Google ads

Minggu, 29 November 2015

Indonesian Sustainable Carbon Certificate (ISCC) dan Emisi Carbon Certificate (ECC)



Dewasa ini, kita dihadapakan pada suatu masalah lingkungan yang cukup komplek. Isu lingkungan pada saat ini sudah mulai menyaingi isu ekonomi dan politik. Masalah lingkungan bukan hanya dalam lingkup nasional, namun sudah mengglobal. Isu lingkungan yang paling populer adalah pemanasan global( global warming).
Saat ini pemanasan global menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup di bumi ini. Efeknya tidak hanya mengancam manusia tapi mahluk hidup lain yang tinggal di bumi juga ikut terancam. Sebab utama dari pemanasan global adalah efek rumah kaca yang diakibatkan meningkatnya gas karbon yang berada di atsmosfer. Gas karbon banyak dihasilkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi kita selalu menghasilkan gas karbon. Ketika bernafas sebernarnya kita juga menghasilkan gas karbon. Keterkaitan kita dengan karbon terjadi karena energi yang digunakan dihasilakan dari bahan-bakar fosil.
Di negara maju saja mereka juga tidak bisa lepas dengan penggunaan bahan-bakar fosil, walaupun sudah ada riset dan penelitian yang menemukan sumber energi lain. Seperti energi matahari, panas bumi, angin dan bahan bakar nabati. Tetapi itu semua belum dapat menggantikan secara penuh bahan-bakar fosil.
Masalah pemanasan global yang pelik mendorong munculnya gagasan membuat Protokol Kyoto . Dalam Protokol Kyoto mengatur tiga cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu joint implementation, clean development Mechanism dan  emissions tradng.
Sejalan dengan meningkatnya perhatian terhadap perbaikan mutu lingkungan, Organisasi-organisasi dengan berbagai jenis dan ukuran makin meningkatkan perhatian mereka pada dampak lingkungan dari kegiatan, produk dan jasanya. Kinerja lingkungan dari suatu organisasi semakin penting bagi pihak terkait di lingkungan internal maupun eksternal. Untuk mencapai kinerja lingkungan yang baik diperlukan komitmen organisasi untuk melakukan pendekatan yang sistematik dan penyempurnaan yang berkelanjutan dalam suatu sistem manajemen lingkungan (EMS).
Sistem Manajemen lingkungan dikembangkan untuk memberikan panduan dasar agar kegiatan bisnis senantiasa akrab lingkungan. Kondisi lingkungan yang memburuk akibat kegiatan manusia (yang pada gilirannya akan merusak tempat hidup bersama) sudah waktunya untuk dikendalikan. Hal ini dapat menunjukkan bahwa sistem pengelolaan lingkungan yang jelas dan terintegrasi, seperti penerapan ECC dan ISCC tidak hanya akan mendorong perbaikan lingkungan organisasi, tetapi juga meningkatkan pemahaman lingkungan yang lebih baik.
Pemerintah, industri dan masyarakat pada umumnya, menyadari bahwa dunia tidak bisa berjalan tanpa menggunakan sumber daya Namun, yang jadi permasalahan adalah siapa yang berhak menerima tanggung jawab untuk memberikan tanggapan atau respon yang diperlukan terhadap kelangsungan lingkungan.
Hal ini menunjukkan adanya tantangan bahwa secara keseluruhan masyarakat telah  menciptakan budaya yang sesuai dan mengakui bahwa lingkungan tidak memiliki kapasitas yang besar untuk mempertahankan pembangunan global. Oleh karena itu di perlukan pendekatan yang lebih radikal dalam penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam  jika masyarakat ingin tetap untuk bertahan hidup dalam jangka panjang.
Organisasi dengan jelas memiliki peran dalam pengembangan teknologi dan inovasi, yaitu peran untuk tetap mempertahankan perannya dalam pengembangan dan inovasi, mempertahankan operasi bisnis untuk jangka panjang yang akan mengurangi limbah dan menggunakan sumber daya alam lebih efisien.
APA ITU SERTIFIKASI ISCC ?
ISCC (International Sustainability & Carbon Certification) merupakan sistem sertifikasi bertaraf internasional pertama untuk membuktikan “sustainability”, “traceability” dan penghematan dari efek gas rumah kaca untuk segala jenis produksi biomass (energi yang terbarukan). CPO bersertifikasi ISCC berpotensi untuk mendapatkan premium sekitar 20 – 30 dolar AS per metrik ton dari harga di pasar dunia.
ISCC menjelaskan peraturan dan prosedur untuk sertifikasi biomassa dan bioenergi dalam bahan bakar dan sektor listrik, yang bertujuan mengurangi gas rumah kaca, pengelolaan lahan yang berkelanjutan dan perlindungan habitat alam.  Sertifikakasi tersebut bersifat independen, yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi dan diakui BLE yang bekerja sama dengan ISCC.  Audit dilaksanakan berdasarkan prosedur terdokumentasi dan daftar periksa ISCC yang telah dikembangkan.

  Sertifikasi ISCC (International Sustainability & Carbon Certification) adalah sistem sertifikasi terkenal didunia untuk kelestarian lingkungan hidup dan pencegahan emisi gas rumah kaca (baca: green house gases emissions). Pada tahun 2010, pengakuan resmi sebagai organisasi internasional oleh negara Jerman. Pada Juli 2011, komisi negara Uni Eropa mengakui ISCC sebagai skema sertifikasi pertama yang mampu menunjukkan kesesuaian dengan persyaratan Uni Eropa “Renewable Energy Directive’s (RED).
Sebagai informasi, ISCC PLUS telah dikembangkan untuk pangan dan makanan ternak, teknikal/kimiawi (contoh: bioplastik) dan penerapan bioenergi lainnya (contoh biomassa padatan)
Sertifikasi ISCC dapat diterapkan untuk memenuhi persyaratan pada pangsa pasar bioenergi dalam upaya mendemonstrasikan kelestarian dan mampu telusur dari stok makanan ternak, dan industri kimia.
Sertifikasi ISCC EU, ISCC DE dan ISCC DE 36th BimSchV, untuk sertifikasi bionergi pada pasar Uni Eropa sesuai dengan RED dan peraturan perundangan Jerman.
Sertifikasi ISCC PLUS adalah sertifikasi sukarela untuk produk dan aplikasinya pada pangan, makanan
ternak dan industri kimia.


 Mengapa perusahaan seharusnya memilih Sistem ISCC untuk sertifikasi ?
  • ISCC mencakup keseluruhan rantai pasokan dari perkebunan hingga ke pelanggan dan memastikan mampu telusur pada keseluruhan rantai pasokan
·         ISCC merupakan skema global yang mencakup keseluruhan jenis biomassa  diperuntukkan di pasar internal Eropa dan internasional. Merupakan “one stop shop” untuk perusahaan dan perdagangan internasional
·         ISCC telah terbukti secara praktek internasional, lebih dari 4000 sertifikasi telah dikeluarkan
·         ISSC bukan merupakan “pasar tertutup” (closed shop) – fitur utamanya adalah keterwakilan pemangku kepentingan (stakeholder) secara berimbang dan adanya proses yang transparan. Hal ini memberikan kredibilitas pada persepsi masyarakat dan keamanan jangka panjang bagi perusahaan yang menggunakan skema ini
·         ISCC memastikan program audit yang memiliki efektivitas dan efisiensi tinggi pada sistem dokumen ISCC dan tool audit lainnya
·         ISCC memberikan perusahaan tingkat keamanan yang tinggi karena ISCC juga mencakup issue keberlangsungan secara sosail kemasyarakatan – dengan atau tanpa biaya tambahan.
·         ISCC menawarkan tool yang unik dan menyeluruh untuk perhitungan gas rumah kaca.
2.2  Tujuan dari  ISCC
Tujuan dari ISCC adalah untuk pembentukan system yang berorientasi internasional, praktis, dan transparan untuk sertifikasi biomassa dan bioenergi.  ISCC difokuskan pada :
  • Pengurangan gas rumah kaca,
  • Pengelolaan lahan berkelanjutan,
  • Perlindungan habitat alam dan
  • Keberlanjutan sosial.
MEDAN | DNA  Asian Agri berhasil meraih sertifikat International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) Plus, menjadikannya sebagai perusahaan sawit pertama di Indonesia yang menerima sertifikasi bagi rantai pasokan untuk minyak inti sawit.
ISCC diuji dalam fase uji coba selama dua tahun, dan pada 18/01/2010 telah dilakukan sistem sertifikasi pertama untuk Ordonansi Keberlanjutan Biofuel (Biofuel Ordonansi Keberlanjutan) oleh Badan Federal untuk Pertanian dan Pangan (BLE). Jadi ISCC telah berjalan sejak awal 2010 dan telah mengeluarkan lebih dari 200 sertifikat (Februari 2011).
ISCC dapat digunakan untuk segala bentuk biomassa.  Di antaranya tanaman klasik untuk produksi energi termasuk gandum, tebu, jagung, kedelai, dan kelapa sawit.
Sistem ISCC telah diakui secara internasional oleh berbagai pemangku kepentingan termasuk LSM dan lembaga-lembaga ilmiah.
Sertifikat ISCC PLUS diterbitkan pada 17 Juni 2014 oleh SGS Germany; sebuah badan sertifikasi independen yang berfokus pada inspeksi, verifikasi, pengujian, dan sertifikasi. SGS memeriksa persyaratan sustainability berdasarkan dokumen-dokumen dan prosedur-prosedur ISCC.

ISCC dan ISCC PLUS independen, sistem sertifikasi yang berlaku secara global untuk emisi gas rumah kaca dan keberlanjutan.

ISCC dapat digunakan untuk menunjukkan kepatuhan dengan persyaratan keberlanjutan dari pemerintah, pelanggan bisnis dan konsumen akhir. ISCC dapat diterapkan untuk sertifikasi semua jenis biomassa dan bioenergi serta untuk produk-produk berbasis biomassa dalam makanan, pakan dan industri kimia. ISCC memastikan bahwa :
Emisi gas rumah kaca berkurang,  Biomassa tidak diproduksi di tanah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan stok karbon tinggi, Praktek pertanian yang baik melindungi tanah, air dan udara yang diterapkan  Hak asasi manusia, hak-hak buruh dan lahan dihormati.


·         Sertifikasi ISCC

dilakukan oleh badan sertifikasi independen yang memeriksa kesinambungan operasional berdasarkan dokumen sistem ISCC, dan prosedur.

·         Pendekatan multi-stakeholder

ISCC dikembangkan melalui proses multi-pihak terbuka yang melibatkan sekitar 250 asosiasi, korporasi, lembaga penelitian internasional dan LSM. Sebagai forum dialog pemangku kepentingan, asosiasi ISCC diresmikan di Berlin pada bulan Januari 2010 dan saat ini memiliki lebih dari 60 anggota.
, yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi dan diakui BLE yang bekerja sama dengan ISCC
ISCC diuji dalam fase uji coba selama dua tahun, dan pada 18/01/2010 telah dilakukan sistem sertifikasi pertama untuk Ordonansi Keberlanjutan Biofuel (Biofuel Ordonansi Keberlanjutan) oleh Badan Federal untuk Pertanian dan Pangan (BLE). Jadi ISCC telah berjalan sejak awal 2010 dan telah mengeluarkan lebih dari 200 sertifikat (Februari 2011).
ISCC dapat digunakan untuk segala bentuk biomassa.  Di antaranya tanaman klasik untuk produksi energi termasuk gandum, tebu, jagung, kedelai, dan kelapa sawit.

2.3 Kriteria Sertifikasi ISCC

1. Persyaratan mengenai sustainability
Penanaman untuk produksi biomassa harus mematuhi persyaratan sustainability, yakni:

  1. v  Perlindungan terhadap area HCV
  2. v  Perlindungan terhadap area dengan stok karbon yang tinggi
  3. v  Perlindungan terhadap lahan gambut, dan
  4. v  Pengelolaan kebun yang berkelajutan
  5. v  Standar-standar yang harus dipenuhi dituangkan dalam dokumen ISCC 202 Sustainability Requirements for the Production of Biomass.


2. Persyaratan mengenai reduksi emisi gas rumah kaca dan metodologi perhitungannya
Untuk pemenuhan persyaratan ini, produksi biomassa cair harus dapat mereduksi emisi gas rumah kaca sebesar 35%. Oleh karena itu dibutuhkan data-data seperti:

  1. v  Kebutuhan bahan energi (pemupukan, transportasi operasional, listrik dan pompa, land application)
  2. v  Peralatan yang mengakibatkan munculnya emisi (genset, transport operasional, transport buah, dll)
  3. Standar-standar yang harus dipenuhi dituangkan dalam dokumen ISCC 205 GHG Emissions Calculation Methodology and GHG Audit.


3. Persyaratan mengenai traceability (penelusuran)
Asal mula biomassa berkelanjutan (dalam hal ini adalah TBS) yang digunakan untuk memproduksi biomassa cair harus ditelusuri melalui berbagai tahap produksi dan pasokan sampai ke produksi biomassa tersebut.
Standar-standar yang harus dipenuhi mengenai sistem penelusuran tertuang dalam dokumen ISCC 203 Requirements for Traceability. Sedangkan metodologi perhitungan mass balance tertuang dalam dokumen ISCC 204 Mass Balance Calculation Methodology.


SERTIFIKAT EMISI KARBON
Indonesia Produsen Emisi Karbon Dunia
Perdagangan emisi karbon merupakan kebutuhan yang penting bagi kelangsungan ekosistem global di masa mendatang. Hal  pemicu perlunya perdagangan emisi karbon muncul setelah para ilmuwan mengemukakan perubahan iklim dunia yang meningkat mencapai 5 derajat celcius. Jika iklim dunia itu terus meningkat maka akan berpotensi membawa malapetaka kerusakan lingkungan.
Menurut para ilmuwan, emisi gas rumah kaca (green house gases- GHG) dianggap sebagai penyebab perubahan iklim global yang ditakutkan.  Sektor energi khususnya kegiatan pembakaran bahan bakar fosil (batubara, minyak bumi, gas bumi), merupakan penyumbang terbesar emisi gas  rumah kaca (khususnya karbondioksida, CO2). Oleh  karena itu, sektor ini akan terkena dampak langsung kesepakatan dunia mengenai manajemen perubahan iklim tersebut.
Untuk mencapai target pengurangan emisi karbondioksida, maka pada Protoko Kyoto (1997) yang membahas kerangka kerja  konvensi perubahan iklim (Framework Convention on Climate Change, FCCC) telah menyepakati bahwa negara-negara industri akan mengurangi tingkat emisi rata-rata 5,2 % dibawah level 1990 pada tahun 2008 hingga 2012.
Protokol Kyoto dilengkapi dengan mekanisme lentur (flexible mechanisms) yang menjadi bagian sangat penting dari Protokol tersebut. Termasuk dalam mekanisme lentur Protokol Kyoto tersebut adalah perdagangan emisi (emission trading- ET), penerapan bersama (joint implementation- JI) dan  “mekanisme pembangunan bersih” (clean development mechanism- CDM).
Perdagangan karbon  merupakan cara meringankan beban negara industri dalam mengurangi emisi gas mereka. Biasanya perdagangan itu dilakukan antara negara maju dan negara berkembang. Negara maju akan membeli ECC (Emision Carbon certificate) dari negara berkembang. Karenanya, negara berkembang mendapat uang dari penjualan tersebut.  Di sisi lain, hutan dari negara berkembang juga lebih terjaga karena perawatannya mendapat upah.
Perdagangan karbon atau yang lebih umum dikenal dengan emission trading, yang  merupakan istilah dalam perdagangan sertifikat untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan target yang dicantumkan dalam sertifikat, dengan cara melakukan pendekatan untuk mengendalikan GHG dan emisi karbon.
Dalam perdagangan karbon setiap penurunan satu ton karbon akan mendapatkan sebuah sertifikat ECC. Sertifikat tersebut menjadi alat jual beli pada perdagangan karbon. Harganya  bervariasi tergantung pada pihak yang bertransaksi. ECC dikeluarkan oleh dewan CDM. Sertifikat CDM itu hanya mengeluarkan ECC  jika negara bersangkutan telah memenuhi kriteria additionality, real, measurable dan long-term benefit.
Bursa Karbon
Perdagangan emisi merupakan mekanisme untuk menjual dan membeli izin untuk melakukan pencemaran (emission permit) atau melakukan perdagangan karbon, yang dapat dilakukan misalnya di bursa karbon dunia yang diharapkan berkembang. JI mewadahi mekanisme untuk melakukan investasi proyek pengurangan emisi di suatu negara industri oleh suatu negara industri lainnya. Kredit pengurangan emisi yang diperoleh dari pelaksanaan proyek tersebut akan diberikan kepada negara yang melakukan investasi.
Selanjutnya, mekanisme yang melibatkan negara berkembang adalah yang dikenal sebagai ECC. ECC merupakan mekanisme Protokol Kyoto yang memungkinkan negara industri dan negara berkembang bekerja sama untuk melakukan “pembangunan bersih”. Dengan fasilitas ECC, negara industri dapat memenuhi kewajiban pengurangan emisinya dengan melakukan proyek “pengurangan emisi” di suatu negara berkembang dan si negara berkembang akan mendapatkan kompensasi finansial dan teknologi dari kerja-sama tersebut.
Tujuan ECC adalah membantu negara berkembang melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan turut menyumbang bagi pencapaian tujuan pengurangan emisi global, serta untuk membantu negara industri  mencapai target pengurangan emisi mereka.  Investasi negara industri di negara berkembang yang menghasilkan penurunan emisi akan disertifikasi dan kredit dari “pengurangan emisi yang disertifikasi” (Emisi Carbon certificate, ECC) tersebut akan diberikan kepada negara industri.
Kelebihan dari ECC yang tidak dipunyai oleh mekanisme lentur Protokol Kyoto lainnya adalah bahwa ECC  yangdapat digunakan sebagai kredit untuk memenuhi target pengurangan emisi dalam periode pertama penerapan Protokol Kyoto (2008-2012).  Dengan demikian ECC merupakan komoditas baru dalam perdagangan berjangka yang prospektif. ECC merupakan komoditas yang menguntungkan sama halnya dengan sekuritas yang banyak diperdagangkan. Bahkan bukan suatu hal yang mustahil bila pada masa datang, perdagangan karbon menjadi komoditas yang laku seperti halnya perdagangan minyak dan emas seperti sekarang ini.
Saat ini, negara-negara yang sudah melakukan perdagangan karbon dalam bursa diantaranya seperti negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Jepang. Dengan bursanya antara lain, European Climate Bursa , NASDAQ OMX Komoditas Eropa , PowerNext, Commodity Exchange Bratislava, Bursa Energi Eropa, Carbon Trade Exchange, Chicago Climate Bursa.
Sistem Perdagangan
Manfaat ekonomi yang bisa diperoleh dari emisi gas karbon tersebut adalah penanaman pohon untuk menyimpan emisi gas carbon, yang kemudian diperdagangkan. Sekedar ilustrasi, Australia yang dikenal sebagai negara industri akan membayar negara-negara berkembang seperti India dan Indonesia untuk menyimpan carbon yang diperoleh melalui proyek ECC atau dibeli melalui pasar Emission Trading Schme (ETS).
Lebih lanjut mengenai perdagangan emisi karbon, secara umum terdapat dua sistem utama dalam perdagangan tersebut, yaitu cap and trade dan baseline and credit.  Kadang-kadang kedua jenis skema tersebut dapat diterapkan secara bersama-sama dalam sistem perdagangan emisi. Misalnya, Protokol Kyoto memasukan baik skema capand trade untuk negara-negara maju maupun skema baseline and credit untuk proyek-proyek pengurangan emisi di negara-negara berkembang.
Hal ini disebut Mekanisme Pengembangan Bersih. Perdagangan emisi dapat bersifat wajib (diharuskan oleh pemerintah) atau sukarela. Dalam sistem cap and trade, sebuah otoritas pusat (biasanya sebuah badan pemerintah) menentukan batas atau cap jumlah karbon yang dapat dikeluarkan. Negara-negara atau perusahaan-perusahaan kemudian diperbolehkan untuk mengeluarkan gas-gas rumah kaca (misalnya, karbon dioksida) sampai dengan jumlah yang dibatasi.
Apabila emisi karbon lebih tinggi dari pada batas tersebut, maka negara atau perusahaan tersebut perlu membeli kredit karbon untuk diperhitungkan dengan emisi mereka. Apabila jumlah emisi lebih rendah dari batas yang ditentukan, maka negara atau perusahaan tersebut diperbolehkan menjual selisih antara emisi aktual dan batas yang diizinkan bagi mereka dalam bentuk ‘kredit karbon’ (dengan demikian mereka memperoleh insentif finansial atas pengurangan emisi mereka).
Berdasarkan sistem baseline and credit, sebuah kelompok atau perusahaan yang tidak menganut sistem cap and trade (seperti Indonesia) dapat menciptakan kredit dengan mengurangi emisi mereka di bawah tingkat skenario baseline (usaha seperti biasa). Salah satu contoh adalah sebuah perusahaan yang menukar bahan bakar fosil dengan energi terbarukan seperti biofuel dari minyak Jarak.
Baseline untuk perusahaan tersebut adalah emisi dari diesel yang mempunyai keluaran (output) gasgas rumah kaca yang tinggi. Pada saat diganti dengan biofuel, jumlah emisi jauh lebih rendah dan selisih yang tercatat antara jumlah emisi karbon dapat dinyatakan sebagai kredit karbon yang kemudian dapat dijual di pasar internasional. Hal ini memberikan insentif bagi pengembangan sumber daya energi terbarukan dan pengurangan emisi.
Sistem perdagangan emisi baseline and credit merupakan suatu sistem di mana perusahaan dihargai untuk mengurangi polusi karbon di bawah “baseline”. Pengurangan ini menjadi “credit” yang dapat diperdagangkan. Pihak bertanggung jawab dalam skema tersebut harus membeli kredit ini, dan kemudian menyerahkan mereka ke regulator pada akhir setiap tahun untuk memenuhi bagian mereka dari ekonomi-lebar atau sektor-lebar target. Setiap ‘kredit’ merupakan satu ton karbon dioksida ekuivalen mereda. Baseline umumnya intensitas berbasis, yaitu polusi karbon per unit produksi.

Sebuah harga karbon akan ditetapkan oleh perdagangan kredit. Harga kredit akan variabel, tergantung pada keseimbangan antara pasokan kredit dari mereka yang melaksanakan proyek pembawa polusi karbon di bawah baseline dan permintaan kredit dari orang orang yang harus memenuhi target. Perusahaan yang berpartisipasi dalam mekanisme baseline and credit, menghasilkan pendapatan dengan menghasilkan kredit dan menjualnya.
Indonesia yang merupakan negara di mana sektor energi memberikan sumbangan besar tak hanya untuk menggerakkan ekonomi nasional, tapi juga dalam menyumbangkan pendapatan langsung dari penjualan produk produk energi, khususnya bahan bakar fosil.  Ekspor minyak bumi, gas bumi dan batubara merupakan sumber utama pendapatan pemerintah sejak lebih 3 dekade yang lalu.  Indonesia juga adalah negara agraris, mempunyai hutan–hutan tropis serta garis pantai yang terpanjang di dunia, sehingga perubahan iklim yang akan berpengaruh terhadap pemanasaan global merupakan masalah yang menjadi perhatian Indonesia.
Peluang perdagangan karbon di Indonesia sangatlah besar dengan perhitungan potensi karbon yang terserap di hutan Indonesia capai 25,773 miliar ton. Potensi itu belum termasuk karbon yang terdapat di lahan hutan gambut dan lahan kering. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mencatat Indonesia diperkirakan mampu menyerap 5,5 giga ton CO2.
Karena itu, Indonesia menduduki urutan kelima di dunia yang berpotensi melakukan suplai 10% kredit karbon dunia. Dengan luas hutan lindung sekitar 36,5 juta hektar, nilai penyerapan karbon Indonesia berkisar US$105 miliar hingga US$114 miliar.

PT Narkata Rimba adalah salah satu perusahaan kayu di Indonesia yang makin gencar bergerak dari praktek ‘bisnis seperti biasa’ menuju praktek penebangan yang menjamin bahwa kayu yang dipanen legal dan lestari – mengurangi dampak kegiatan penebangan terhadap lingkungan, meningkatkan mata pencaharian lokal dan membantu mengurangi emisi karbon dari deforestasi. Ini adalah salah satu contoh penting bagaimana pengelolaan yang lebih baik di area konsesi pembalakan dapat membantu mengurangi ‘jejak karbon’ di Indonesia sambil dalam waktu yang sama mempertahankan produksi kayu guna memenuhi permintaan pasar dunia.
Capaian sertifikasi ini adalah buah kerja keras dan dedikasi manajemen dan staf PT Narkata Rimba yang bekerja bersama lembaga dan prakarsa lainnya. PT Narkata Rimba, konsesi kayu di Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur, memberi tambahan terbaru ke hampir 1,3 juta hektar hutan tropis di Asia dan Pasifik yang mendapat sertifikasi ECC dengan program bantuan dari Responsible Asia Forestry and Trade (RAFT)-USAID. Program ini dikelola oleh TNC dan dilaksanakan bersama kelompok inti yang terdiri dari tujuh mitra organisasi non-pemerintah.Sertifikasi ECC dianggap sebagai standar global yang paling kredibel untuk mengukur pengelolaan hutan berkelanjutan yang menghasilkan berbagai manfaat sosial, lingkungan dan ekonomi.

“Sebagai organisasi konservasi, TNC mempromosikan pengelolaan hutan lestari bersama-sama dengan para pemangku kepentingan yang terdiri dari pemerintah, sektor swasta, komunitas lokal dan organisasi lain. Tujuannya adalah untuk mengurangi dampak pembalakan hutan terhadap lingkungan, meningkatkan mata pencaharian masyarakat dan mendukung upaya Indonesia dalam mengurangi emisi karbon, ” kata Wahjudi Wardojo, Penasehat Senior Kebijakan Karbon Hutan Internasional TNC.
Komitmen PT Narkata Rimba untuk meningkatkan pengelolaan hutan secara lebih baik juga mendukung langsung upaya Kementerian Kehutanan dalam memperkuat akuntabilitas dan transparansi di sektor kehutanan dengan peluncuran Timber Legality Assurance System (atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu/SVLK) tahun 2010.SVLK secara luas dianggap sebagai sistem yang kredibel untuk memberi jaminan kepada importir mengenai legalitas kayu dan keberlanjutan hutan Indonesia.

PT. Narkata Rimba adalah salah satu dari sekelompok kecil perusahaan kayu di Indonesia yang menggunakan sistem ‘monocable’ guna mengurangi jejak karbon mereka sambil mempertahankan produksi kayu pada tingkat yang berkelanjutan dan ramah lingkungan sekaligus menguntungkan secara ekonomis. Presiden Direktur Untung Iskandar mengakui peran penting teknologi yang bisa mengurangi dampak pembalakan dalam upaya untuk memerangi perubahan iklim global: “kami percaya bahwa pengelolaan hutan secara lestari adalah salah satu upaya yang berguna dalam mengatasi isu pemanasan global karena di bawah REDD+ kegiatan adalah reboisasi dan kemudian mencegah deforestasi.”
Penelitian awal oleh para ilmuwan karbon hutan di TNC menunjukkan bahwa kombinasi antara berbagai praktek khusus dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan – termasuk penggunaan monocable – dapat mengurangi emisi karbon dari penebangan hingga 35%.
Monocable adalah mesin kabel tunggal yang dijalankan oleh sebuah motor kecil yang menarik satu log pada satu waktu dari tunggul pohon yang dipanen ke area penumpukan kayu di jalan pengangkutan log. Ketika dikombinasikan dengan pemetaan pra-panen antara pohon yang akan ditebang dan jalur penyaradan yang akan digunakan untuk menarik log keluar, penggunaan monocable terbukti mengurangi kerusakan hutan hingga 70 persen. Hal ini karena monocable menyusut lebar jejak penyaradan dari 5 meter dengan buldoser menjadi hanya selebar kayu yang ditebang. Selain mengurangi dampak penebangan di hutan, monocable juga menciptakan lebih banyak pekerjaan yang halal bagi penebang lokal –karena kepraktisan cara kerjanya, monocable dulu sering digunakan oleh para pembalak liar.
Diperkirakan 15 persen emisi karbon global dikaitkan dengan perusakan hutan – ini berarti lebih dari gabungan semua moda transportasi. Pada perundingan iklim tahunan PBB, mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan adalah salah satu item utama di meja perundingan, dan item langka yang sebagian besar negara setuju.
Pada tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat komitmen berani untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26-41%, sambil mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% per tahun. Dengan lebih dari setengah luas total hutan Indonesia yang ditunjuk sebagai Hutan Produksi, praktek-praktek peningkatan pengelolaan hutan yang mengurangi emisi yang juga tetap memungkinkan produksi kayu terus berjalan, merupakan strategi kunci untuk mencapai tujuan ini.
Acara pengumuman sertifikasi hari ini diikuti dengan diskusi panel tentang ‘hutan dan masyarakat’ untuk membahas isu hutan rakyat dan REDD+ yang berpotensi dapat memulihkan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan.Kegiatan lain selama Hari Hutan di Amerika berkisar dari pemutaran film, bincang blogging untuk konservasi berikut pengumuman kompetisi blogging yang memberikan pemenang kesempatan untuk mengunjungi hutan dan hidup berdampingan dengan masyarakat hutan, dan terakhir klinik foto untuk memotret manusia, hutan dan alam.





2.7 MEKANISME PERDAGANGAN KARBON

Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar atau seluas 63% luas daratan, merupakan hutan tropis urutan ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire. Hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai berbagai fungsi, baik ekologi, ekonomi, dan sosial budaya yang diperlukan untuk menunjang kehidupan manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, selain berperan sebagai penggerak utama (primer mover) pembangunan nasional dan daerah, sumberdaya hutan juga berfungsi sebagai penyangga sistem kehidupan, yang berdampak lokal, nasional, dan regional.

Manfaat keberadaan hutan diperlukan oleh semua lapisan masyarakat di dalam suatu negara bahkan masyarakat di negara lain. Hutan bukan saja memberikan hasil hutan yang berupa barang, namun juga berupa berupa jasa seperti tata air, suplai oksigen, dan penyerapan karbon.
Hutan sebagai common property resources memberikan konsekuensi bahwa pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh suatu negara tidak lepas dari pengamatan dan perhatian masyarakat internasional. Setelah KTT Bumi Rio de Jenairo pada tahun 1992, terjadi kecenderungan demand dunia terhadap hutan tropis yang mulai bergesar – dari produk kayu – ke manfaat lingkungan, seperti pengaruhnya terhadap iklim global. Oleh karena itu, pembangunan kehutanan dituntut untuk lebih memperhatikan keseimbangan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial.

Fungsi hutan dari sisi non-kayu ternyata memiliki nilai yang jika dikuantitatifkan justru lebih besar manfaatnya daripada fungsi sebagai produsen kayu. Diketahui bahwa nilai nisbi ekonomi kayu tropis hanya senilai kurang dari 5% dari total nilai ekonomi sumberdaya hutan. Sebaliknya, nilai jasa lingkungan (yang memberikan manfaat intangible) beserta hasil non-kayunya bernilai tidak kurang dari 95% dari total nilai intrinsik sumberdaya hutan. Hal itu menunjukkan bahwa manfaat hutan dari hasil hutan non-kayu sangat tinggi melebihi manfaat hasil hutan kayu.
Hutan berperan penting dalam menjaga kestabilan iklim global. Secara kimiawi, vegetasi hutan akan menyerap gas karbon (CO2) melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu  maka siklus CO2 dan O2 di atmosfer akan terganggu. Umumnya karbon tersimpan dalam biomasa vegetasi, nekromasa (baik diatas permukaan dan dalam tanah) dan bahan organik tanah di dalam ekosistem hutan. Tidak terkendalinya jumlah gas CO2 di atmosfer, bersama-sama dengan uap air, gas CFCs, metana dan gas-gas rumah kaca lainnya, berpotensi meningkatkan suhu atmosfir bumi (baca ; pemanasan global) yang dapat menimbulkan pemanasan bumi dan perubahan iklim. Gas-gas itulah yang dinamakan Gas Rumah Kaca (GRK).
Semakin meningkatnya konsentrasi GRK, maka semakin meningkat pula suhu atmosfer bumi. Kenaikan sebesar 0,5°C mungkin tidak begitu kita rasakan bila terjadi pada skala yang kecil (misal : dalam ruangan).  Namun apabila hal ini terjadi pada lingkungan dunia secara global, maka akan terjadi berbagai fenomena ekstrim seperti :
1.    gejala pemekaran air laut akibat dari mencairnya es di kutub  sehingga permukaan air laut naik dengan kemampuan menenggelamkan pulau-pulau;
2.    rusaknya infrastruktur di tepi pantai (dimana sebagian besar kota-kota penting dunia terletak di pesisir pantai);
lahan daratan di dunia. Pada luasan itu telah terjadi rata – rata deforestasi 13 juta/ha/tahun pada waktu yang sama pembangunan hutan tanaman dan ekspansi terhadap hutan alam mempunyai signifiknsi kuat terhadap penurunan luasan hutan. Pada sekitar tahun 1990 sampai dengan 2005, dunia telah kehilangan 3 persen dari total luas areal hutan yang ada dengan rata – rata penurunan 0,2 persen per tahun. Dari tahun 2000–2005 menunjukan bahwa rata-rata bersih pengurangan berkorelasi dengan aktivitas pembangunan. Pada periode yang sama, 57 negara dilaporkan mengalami peningkatan luasan hutannya dan 83 negara dilaporkan penurunan luasan hutan (termasuk 36 negara dengan laju terbesarnya lebih dari 1 persen per tahun).
Masih pada laporan yang sama secara global, diperkirakan sekitar 6 juta hektar dari hutan alam primer telah berkurang dan dipakai untuk penggunaan lain setiap tahun. Sembilan dari sepuluh negara yang memiliki hutan primer lebih dari 80 persen di dunia telah mengalami penurunan lebih dari satu persen dari kurun waktu 2000 – 2005 diantaranya Indonesia (13 %), Mexico (6 %), Papua New Guinea (5 %) dan Brazil (4 %).
Kerusakan hutan turut berkontribusi terhadap cadangan karbon. Cadangan karbon didalam biomassa hutan pada tingkat global berkurang mencapai angka 5,5 persen pada kurun waktu 1990 – 2005. Secara umum trend cadangan karbon mengikuti kecenderungan luasan areal hutan dan ketersediaan sumberdaya hutan. Cadangan karbon di dunia meningkat di daerah Eropa dan Amerika Utara dan menurun di wilayah  tropika (FAO, 2007). Hutan tropika menyumbang emisi CO2 sebesar 1,6 milyar ton per tahun. Seperti dilansir oleh Stem Review (Koran Tempo, 24 Oktober 2007), bahwa deforestasi di negara-negara berkembang (umumnya wilayah tropika) menyumbang emisi CO2 sekitar 20 persen dari emisi global. Dari total emisi gas rumah kaca, 18 persen berasal dari sektor kehutanan, yang 75 persennya berasal dari negara berkembang termasuk Indonesia. Kota Jakarta menduduki kualitas udara terburuk ketiga di dunia, kedua di Asia dan nomor satu di Indonesia.
Pemanasan global yang diikuti dengan perubahan iklim dirasakan oleh semua negara di dunia, namun negara-negara miskin dan berkembang akan menerima dampak terbesar meskipun kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca rendah. Dampak yang ditimbulkan dari pemanasan global dapat secara langsung maupun tidak langsung. Secara global perubahan iklim dapat berdampak negatif terhadap munculnya penyakit baru, kepunahan jenis dan perubahan ekosistem. Dari beberapa skenario perubahan iklim diprediksi 15-37 % spesies didaratan akan punah dan diproyeksikan pada tahun 2050 suhu bumi telah meningkat sebesar 0,8-1,7oC ini akan mencairkan es di daerah kutub yang menyebabkan permukaan air laut meningkat, hal ini menjadi ancaman bagi daerah pesisir.
Perubahan iklim dunia yang dulu hanya digulirkan beberapa orang ahli kemudian menjadi ramai diperbincangkan orang. Apalagi setelah diselenggarakannya pertemuan WMO (World Meteorology Organization) pada dekade 1980-an, isu perubahan iklim semakin mendunia. Berbagai penelitian dan data yang ada menggambarkan kaitan yang erat antara peningkatan konsentrasi CO2 dengan peningkatan temperatur rata-rata permukaan bumi. Demikian pula dengan perkiraan dampak yang akan ditimbulkannya.
Perkembangan inilah yang akhirnya mendorong World Meteorological Organization (WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) untuk membentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988. IPCC sendiri merupakan kelompok para ilmuwan dari seluruh dunia yang bertugas untuk meneliti fenomena perubahan iklim serta solusi yang diperlukan. Laporan pertama IPCC diterbitkan pada tahun 1990 dan dikenal sebagai First Assessment Report yang menyimpulkan suhu meningkat sekitar 0,3-0,6° C dalam satu abad terakhir. Laporan itu juga menyebutkan emisi yang dihasilkan manusia telah menambah gas rumah kaca alami dan penambahan itu akan menyebabkan kenaikan suhu. Karenanya, IPCC menyerukan pentingnya sebuah kesepakatan global untuk menanggulanginya. Pada Desember 1990, Majelis Umum PBB akhirnya menanggapi seruan IPCC untuk mengatasi masalah perubahan iklim secara global dengan meluncurkan negosiasi mengenai kerangka konvensi perubahan iklim dan dengan membentuk Intergovernmental Negotiating Committee (INC) untuk pelaksanaan negosiasi tersebut. Akhirnya, pada bulan Mei 1992, INC menyepakati Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC).
PBB menyelenggarakan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan  KTT Bumi (Earth Summit)  pada 1992 di Rio de Janeiro, Brazil.  KTT Bumi menekankan pentingnya semangat kebersamaan (multilaterisme) untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara upaya-upaya melaksanakan pembangunan (oleh developmentalist) dan upaya-upaya melestarikan lingkungan (oleh environmentalist). Setelah diratifikasi oleh sekitar 175 negara, pada tanggal 21 Maret 1994, Konvensi Perubahan Iklim akhirnya dinyatakan berkekuatan hukum dan bersifat mengikat para pihak yang telah meratifikasi.
Indonesia meratifikasi konvensi/UNFCCC tahun 1994, melalui Undang-Undang No. 6 tahun 1994. Konsekuensinya, Indonesia berkewajiban mengkomunikasikan berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global akibat terjadinya perubahan terjadinya perubahan iklim global. Termasuk menginventarisasi emisi GRK yang berasal dari sumber-sumbernya dan penyerapannya oleh rosotnya (sink) seperti penyerapan CO2 oleh hutan. Dari hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metoda IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia ikut memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca secara global di atmosfer.
Setelah KTT Bumi, diselenggarakanlah beberapa COP (Conference of the Parties). Yang paling penting di antaranya adalah COP III di Kyoto, Jepang bulan Desember 1997 yang menghasilkan Protokol Kyoto yang terkenal itu. Protokol Kyoto disusun untuk mengatur target kuantitatif penurunan emisi dan target waktu penurunan emisi bagi negara maju anggota Annex I untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% (Quantified Emission Limitation and Rediction Objectives/QELROs) dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008–2012. Emisi gas rumah kaca menurut protokol ini meliputi CO2, CH4, N2O, HFC, PFC, dan SF6.
Ada tiga mekanisme fleksibel yang diwadahi Protokol Kyoto :
1.      Implementasi Bersama (Joint Implementation).
Adalah mekanisme penurunan emisi yang dapat dilaksanakan antarnegara industri yang diuraikan dalam Pasal 6. Implementasi Bersama ini mengutamakan cara-cara yang paling murah atau paling menguntungkan.
2.      Perdagangan Emisi (Emission Trading).
Adalah mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antarnegara industri untuk menghasilkan Assigned Amounts Unit (AAU). Negara industri yang GRK-nya di bawah batas yang diijinkan dapat memperdagangkan kelebihan jatah emisinya dengan negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli tetap memenuhi kewajibannya.
3.      Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Management/CDM).
Pada dasarnya adalah gabungan dari JI dan IET yang berlangsung antara negara Annex I dengan negara non-Annex I dengan persyaratan mendukung pembangunan berkelanjutan di negara non-Annex I. Negara industri melakukan investasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu, negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan utama konvensi dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Komoditas yang digunakan adalah ECC (Emision Carbon Certificate) yaitu jumlah penurunan emisi yang telah disertifikasi.
Kewajiban bersama antarnegara industri yang termasuk pada Annex 1 dengan negara berkembang disesuaikan dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan. Berarti, semua negara mempunyai semangat yang sama untuk menjaga dan melindungi kehidupan manusia dan integritas ekosistem bumi tetapi dengan kontribusi yang berbeda disesuaikan dengan kemampuannya.


2.7.1 CDM/Mekanisme Pembangunan Bersih
CDM adalah mekanisme dimana negara-negara yang ada pada Annex 1 yang punya kewajiban menurunkan emisinya membantu negara-negara non-Annex 1 untuk melaksananakan proyek-proyek yang mampu menurunkan atau menyerap emisi setidaknya satu dari enam jenis gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan SF6). Negara maju menanamkan modalnya di negara berkembang dalam proyek-proyek yang dapat menghasilkan pengurangan emisi GRK, dengan imbalan ECC (Emision carbon certificate). ECC ini diperhitungkan sebagai upaya negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan nilai ECC ini setara dengan nilai penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dan karenanya dapat diperhitungkan dalam pemenuhan target penurunan emisi GRK negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto. Mekanisme ini adalah satu-satunya mekanisme fleksibel yang melibatkan negara berkembang.
Tujuan CDM sebagaimana yang tercantum dalam Protokol Kyoto adalah :
1.      Membantu negara-negara Annex I dalam memenuhi target penurunan emisi negaranya
2.      Membantu negara Non Annex I dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
CDM (Mekanisme Pembangunan Bersih) mencakup tiga kategori implementasi yaitu “Clean Production” (Produksi Bersih), “Saving Energy” (Penghematan Energi) dan “Fuel Switching” (Pengalihan Bahan Bakar). Realisasi program CDM adalah melakukan reduksi emisi gas rumah kaca serta sekuestrasi (penyerapan karbon) melalui penanaman pohon di lahan produksi yang mengalami eksploitasi berlebihan. Kegiatan dalam CDM meliputi kegiatan reduksi emisi GRK dan penyerapan karbon.


Kegiatan dalam CDM meliputi kegiatan reduksi emisi GRK dan penyerapan karbon, sebagaimana dalam Gambar 1
Gambar 1. CDM merupakan salah satu mekanisme yang ada dalam Protokol Kyoto.
Siklus umum proyek CDM dijelaskan sebagai berikut :
1.      Identifikasi Proyek.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi apakah rencana kegiatan tersebut memiliki potensi untuk menurunkan emisi GRK atau menyerap GRK dari atmosfer. Dalam hal ini, pengusul proyek perlu melakukan penghitungan potensi penurunan ataupun penyerapan GRK.
2.      Desain Proyek.
Langkah berikutnya adalah pengumpulan informasi yang diperlukan dalam menyiapkan dokumen rancangan proyek (Project Design Document, PDD). Informasi yang diperlukan antara lain adalah mengenai deskripsi proyek, batasan proyek, penentuan baseline (keadaan tanpa adanya proyek tersebut) dan informasi mengenai sumber pendanaan.
3.      Dokumen Rancangan Proyek/Project Design Document (PDD).
Selanjutnya, pemilik proyek menyiapkan dokumen proyek yang berisi informasi lengkap mengenai proyek serta sisi ke-CDM-annya. Beberapa hal yang harus tercantum dalam dokumen tersebut antara lain:
a.    Deskripsi umum proyek, termasuk penjelasan mengenai teknologi yang digunakan.
b.    Metodologi baseline, termasuk pemenuhan additionality.
a.    Durasi proyek/crediting period.
c.    Rencana pemantauan, prosedur pemantauan dan verifikasi.
d.    Perhitungan emisi GRK dan pengurangan emisi yang dihasilkan proyek.
e.    Dampak lingkungan.
f.     Komentar para pemangku kepentingan.
Jika pengembang proyek menggunakan metodologi baseline dan pemantauan yang baru, maka harus diusulkan oleh institusi yang berwenang, biasa disebut badan validator independen/Designated Operational Entity (DOE), kepada Badan Eksekutif.
DOE (Designated Operational Entity) adalah suatu lembaga berbadan hukum domestik atau international yang telah diakreditasi dan ditunjuk oleh Badan Eksekutif untuk melakukan fungsi sebagai berikut:
a.    Melakukan validasi dan kemudian meregistrasi suatu usulan proyek MPB.
b.    Melakukan verifikasi reduksi emisi dari proyek MPB, kemudian melakukan sertifikasi dan memohon agar Badan Pelaksana untuk menerbitkan ECC.
Badan Eksekutif merupakan badan internasional di bawah COP/MOP, yaitu pertemuan tahunan para negara yang sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto.
Tugas utama Badan Pelaksanaan proyek-proyek ECC di negara berkembang dan bertanggung jawab pada COP/MOP.
4.      Validasi.
Pada tahap ini, seluruh informasi yang terdapat di dalam PDD, terutama penghitungan baseline divalidasi oleh badan validator independen yang telah diakreditasi oleh Badan ECC Internasional. Badan independen ini akan mengevaluasi apakah proyek tersebut telah memenuhi persyaratan ECC dan apakah proyek perhitungan ECC yang dilakukan dapat diterima.

Pada tahap ini DOE mengkaji PDD dan dokumen-dokumen pendukungnya untuk mengkonfirmasikan bahwa :
a.    Negara-negara yang terlibat telah meratifikasi Protokol Kyoto.
b.    PDD dapat diakses oleh publik, dan para pemangku kepentingan lokal telah diberi kesempatan selama 30 hari untuk memberikan komentar. Ringkasan komentar dan laporan bagaimana komentar tersebut telah ditindaklanjuti dicantumkan dalam PDD.
c.    Pengembang proyek telah menyerahkan analisis dampak lingkungan kepada DOE.
d.    Kegiatan proyek akan menghasilkan reduksi GRK yang additional.
5.      Persetujuan oleh Otoritas ECC Nasional/Designated National Authority (DNA).
Setelah PDD selesai dibuat dan dilampiri semua informasi yang dibutuhkan, kemudian PDD diserahkan ke Otoritas ECC Nasional/DNAuntuk disetujui. Sebuah proyek ECC harus meminta persetujuan dari negara tuan rumah ECC. Negara tuan rumahlah yang akan memberikan penilaian apakah proyek tersebut mendukung pembangunan berkelanjutan di negaranya atau tidak. Setelah dinilai dan dievaluasi berdasarkan semua informasi yang tertera di dalamnya, terutama sumbangannya untuk pembangunan berkelanjutan, transparansi, dan partisipasi masyarakat, DNA akan memberikan persetujuannya.
6.      Registrasi
Proyek ECC didaftarkan oleh DOE ke ECC Executive Board (EB). Tahap ini dinamakan registrasi, dimana EB menerima secara formal pengajuan PDD dari kandidat proyek ECC. EB merupakan badan internasional di bawah COP/MOP, atau pertemuan tahunan para negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto, yang tugasnya adalah mengatur dan mengawasi pelaksanaan ECC di seluruh dunia. Sebuah proyek yang didaftarkan ke EB akan melalui sebuah proses komentar publik selama 30 hari, dimana PDD akan ditaruh di website EB untuk mendapatkan komentar terbuka dari semua pihak. Jika ada keberatan dari EB atau dari pihak yang terlibat dalam kegiatan proyek mengenai dokumen yang diserahkan, maka EB akan melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai proyek yang diajukan. Jika tidak ada keberatan dari EB, maka proses registrasi akan selesai dalam waktu 8 minggu.
7.      Implementasi.
Tahapan dimana proyek ECC dijalankan biasanya dinamakan implementasi yang pada dasarnya dapat dilakukan sebelum registrasi maupun sesudahnya. Jika dilakukan sebelum registrasi, batas waktu paling awal adalah tahun 2000, artinya hanya proyek yang berjalan sejak tahun 2000 saja yang dapat diajukan sebagai proyek ECC.
8.      Pengawasan/monitoring.
Setelah proyek ini didaftarkan dan diimplementasikan, maka pemilik proyek bertanggung jawab atas pengawasan atau monitoring atas penurunan emisi GRK maupun penyerapan GRK akibat adanya proyek yang bersangkutan. Pelaksanaannya sendiri harus sesuai dengan rencana pengawasan yang tertera pada PDD dan dilakukan oleh monitor independen. Kegiatan pengawasan meliputi kegiatan pengumpulan dan penyimpanan data-data yang digunakan untuk menghitung emisi baseline dan emisi proyek.
9.      Verifikasi.
Pada tahap ini hasil pengawasan akan dikaji ulang, termasuk metodologi yang digunakan dalam melakukan pengawasan, dan kemudian dilaporkan secara tertulis. Jumlah emisi GRK yang berhasil diturunkan harus tertera di dalamnya sehingga dapat dilihat apakah penurunan ataupun penyerapan GRK yang diperkirakan telah terpenuhi. Laporan pengawasan yang dilakukan oleh badan independen ini harus dipublikasikan sebagai proses keterlibatan publik.
10.   Sertifikasi penurunan emisi.
Sertifikasi adalah jaminan tertulis oleh badan independen yang menyatakan bahwa proyek yang bersangkutan, dalam perioda tertentu, telah berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebagaimana yang telah diverifikasi.
11.   Penerbitan penurunan emisi tersertifikasi/Emision carbon certificate (ECC).
ECC Executive Board mempunyai waktu maksimal 15 hari setelah permohonan penerbitan ECC diberikan untuk mengkaji ulang surat sertifikasi proyek yang bersangkutan. Setelah itu Executive Board harus segera mengumumkan hasilnya dan mempublikasikan keputusannya sehubungan dengan disetujui atau tidaknya ECC yang diusulkan beserta alasannya.
Satu unit ECC menurut Protokol Kyoto, setara dengan 1 metrik ton CO2.
Setelah ECC diperoleh, maka pelaku proyek ECC menjualnya kepada pembeli internasional secara langsung atau melalui perantaraan broker (financial intermediary). Contohnya, Pemkot Bekasi (dengan project proponent PT Gikoko Kogyo Indonesia) yang telah berhasil meneken kontrak penjualan ECC kepada Bank Dunia sebagai ‘trustee’ dari Netherlands ECC Facility (NCDMF) Estimasi proposal Pemkot Bekasi tahun 2006, harga ECC 4,5-5,5 USD/ton CO2 eq.
Sebenarnya, tidak ada harga yang pasti/tetap untuk ECC ini, karena ia mengikuti harga pasar. Carbonpositive dalam laporannya tanggal 22 Oktober 2010 menyebutkan bahwa Bank Dunia membayar 1 unit ECC untuk proyek ECC Kehutanan  di Afrika seharga 4 USD.

Adapun proses pengesahan proyek oleh KN-MPB sebagai berikut :
1.    Pengusul Proyek (dapat dibantu oleh konsultan) menyiapkan dokumen-dokumen aplikasi yang terdiri dari : (i) Formulir Aplikasi yang diantaranya berisi penjelasan bahwa usulan proyek memenuhi seluruh kriteria pembangunan berkelanjutan; (ii) Project Design Document; (iii) laporan AMDAL, bila usulan proyek wajib AMDAL; (iv) catatan proses konsultasi publik; (v) surat rekomendasi dari Departemen Kehutanan, khusus untuk usulan proyek MPB kehutanan, serta; (vi) dokumen-dokumen lain yang dirasa perlu untuk medukung justifikasi proyek.
2.    Dokumen aplikasi lengkap kemudian diserahkan oleh Pengusul Proyek kepada Sekretariat Komnas MPB untuk diproses. Pengusul proyek harus menyiapkan 25 (dua puluh lima) copy dari dokumen aplikasi tersebut dan 1 (satu) dokumen elektronik (soft copy). Sekretariat harus memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen aplikasi. Sekretaris Eksekutif menempatkan (posting) Usulan Proyek yang masuk di Sekretariat di situs elektronik (website) Komnas MPB untuk mengundang tanggapan dari masyarakat dan Pemangku Kepentingan lainnya. Setiap tanggapan masyarakat yang diterima Sekretariat akan langsung ditempatkan (posting) di situs elektronik (website) Komnas MPB.
3.    Sekretaris Eksekutif menyerahkan dan menyajikan dokumen Usulan Proyek yang diterima sampai tenggat waktu penyerahan Usulan Proyek kepada Komnas MPB dalam Rapat Koordinasi Internal. Batas waktu Rapat Koordinasi Internal adalah 1 hari.
3a.  Bila dianggap perlu oleh Komnas MPB, Sekretariat akan meminta Para Pakar untuk melakukan Evaluasi Tambahan terhadap Usulan Proyek sebagai bahan pembanding. Batas waktu evaluasi Para Pakar adalah 5 hari.
4.    Komnas MPB menugaskan anggota-anggota Tim Teknis yang diperlukan untuk mengevaluasi Usulan Proyek tersebut berdasarkan Kriteria dan Indikator Pembangunan Berkelanjutan.
4a.  Bila dianggap perlu, anggota Tim Teknis dari sektor yang sama dengan sektor dimana Usulan Proyek berada dapat membawa Usulan Proyek ke dalam rapat evaluasi Tim Teknis Sektoral yang telah terbentuk di dalam departemen teknis yang bersangkutan.
4b.  Bila dianggap perlu, Tim Teknis meminta Para Pakar untuk membantu proses evaluasi, melalui Sekretariat dengan persetujuan Komisi Nasional. Batas waktu keseluruhan proses (4), (4a) and (4b) adalah 21 hari. Jika Tim Teknis atau Para Pakar menilai data yang diberikan kurang lengkap, maka mereka akan menulis catatan mengenai hal tersebut dan melampirkannya pada Laporan Evaluasi yang akan diserahkan kepada Komnas MPB.
5.    Tim Teknis menyerahkan Laporan Evaluasi Usulan Proyek, dan Para Pakar menyerahkan Laporan Evaluasi Tambahan kepada Sekretariat untuk kemudian diserahkan kepada Komnas MPB. Kedua Laporan Evaluasi tersebut akan ditempatkan di situs elektronik Komnas MPB oleh Sekretariat.
6.    Komnas MPB menerima laporan dari Sekretariat mengenai hasil evaluasi Usulan Proyek dan masukan dari Pemangku Kepentingan yang disampaikan melalui website Komnas MPB atau dikirim langsung ke Sekretariat. Sesudah mempertimbangkan semua masukan dalam Rapat Pengambilan Keputusan, Komnas MPB mengambil keputusan mengenai pemberian (atau tidak diberikannya) Surat Persetujuan kepada Usulan Proyek tersebut. Batas waktu Rapat Pengambilan Keputusan adalah 1 hari.
6a.  Bila terjadi perbedaan pendapat yang tajam di antara Pemangku Kepentingan yang mendukung Usulan Proyek dan yang berkeberatan atas Usulan tersebut, melalui Rapat Komnas MPB yang dibuat khusus untuk itu, Komnas MPB dapat mengundang Pertemuan Khusus FPK. Pada Pertemuan Khusus FPK, Komnas MPB menyampaikan Usulan Proyek yang kontroversial tersebut dan kemudian menampung aspirasi, dukungan dan kritik dari peserta Pertemuan Khusus FPK. Batas waktu Pertemuan Khusus FPK adalah 1 hari.
7.    Bila Komnas MPB tidak dapat memberikan Surat Persetujuan karena ketidak-lengkapan data Usulan Proyek, berdasarkan catatan dari Tim Teknis atau Para Pakar, maka Pengusul Proyek diberikan waktu sampai 3 (tiga) bulan untuk melengkapi kekurangan tersebut dan menyerahkan kembali dokumen Usulan Proyek yang sudah diperbaiki ke Sekretariat. Sekretariat akan memproses dokumen Usulan Proyek yang sudah diperbaiki dengan proses yang sama seperti Usulan Proyek yang baru. Namun, Tim Teknis atau Para Pakar akan mengevaluasi hanya bagian proposal yang mendapatkan tambahan data baru. Proses pengembalian Usulan Proyek oleh Tim Teknis atau Para Pakar untuk diperbaiki Pengusul Proyek hanya boleh dilakukan satu kali untuk setiap Usulan.
8.    Sekretariat menyerahkan Surat Persetujuan Komisi Nasional kepada Pengusul Proyek.
9.    Usulan Proyek yang tidak memenuhi kriteria harus mengalami perbaikan yang mencakup pengubahan desain proyek sebelum dapat diajukan kembali untuk mendapatkan persetujuan nasional.

Gambar 2. Proses pengusulan proyek kepada KN-MPB hingga pengesahannya.
Menurut data KN-MKB, sampai dengan bulan Juli 2009, telah ada 104 proyek ECC yang telah disetujui oleh KN-MPB dan 24 proyek yang telah teregistrasi oleh Badan Eksekutif ECC. Dari 104 proyek tadi, belum ada satu pun proyek kehutanan yang masuk dan mendapat persetujuan.
ECC sektor kehutanan merupakan mekanisme yang berbeda dengan ECC sektor lainnya, karena penurunan emisi dilakukan dengan cara penyerapan karbon di atmosfer oleh pohon (carbon sequestration), sedangkan sektor lainnya adalah penurunan emisi pada sumber emisinya. Kegiatan penyerapan karbon yang dapat diwadahi oleh proyek ECC berdasarkan ketentuan Protokol Kyoto adalah afforestasi dan reforestasi. Ada banyak kendala tentang ECC sektor kehutanan, di antaranya yang pokok adalah permasalahan definisi afforestasi, reforestasi, dan hutan dalam skema ECC (sebagaimana dijelaskan dalam Marrakech Accord) berbeda dengan definisi formal yang berlaku di Indonesia :
1.    Hutan didefinisikan sebagai area dengan luas minimun 0,5-1,0 hektar, dengan lebih dari 10 – 30 persennya ditumbuhi tumbuhan dewasa, yang tinggi minimumnya mencapai 2 - 5 meter.
2.    Aforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area yang minimal selama 50 tahun bukan merupakan wilayah hutan menjadi hutan.
3.    Reforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area bukan hutan menjadi area hutan melalui penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam, di area yang pada awalnya merupakan wilayah hutan namun mengalami perubahan menjadi wilayah bukan hutan. Dalam periode komitmen pertama, aktivitas reforestasi dibatasi pada area tidak berhutan pada 31 Desember 1989.
Selain itu, juga karena belum mantapnya sistem pengelolaan hutan, sehingga kebocoran ekologi (leakage) hutan Indonesia cukup besar, padahal kebocoran ini tidak diperbolehkan dalam ECC. Kebocoran tersebut antara lain berasal dari kebakaran hutan, illegal logging, dan inkosistensi kebijakan penataan ruang.
Oleh karenanya, tidak banyak proyek kehutanan yang bisa masuk dalam skema ECC ini.
Protokol Kyoto valid hingga tahun 2012. Itu artinya, segala instrumen atau mekanisme yang mengikutinya pun akan berakhir pada tahun tersebut. Oleh karenanya, banyak negara yang memikirkan mekanisme baru setelah tahun tersebut untuk mengatasi perubahan iklim yang yang lebih menguntungkan bagi negara berkembang, khususnya mereka yang mempunyai sumberdaya hutan luas.
Pada COP 11 di Montreal tahun 2005, Costa Rica, Papua New Guinea (PNG), dan negara-negara pemilik hutan tropis yang tergabung dalam CfRN (Coalition for Rainforest Nation) mengusulkan proposal tentang insentif avoided deforestation. Dalam pertemuan yang sama, beberapa LSM dan ilmuwan dengan dipimpin oleh Environmental Defense menegaskan kembali seruan mereka agar isu hutan dimasukkan dalam instrumen-instrumen perdagangan Kyoto. Karenanya, COP 11 meminta agar Badan Subsider UNFCCC untuk Pertimbangan Ilmiah dan Teknologi (SBSTA) mengevaluasi isu pengurangan emisi dari deforestasi dan melaporkan kembali ke COP 13/MOP 3 UNFCCC pada bulan Desember 2007. Sementara itu, UNFCCC menyelenggarakan dua pertemuan mengenai pengurangan emisi dari deforestasi (RED) di negara-negara berkembang (dalam bulan Juli 2006 dan Maret 2007). Pada bulan Desember 2007, dalam Konferensi Para Pihak ke-13 UNFCCC yang diadakan di Bali (Indonesia), kemungkinan untuk memasukkan isu hutan dalam rezim iklim internasional semakin berkembang.
Konferensi Para Pihak ke-13 (COP 13) di Bali tahun 2007 menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung dalam REDD. Upaya mitigasi harus mengutamakan pengurangan emisi dari penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara industri. Meskipun pengaruhnya relatif kecil, kegiatan penanaman pohon untuk menyerap karbon juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Namun demikian, untuk mengurangi 20 persen dari emisi yang berkaitan dengan hutan, kita memerlukan pendekatan konservasi yang baru dan lebih efektif. Salah satu pendekatan yang dimaksud adalah REDD, kependekan dari reducing emissions from deforestation and forest degradation (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan). Ide ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan.
REDD dilaksanakan atas dasar sukarela (voluntary basis) dengan prinsip menghormati kedaulatan negara (sovereignity).
Satu tahun setelah Rencana Aksi Bali disetujui, para juru runding mengadakan pertemuan kembali di Poznań, Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa kegiatan REDD sebaiknya diperluas. REDD-plus menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang. Dua ketetapan awal REDD adalah:
a.    Mengurangi emisi dari deforestasi dan
b.    Mengurangi emisi dari degradasi hutan
Beberapa strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi melalui :
c.    Peranan konservasi
d.    Pengelolaan hutan secara lestari
e.    Peningkatan cadangan karbon hutan
Definisi yang lebih luas ini memudahkan negara-negara lain untuk ikut berpartisipasi. Banyak pihak dengan kondisi nasional yang berbeda dapat dilibatkan ke dalam kerangka yang akan datang.
Sejak penyelenggaraan COP 13 di Bali Pemerintah Indonesia c.q. Departemen Kehutanan sangat giat mengembangkan perangkat hukum atau peraturan yang terkait langsung dengan pelaksanaan REDD.

Di antara perangkat tersebut terdapat tiga Peraturan Menteri yang telah resmi diundangkan, yaitu:

1.    Permenhut No. P. 68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (www.dephut.go.id/files/P68_08.pdf).
Peraturan ini pada dasarnya menguraikan prosedur permohonan dan pengesahan kegiatan demonstrasi REDD, sehingga metodologi, teknologi dan kelembagaan REDD dapat dicoba dan dievaluasi. Tantangannya adalah bagaimana kegiatan demonstrasi dapat dialihkan menjadi proyek REDD yang sesungguhnya di masa yang akan datang.
2.    Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) (www.dephut.go.id/files/P36_09.pdf).
Peraturan ini mengatur tata cara pelaksanaan REDD, termasuk persyaratan yang harus dipenuhi pengembang, verifikasi dan sertifikasi, serta hak dan kewajiban pelaku REDD. Hingga saat ini ketentuan mengenai penetapan tingkat emisi acuan sebagai pembanding belum ditetapkan.
3.    Permenhut No. P. 36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (www.dephut.go.id/files/P36_09.pdf).
Peraturan ini mengatur izin usaha REDD melalui penyerapan dan penyimpanan karbon. Di dalamnya juga diatur perimbangan keuangan, tata cara pengenaan, pemungutan, penyetoran dan penggunaan penerimaan negara dari REDD. Peraturan ini membedakan antara kegiatan penyerapan dan penyimpanan karbon di berbagai jenis hutan dan jenis usaha.
Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya REDD sudah dapat dilaksanakan. Petunjuk Teknis untuk hal-hal tertentu akan diperlukan untuk menunjang pelaksanaan REDD. Seperti kebanyakan peraturan, ketiga Permenhut tersebut juga mengacu pada berbagai peraturan/perundangan yang terkait.
Mekanisme REDD/REDD-plus secara internasional belum diatur secara tegas, kecuali ada yang mengacu skema CDM. Adapun mekanisme yang diatur dalam Permenhut No. P. 30/Menhut-II/2009 sebagai berikut :
1.      Pelaku REDD mengajukan permohonan kepada Menteri dengan melampirkan beberapa persyaratan berupa :
a.    SK tentang wilayah hutan yang dikelola dari Menteri Kehutanan.
b.    Rekomendasi dari Pemda setempat khusus bagi pengelola HA, HT, HTR, HKM, dan RE.
c.    Memenuhi kriteria lokasi untuk pelaksanaan REDD.
d.    Memiliki rencana pelaksanaan REDD.
2.      Menteri menugaskan Komisi REDD untuk melakukan penilaian atas permohonan REDD.
Komisi REDD adalah komisi yang dibentuk oleh Menteri dan bertugas dalam pengurusan pelaksanaan REDD.
3.      Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima hasil penilaian Komisi REDD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menyetujui atau menolak usulan permohonan REDD dalam bentuk surat persetujuan pelaksanaan REDD.
4.      Paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah mendapat persetujuan dari Menteri, pemohon dapat segera melaksanakan kegiatan REDD.
Apabila setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja, pemohon tidak memulai kegiatan REDD, maka persetujuan Menteri dibatalkan.
Jangka waktu pelaksanaan REDD paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5.      Melakukan pemantauan secara periodik paling lama setiap 5 (lima) tahun sekali kecuali untuk periode sampai dengan 2012 dilakukan setiap tahun, untuk mengetahui perubahan stok karbon dari Referensi Emisi (REL) dan manfaat lainnya. Pemantauan dilakukan oleh pelaku, Pemda, dan Dephut.
6.      Paling lambat 14 hari kerja setelah laporan hasil pemantauan dari pelaku REDD diterima Komisi REDD, Komisi REDD menugaskan Lembaga Penilai Independen untuk melakukan verifikasi.
Sebelum ada keputusan COP tentang Tata Cara REDD, maka verifikasi kegiatan REDD antara lain mengacu petunjuk pada Lampiran Keputusan COP 13 No.2 tahun 2007. Begitu juga sebelum ada keputusan negara pihak Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim mengenai mekanisme pelaksanaan REDD di tingkat internasional, Komisi REDD meminta Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk melakukan akreditasi Lembaga Penilai Independen.
7.      Lembaga Penilai Independen melaporkan hasil verifikasi kepada Komisi REDD dan kepada pelaku REDD. Biaya verifikasi dibebankan kepada pelaku REDD.
8.      Dalam hal semua persyaratan terpenuhi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah menerima laporan hasil verifikasi dari Lembaga Penilai Independen, Komisi REDD menerbitkan Sertifikat Pengurangan Emisi Karbon.
Sertifikat Pengurangan Emisi Karbon tersebut dapat diperjualbelikan.
Komisi REDD secara berkala menyampaikan laporan pelaksanaan REDD kepada Menteri (Kehutanan) dan Focal Point Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim untuk selanjutnya dilaporkan kepada Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim. Sampai saat ini – untuk sementara – harga ECC relatif masih lebih mahal dibandingkan harga Sertifikat Pengurangan Emisi Karbon REDD. Selain masih dalam taraf pembahasan dan negosiasi, belum ada entitas internasional yang memberikan sertifikasi terhadap produk REDD sebagaimana ECC.


Daftar Pusataka

Harian aceh(2008). Berdagang Karbon untuk Sejahterakan Rakyat?. From http://blog.harian-aceh.com/berdagang-karbon-untuk-sejahterakan-rakyat.jsp, 10 April 2012

Dewa Gumay(2008). Perdagangan Karbon di Hutan Aceh. From http://dewagumay.wordpress.com/2008/07/20/perdagangan-karbon-di-hutan-aceh/, 10 April 2012

Harian Analisa(2010).Aceh Belum Peroleh Dana Kompensasi Karbon. From http://www.analisadaily.com/news/read/2011/08/22/9599/aceh_belum_peroleh_dana_kompensasi_karbon, 10 April 2012

Arsito(2012). Investasi Pasar Karbon Dinilai Masih Terlalu  Riskan. From http://www.beritasatu.com/ekonomi/30136-investasi-pasar-karbon-dinilai-masih-terlalu-riskan.html, 10 April 2012


Anonim. 2010. REDD, Apakah Itu ? Pedoman CIFOR tentang Hutan, Perubahan Iklim, dan REDD. CIFOR.
Atkinson, B. The CDM, Kyoto Protocol and The Sugar, Ethanol and Bio-Fuels Industry.
Awang, S.A. 2007. Membangun Agenda dan Implementasi UNFCCC di Tingkat Nasional dan Lokal. Makalah yang disampaikan pada parallel event COP 13 Bali.
Edwards, R. 2010. Advance Market Commitments/Emission Reduction Underwriting Mechanism for Climate Change Finance. Climate Change Capital.
Griffith, T. 2009. REDD ? Awas ! : Hutan, Mitigasi Perubahan Iklim, dan Hak-Hak Masyarakat Adat. Forest for Peoples Programme.
Masripatin, N. 2008. Apa Itu REDD ?. Warta Tenure.
Panjiwibowo, C., Soejahmoen, M.H., Tanujaya, O., dan Rusmantoro, W. 2003. Mencari Pohon Uang : CDM Kehutanan di Indonesia. Yayasan Pelangi.
Situs internet :
http://cdm.unfccc.int/DOE/index.html. Designated Operational Entities (DOE).
http://dna-cdm.menlh.go.id/id/info/?sub=11. Pengantar dan Potensi Mengenai MPB.





1 komentar:

Dylan Brandon mengatakan...

saya senang bekerja sama dengan mr pedro selama beberapa tahun sebagai mitra bisnis. selama waktu itu pedro dan tim perusahaan pinjamannya menjabat sebagai perwakilan hipotek untuk rumah saya juga untuk pembiayaan bisnis saya dan dia membantu saya menutup pinjaman yang sangat membantu saya dalam bisnis saya hari ini, kami secara konsisten jauh di atas tujuan kami dan ini hanya bisa bisa diatribusikan pada kerja keras mr pedro. saya menghargai kerja keras Anda dan juga terima kasih banyak kepada tim Anda karena telah membantu saya dengan pinjaman untuk mengembangkan bisnis saya. jika Anda mencari pinjaman dalam bentuk apa pun, hubungi mr pedro di pedroloanss@gmail.com mr pedro adalah petugas pinjaman jujur ​​yang bekerja dengan sejumlah besar investor yang bersedia membiayai proyek apa pun. untungnya, seiring waktu hubungan kami tumbuh melampaui pekerjaan dan saya masih senang memanggilnya teman tepercaya.

Google Ads