkatkan produksi urin (nocturia) sehingga dapat menyebabkan gangguan tidur. Pasien yang terbangun pada malam hari, secara bertahap akan mengakumulasi cairan di paru-paru yang dapat menyebabkan nafas terengah-engah (paroxymal nocturnal dyspnea) (Hudson, 2003).
            Pada perjalanan penyakit jantung, perlu diperhatikan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi seperti faktor presipitasi berupa infeksi pada paru-paru, demam atau sepsis, anemia (baik akut maupun kronis), kurangnya kepatuhan (seperti tidak minum obat diuretik atau digitalis, atau tidak diet rendah garam), beban cairan yang berlebihan, terjadinya infark akut berulang, aritmia, emboli paru, keadaan-keadaan high output, melakukan pekerjaan beban berat dan mendadak (seperti lari, naik tangga), stres emosional, serta hipertensi yang tidak terkontrol (Suryadipraja, 1996).
Tabel 1. Kelas Fungsional Gagal Jantung Menurut NYHA (Irnizarifka, 2011).
Kelas Fungsional
Penilaian Objektif
I
Pasien dengan penyakit jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik biasa tidak menimbulkan keluhan berupa kelelahan yang sangat, sesak nafas, palpitasi, maupun nyeri dada angina.
II
Pasien dengan gagal jantung disertai pembatasan aktivitas fisik minimal atau ringan, nyaman saat istirahat.
Aktivitas fisik biasa sudah menimbulkan keluhan lelah yang sangat, sesak nafas, palpitasi, maupun nyeri dada angina.

III
Pasien dengan penyakit jantung disertai pembatasan aktivitas fisik yang nyata, nyaman dengan istirahat.
Aktivitas fisik lebih ringan dari biasa sudah menimbulkan keluhan lelah yang sangat, sesak nafas, palpitasi, maupun nyeri dada angina.
IV
Pasien dengan penyakit jantung yang tidak mampu melakukan aktivitas fisik sama sekali.
Keluhan lelah yang sangat, sesak nafas, palpitasi, maupun nyeri dada angina bahkan dapat timbul saat istirahat

Diagnosis
Dalam penetapan diagnosis gagal jantung tidak dapat dilakukan dengan tes tunggal. Hal tersebut di karenakan gagal jantung dapat disebabkan atau diperburuk oleh berbagai gangguan baik dari jantung maupun bukan dari jantung. Tahap evaluasi awal mencakup perhitungan darah komplit, serum elektrolit (termasuk Mg), uji fungsi ginjal dan hati, urinalisis, profil lipid, x-ray dada, serta elektrokardiogram (EKG) (Dipiro, et al., 2008).
Selain pemeriksaan fisik dan tes laboraturium, dalam penegakan diagnosis gagal jantung juga dapat dilakukan imaging untuk melihat ketidaknormalan lain di jantung. Misalnya dilakukan ekokardiogram, yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan abnormalitas perikardial atau miokardial, serta dapat menunjukkan adanya disfungsi sistolik dan atau diastolik serta fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) (Dipiro, et al., 2008).
Diagnosis untuk penyakit gagal jantung menurut Komite Medik RSUP. Dr. M. Djamil Padang (2007) ialah :
a.         Anamnesis
1.         Sesak nafas, udem tungkai, dan kelelahan merupakan gejala khas gagal jantung.
2.         Riwayat hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterolemia, penyakit jantung koroner, kelainan katup, alkoholisme, penyakit tiroid.
3.         Riwayat keluarga: penyakit ateroskeloris, kardiomiopati, kematian mendadak, penyakit gangguan konduksi.
4.         Tidak ada hubungan antara gejala yang timbul dengan beratnya disfungsi jantung yang terjadi dan prognosis penyakit.

b.        Pemeriksaan Fisik
1.      Tanda-tanda klinis gagal jantung harus dinilai dengan pemeriksaan fisik yang seksama meliputi inspeksi, palpitasi, dan auskultasi.
2.      Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada gagal jantung kanan dan/atau kiri antara lain: takikardia, peningkatan tekanan vena jugular, bunyi jantung gallop, ascites, hepatomegali, dan edema tungkai.

c.         Pemeriksaan Penunjang (pemeriksaan utama)
1.    Elektrokardiogram
i.           Sebagian besar gambaran EKG pada gagal jantung kronik adalah abnormal. Normal EKG memiliki nilai prediksi negatif disfungsi ventrikel kiri lebih dari 90%.
ii.         Gelombag Q dan LBBB merupakan pertanda penurunan fraksi ejeksi yang baik.
iii.       Gambaran EKG dengan hipertrofi atrium kiri dan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan dengan disfungsi sistolik atau diastolik saja, tetapi memiliki nilai prediksi yang rendah.
iv.       Fibrasi atrial, flutter atrial dan aritmia ventrikular sangat penting sebagai faktor kausa maupun faktor penyerta gagal jantung.
v.         Holter elektrokardiografi tidak memiliki nilai dalam diagnosis gagal jantung kronik dan hanya dilakukan pada pasien gagal jantung kronik dengan aritmia yang simptomatik.


2.    Foto toraks
i.        Pemeriksaan foto toraks merupakan pemeriksaan diagnostik pendahuluan yang harus dilakukan pada kasus gagal jantung.
ii.      Nilai prediksi yang tinggi diperoleh bila interpretasi foto toraks disertai temuan klinis dan gambaran anomali EKG.
iii.    Gambaran foto toraks yang bermanfaat untuk menilai gagal jantung adalah tanda-tanda pembesaran jantung dan bendungan paru.
iv.    Foto toraks juga dapat membantu dalam memberikan informasi penyebab sesak nafas lain.

3.    Laboraturium 
Pemeriksaan laboraturium rutin untuk diagnosis gagal jantung meliputi pemeriksaan darah rutin (hemoglobin, leukosit, trombosit, hematokrit), kadar elektrolit, kreatinin, glukosa, enzim hepar, dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan yang dapat dipertimbangkan adalah kadar TSH, kadar asam urat, urea darah, dan pemeriksaan enzim jantung. Pemeriksaan BNP (brain natriuretic) memiliki nilai prediksi yang tinggi.

4.      Ekokardiografi
            Ekokardiografi merupakan pemeriksaan pilihan untuk menilai disfungsi jantung pada saat beristirahat.
c.                   Pemeriksaan Tambahan
1.      Stress ekokardiografi: bermanfaaat untuk mendeteksi iskemia miokard sebagai penyebab disfungsi reversible ataupun disfungsi permanen.
2.      Kardiologi Nuklir: secara rutin tidak direkomendasikan, meskipun memiliki nilai diagnostik dan prognostik yang dapat dipercaya.
3.      Treadmill test: memiliki kemampuan terbatas dalam diagnosis gagal jantung, meskipun demikian seseorang dengan kapasitas fisik maksimal pada pemeriksaan treadmill dan tidak dalam terapi gagal jantung dapat disingkirkan dalam diagnosis gagal jantung. Aplikasi utama pemeriksaan treadmill pada gagal jantung adalah untuk menilai fungsi, kemajuan terapi dan stratifikasi prognosis.
4.      Diagnosis invasif: secara umum tidak direkomendasikan pada kasus gagal jantung yang sudah pasti diagnosisnya, tetapi mungkin penting dalam menjelaskan penyebab atau dalam memperoleh informasi diagnostik.
i.        Kateterisasi jantung dapat dipertimbangkan pada:
a)      Penderita yang mengalami dekompensasi akut pada gagal jantung kronik atau pada gagal jantung berat (syok atau edema paru akut) yang tidak memberikan respon pada terapi awal.
b)      Kardiomiopati dilatasi (DCM) untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan koroner.
c)      Gagal jantung refrakter dengan etiologi yang belum jelas.
d)     Regurgitasi katup mitral dan aorta berat.
ii.      Kateterisasi jantung tidak direkomendasikan pada:
a)      Gagal jantung terminal.
b)      Pada pasien yang bukan kandidat untuk tindakan revaskularisasi kardiak atau operasi katup.
c)      Penderita dengan anatomi arteria koroner yang sudah diketahui tanpa episode baru infark miokard.
  adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan.

Diperkirakan terdapat 23 juta orang mengidap gagal jantung di seluruh dunia. America Heart Association memperkirakan terdapat 4,7 juta orang menderita gagal jantung di Amerika Serikat pada tahun 2000 dan dilaporkan terdapat 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Di Indonesia berdasarkan data dari RS Jantung Harapan Kita, peningkatan kasus ini dimulaipada 1997 dengan 248 kasus, kemudian meningkat dengan cepat hingga  padatahun 2000 dengan 532 kasus.
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara maju penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan poenyakit jantung malnutrisi.


·      Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungdi otot jantung mencakup ateroslerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit degeneratif atau inflamasi
·      Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karenaterganggunya aliran darah ke otot jantung. Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
·      Hipertensi Sistemik atau pulmunal (peningkatan after load) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
·      Penyakit jantung lain, terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katub semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, pericardium, perikarditif konstriktif atau stenosis AV), peningkatan mendadak after load.
·       Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar factor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam, tirotoksikosis). Hipoksia dan anemi juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolic dan abnormalita elektronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung.

I.       PATOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG
            Pada keadaan normal, cardiac output (volume darah yang dikeluarkan per satuan waktu) adalah 5 L/menit dengan rata-rata denyut jantung 70 kali/menit. Dengan pengisian ventrikel normal 130 ml, fraksi ejeksi normalnya lebih dari 50% isi ventrikel sehingga sekitar 60 ml volume yang tersisa di ventrikel. Pada keadaan LVSD (Left Ventricle Sistolik Disease), fraksi ejeksi menurun hingga di bawah 45% dan gejala baru akan muncul ketika fraksi ejeksi di bawah 35%. Jika fraksi ejeksi dibawah 10%, pasien beresiko terhadap pembentukan trombus di dalam ventrikel kiri (Hudson, 2003).
            Pada saat jantung mengalami gangguan fungsi secara tiba-tiba, curah jantung dan tekanannya masih dapat dipertahankan dengan mekanisme kompensasi walaupun tidak sama dengan nilai normalnya. Oleh karena itu, jika gangguan fungsi jantung yang mendadak tersebut segera dapat pertolongan yang memadai, maka mekanisme kompensasinya dapat dipertahankan lebih lama, sehingga memberikan kesempatan fungsi inotropik jantung untuk mempertahankan curah jantung dan oksigenasi jaringan sampai keadaan stabil (Masud, 1989).
            Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah sebagai berikut (Dipiro, et al., 2008):
a.       Takikardi dan peningkatan kontraktilitas dengan aktivasi sistem saraf simpatik.
b.      Mekanisme Frank-Starling, dimana peningkatan preload dapat meningkatkan  volume sekuncup.
           Perfusi ginjal pada gagal jantung diturunkan baik karena penurunan cardiac output dan redistribusi darah dari organ non-vital. Penurunan perfusi ginjal tersebut mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA). Dimana penurunan perfusi ginjal dan peningkatan saraf simpatik tersebut akan menstimulasi pelepasan renin dari sel juxtaglomerular di ginjal. Renin bertanggungjawab terhadap perubahan angiotensinogen menjadi angiotensin I yang kemudian angiotensin I tersebut akan diubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II akan menstimulasi pelepasan aldosteron, dimana aldosteron tersebut berperan dalam retensi air dan natrium di ginjal. Selanjutnya, retensi air dan natrium tersebut akan meningkatkan volume intravaskular, volume ventrikel kiri, dan peningkatan preload dan daya kontraksi meningkat. 
a.       Vasokontriksi.
            Vasokontriksi terjadi pada pasien gagal jantung untuk membantu aliran darah dari organ ke jantung dan sirkulasi otak untuk membantu tekanan darah. Beberapa neurohormonal terlibat dalam mekanisme ini seperti norepinefrin, angiotensin II dan arginin vasopressin (AVP).
b.      Hipertofi ventrikel dan remodeling.
            Merupakan pelebaran yang menerangkan perubahan baik pada sel miokardium dan matriks ekstraseluler yang mengakibatkan perubahan ukuran, bentuk, struktur, dan fungsi dari jantung. Hipertrofi ventrikel dan remodeling terjadi pada kondisi yang disebabkan oleh luka sel miokardium, termasuk infark miokardial, kardiomiopati, dan hipertensi.
            Walaupun mekanisme kompensasi tersebut pada awalnya dapat menjaga fungsi jantung, akan tetapi mekanisme tersebut juga berperan dalam pemunculan gejala gagal jantung dan dapat memperparah penyakit (Dipiro, et al., 2008).
Manifestasi Klinis
            Gejala yang dirasakan pasien bervariasi dari asimptomatis (tidak bergejala) hingga syok kardiogenik (Sukandar, et al., 2008). Sedangkan gejala utama yang timbul pada pasien gagal jantung adalah dyspnea (sesak nafas) dan kelelahan, yang dapat menyebabkan intoleransi terhadap aktivitas fisik dan overload cairan, dimana hal tersebut dapat menimbulkan kongestif paru dan edema perifer (Dipiro, et al., 2008).
            Penurunan curah jantung, kurangnya oksigen dan pasokan darah ke otot menyebabkan kelelahan, pernafasan pendek pada saat beraktivitas (dyspnea) ataupun saat berbaring (orthopnea). Karena ketika pasien berbaring, perubahan postural menyebabkan tekanan perut pada diafragma menyebarkan edema ke paru-paru, dan menyebabkan sesak nafas. Pada malam hari, gejala yang di timbulkan oleh paru-paru menimbulkan batuk dan meningkatkan produksi urin (nocturia) sehingga dapat menyebabkan gangguan tidur. Pasien yang terbangun pada malam hari, secara bertahap akan mengakumulasi cairan di paru-paru yang dapat menyebabkan nafas terengah-engah (paroxymal nocturnal dyspnea) (Hudson, 2003).
            Pada perjalanan penyakit jantung, perlu diperhatikan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi seperti faktor presipitasi berupa infeksi pada paru-paru, demam atau sepsis, anemia (baik akut maupun kronis), kurangnya kepatuhan (seperti tidak minum obat diuretik atau digitalis, atau tidak diet rendah garam), beban cairan yang berlebihan, terjadinya infark akut berulang, aritmia, emboli paru, keadaan-keadaan high output, melakukan pekerjaan beban berat dan mendadak (seperti lari, naik tangga), stres emosional, serta hipertensi yang tidak terkontrol (Suryadipraja, 1996).
Tabel 1. Kelas Fungsional Gagal Jantung Menurut NYHA (Irnizarifka, 2011).
Kelas Fungsional
Penilaian Objektif
I
Pasien dengan penyakit jantung tanpa pembatasan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik biasa tidak menimbulkan keluhan berupa kelelahan yang sangat, sesak nafas, palpitasi, maupun nyeri dada angina.
II
Pasien dengan gagal jantung disertai pembatasan aktivitas fisik minimal atau ringan, nyaman saat istirahat.
Aktivitas fisik biasa sudah menimbulkan keluhan lelah yang sangat, sesak nafas, palpitasi, maupun nyeri dada angina.

III
Pasien dengan penyakit jantung disertai pembatasan aktivitas fisik yang nyata, nyaman dengan istirahat.
Aktivitas fisik lebih ringan dari biasa sudah menimbulkan keluhan lelah yang sangat, sesak nafas, palpitasi, maupun nyeri dada angina.
IV
Pasien dengan penyakit jantung yang tidak mampu melakukan aktivitas fisik sama sekali.
Keluhan lelah yang sangat, sesak nafas, palpitasi, maupun nyeri dada angina bahkan dapat timbul saat istirahat

Diagnosis
Dalam penetapan diagnosis gagal jantung tidak dapat dilakukan dengan tes tunggal. Hal tersebut di karenakan gagal jantung dapat disebabkan atau diperburuk oleh berbagai gangguan baik dari jantung maupun bukan dari jantung. Tahap evaluasi awal mencakup perhitungan darah komplit, serum elektrolit (termasuk Mg), uji fungsi ginjal dan hati, urinalisis, profil lipid, x-ray dada, serta elektrokardiogram (EKG) (Dipiro, et al., 2008).
Selain pemeriksaan fisik dan tes laboraturium, dalam penegakan diagnosis gagal jantung juga dapat dilakukan imaging untuk melihat ketidaknormalan lain di jantung. Misalnya dilakukan ekokardiogram, yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan abnormalitas perikardial atau miokardial, serta dapat menunjukkan adanya disfungsi sistolik dan atau diastolik serta fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) (Dipiro, et al., 2008).
Diagnosis untuk penyakit gagal jantung menurut Komite Medik RSUP. Dr. M. Djamil Padang (2007) ialah :
a.         Anamnesis
1.         Sesak nafas, udem tungkai, dan kelelahan merupakan gejala khas gagal jantung.
2.         Riwayat hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterolemia, penyakit jantung koroner, kelainan katup, alkoholisme, penyakit tiroid.
3.         Riwayat keluarga: penyakit ateroskeloris, kardiomiopati, kematian mendadak, penyakit gangguan konduksi.
4.         Tidak ada hubungan antara gejala yang timbul dengan beratnya disfungsi jantung yang terjadi dan prognosis penyakit.

b.        Pemeriksaan Fisik
1.      Tanda-tanda klinis gagal jantung harus dinilai dengan pemeriksaan fisik yang seksama meliputi inspeksi, palpitasi, dan auskultasi.
2.      Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada gagal jantung kanan dan/atau kiri antara lain: takikardia, peningkatan tekanan vena jugular, bunyi jantung gallop, ascites, hepatomegali, dan edema tungkai.

c.         Pemeriksaan Penunjang (pemeriksaan utama)
1.    Elektrokardiogram
i.           Sebagian besar gambaran EKG pada gagal jantung kronik adalah abnormal. Normal EKG memiliki nilai prediksi negatif disfungsi ventrikel kiri lebih dari 90%.
ii.         Gelombag Q dan LBBB merupakan pertanda penurunan fraksi ejeksi yang baik.
iii.       Gambaran EKG dengan hipertrofi atrium kiri dan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan dengan disfungsi sistolik atau diastolik saja, tetapi memiliki nilai prediksi yang rendah.
iv.       Fibrasi atrial, flutter atrial dan aritmia ventrikular sangat penting sebagai faktor kausa maupun faktor penyerta gagal jantung.
v.         Holter elektrokardiografi tidak memiliki nilai dalam diagnosis gagal jantung kronik dan hanya dilakukan pada pasien gagal jantung kronik dengan aritmia yang simptomatik.


2.    Foto toraks
i.        Pemeriksaan foto toraks merupakan pemeriksaan diagnostik pendahuluan yang harus dilakukan pada kasus gagal jantung.
ii.      Nilai prediksi yang tinggi diperoleh bila interpretasi foto toraks disertai temuan klinis dan gambaran anomali EKG.
iii.    Gambaran foto toraks yang bermanfaat untuk menilai gagal jantung adalah tanda-tanda pembesaran jantung dan bendungan paru.
iv.    Foto toraks juga dapat membantu dalam memberikan informasi penyebab sesak nafas lain.

3.    Laboraturium 
Pemeriksaan laboraturium rutin untuk diagnosis gagal jantung meliputi pemeriksaan darah rutin (hemoglobin, leukosit, trombosit, hematokrit), kadar elektrolit, kreatinin, glukosa, enzim hepar, dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan yang dapat dipertimbangkan adalah kadar TSH, kadar asam urat, urea darah, dan pemeriksaan enzim jantung. Pemeriksaan BNP (brain natriuretic) memiliki nilai prediksi yang tinggi.

4.      Ekokardiografi
            Ekokardiografi merupakan pemeriksaan pilihan untuk menilai disfungsi jantung pada saat beristirahat.
c.                   Pemeriksaan Tambahan
1.      Stress ekokardiografi: bermanfaaat untuk mendeteksi iskemia miokard sebagai penyebab disfungsi reversible ataupun disfungsi permanen.
2.      Kardiologi Nuklir: secara rutin tidak direkomendasikan, meskipun memiliki nilai diagnostik dan prognostik yang dapat dipercaya.
3.      Treadmill test: memiliki kemampuan terbatas dalam diagnosis gagal jantung, meskipun demikian seseorang dengan kapasitas fisik maksimal pada pemeriksaan treadmill dan tidak dalam terapi gagal jantung dapat disingkirkan dalam diagnosis gagal jantung. Aplikasi utama pemeriksaan treadmill pada gagal jantung adalah untuk menilai fungsi, kemajuan terapi dan stratifikasi prognosis.
4.      Diagnosis invasif: secara umum tidak direkomendasikan pada kasus gagal jantung yang sudah pasti diagnosisnya, tetapi mungkin penting dalam menjelaskan penyebab atau dalam memperoleh informasi diagnostik.
i.        Kateterisasi jantung dapat dipertimbangkan pada:
a)      Penderita yang mengalami dekompensasi akut pada gagal jantung kronik atau pada gagal jantung berat (syok atau edema paru akut) yang tidak memberikan respon pada terapi awal.
b)      Kardiomiopati dilatasi (DCM) untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan koroner.
c)      Gagal jantung refrakter dengan etiologi yang belum jelas.
d)     Regurgitasi katup mitral dan aorta berat.
ii.      Kateterisasi jantung tidak direkomendasikan pada:
a)      Gagal jantung terminal.
b)      Pada pasien yang bukan kandidat untuk tindakan revaskularisasi kardiak atau operasi katup.
c)      Penderita dengan anatomi arteria koroner yang sudah diketahui tanpa episode baru infark miokard.


1.      Manifestasi klinik(2)
-          Sesak nafas
-          Laju jantung meningkat
-          Pembesaran jantung
-          Paroxysmal nocturnal dyspnea
-          Batuk kering
-          Lemah dan letih
-          Nocturia dan oliguria
-          Gejala-gejala serebral (bingung, kemunduran memori, cemas, sakit kepala, insomnia, mimpi buruk, kadang-kadang disorientasi, delirium, dan halusinasi)
-          Gejala pada abdomen (asites, pembesaran perut, anoreksia, mual, muntah, konstipasi)

2.      Terapi
1.      Terapi nonfarmakologi(2,3)
a.       Kontrol hipertensi, menurunkan kebutuhan oksigen, mengatur kelainan metabolik yang disebabkan oleh diabetes.
b.      Koreksi faktor risiko (aritmia, merokok, stress, hipertensi, toksin miokard, obat-obat kardiotoksik).
c.       Batasi aktivitas dan batasi asupan kalori.

2.      Terapi farmakologi(3,4)
a.       Obat-obat inotropik
·   Glikosida digitalis/Digoksin (Lanoxin®)
Mekanisme kerja: meningkatkan kontraktilitas jantung.
Dosis:
·   Dosis awal 0,5 mg IV diberikan perlahan selama 10-20 menit. Jika perlu, dosis tambahan 0,25 mg atau 0,125 mg dapat diberikan setelah 4 jam.
·   Pasien yang lebih muda membutuhkan dosis 1 mg.
·   1-1,25 mg per oral 1 kali sehari, maintenance dose 0,125-0,25 mg.
·   Agonis reseptor simpatetik, turunan quinolone, agonis β-1 selektif.
·   Inhibitor fosfodiesterase.

b.      Obat-obat vasoaktif
Ø  Vasodilator vena
Mekanisme kerja: penurunan kebutuhan oksigen miokard akibat venodilatasi dan dilatasi arteri-arteriol.
Efek samping: hipotensi postural yang berhubungan dengan gejala sisitim saraf pusat, refleks takikardi, sakit kepala, wajah memerah, ruam, methemoglobinemia (dosis tinggi jangka panjang).

Sediaan beredar dan dosis:
o   Nitrogliserin
§  Intravena (Nitrocine®): 5 mcg/menit.
§  Sublingual/lingual: 0,3 mg.
§  Per oral: 2,5 – 9 mg 3x sehari.
§  Salep: 0,5-1mg.
§  Patch (Minitran®): 1 patch
o   Eritriol tetranitrat: 5-10 mg 3x sehari.
o   Pentaeritriol tetranitrat: 10-20 mg 3x sehari.
o   Isosorbid dinitrat
§  Sublingual/kunyah (Cedocard®, Isoket®): 2,5-5 mg 3x sehari
§  Per oral (Cedocard®, Isordil®): 5-10 mg 3x sehari
o   Isosorbid mononitrat (Isomonit 60 SR®): 20 mg/hari atau 2x sehari.
Ø  Vasodilator arteri
Hydralazine, Minoxidil, dosis 200-800 mg/hari.

Ø  Calcium channel blocker
   Mekanisme kerja: vasodilatasi arteriol sistemik dan arteri koroner, menyebabkan penurunan tekanan darah arteri, tahanan pembuluh darah koroner, penekanan kontraktilitas miokard, kecepatan konduksi nodus SA dan AV.
   Indikasi: pasien kontraindikasi terhadap β-blocker, angina Prinzmetal, penyakit vaskuler perifer, disfungsi ventrikuler berat, hipertensi simultan.
   Efek samping: sakit kepala, edema, vasodilatasi, konstipasi, rasa tidak enak badan, gangguan gastrointestinal.
   Kontraindikasi: hipersensitif, kehamilan sebelum minggu ke-20, wanita menyusui, syok kardiovaskuler.
Sediaan beredar dan dosis:
·         Amlodipin besilat (Actapin®, Amcor®, Norvask®): 5 mg/hari, bila perlu 10 mg/hari.
·         Diltiazem HCl (Cardyne®, Dilatrop®, Herbesser®): 3x sehari 30 mg.
·         Felodipin (Plendin Er®): dosis awal 2,5 mg/hari, selanjutnya 5 - 10 mg.
·         Nikardipin HCl (Loxen®).
·         Nifedipin (Adalat®, Calcianta®): 5-10 mg/hari
·         Nimodipin (Nimotop®): cairan infus 10 mg/50 mL (5-14 hari), lanjutkan dengan tablet 6x2 (30 mg/tablet salut film) sehari.
Ø  Analog prostasiklin (Epoprostenol)


c.       Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor
Mekanisme kerja: menurunkan angiotensin II dan aldosteron, mempengaruhi efek negatif yang ditimbulkan oleh senyawa-senyawa tersebut, seperti mereduksi remodeling ventrikuler, fibrosis miokardial, apoptosis miosit, hipertropi kardiak, pelepasan norepinefrin, vasokontriksi, dan retensi natrium dan air.
Efek samping: sakit kepala, pusing, rhinitis, batuk, myalgia, kelelahan, mual, muntah, dispepsia, paresthesa, ruam kulit, neutropenia dan agranulosit, proteinuria, glomerulonephritis, dan gagal ginjal akut (terjadi pada <1% penderita).

Kontraindikasi: Hipersensitivitas, angioedema, kehamilan dan laktasi.

Tabel 1.Sediaan beredar dan dosis:
Obat
Dosis awal
Survival benefit
Captopril(Capoten®, Casipril®)
6,25 mg tid
50 mg tid
Enalapril(Rebacardon®, Tenace®)
2,5-5 mg bid
10 mg bid
Lisinopril(Interpril®, Noperten®)
2,5-5 mg qd
20-40 qd
Quinapril (Accupril®)
10 mg bid
20-40 mg bid
Ramipril (Triatec®)
1,25-2,5 mg bid
5 mg bid
Fosinopril (Acenor M®)
5-10 mg qd
40 mg qd
Trandolapril (Tarka®)
0,5-1 mg qd
4 mg qd


d.      β-blocker
Mekanisme kerja: antagonis reseptor β- adrenergic, menurunkan frekuensi denyut jantung, daya kontraksi jantung, dan tekanan darah.
Efek samping: hipotensi, gagal jantung, bradikardi, blockade jantung, bronkospasmus, vasokontriksi perifer, dan klaudikasi intermiten, perubahan metabolism glukosa, kelelahan, lemas, dan depresi.
Kontraindikasi: sinus bradikardi, syok kardiogenik, dan gagal jantung.
Dosis:
·         Bisoprolol fumarat (Concor®): 1,25 mg/hari, dosis target  10 mg/hari
·         Karvedilol (Mikelan®): 3,125 mg dua kali sehari, dosis target 25 mg 2 kali sehari (50 mg 2 kali/hari untuk  pasien dengan berat badan>85 kg)
·         Metoprolol (Ateksi®, Lopresor®, Seloken®): dosis awal 12,5-25 mg/hari, dosis target 200 mg/hari

e.       Angiotensin II receptor blockers (ARB)
Mekanisme kerja: Menahan langsung reseptorangiotensin tipe II yang memperantarai efek angiotensin II (vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen glomerulus).
Efek samping: infeksi saluran pernafasan atas, nyeri punggung, gajala flu, pusing, sakit kepala.
Kontraindikasi: kehamilan dan laktasi, gagal ginjal berat, gagal hati berat dan gout.

Tabel 2.Sediaan beredar dan dosis:
Obat
Dosis
Valsartan (Diovan®)
Dosis awal 40 mg 1 kali sehari, maks 320 mg dalam dosis terbagi
Candesartan (Blopress®)
Dosis awal 4 mg 1 kali/hari, dapat ditingkatkan menjadi 16 mg 1 kali/hari



f.       Diuretik
Diperlukan untuk mengatasi retensi cairan pada pasien.Diuretik Tiazid merupakan diuretik lemah dan digunakan secara tunggal dan jarang pada gagal jantung kongestif. Namun, diuretika Tiazid atau analog Tiazid (misalnya Metolazon) dapat digunakan sebagai senyawa diuresis yang efektif bila dikombinasikan dengan diuretik loop Henle.Diuretik Loop Henle sering digunakan pada terapi CHF.
 

Tidak ada komentar:

Google Ads