Google ads

Selasa, 27 Oktober 2015

Interaksi Obat Dengan Reseptor



Pengertian Obat
 Keputusan Menteri Kesehatan RI No.193/Kab/B.VII/71, dikatakan bahwa obat adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, serta luka pada manusia atau hewan.
Menurut Ansel (1985), obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan.
Setiap obat memiliki sifat khusus masing-masing agar dapat bekerja dengan baik. Sifat fisik obat, dapat berupa benda padat pada temperatur kamar ataupun bentuk gas namun dapat berbeda dalam penanganannya berkaitan dengan pH kompartemen tubuh dan derajat ionisasi obat tersebut. Ukuran molekuler obat yang bervariasi dari ukuran sangat besar (BM 59.050) sampai sangat kecil (BM 7) dapat mempengaruhi proses difusi obat tersebut dalam kompartemen tubuh. Bentuk suatu molekul juga harus sedemikian rupa sehingga dapat berikatan dengan reseptornya. Setiap obat berinteraksi dengan reseptor berdasarkan kekuatan atau ikatan kimia. Selain itu, desain obat yang rasional berarti mampu memperkirakan struktur molekular yang tepat berdasarkan jenis reseptor biologisnya.

Ø Penggolongan Obat
1.    Obat Bebas
Obat bebas termasuk obat yang relatif paling aman, dapat diperoleh tanpa resep dokter, selain di apotik juga dapat diperoleh di warung-warung. Obat bebas dalam kemasannya ditandai dengan lingkaran berwarna hijau. Contoh obat bebas yaitu parasetamol, vitamin C, antasida, dan Obat Batuk Hitam (OBH).

2.    Obat Bebas Terbatas
Obat golongan ini juga relatif aman selama pemakaiannya mengikuti aturan pakai yang ada. Penandaan obat golongan ini adalah adanya lingkaran berwarna biru dan tertera peringatan dengan tulisan:
P. No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya.
P. No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.
P. No. 3: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
P. No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.
P. No. 5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan

Obat bebas terbatas dapat diperoleh tanpa resep dokter di apotik, toko obat ataupun di warung-warung. Contohnya obat anti mabuk (Antimo), obat flu kombinasi, klotrimaleas (CTM).


3.    Obat Keras
Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Jika pemakai tidak memperhatikan dosis, aturan pakai, dan peringatan yang diberikan, dapat menimbulkan efek berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan kematian. Contoh obat golongan keras yaitu antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung hormon (obat kencing manis, obat penenang, dan lain-lain).

4.    Psikotropika
Psikotropika adalah zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya. Jenis obat psikotropika yaitu shabu-shabu dan ekstasi.

5.    Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dengan memasukkannya ke dalam tubuh manusia. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat, halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya. Narkotika merupakan kelompok obat yang paling berbahaya karena dapat menimbulkan addiksi (ketergantungan) dan toleransi. Obat ini hanya dapat diperoleh dengan resep dokter.

Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, secara internasional obat hanya dibagi menjadi menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.

Ø  Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten.

Ø  Obat generik. Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten kemudian disebut sebagai obat generik (generik= nama zat berkhasiatnya). Obat generik dibagi lagi menjadi 2 yaitu generik berlogo dan generik bermerek (branded generic). Obat generik berlogo yang lebih umum disebut obat generik saja adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat, sedangkan obat generik bermerek yang lebih umum disebut obat bermerk adalah obat yang diberi merek dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.

Ø Peran Obat
Obat merupakan salah satu komponen yang tidak dapat tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat berbeda dengan komoditas perdagangan, karena selain merupakan komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan karena penanganan dan pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan obat atau farmakoterapi. Seperti yang telah dituliskan pada pengertian obat diatas, maka peran obat secara umum adalah sebagai berikut:
1) Penetapan diagnosa
2) Untuk pencegahan penyakit
3) Menyembuhkan penyakit
4) Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan
5) Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu
6) Peningkatan kesehatan
7) Mengurangi rasa sakit

Ø Mekanisme Kerja Obat
Efek obat terjadi karena adanya interaksi fisiko-kimiawi antara obat atau metabolit aktif dengan reseptor atau bagian tertentu dari tubuh. Obat tidak dapat menimbulkan fungsi baru dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi hanya dapat menambah atau mempengaruhi fungsi dan proses fisiologi (Batubara, 2008).
Untuk dapat mencapai tempat kerjanya, banyak proses yang harus dilalui obat. Proses itu terdiri dari 3 fase, yaitu fase farmasetik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi oleh cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan (Batubara, 2008). Fase selanjutnya yaitu fase farmakokinetik, merupakan proses kerja obat pada tubuh (Katzung, 2007). Suatu obat selain dipengaruhi oleh sifat fisika kimia obat (zat aktif), juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi tubuh, dan jalur atau rute pemberian obat (Batubara, 2008). Menurut Katzung (2007), suatu obat harus dapat mencapai tempat kerja yang diinginkan setelah masuk tubuh dengan jalur yang terbaik. Dalam beberapa hal, obat dapat langsung diberikan pada tempatnya bekerja, atau obat dapat diberikan melalui intravena maupun per oral. Fase selanjutnya yaitu fase farmakodinamik. Proses ini merupakan pengaruh tubuh pada obat (Katzung, 2007). Fase ini menjelaskan bagaimana obat berinteraksi dengan reseptornya ataupun pengaruh obat terhadap fisiologi tubuh. Fase farmakodinamik dipengaruhi oleh struktur kimia obat, jumlah obat yang sampai pada reseptor, dan afinitas obat terhadap reseptor dan sifat ikatan obat dengan reseptornya (Batubara, 2008).

Pengertian Reseptor
Reseptor merupakan komponen makromolekul sel (umumnya berupa protein) yang berinteraksi dengan senyawa kimia endogen pembawa pesan (hormon, neurotransmiter, mediator kimia dalam sistem imun, dan lain-lain) untuk menghasilkan respon seluler. Obat bekerja dengan melibatkan diri dalam interaksi antara senyawa kimia endogen dengan reseptor ini, baik menstimulasi (agonis) maupun mencegah interaksi (antagonis).

Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada sel organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurotransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi yang baru.
Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon, faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan regulator (seperti dihidrofolat  reduktase dan asetilkolinesterase). Reseptor untuk obat pada umumnya merupakan reseptor yang berfungsi bagi ligan endogen (hormon dan neurotransmitter).
Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan melakukan efek regulator seperti sinyal endogen ini dinamakan agonis. Ada obat yang juga berikatan dengan reseptor fisioloigs namun  tanpa menghasilkan efek regulator dan menghambat kerja agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut dengan istilah antagonis, atau disebut juga dengan bloker. Obat yang berikatan dengan reseptor dan hanya menimbulkan   efek agonis sebagian tanpa memperdulikan jumlah dan konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat agonis-parsial bermanfaat untuk mengurangi efek maksimal agonis penuh, oleh  karena itu disebut pula dengan istilah antagonis parsial. Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut agonis negatif.
Obat harus berintekasi dengan target aksi obat (salah satunya adalah reseptor) untuk dapat menimbulkan efek. Interaksi obat dan reseptor dapat membentuk komplek obat-reseptor yang merangsang timbulnya respon biologis, baik respon antagonis maupun agonis. Mekanisme timbulnya respon biologis dapat dijelaskan dengan teori obat reseptor.
Ada beberapa teori interaksi obat reseptor, antara lain yaitu teori klasik, teori pendudukan, dan teori kecepatan.
1.    Teori Klasik
Ø Crum dan Brown dan Fraser (1869), mengaktakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis mempunyai sifat karakteristik.
Ø Langley (1878), dalam studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan konsep reseptor yang pertama kali, kemudian dikembangkan oleh Ehrlich.
Ø Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana tentang interaksi obat reseptor  yaitu corpora non agunt nisi fixate atau obat tidak dapat menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor. Reseptor biologis timbul bila ada interaksi antara tempat dan struktur dalam tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul asing yang sesuai atau obat, yang satu sama yang lainnya merupakan stuktur yang saling mengisi.Reseptor obat digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan mirip dengan struktur molekul obat.

2.    Teori Pendudukan
Ø Clark (1926) memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati sati sisi reseptor dan obat harus  diberikan dalam jumlah yang berlebihan agar tetap efektif selama proses pembentukan kompleks.
Besarnya efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah reseptor khas yang diduduki molekul obat. Clark hanya meninjau  dari segi agonis saja yang kemudian dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari sisi antagonis.

Jadi respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat berupa :
1. rangsangan aktivitas (efek agonis ).
2. pengurangan aktivitas (efek antagonis ).
Ø Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor menjadi dua tahap yaitu :
1. Pembentukan komplek obat-reseptor
2. Menghasilkan respon biologis

Setiap struktur  molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas  dapat menunjang afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk menimbulkan respon biologis sebagai akibat pembentukan komplek.

3.    Teori Kecepatan
Ø Croxatto dan Huidobro (1956) memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat berinteraksi dengan reseptor.
Ø Paton (1961) mengatakan bahwa efek biologis obat setara dengan kecepatan kombinasi obat-reseptor dan bukan jumlah reseptor yang didudukinya. Tipe kerja obat ditentukan oleh kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor dan bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil.

4.    Jenis-Jenis Reseptor
v Jenis-jenis reseptor (gambar 1) :
v  Reseptor terhubung kanal ion.
v  Reseptor terhubung enzim.
v  Reseptor terkopling protein G.
v  Reseptor reseptor nuklear.


v Reseptor Terkopling Protein G (GPCR)

GPCR, disebut juga reseptor metabotropik, berada di sel membran dan responnya terjadi dalam hitungan detik. GPCR mempunyai rantai polipeptida tunggal dengan 7 heliks transmembran. Tranduksi sinyal terjadi dengan aktivasi bagian protein G yang kemudian memodulasi/mengatur aktivitas enzim atau fungsi kanal.

Contoh reseptor
Efek
Agonis
Antagonis
Histamin H1





Adrenoreseptor B2


Muskarinik M2
Kontraksi otot polos (IP3).
Berbagai efek karena posforilasi protein

Relaksasi otot polos

Penurunan kekuatan
kontraksi jantung
Pelambatan Jantung
Histamin





Adrenalin
Salbutamol

Asetilkolin
Mepiramin





Propanolol


Atropin


v Reseptor Terhubung Kanal Ion
Reseptor ini berada di membran sel, disebut juga reseptor ionotropik. Respon terjadi dalam hitungan milidetik. Kanal merupakan bagian dari reseptor.
Contoh : reseptor nikotinik, reseptor GABAA, reseptor ionotropik glutamat dan reseptor 5-HT3.

Ø Reseptor Nikotinik Asetilkolin
Reseptor ini ditemukan di otot skeletal, ganglion sistem saraf simpatk dan parasimpatik, neuron sistem saraf pusat, dan sel non neural. Mekanisme kerja reseptor ini ditunjukkan pada gambar 3.


Reseptor ini terdiri dari 5 subunit (yaitu subunit α1, β1, γ atau ε, dan δ), yang melintasi membran, membentuk kanal polar (gambar 4a). Masing-masing sub unit terdiri dari 4 segmen transmembran, segmen ke-2 (M2) membentuk kanal ion (gambar 4b). Domain N-terminal ekstraseluler masing-masing sub unit mengandung 2 residu sistein yang dipisahkan oleh 13 asam amino membentuk ikatan disulfida yang membentuk loop, merupakan binding site untuk agonis (gambar 4c).
Reseptor Terhubung Transkripsi Gen
Reseptor terhubung transkripsi gen disebut juga reseptor nuklear (walaupun beberapa ada di sitosol, merupakan reseptor sitosolik yang kemudian bermigrasi ke nukleus setelah berikatan dengan ligand, seperti reseptor glukokortikoid). Contoh : reseptor kortikosteroid, reseptor estrogen dan progestogen, reseptor vitamin D.
Reseptor Terhubung Enzim
Reseptor terhubung enzim merupakan protein transmembran dengan bagian besar ekstraseluler mengandung binding site untuk ligan (contoh : faktor pertumbuhan, sitokin) dan bagian intraseluler mempunyai aktivitas enzim (biasanya aktivitas tirosin kinase). Aktivasi menginisiasi jalur intraseluler yang melibatkan tranduser sitosolik dan nuklear, bahkan transkripsi gen. Reseptor sitokin mengaktifkan Jak kinase, yang pada gilirannya mengaktifkan faktor transkripsi Stat, yang kemudian mengaktifkan transkripsi gen.

Reseptor faktor pertumbuhan terdiri dari 2 reseptor, masing-masing dengan satu sisi
pengikatan untuk ligan. Agonis berikatan pada 2 reseptor menghasilkan kopling (dimerisasi). Tirosin kinase dalam masing-masing reseptor saling memposforilasi satu sama lain. Protein penerima (adapter) yang mengandung gugus –SH berikatan pada residu terposforilasi dan mengaktifkan tiga jalur kinase. Kinase 3 memposforilasi berbagai faktor transkripsi, kemudian mengaktifkan transkripsi gen untuk proliferasi dan diferensiasi.
Fungsi Reseptor
Fungsi reseptor adalah :
1)      Merangsang perubahan permeabilitas membran sel.
2)      Pembentukan pembawa kedua ( secon messenger) misalnya cAMP, diasilgliserol, inositol trifosfat.
3)      Mempengaruhi transkripsi gen atau DNA.

Dari fungsi tersebut, reseptor terlibat dalam komunikasi antar sel. Reseptor menerima rangsang dengan berikatan dengan pembawa pesan pertama (first messenger) yaitu agonis yang kemudian menyampaikan informasi yang diterima kedalam sel dengan langsung menimbulkan efek seluler melalui perubahan petmeabilitas membran, pembentukan pembawa pesan kedua atau mempengaruhi  transkripsi gen.

2.2. Interaksi Obat Dengan Reseptor
Ligan seperti hormon atau neurotransmiter ibarat sebuah anak kunci yang berikatan pada reseptor spesifik (yang berperan sebagai lubang kunci). Interaksi ini membuka respon sel. Obat mirip ligan, bila berinteraksi dengan resesptor memberikan respon yang sama dengan ligan, merupakan agonis sehingga bisa membuka kunci. Obat lain yang bekerja berlawanan disebut antagonis.
Skala dosis aritmetik verus skala log dosis
Ø Skala dosis aritmetik :
Laju perubahan efek cepat pada awal dan melambat pada peningkatan dosis. Saat peningkatan dosis tidak lagi mengubah efek, dicapai efek maksimal. Sulit untuk dianalisis secara matematis pada kurva dosis aritmetik.
Ø Skala Log Dosis :
Kurva logaritmik mengubah kurva hiperbolik menjadi sigmoid (mendekati garis lurus). Hal ini lebih menguntungkan dibanding skala dosis, karena proporsi dosis setara dengan efek sehingga mudah dianalisis secara matematis.

v Potensi
Potensi merupakan posisi relatif kurva dosis-efek pada sumbu dosis. Namun signifikansi secara klinis kecil, karena obat yang lebih poten belum tentu lebih baik secara klinis. Obat berpotensi rendah tidak menguntungkan hanya jika menyebabkan dosis terlalu besar sehingga sukar diberikan.
Contoh : potensi relatif antara berbagai analgesik. Jika hanya dibutuhkan respon analgesik rendah, pemberian aspirin dengan dosis 500 mg masih bisa menjadi pilihan dari pada golongan narkotik. Namun jika dibutuhkan efek analgesik kuat, dipilih golongan narkotik.

Agonis Pada Obat
Agonis adalah sebuah obat yang memiliki afinitas terhadap reseptor tertentu dan menyebabkan perubahan dalam reseptor yang menghasilkan efek diamati. Agonis lebih lanjut dicirikan sebagai agonis penuh, menghasilkan respon maksimal dengan menempati seluruh atau sebagian kecil dari reseptor, atau agonis parsial, menghasilkan kurang dari respon maksimal bahkan ketika obat tersebut menempati seluruh reseptor. Afinitas menjelaskan kecenderungan untuk menggabungkan obat dengan jenis tertentu dari reseptor, sedangkan aktivitas efficary atau intrinsik suatu obat mengacu pada efek maksimal obat dapat menghasilkan. Sebuah agonis parsial memiliki aktivitas kurang intrinsik dari agonis penuh. Potensi adalah istilah yang sering disalahpahami ketika membandingkan dua atau lebih obat yang menimbulkan efek beberapa diamati. Potensi obat mengacu pada dosis yang harus diberikan untuk menghasilkan efek tertentu intensitas yang diberikan. Potensi dipengaruhi oleh afinitas obat untuk obat itu adalah reseptor situs dan oleh proses-proses farmakokinetik yang menentukan konsentrasi obat di sekitar langsung dari situs kerjanya (biophase). Potensi obat berbanding terbalik dengan dosis; makin rendah dosis yang diperlukan untuk menghasilkan respon lain, semakin kuat obat. Potensi adalah relatif, dan bukan merupakan ekspresi, mutlak aktivitas obat. Untuk penentuan potensi standar harus didefinisikan, dan perbandingan potensi hanya berlaku untuk obat yang menghasilkan respon dinyatakan dengan mekanisme yang sama tindakan. Potensi suatu obat tidak necessarity berkorelasi dengan keberhasilan atau keselamatan, dan obat yang paling ampuh dalam seri klinis tidak selalu superior. rendah adalah potensi kerugian hanya jika dosis efektif adalah begitu besar sehingga terlalu mahal untuk memproduksi atau terlalu rumit untuk dijalankan.
Ada 2 tipe agonis :
– Agonis penuh, adalah agonis dengan efikasi maksimal.
– Agonis Parsial, adalah agonis dengan efikasi kurang maksimal.
Antagonis Pada Obat
Antagonis adalah obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi tidak mampu secara intrinsik menimbulkan efek farmakoligik sehingga menghambat karja suatu agonis. Antagonis dibedakan menjadi 2 yaitu :

• Antagonisme fisiologi, yaitu antagonisme pada sistem fisiologi yang sama tetapi pada sistem reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin dan autakoid lainnya yang dilepaskan tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan pemberian adrenalin.
• Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme malalui sistem reseptor yang sama (antagonisme antara agonis dengan antagonismenya). Misalnya, efek histamin yang dilepaskan dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang menduduki reseptor yang sama.
                                             
Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif dan nonkompetitif :
·      Antagonisme kompetitif : antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan agonis (receptor site atau active site) secara reversibel sehingga dapat digeser aloh agonis kadar tinggi. Hambatan kadar agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhir dicapai efek maksimal yang sama.
·      Antagonisme nonkompetitif : hambatan efek agonis oleh antagonis nonkompetitif tidak dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan berkurang, tetapiafinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah.

v Antagonisme nonkompetitif terjadi jika :
1.      Antagonis mengikat reseptor secara ireversibel, di receptor site maupun di tempat lain sehingga menghalangi ikatan agonis dengan reseptornya. Efek maksimal akan berkurang tetapi afinitas agonis terhadap reseptor yang bebas tidak berubah. Contoh: fenoksibenzamin mengikat reseptor adrenergik α di receptor site secara ireversibel.

2.       Antagonis mengikat bukan pada molekulnya sendiri tapi pada komponen lain dalam sistem reseptor, yakni pada molekul lain yang meneruskan fungsi reseptor dalam sel terget, misalnya molekul enzim adenilat siklase atau molekul protein yang membentuk kanal ion.

Ikatan antagonis pada molekul-molekul tersebut, secara reversibel maupun ireversibel akan mengurangi efek yang dapat ditimbulkan oleh kompleks agonis-reseptor tanpa mengganggu ikatan agonis dengan molekul reseptornya (afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah).
 

Ø Efektivitas, Toksisitas, Letalitas
Ø  ED50 – Dosis efektif tengah; dosis dimana 50% populasi/sampel menunjukkan efek (dari kurva DR kuantal).
Ø  TD50 – Dosis toksis tengah – dosis dimana 50% populasi menunjukkan efek toksik.
Ø  LD50 – Dosis letal tengah – dosis yang membunuh 50% subjek.

Ø Kuantifikasi Keamanan Obat
 
Semakin tinggi indeks terapi (IT) maka akan semakin baik. IT bervariasi dari 1,0 (beberapa obat kanker) hingga >1000 (penicillin). Obat yang bekerja pada reseptor atau enzim yang sama sering mempunyai nilai IT yang sama.


 Penulis :
RIDZKY M. HARIS
(Mahasiswa Kimia UMRI) 



DAFTAR PUSTAKA



Ansel, C. Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press.

Brody, T. M., Larner, J. and Minneman, K. P. (Eds.). 1998. Human Pharmacology : Molecular to Clinical. 3th ed. Mosby Inc. St. Louis, Missouri.

Camille Georges Wermuth (Ed.), 2008. The Practice of Medicinal Chemistry. Elsevier : London. pp. 99.

Foreman, J. C. and Johansen, T. Eds. 1996. Textbook of Receptor Pharmacology. CRC Press : USA.

Korolkovas, A. 1970. Essentials of Molecular Pharmacology : Background for Drug Design. Wiley-Interscience. New York.

Terry Kenakin. 1996. Molecular Pharmacology : A Short Course. Blackwell Sience Ltd : England.

Ulrik Gether & Brian K. Kobilka . Minireview : G Protein-coupled Receptors. J. Bio Chem Vol. 273. No. 29-1998. pp. 17079.

Undang-undang Bidang Kesehatan dan Farmasi. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Zullies Ikawati. 2008. Farmakologi Molekuler. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

1 komentar:

Romli mengatakan...

Sangat jelas dan lengkap, thanks ya

Bagi yang memiliki online shop dan ingin membuat website toko online lengkap, desain menarik, gratis penyebaran, SEO, Backlink, agar usaha nya mudah ditemukan banyak pembeli di internet, sehingga bisa meningkatkan penjualan, klik ya.. Jasa Pembuatan Website Toko Online Murah

Pusat Penjualan Hijab Jilbab Kerudung Terbaru harga termurah di Indonsia : Grosir Jilbab Murah di Indonesia.

Google Ads