Bioteknologi adalah penggunaan biokimia,
mikrobiologi, dan rekayasa genetika secara terpadu, untuk menghasilkan barang
atau lainnya bagi kepentingan manusia. Bioteknologi merupakan cabang ilmu yang
mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan lain-lain)
maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk
menghasilkan barang dan jasa.
Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya
didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni
lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika,
kimia, matematika, dan lain sebagainya.[1] Dengan kata lain, bioteknologi
adalah ilmu terapan yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses
produksi barang dan jasa.
Dari dulu hingga sekarang, telah banyak
produk-produk metabolisme yang telah dihasilkan oleh mikroorganisme, misalnya
etanol, asam asetat, asam laktat, asam sitrat, butanol/aseton, dan gliserol.
1.
Asam Laktat
Asam laktat (lactic acid)
adalah salah satu asam organik yang penting di industri, terutama di
industri makanan. Di samping itu, penggunaannya sekarang lebih luas karena bisa
dipakai sebagai bahan baku pembuatan polylactic acid, biodegradable
plastics yang merupakan polimer dari asam laktat.
Produksi asam
laktat mayoritas dilakukan dengan fermentasi gula (glukosa) oleh bakteri
aam laktat, seperti Lactobacillus, yang memiliki toleransi
yang tinggi terhadap asam
dan bisa direkayasa genetika untuk menghasilkan D-(-) atau L-(+) optical
isomers dari asam ini secara selektif. Namun bakteri jenis ini memerlukan
medium kompleks yang bisa membuat proses pemurnian (downstream processing)
sulit dan mahal. Ditambah, bakteri ini juga tidak mampu mengfermentasi
gula pentosa dengan efektif. Solusinya adalah penggunaan bakteri lain
jenis Escherichia coli yang telah direkayasa genetika guna produksi asam
laktat secara optimum.
2.
Asam sitrat
Asam sitrat merupakan asam organik
lemah
yang ditemukan pada daun dan buah tumbuhan genus Citrus
(jeruk-jerukan). Senyawa ini merupakan bahan pengawet yang baik dan alami,
selain digunakan sebagai penambah rasa masam pada makanan dan minuman
ringan. Dalam biokimia, asam sitrat dikenal sebagai senyawa
antara dalam siklus asam sitrat yang terjadi di dalam mitokondria,
yang penting dalam metabolisme makhluk
hidup. Zat ini juga dapat digunakan sebagai zat pembersih yang ramah lingkungan
dan sebagai antioksidan.
Asam sitrat terdapat pada berbagai jenis buah
dan sayuran, namun ditemukan pada konsentrasi tinggi, yang dapat mencapai 8%
bobot kering, pada jeruk lemon dan limau (misalnya jeruk nipis
dan jeruk
purut). Kebutuhan dunia akan asam sitrat terus meningkat dari tahun ke tahun
dan produksi asam sitrat tiap tahun meningkat 2 – 3%. Hingga sampai tahun 1920,
semua asam sitrat dihasilkan dari lemon dan jus jeruk.
Rumus
kimia asam sitrat adalah C6H8O7 (strukturnya ditunjukkan pada tabel informasi
di sebelah kanan). Struktur asam ini tercermin pada nama IUPAC-nya,
asam 2-hidroksi-1,2,3-propanatrikarboksilat.
Asam sitrat diyakini ditemukan oleh alkimiawan Arab-Yemen (kelahiran Iran) yang hidup pada abad ke-8,
Jabir Ibn Hayyan. Pada zaman
pertengahan, para ilmuwan Eropa membahas sifat asam sari buah lemon dan
limau; hal tersebut tercatat dalam ensiklopedia
Speculum Majus (Cermin
Agung) dari abad ke-13 yang dikumpulkan oleh Vincent dari Beauvais.
Asam sitrat pertama kali diisolasi pada tahun 1784 oleh kimiawan Swedia, Carl Wilhelm Scheele, yang
mengkristalkannya dari sari buah lemon. Pembuatan asam sitrat skala industri
dimulai pada tahun 1860, terutama mengandalkan produksi jeruk dari Italia.
Pada tahun 1893, C. Wehmer
menemukan bahwa kapang
Penicillium dapat
membentuk asam sitrat dari gula. Namun demikian, pembuatan asam sitrat dengan mikroba
secara industri tidaklah nyata sampai Perang
Dunia I mengacaukan ekspor jeruk dari Italia. Pada tahun 1917, kimiawan pangan Amerika,
James Currie menemukan bahwa galur tertentu kapang Aspergillus
niger dapat menghasilkan asam sitrat secara efisien, dan perusahaan
kimia Pfizer
memulai produksi asam sitrat skala industri dengan cara tersebut dua tahun
kemudian.
Pembuatan Asam Sitrat
Dalam proses produksi asam sitrat yang sampai
saat ini lazim digunakan, biakan kapang Aspergillus niger diberi sukrosa agar
membentuk asam sitrat. Setelah kapang disaring dari larutan yang dihasilkan, asam
sitrat diisolasi dengan cara mengendapkannya dengan kalsium hidroksida membentuk garam kalsium sitrat.
Asam sitrat di-regenerasi-kan dari kalsium sitrat dengan penambahan asam sulfat.
Cara lain pengisolasian asam sitrat dari hasil
fermentasi adalah dengan ekstraksi menggunakan larutan hidrokarbon
senyawa basa organik
trilaurilamina yang diikuti
dengan re-ekstraksi dari larutan organik tersebut dengan air.
Namun kini asam sitrat juga dapat dihasilkan melalui fermentasi
menggunakan mikroorganisme Aspergillus niger, yaitu kapang yang
digunakan secara komersial pertama kali pada tahun 1923. Guna memenuhi
permintaan yang terus meningkat, maka efisiensi proses ferementasi terus
dipelajari. Pengukuran kesetimbangan massa dipelajari agar dpat ditentukan
banyaknya substrat yang digunakan dan jumlah produk yang dihasilkan.
Proses fermentasi asam sitrat terdiri dari dua tahap. Pertama fase
pertumbuhan miselium dan kedua fase fermentasi pembentukan produk. Keduanya dikarakteristikkan
oleh laju penyerapan karbohidrat. Pada fase pertama digunakan untuk pembentukan
miselium dan pada tahap kedua karbohidrat diubah menjadi asam sitrat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi asam sitrat secara fermentasi
Selain mikrobia sebagai komponen utama dalam fermentasi, factor-faktor
pendukung yang perlu diperhatikan adalah komposisi nutrisi media, Mangan dan
logam lainnya, pH, kondisi lingkungan, tipe dan konsentrasi gula, pengaruh
senyawa pengkhelat terhadap ion logam, ammonium nitrat dan aerasi.
2.1. Mikrobia
Saat ini produksi asam sitrat secara komersial menggunakan mutan Aspergillus
niger, dan ada pula yang menggunakan Saccharomyces lipolytica,
Penicillium simplicissimum, dan A. foeitidus.
Untuk meningkatkan kemampuan produksi sering dilakukan proses mutasi.
Mutasi yang umum dilakukan adalah dengan iradiasi ultraviolet (1,6 X 102
J/m2/dt) dan nitrosamine (100 mg/ml) selama 5 – 45 menit. Kultur
dipelihara dalam medium PDA.
2.2. Komposisi Nutrisi Media
Media fermentasi untuk biosintesis asam sitrat terdiri dari substrat yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme, terutama terdiri dari substrat
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorgaisme terutama sumber karbon,
nitrogen dan fosfor. Selain itu air dan udara dapat pula dimasukkan sebagai
substrat fermentasi
a.
Sumber Karbon
Media yang sering digunakan sebagai sumber karbon adalah berbagai
karbohidrat dan limbah selulosa, inulin, kurma, molase tebu (digunakan dalam
fermentasi kultur cair teraduk), whey kedelai, whey keju, sukrosa, glukosa,
fruktosa, methanol.
Whey dari industry pengolahan susu sering digunakan sebagai medium dasar.
Whey dapat ditambah sukrosa, glukosa atau fruktosa sekitar 5 – 10 % (b/v). Jika
ditambah methanol berkisar 1 – 5 %. Riboflavin dapat ditambahkan sebesar
10 – 50 mg/L.
Molase yang digunakan untuk substrat fermentasi biasanya mengandung air
20%, gula 62 %, non-gula 10 % dan garam an-organik (abu) 8 %. Abu mengandung
ion-ion seperti Mg, Mn, Al, Fe dan Zn dalam jumlah yang bervariasi. Karena
kandungan gula cukup tinggi maka perlu diencerkan sehingga mengandung gula 25%.
Larutan molase kemudian ditambah H2SO4 1N sebanyak 35
ml/L dan direbus selama ½ jam kemudian didinginkan, dinetralkan dengan air
kapur (CaO) dan dijernihkan semalam. Cairan supernatant yang jernih diencerkan
hingga kdar gula mencapai 15%. Selama fermentasi 144 jam dihasilkan asam sitrat
sekitar 85 g/l, berat sel kering 20 g/l dan gula yang dikonsumsi 91 g/l.
b.
Sumber Nitrogen
Nitrogen jug mempengaruhi pembentukan asam sitrat karena nitrogen tidak
hanya penting untuk laju metabolit dalam sel tetapi jug bagi pembentukan
protein sel. Jumlah produksi asam sitrat mencapai maksimum jika konsentrasi
ammonium nitrat sebesar 0,2%. Peningkatan konsentrasi justru menurunkan jumlah
asam yang dihasilkan dan kapang tumbuh menyebar.
c.
Sumber Fofor
Sumber fosfat yang digunakan adalah triklasium fosfat.
d.
Konsentrasi ion Ferosianida
Konsentrasi ferosianida berpengaruh terhadap produksi asam sitrat.
Penambahan ferosianida dilakukan 24 jam setelah inokulasi sebanyak 200 ppm.
Jumlah sel yang dihasilkan berkurang dengan naikknya jumlah ferosianida.
e.
Vitamin
Vitamin yang
sering ditambahkan adalah riboflavin.
2.3. Proses Fermentasi
a.
Fermentor
Dalam percobaan skala laboratorium sebaiknya digunakan Erlenmeyer 500 ml
yang diisi 100 ml medium. Masing-masing Erlenmeyer diinokulasi dengan suspensi
spora dan diinkubasi selama 20 hari pada suhu 300C.
Fermentor stainless stell berkapasitas 15 liter diisi medium 9 liter
untuk pembuatan asam sitrat.
b.
Persiapan Kultur
Jika digunakan kultur stok A. niger maka kultur harus direaktivasi
dan dikultivasi dengan cara goresan pada petridish menggunakan mediam padat PDA
(Potato Dextrose Agar) yang telah diasamkan dengan asam tartart 10% dan
diinkubasi selama 5 hari pada suhu 250C. Konidia yang dibentuk
kemudian dicuci dua kali dengan air destilat steril. Suspensi konidia yang akan
digunakan sebagai inokulum dalam proses fermentasi harus mengandung 108
spora/ml.
Untuk menumbuhkan konidia Aspergillus digunakan medium molase 100
ml (gula 15%, pH 6,0) dalam Erlenmeyer 1 liter yang bersisi glass bads dan
telah disterilkan. 1 ml suspensi konidia dari agar miring dipindahkan secara
aseptis, kemudian diinkubasi pada 300 + 10C dalam
incubator dengan kecepatan gojogan 200 rpm selama 24 jam.
c.
Jumlah Inokulum
Jumlah inokulum yang digunakan jug merupakan factor yang penting untuk
diperhatikan. Jumlah inokulum sebesar 1% cukup baik untuk fermentasi dalam
fermentor teraduk.
d.
Fermentasi
Inokulum yang telah dibuat dimaukkan dalam fermentor produksi sebanyak 5%
(v/v). inkubasi dilakukan pada suhu 300 + 10C selama 144
jam. Kecepatan agitasi adalah 200 rpm dengan laju aerasi 1,0 – 4,0 vvm. Untuk
mengendalikan terbentuknya buih secara berkala dilakukan penambahan minyak
silikom steril.
e.
Waktu Fermentasi
Waktu fermentasi yang maksimum untuk fermentasi asam sitrat tergantung
kondisi fermentasi dan organism yang digunakan. Penggunaan A. niger
dengan substrat molase embutuhkan waktu 144 jam setelah inokulasi.
f.
Suhu
Suhu medium fermentasi merupakan salad satu factor yang penting dalam
produksi asam sitrat. Suhu 300C adalah suhu yang paling baik. Jika
suhu medium rendah, aktivitas enzim jug rendah sehingga mempengaruhi produksi
asam tetapi jika suhu meningkat di atas 300C, biosintesis asam
sitrat akan menurun dan terjadi akumulasi produk samping seperti asam oksalat.
g.
pH
Pengaturan pH penting bagi keberhasilan proses
fermentasi. Untuk fermentasi asam sitrat pH optimum adalah 6,0. Penurunan pH
menyebabkan produksi asam sitrat berkurang. Hal ini disebabkan pada pH rendah
ion ferosinida lebih toksik bagi pertumbuhan miselium. Pada pH yang tinggi
terjadi akumulasi asam oksalat
Penggunaan Asam Sitrat
Penggunaan utama asam sitrat saat ini adalah
sebagai zat pemberi cita rasa dan pengawet makanan dan minuman,
terutama minuman ringan. Kode asam sitrat sebagai zat
aditif makanan (E number ) adalah E330. Garam sitrat dengan
berbagai jenis logam
digunakan untuk menyediakan logam tersebut (sebagai bentuk biologis) dalam
banyak suplemen makanan. Sifat
sitrat sebagai larutan penyangga digunakan sebagai
pengendali pH dalam
larutan pembersih dalam rumah tangga dan obat-obatan.
Kemampuan asam sitrat untuk meng-kelat logam menjadikannya
berguna sebagai bahan sabun
dan deterjen.
Dengan meng-kelat logam pada air sadah,
asam sitrat memungkinkan sabun dan deterjen membentuk busa dan berfungsi dengan
baik tanpa penambahan zat penghilang kesadahan.
Demikian pula, asam sitrat digunakan untuk memulihkan bahan penukar ion yang
digunakan pada alat penghilang kesadahan dengan menghilangkan ion-ion logam
yang terakumulasi pada bahan penukar ion tersebut sebagai kompleks sitrat.
Asam sitrat digunakan di dalam industri bioteknologi
dan obat-obatan untuk melapisi (passivate) pipa mesin dalam proses
kemurnian tinggi sebagai ganti asam nitrat,
karena asam nitrat dapat menjadi zat berbahaya setelah digunakan untuk
keperluan tersebut, sementara asam sitrat tidak.
Asam sitrat dapat pula ditambahkan pada es krim untuk
menjaga terpisahnya gelembung-gelembung lemak. Dalam resep
makanan, asam sitrat dapat digunakan sebagai pengganti sari jeruk.
3.
Asam Asetat
Asam asetat, asam
etanoat atau asam cuka[2]
adalah senyawa kimia asam
organik
yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2.
Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH,
atau CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis
tak berwarna, dan
memiliki titik beku 16.7°C.
Asam asetat merupakan salah satu asam
karboksilat paling sederhana, setelah asam
format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah,
artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-.
Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku
industri
yang penting. Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa
asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Dalam industri
makanan, asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman. Di
rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak
air. Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1.5 juta
ton per tahun diperoleh dari hasil daur ulang,
sisanya diperoleh dari industri petrokimia
maupun dari sumber hayati.
Cuka telah dikenal manusia sejak dahulu kala. Cuka dihasilkan
oleh berbagai bakteria
penghasil asam asetat, dan asam asetat merupakan hasil samping dari pembuatan bir atau anggur.
Penggunaan asam asetat sebagai pereaksi kimia
juga sudah dimulai sejak lama. Pada abat ke-3 Sebelum Masehi, Filsuf Yunani kuno
Theophrastos
menjelaskan bahwa cuka bereaksi dengan logam-logam membentuk
berbagai zat
warna, misalnya timbal putih (timbal
karbonat), dan verdigris, yaitu suatu zat hijau campuran dari garam-garam
tembaga dan
mengandung tembaga (II) asetat. Bangsa Romawi menghasilkan
sapa, sebuah sirup
yang amat manis, dengan mendidihkan anggur yang sudah asam. Sapa
mengandung timbal asetat, suatu zat manis yang disebut juga gula timbal
dan gula Saturnus.
Akhirnya hal ini berlanjut kepada peracunan dengan timbal yang
dilakukan oleh para pejabat Romawi.
Pada abad ke-8, ilmuwan Persia Jabir ibn Hayyan menghasilkan asam
asetat pekat dari cuka melalui distilasi. Pada masa renaisans,
asam asetat glasial dihasilkan dari distilasi
kering logam asetat. Pada abad ke-16 ahli alkimia Jerman Andreas
Libavius menjelaskan prosedur tersebut, dan membandingkan asam asetat
glasial yang dihasilkan terhadap cuka. Ternyata asam asetat glasial memiliki
banyak perbedaan sifat dengan larutan asam asetat dalam air, sehingga banyak ahli kimia
yang mempercayai bahwa keduanya sebenarnya adalah dua zat yang berbeda. Ahli kimia Prancis Pierre Adet
akhirnya membuktikan bahwa kedua zat ini sebenarnya sama.
Pada 1847 kimiawan Jerman Hermann
Kolbe mensintesis
asam asetat dari zat anorganik untuk pertama kalinya. Reaksi
kimia yang dilakukan adalah klorinasi karbon
disulfida menjadi karbon tetraklorida, diikuti dengan pirolisis
menjadi tetrakloroetilena dan klorinasi dalam air menjadi asam trikloroasetat, dan akhirnya reduksi melalui elektrolisis
menjadi asam asetat.
Sejak 1910 kebanyakan asam
asetat dihasilkan dari cairan piroligneous yang diperoleh dari distilasi
kayu. Cairan ini
direaksikan dengan kalsium hidroksida menghasilkan kalsium asetat yang
kemudian diasamkan dengan asam sulfat menghasilkan asam asetat.
Mikroorganisme yang berperan dalam pembuatan cuka adalah yeast dan
bakteri. Yeast yang bertugas untuk mengubah gula menjadi ethanol pada fermentasi
tahap pertama adalah Saccharomyces cerevisiae. Sedangkan bakteri yang
berperan dalam mengoksidasi ethanol menjadi asam asetat pada fermentasi tahap
kedua adalah genus Acetobacter.
1. Yeast
Yeast merupakan tumbuhan mikroskopik bersel satu dan merupakan golongan
fungi, tidak bercabang dan tidak mempunyai klorofil serta memperbanyak diri
secara vegetatif dengan cara pertunasan multilateral. Sel berukuran 3 – 7 x 4 –
12 µm dengan bentuk spheroid, ooid atau ellipsoid.
Genus dan spesies yeast yang paling sering digunakan adalah Saccharomyces
cereviceae. Selnya berbentuk bulat, oval, atau memanjang. Yeast
berkembangbiak dengan bertunas, konjugasi dan membentuk askospora. Strain ini
dikelompokkan menjadi ”bottom yeast” atau ”top yeast ”. Top
yeast tumbuh sangat cepat pada 20oC, menghasilkan alkohol dan
CO2. Top yeast membentuk koloni yang mengapung dipermukaan
akibat produksi CO2 yang cepat. Sebaliknya bottom yeast
tumbuh optimal pada 10-15oC, memproduksi CO2 dengan
lambat (juga tumbuh dengan lambat), tidak membentuk koloni sehingga digolongkan
sebagai bottom yeast. Top yeast dan bottom yeast
digunakan berdasarkan kebutuhan proses fermentasi sebagian.
Sumber karbon untuk Saccharomyces cereviceae adalah
karbohidrat. Seluruh khamir membutuhkan D-glukosa, D-fruktosa dan D-mannosa.
Heksosa lainnya, kecuali metil pentosa seperti D-galaktosa, dapat digunakan
namun membutuhkan enzim. Bila sumber karbon berupa di-, tri- atau polisakarida
maka substrat akan diubah terlebih dahulu menjadi heksosa melalui proses
hidrolisis. Khamir mampu memfermentasi bermacam jenis gula seperti glukosa,
fruktosa, sukrosa, maltosa, maltotriosa.
2. Bakteri Asam Asetat
Golongan bakteri yang mengoksidasi etanol mejadi asam asetat
diklasifikasikan menjadi 2 genera yaitu Gluconobacter dan Acetobacter.
Gluconobacter mengoksidasi etanol menjadi asam asetat, sedangkan Acetobacter
dapat mengoksidasi asam asetat lebih lanjut menjadi CO2 dan H2O.
Bakteri asam asetat yang dewasa ini banyak digunakan untuk memproduksi cuka
komersial adalah galur dari spesies Acetobacter aceti, Acetobacter
peroxidans dan Acetobacter pasteurianum. Spesies Acetobacter
disebut superoksidan karena mengoksidasi asam asetat menjadi CO2 dan
H2O melalui siklus TCA (”Tricarboxylic acid”) dan rantai
penafasan. Sedangkan spesies Gluconobacter merupakan suboksidan karena
kurang berfungsi dalam siklus TCA sehingga asam asetat terakumulasi sebagai
produk akhir dari oksidasi etanol.
Acetobacter aceti digunakan untuk memproduksi asam asetat dari alkohol.
Sel ini merupakan gram negative, berbentuk batang (0,5-1,5 µm),
berbentuk sel tunggal, berpasangan atau berantai. Sel ini bersifat obligat
aerob, katalase positif, mengoksidasi etanol menjadi asam asetat dan asam
laktat serta CO2 dan H2O. tumbuh optimum pada suhu antara
25-30oC. Secara alami terdapat pada buah, sake, palm wine,
cider, beer, batang tebu, tanah, dan kapang teh.
Acetobacter aceti merupakan bakteri gram
negatif yang bersifat motil dengan peritrichous flagella, obligat aerob dan
tidak membentuk endospora. Bakteri ini ada dimana-mana dalam lingkungan, dalam tanah, air, bunga, buah-buahan, dan pada
lebah madu atau di mana saja terjadi fermentasi gula. A.aceti
menghasilkan asam cuka dari etanol dalam minuman beralkohol. Asam cuka dan
laktat dioksidasi menjadi CO2 dan H2O oleh bakteri
tersebut. Acetobacter aceti, A.pasteurianus dan Gluconobacter
oxydans digunakan secara komersial untuk pembuatan cuka.
Bakteri asam asetat mendapatan energi dengan mengoksidasi etanol
menjadi asam asetat. Bakteri ini tumbuh dalam lingkungan sedikit asam yang
mengandung gula dan atau etanol seperti bir, ”wine”, cider,
jus buah, madu, bunga dan buah-buahan. Bakteri asam asetat terdapat secara
alami dalam jus buah yang difermentasi termasuk dalam pembuatan cuka dari ”wine”
atau cider.
4. Itaconic acid
Itaconic acid (IA) adalah salah satu produk asam organik penting
di industri bioteknologi di samping lactic acid, pyruvate, acetate,
dan lain-lain. Nama lain dari Itaconic acid adalah metylene
succinic acid, merupakan kristal putih yang larut di pelarut polar seperti
air, aceton, alkohol namun sedikit larut di pelarut organik. Manfaat dari IA
adalah sebagai bahan baku industri polimer (carpet, coating, resin). Itaconic
acid adalah monomer yang memberi sifat adhesi dan latex stability. Itaconic
acid juga digunakan di industri deterjen, gelas sintetis dan bahan aditif
di obat-obatan.
Itaconic acid
umumnya diproduksi melalui proses fermentasi oleh fungi seperti spesies Aspergillus
dengan kapasitas produksi global sebesar sekitar 15000 ton/tahun yang
didominasi USA (Cargill), China dan Japan. Bahan baku yang populer adalah
glucose dari starch. Produktivitas proses fermentasi senilai 1 gram Itaconic
acid per liter per jam dengan konsentrasi Itaconic acid di
fermentor 80 gram/liter.
Proses pemurnian Itaconic acid terdiri
dari filtrasi untuk memisahkan sel fungi dari larutan Itaconic acid
dan medium fermentasi, evaporasi, pendinginan dan kristralisasi guna
menghasilkan kristal Itaconic acid grade teknis. Beberapa teknologi
baru telah diterapkan guna menghasilkan kemurnian lebih tinggi dengan biaya
ekonomis, misalnya electrodialysis, reverse osmosis, ultrafiltration, dan
ion-exchange.
Itaconic acid
juga bisa diproduksi secara katalitik kimiawi dari citric acid (pyrolising-hydrolisation
process) atau kondensasi succinate dan formaldehyde
namun relatif kurang ekonomis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar