Google ads

Senin, 09 Maret 2015

BIOTEKNOLOGI ASAM-ASAM ORGANIK





Bioteknologi adalah penggunaan biokimia, mikrobiologi, dan rekayasa genetika secara terpadu, untuk menghasilkan barang atau lainnya bagi kepentingan manusia. Bioteknologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa.
Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain sebagainya.[1] Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa.
Dari dulu hingga sekarang, telah banyak produk-produk metabolisme yang telah dihasilkan oleh mikroorganisme, misalnya etanol, asam asetat, asam laktat, asam sitrat, butanol/aseton, dan gliserol.

1.      Asam Laktat
Asam laktat (lactic acid) adalah salah satu asam organik yang penting di industri, terutama di industri makanan. Di samping itu, penggunaannya sekarang lebih luas karena bisa dipakai sebagai bahan baku pembuatan polylactic acid, biodegradable plastics yang merupakan polimer dari asam laktat.
Produksi asam laktat mayoritas dilakukan dengan fermentasi gula (glukosa) oleh bakteri aam laktat, seperti Lactobacillus, yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap asam dan bisa direkayasa genetika untuk menghasilkan D-(-) atau L-(+) optical isomers dari asam ini secara selektif. Namun bakteri jenis ini memerlukan medium kompleks yang bisa membuat proses pemurnian (downstream processing) sulit dan mahal. Ditambah, bakteri ini juga tidak mampu mengfermentasi gula pentosa dengan efektif. Solusinya adalah penggunaan bakteri lain jenis Escherichia coli yang telah direkayasa genetika guna produksi asam laktat secara optimum.
2.      Asam sitrat
Asam sitrat merupakan asam organik lemah yang ditemukan pada daun dan buah tumbuhan genus Citrus (jeruk-jerukan). Senyawa ini merupakan bahan pengawet yang baik dan alami, selain digunakan sebagai penambah rasa masam pada makanan dan minuman ringan. Dalam biokimia, asam sitrat dikenal sebagai senyawa antara dalam siklus asam sitrat yang terjadi di dalam mitokondria, yang penting dalam metabolisme makhluk hidup. Zat ini juga dapat digunakan sebagai zat pembersih yang ramah lingkungan dan sebagai antioksidan.
Asam sitrat terdapat pada berbagai jenis buah dan sayuran, namun ditemukan pada konsentrasi tinggi, yang dapat mencapai 8% bobot kering, pada jeruk lemon dan limau (misalnya jeruk nipis dan jeruk purut). Kebutuhan dunia akan asam sitrat terus meningkat dari tahun ke tahun dan produksi asam sitrat tiap tahun meningkat 2 – 3%. Hingga sampai tahun 1920, semua asam sitrat dihasilkan dari lemon dan jus jeruk.
Rumus kimia asam sitrat adalah C6H8O7 (strukturnya ditunjukkan pada tabel informasi di sebelah kanan). Struktur asam ini tercermin pada nama IUPAC-nya, asam 2-hidroksi-1,2,3-propanatrikarboksilat.
Asam sitrat diyakini ditemukan oleh alkimiawan Arab-Yemen (kelahiran Iran) yang hidup pada abad ke-8, Jabir Ibn Hayyan. Pada zaman pertengahan, para ilmuwan Eropa membahas sifat asam sari buah lemon dan limau; hal tersebut tercatat dalam ensiklopedia Speculum Majus (Cermin Agung) dari abad ke-13 yang dikumpulkan oleh Vincent dari Beauvais. Asam sitrat pertama kali diisolasi pada tahun 1784 oleh kimiawan Swedia, Carl Wilhelm Scheele, yang mengkristalkannya dari sari buah lemon. Pembuatan asam sitrat skala industri dimulai pada tahun 1860, terutama mengandalkan produksi jeruk dari Italia.
Pada tahun 1893, C. Wehmer menemukan bahwa kapang Penicillium dapat membentuk asam sitrat dari gula. Namun demikian, pembuatan asam sitrat dengan mikroba secara industri tidaklah nyata sampai Perang Dunia I mengacaukan ekspor jeruk dari Italia. Pada tahun 1917, kimiawan pangan Amerika, James Currie menemukan bahwa galur tertentu kapang Aspergillus niger dapat menghasilkan asam sitrat secara efisien, dan perusahaan kimia Pfizer memulai produksi asam sitrat skala industri dengan cara tersebut dua tahun kemudian.

Pembuatan Asam Sitrat

Dalam proses produksi asam sitrat yang sampai saat ini lazim digunakan, biakan kapang Aspergillus niger diberi sukrosa agar membentuk asam sitrat. Setelah kapang disaring dari larutan yang dihasilkan, asam sitrat diisolasi dengan cara mengendapkannya dengan kalsium hidroksida membentuk garam kalsium sitrat. Asam sitrat di-regenerasi-kan dari kalsium sitrat dengan penambahan asam sulfat.
Cara lain pengisolasian asam sitrat dari hasil fermentasi adalah dengan ekstraksi menggunakan larutan hidrokarbon senyawa basa organik trilaurilamina yang diikuti dengan re-ekstraksi dari larutan organik tersebut dengan air.
Namun kini asam sitrat juga dapat dihasilkan melalui fermentasi menggunakan mikroorganisme Aspergillus niger, yaitu kapang yang digunakan secara komersial pertama kali pada tahun 1923. Guna memenuhi permintaan yang terus meningkat, maka efisiensi proses ferementasi terus dipelajari. Pengukuran kesetimbangan massa dipelajari agar dpat ditentukan banyaknya substrat yang digunakan dan jumlah produk yang dihasilkan.
Proses fermentasi asam sitrat terdiri dari dua tahap. Pertama fase pertumbuhan miselium dan kedua fase fermentasi pembentukan produk. Keduanya dikarakteristikkan oleh laju penyerapan karbohidrat. Pada fase pertama digunakan untuk pembentukan miselium dan pada tahap kedua karbohidrat diubah menjadi asam sitrat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi  asam sitrat secara fermentasi

Selain mikrobia sebagai komponen utama dalam fermentasi, factor-faktor pendukung yang perlu diperhatikan adalah komposisi nutrisi media, Mangan dan logam lainnya, pH, kondisi lingkungan, tipe dan konsentrasi gula, pengaruh senyawa pengkhelat terhadap ion logam, ammonium nitrat dan aerasi.

2.1.     Mikrobia

Saat ini produksi asam sitrat secara komersial menggunakan mutan Aspergillus niger, dan ada pula yang menggunakan Saccharomyces lipolytica, Penicillium simplicissimum, dan A. foeitidus.
Untuk meningkatkan kemampuan produksi sering dilakukan proses mutasi. Mutasi yang umum dilakukan adalah dengan iradiasi ultraviolet (1,6 X 102 J/m2/dt) dan nitrosamine (100 mg/ml) selama 5 – 45 menit. Kultur dipelihara dalam medium PDA.

2.2.     Komposisi Nutrisi Media

Media fermentasi untuk biosintesis asam sitrat terdiri dari substrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme, terutama terdiri dari substrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorgaisme terutama sumber karbon, nitrogen dan fosfor. Selain itu air dan udara dapat pula dimasukkan sebagai substrat fermentasi



a.      Sumber Karbon
Media yang sering digunakan sebagai sumber karbon adalah berbagai karbohidrat dan limbah selulosa, inulin, kurma, molase tebu (digunakan dalam fermentasi kultur cair teraduk), whey kedelai, whey keju, sukrosa, glukosa, fruktosa, methanol.
Whey dari industry pengolahan susu sering digunakan sebagai medium dasar. Whey dapat ditambah sukrosa, glukosa atau fruktosa sekitar 5 – 10 % (b/v). Jika ditambah methanol berkisar 1 – 5 %.  Riboflavin dapat ditambahkan sebesar 10 – 50 mg/L.
Molase yang digunakan untuk substrat fermentasi biasanya mengandung air 20%, gula 62 %, non-gula 10 % dan garam an-organik (abu) 8 %. Abu mengandung ion-ion seperti Mg, Mn, Al, Fe dan Zn dalam jumlah yang bervariasi. Karena kandungan gula cukup tinggi maka perlu diencerkan sehingga mengandung gula 25%. Larutan molase kemudian ditambah H2SO4 1N sebanyak 35 ml/L dan direbus selama ½ jam kemudian didinginkan, dinetralkan dengan air kapur (CaO) dan dijernihkan semalam. Cairan supernatant yang jernih diencerkan hingga kdar gula mencapai 15%. Selama fermentasi 144 jam dihasilkan asam sitrat sekitar 85 g/l, berat sel kering 20 g/l dan gula yang dikonsumsi 91 g/l.
b.     Sumber Nitrogen
Nitrogen jug mempengaruhi pembentukan asam sitrat karena nitrogen tidak hanya penting untuk laju metabolit dalam sel tetapi jug bagi pembentukan protein sel. Jumlah produksi asam sitrat mencapai maksimum jika konsentrasi ammonium nitrat sebesar 0,2%. Peningkatan konsentrasi justru menurunkan jumlah asam yang dihasilkan dan kapang tumbuh menyebar.
c.      Sumber Fofor
Sumber fosfat yang digunakan adalah triklasium fosfat.
d.     Konsentrasi ion Ferosianida
Konsentrasi ferosianida berpengaruh terhadap produksi asam sitrat. Penambahan ferosianida dilakukan 24 jam setelah inokulasi sebanyak 200 ppm. Jumlah sel yang dihasilkan berkurang dengan naikknya jumlah ferosianida.
e.      Vitamin
Vitamin yang sering ditambahkan adalah riboflavin.

 

 

 

2.3.     Proses Fermentasi

a.      Fermentor
Dalam percobaan skala laboratorium sebaiknya digunakan Erlenmeyer 500 ml yang diisi 100 ml medium. Masing-masing Erlenmeyer diinokulasi dengan suspensi spora dan diinkubasi selama 20 hari pada suhu 300C.
Fermentor stainless stell berkapasitas 15 liter diisi medium 9 liter untuk pembuatan asam sitrat.

b.     Persiapan Kultur
Jika digunakan kultur stok A. niger maka kultur harus direaktivasi dan dikultivasi dengan cara goresan pada petridish menggunakan mediam padat PDA (Potato Dextrose Agar) yang telah diasamkan dengan asam tartart 10% dan diinkubasi selama 5 hari pada suhu 250C. Konidia yang dibentuk kemudian dicuci dua kali dengan air destilat steril. Suspensi konidia yang akan digunakan sebagai inokulum dalam proses fermentasi harus mengandung 108 spora/ml.
Untuk menumbuhkan konidia Aspergillus digunakan medium molase 100 ml (gula 15%, pH 6,0) dalam Erlenmeyer 1 liter yang bersisi glass bads dan telah disterilkan. 1 ml suspensi konidia dari agar miring dipindahkan secara aseptis, kemudian diinkubasi pada 300 + 10C dalam incubator dengan kecepatan gojogan 200 rpm selama 24 jam.
c.      Jumlah Inokulum
Jumlah inokulum yang digunakan jug merupakan factor yang penting untuk diperhatikan. Jumlah inokulum sebesar 1% cukup baik untuk fermentasi dalam fermentor teraduk.
d.     Fermentasi
Inokulum yang telah dibuat dimaukkan dalam fermentor produksi sebanyak 5% (v/v). inkubasi dilakukan pada suhu 300 + 10C selama 144 jam. Kecepatan agitasi adalah 200 rpm dengan laju aerasi 1,0 – 4,0 vvm. Untuk mengendalikan terbentuknya buih secara berkala dilakukan penambahan minyak silikom steril.



e.      Waktu Fermentasi
Waktu fermentasi yang maksimum untuk fermentasi asam sitrat tergantung kondisi fermentasi dan organism yang digunakan. Penggunaan A. niger dengan substrat molase embutuhkan waktu 144 jam setelah inokulasi.

f.        Suhu
Suhu medium fermentasi merupakan salad satu factor yang penting dalam produksi asam sitrat. Suhu 300C adalah suhu yang paling baik. Jika suhu medium rendah, aktivitas enzim jug rendah sehingga mempengaruhi produksi asam tetapi jika suhu meningkat di atas 300C, biosintesis asam sitrat akan menurun dan terjadi akumulasi produk samping seperti asam oksalat.
g.     pH
Pengaturan pH penting bagi keberhasilan proses fermentasi. Untuk fermentasi asam sitrat pH optimum adalah 6,0. Penurunan pH menyebabkan produksi asam sitrat berkurang. Hal ini disebabkan pada pH rendah ion ferosinida lebih toksik bagi pertumbuhan miselium. Pada pH yang tinggi terjadi akumulasi asam oksalat

Penggunaan Asam Sitrat
Penggunaan utama asam sitrat saat ini adalah sebagai zat pemberi cita rasa dan pengawet makanan dan minuman, terutama minuman ringan. Kode asam sitrat sebagai zat aditif makanan (E number ) adalah E330. Garam sitrat dengan berbagai jenis logam digunakan untuk menyediakan logam tersebut (sebagai bentuk biologis) dalam banyak suplemen makanan. Sifat sitrat sebagai larutan penyangga digunakan sebagai pengendali pH dalam larutan pembersih dalam rumah tangga dan obat-obatan.
Kemampuan asam sitrat untuk meng-kelat logam menjadikannya berguna sebagai bahan sabun dan deterjen. Dengan meng-kelat logam pada air sadah, asam sitrat memungkinkan sabun dan deterjen membentuk busa dan berfungsi dengan baik tanpa penambahan zat penghilang kesadahan. Demikian pula, asam sitrat digunakan untuk memulihkan bahan penukar ion yang digunakan pada alat penghilang kesadahan dengan menghilangkan ion-ion logam yang terakumulasi pada bahan penukar ion tersebut sebagai kompleks sitrat.
Asam sitrat digunakan di dalam industri bioteknologi dan obat-obatan untuk melapisi (passivate) pipa mesin dalam proses kemurnian tinggi sebagai ganti asam nitrat, karena asam nitrat dapat menjadi zat berbahaya setelah digunakan untuk keperluan tersebut, sementara asam sitrat tidak.
Asam sitrat dapat pula ditambahkan pada es krim untuk menjaga terpisahnya gelembung-gelembung lemak. Dalam resep makanan, asam sitrat dapat digunakan sebagai pengganti sari jeruk.

3.      Asam Asetat
Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka[2] adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16.7°C.
Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-. Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting. Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Dalam industri makanan, asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air. Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1.5 juta ton per tahun diperoleh dari hasil daur ulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia maupun dari sumber hayati.
Cuka telah dikenal manusia sejak dahulu kala. Cuka dihasilkan oleh berbagai bakteria penghasil asam asetat, dan asam asetat merupakan hasil samping dari pembuatan bir atau anggur.
Penggunaan asam asetat sebagai pereaksi kimia juga sudah dimulai sejak lama. Pada abat ke-3 Sebelum Masehi, Filsuf Yunani kuno Theophrastos menjelaskan bahwa cuka bereaksi dengan logam-logam membentuk berbagai zat warna, misalnya timbal putih (timbal karbonat), dan verdigris, yaitu suatu zat hijau campuran dari garam-garam tembaga dan mengandung tembaga (II) asetat. Bangsa Romawi menghasilkan sapa, sebuah sirup yang amat manis, dengan mendidihkan anggur yang sudah asam. Sapa mengandung timbal asetat, suatu zat manis yang disebut juga gula timbal dan gula Saturnus. Akhirnya hal ini berlanjut kepada peracunan dengan timbal yang dilakukan oleh para pejabat Romawi.
Pada abad ke-8, ilmuwan Persia Jabir ibn Hayyan menghasilkan asam asetat pekat dari cuka melalui distilasi. Pada masa renaisans, asam asetat glasial dihasilkan dari distilasi kering logam asetat. Pada abad ke-16 ahli alkimia Jerman Andreas Libavius menjelaskan prosedur tersebut, dan membandingkan asam asetat glasial yang dihasilkan terhadap cuka. Ternyata asam asetat glasial memiliki banyak perbedaan sifat dengan larutan asam asetat dalam air, sehingga banyak ahli kimia yang mempercayai bahwa keduanya sebenarnya adalah dua zat yang berbeda. Ahli kimia Prancis Pierre Adet akhirnya membuktikan bahwa kedua zat ini sebenarnya sama.
Pada 1847 kimiawan Jerman Hermann Kolbe mensintesis asam asetat dari zat anorganik untuk pertama kalinya. Reaksi kimia yang dilakukan adalah klorinasi karbon disulfida menjadi karbon tetraklorida, diikuti dengan pirolisis menjadi tetrakloroetilena dan klorinasi dalam air menjadi asam trikloroasetat, dan akhirnya reduksi melalui elektrolisis menjadi asam asetat.
Sejak 1910 kebanyakan asam asetat dihasilkan dari cairan piroligneous yang diperoleh dari distilasi kayu. Cairan ini direaksikan dengan kalsium hidroksida menghasilkan kalsium asetat yang kemudian diasamkan dengan asam sulfat menghasilkan asam asetat.
Mikroorganisme yang berperan dalam pembuatan cuka adalah yeast dan bakteri. Yeast yang bertugas untuk mengubah gula menjadi ethanol pada fermentasi tahap pertama adalah Saccharomyces cerevisiae. Sedangkan bakteri yang berperan dalam mengoksidasi ethanol menjadi asam asetat pada fermentasi tahap kedua adalah genus Acetobacter.
1.      Yeast
Yeast merupakan tumbuhan mikroskopik bersel satu dan merupakan golongan fungi, tidak bercabang dan tidak mempunyai klorofil serta memperbanyak diri secara vegetatif dengan cara pertunasan multilateral. Sel berukuran 3 – 7 x 4 – 12 µm dengan bentuk spheroid, ooid atau ellipsoid.
Genus dan spesies yeast yang paling sering digunakan adalah Saccharomyces cereviceae. Selnya berbentuk bulat, oval, atau memanjang. Yeast berkembangbiak dengan bertunas, konjugasi dan membentuk askospora. Strain ini dikelompokkan menjadi ”bottom yeast” atau ”top yeast ”. Top yeast tumbuh sangat cepat pada 20oC, menghasilkan alkohol dan CO2. Top yeast membentuk koloni yang mengapung dipermukaan akibat produksi CO2 yang cepat. Sebaliknya bottom yeast tumbuh optimal pada 10-15oC, memproduksi CO2 dengan lambat (juga tumbuh dengan lambat), tidak membentuk koloni sehingga digolongkan sebagai bottom yeast. Top yeast dan bottom yeast digunakan berdasarkan kebutuhan proses fermentasi sebagian.
Sumber karbon untuk Saccharomyces cereviceae adalah karbohidrat. Seluruh khamir membutuhkan D-glukosa, D-fruktosa dan D-mannosa. Heksosa lainnya, kecuali metil pentosa seperti D-galaktosa, dapat digunakan namun membutuhkan enzim. Bila sumber karbon berupa di-, tri- atau polisakarida maka substrat akan diubah terlebih dahulu menjadi heksosa melalui proses hidrolisis. Khamir mampu memfermentasi bermacam jenis gula seperti glukosa, fruktosa, sukrosa, maltosa, maltotriosa.
2.      Bakteri Asam Asetat
Golongan bakteri yang mengoksidasi etanol mejadi asam asetat diklasifikasikan menjadi 2  genera yaitu Gluconobacter dan Acetobacter. Gluconobacter mengoksidasi etanol menjadi asam asetat, sedangkan Acetobacter dapat mengoksidasi asam asetat lebih lanjut menjadi CO2 dan H2O. Bakteri asam asetat yang dewasa ini banyak digunakan untuk memproduksi cuka komersial adalah galur dari spesies Acetobacter aceti, Acetobacter peroxidans dan Acetobacter pasteurianum. Spesies Acetobacter disebut superoksidan karena mengoksidasi asam asetat menjadi CO2 dan H2O melalui siklus TCA (”Tricarboxylic acid”) dan rantai penafasan. Sedangkan spesies Gluconobacter merupakan suboksidan karena kurang berfungsi dalam siklus TCA sehingga asam asetat terakumulasi sebagai produk akhir dari oksidasi etanol.
Acetobacter aceti digunakan untuk memproduksi asam asetat dari alkohol. Sel ini merupakan gram negative, berbentuk batang (0,5-1,5 µm), berbentuk sel tunggal, berpasangan atau berantai. Sel ini bersifat obligat aerob, katalase positif, mengoksidasi etanol menjadi asam asetat dan asam laktat serta CO2 dan H2O. tumbuh optimum pada suhu antara 25-30oC. Secara alami terdapat pada buah, sake, palm wine, cider, beer, batang tebu, tanah, dan kapang teh.
Acetobacter aceti merupakan bakteri gram negatif yang bersifat motil dengan peritrichous flagella, obligat aerob dan tidak membentuk endospora. Bakteri ini ada dimana-mana dalam lingkungan, dalam tanah, air, bunga, buah-buahan, dan pada lebah madu atau di mana saja terjadi fermentasi gula. A.aceti menghasilkan asam cuka dari etanol dalam minuman beralkohol. Asam cuka dan laktat dioksidasi menjadi CO2 dan H2O oleh bakteri tersebut. Acetobacter aceti, A.pasteurianus dan Gluconobacter oxydans digunakan secara komersial untuk pembuatan cuka.
Bakteri asam asetat mendapatan energi dengan mengoksidasi etanol menjadi asam asetat. Bakteri ini tumbuh dalam lingkungan sedikit asam yang mengandung gula dan atau etanol seperti bir, ”wine”, cider, jus buah, madu, bunga dan buah-buahan. Bakteri asam asetat terdapat secara alami dalam jus buah yang difermentasi termasuk dalam pembuatan cuka dari ”wine” atau cider.


4.      Itaconic acid
Itaconic acid (IA) adalah salah satu produk asam organik penting di industri bioteknologi di samping lactic acid, pyruvate, acetate, dan lain-lain. Nama lain dari Itaconic acid adalah metylene succinic acid, merupakan kristal putih yang larut di pelarut polar seperti air, aceton, alkohol namun sedikit larut di pelarut organik. Manfaat dari IA adalah sebagai bahan baku industri polimer (carpet, coating, resin). Itaconic acid adalah monomer yang memberi sifat adhesi dan latex stability. Itaconic acid juga digunakan di industri deterjen, gelas sintetis dan bahan aditif di obat-obatan.
 
Itaconic acid umumnya diproduksi melalui proses fermentasi oleh fungi seperti spesies Aspergillus dengan kapasitas produksi global sebesar sekitar 15000 ton/tahun yang didominasi USA (Cargill), China dan Japan. Bahan baku yang populer adalah glucose dari starch. Produktivitas proses fermentasi senilai 1 gram Itaconic acid per liter per jam dengan konsentrasi Itaconic acid di fermentor 80 gram/liter.
Proses pemurnian Itaconic acid terdiri dari filtrasi untuk memisahkan sel fungi dari larutan Itaconic acid dan medium fermentasi, evaporasi, pendinginan dan kristralisasi guna menghasilkan kristal Itaconic acid grade teknis. Beberapa teknologi baru telah diterapkan guna menghasilkan kemurnian lebih tinggi dengan biaya ekonomis, misalnya electrodialysis, reverse osmosis, ultrafiltration, dan ion-exchange.
Itaconic acid juga bisa diproduksi secara katalitik kimiawi dari citric acid (pyrolising-hydrolisation process) atau kondensasi succinate dan formaldehyde namun relatif kurang ekonomis.

Tidak ada komentar:

Google Ads