Google ads

Jumat, 04 September 2015

Biologycal Oxygen Demand ( BOD )

Biologycal Oxygen Demand adalah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi senyawa-senyawa kimia (Tchobanoglous, George dkk, 2003). Sedang angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasikan) hampir semua zat organis yang terlarut dan sebagian zat-zat organis yang tersuspensi dalam air.
Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau industri dan untuk mendesain sistem-sistem pengolahan biologis bagi air yang tercemar tersebut (Alaerts, 1984). Jasad renik yang ada di dalam air limbah akan menggunakan oksigen untuk mengoksidasi benda organik menjadi energi, bahan buangan lainnya serta gas. Jika bahan organik yang belum diolah dan dibuang ke badan air, maka bakteri akan menggunakan oksigen untuk proses pembusukannya (Siregar, 2005). Untuk oksidasi/penguraian zat organis yang khas, terutama di beberapa jenis air buangan industri yang misalnya fenol, detergen, minyak dan sebagainya bakteri harus diberikan adaptasi beberapa hari melalui kontak dengan air buangan tersebut, sebelum dapat digunakan sebagai benih pada analisa BOD air tersebut. Sebaliknya, beberapa zat organis maupun inorganis dapat bersifat racun terhadap bakteri dan harus dikurangi sampai batas yang diinginkan (Alaerts, 1984). Berikut adalah bahan kimia penunjang analisa parameter BOD:

1
kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4)
2
magnesium sulfat (MgSO4)
3
kalsium klorida (CaCl2)
4
Feri klorida (FeCl3.6H2O)
5
glukosa-asam glutamate
6
asam sulfat
7
natrium hidroksida
8
natrium sulfit (Na2SO3)
9
Inhibitor nitrifikasi Allylthiourea (ATU)
10
asam asetat (CH3COOH)
11
indikator amilum
Tabel Bahan kimia penunjang analisa parameter BOD
Sumber : SNI 6989.73-2009 Pengujian Biologycal Oxygen demand (BOD) secara titrasi winkler

BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Umaly dan Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy, 1991). Ditegaskan lagi oleh Boyd (1990), bahwa bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic matter).
             Mays (1996) mengartikan BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertian pengertian ini dapat dikatakan bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable organics) yang ada di perairan.
Metode Pengukuran BOD
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (Pescod, 1973).
  Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang hampir sama dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk mencegah kontaminasi dari oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi air buangan/sampel tersebut juga harus berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga supaya oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting diperhatikan mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar ± 9 ppm pads suhu 20°C (Sawyer & MC Carty, 1978).
Penguraian bahan organik secara biologis di alam, melibatkan bermacam-macam organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Pemeriksaan BOD tersebut dianggap sebagai suatu prosedur oksidasi dimana organisme hidup bertindak sebagai medium untuk menguraikan bahan organik menjadi CO2 dan H2O. Reaksi oksidasi selama pemeriksaan BOD merupakan hasil dari aktifitas biologis dengan kecepatan reaksi yang berlangsung sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi dan suhu. Karenanya selama pemeriksaan BOD, suhu harus diusahakan konstan pada 20°C yang merupakan suhu yang umum di alam. Secara teoritis, waktu yang diperlukan untuk proses oksidasi yang sempurna sehingga bahan organik terurai menjadi CO2 dan H2O adalah tidak terbatas. Dalam prakteknya dilaboratoriurn, biasanya berlangsung selama 5 hari dengan anggapan bahwa selama waktu itu persentase reaksi cukup besar dari total BOD. Nilai BOD 5 hari merupakan bagian dari total BOD dan nilai BOD 5 hari merupakan 70 - 80% dari nilai BOD total (Sawyer & MC Carty, 1978). Penentuan waktu inkubasi adalah 5 hari, dapat mengurangi kemungkinan hasil oksidasi ammonia (NH3) yang cukup tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa, ammonia sebagai hasil sampingan ini dapat dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat, sehingga dapat mempengaruhi hasil penentuan BOD. Reaksi kimia yang dapat terjadi adalah :
2 NH3 + 3 O2                               2 NO2ˉ + 2 H+ + 2 H2O
2 NO2 + O2                                  2 NO3ˉ
Oksidasi nitrogen anorganik ini memerlukan oksigen terlarut, sehingga perlu diperhitungkan. Dalam praktek untuk penentuan BOD yang berdasarkan pada pemeriksaan oksigen terlarut (DO), biasanya dilakukan secara langsung atau dengan cara pengenceran. Prosedur secara umum adalah menyesuaikan 25 sampel pada suhu 20°C dan mengalirkan oksigen atau udara kedalam air untuk memperbesar kadar oksigen terlarut dan mengurangi gas yang terlarut, sehingga sampel mendekati kejenuhan oksigen terlarut. Dengan cara pengenceran pengukuran BOD didasarkan atas kecepatan degradasi biokimia bahan organik yang berbanding langsung dengan banyaknya zat yang tidak teroksidasi pada saat tertentu. Kecepatan dimana oksigen yang digunakan dalam pengenceran sampel berbanding lurus dengan persentase sampel yang ada dalam pengenceran dengan anggaapan faktor lainnya adalah konstan. Sebagai contoh adalah 10% pengenceran akan menggunakan sepersepuluh dari kecepatan penggunaan sampel 100% (Sawyer & MC Carty, 1978). Dalam hal dilakukan pengenceran, kualitas airnya perlu diperhatikan dan secara umum yang dipakai aquades yang telah mengalami demineralisasi. Untuk analisis air laut, pengencer yang digunakan adalah standard sea water (SSW). Derajat keasaman (pH) air pengencer biasanya berkisar antara 6,5 - 8,5 dan untuk menjaga agar pH-nya konstan bisa digunakan larutan penyangga (buffer) fosfat. Untuk menentukan BOD, terlebih dahulu diukur DO nya (DO 0 hari), sementara sampel yang lainnya diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20°C, selanjutnya setelah 5 hari diukur DO nya (DO 5 hari). Kadar BOD ditentukan dengan rumus :
 5 X [ kadar { DO(0 hari) - DO (5 hari) }] ppm
Selama penentuan oksigen terlarut, baik untuk DO maupun BOD, diusahakan seminimal mungkin larutan sampai yang akan diperiksa tidak berkontak dengan udara bebas. Khusus untuk penentuan BOD, sebaiknya digunakan botol sampel BOD dengan volume 250 ml dan semua isinya dititrasi secara langsung. Perhitungan kadar BOD nya :

BOD5 =  (A1 – A2) – (BI-B2/Vb)Vc
                                                P
Dengan pengertian
BOD5 adalah nilai BOD5 contoh uji (mg/L) ;
A1 : adalah kadar oksigen terlarut contoh uji sebelum inkubasi (0 hari) (mg/L);
A2 : adalah kadar oksigen terlarut contoh uji sebelum inkubasi 5 hari (mg/L);
B1 : adalah kadar oksigen terlarut blanko sebelum inkubasi (0 hari) (mg/L);
B2 : adalah kadar oksigen terlarut blanko sebelum inkubasi 5 hari (mg/L);
VB : adalah volume suspensi mikroba (mL) dalam botol DO blanko;
Vc : adalah volume suspensi dalam botol contoh uji (mL);
P : adalah perbandingan volume contoh uji (V1) per volume total (V2).
Catatan bila contoh uji tidak ditambah bibit mikroba VB = 0.         
(Standart Nasional Indonesia 6989.72:2009).

Oksigen Terlarut (DO)
      Pengertian Oksigen Terlarut (DO)
            Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari fotosintesa dan absorbsi atmosfer/udara. Oksigen terlarut di suatu perairan sangat berperan dalam proses penyerapan makanan oleh mahkluk hidup dalam air. Untuk mengetahui kualitas air dalam suatu perairan, dapat dilakukan dengan mengamati beberapa parameter kimia seperti aksigen terlarut (DO). Semakin banyak jumlah DO (dissolved oxygen) maka kualitas air semakin baik. Jika kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat degradasi anaerobik yang mungkin saja terjadi. Satuan DO dinyatakan dalam persentase saturasi. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan–bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000).
      Kecepatan difusi oksigen dari udara tergantung dari beberapa faktor seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antar air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan–bahan organik dan anorganik. Keadaan oksigen terlarut berlawanan dengan keadaan BOD, semakin tinggi BOD semakin rendah oksigen terlarut. Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada lems, stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan  dalam keadaan diam relatif lebih sedikit dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun. Idealnya, kandungan oksigen terlarut dan tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70% (Huet, 1970). KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Anonimous, 2004).
      Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan biologik yang dilakukan oleh organisme aerobik dan anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang ada pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa–senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah tangga.
b.      Metode Pengukuran Oksigen Terlarut
            Oksigen terlarut dapat dianalisis atau ditentukan dengan 2 macam cara, yaitu :
1.        Metoda titrasi dengan cara WINKLER
Metoda titrasi dengan cara WINKLER secara umum banyak digunakan untuk menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri. Sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 dan NaOH - KI, sehingga akan terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atau HCl maka endapan yang terjadi akan larut kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen dengan oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat (Na2S203) dan menggunakan indikator larutan amilum (kanji). Reaksi kimia yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut :
MnCl2 + NaOH                                      Mn(OH)2 + 2 NaCl
2 Mn(OH)2 + O2                                      2 MnO2 + 2 H2O
MnO2 + 2 KI + 2 H2O         H+                  Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH
I2 + 2 Na2S2O3                                        Na2S4O6 + 2 NaI
2.        Metoda elektrokimia atau lebih dikenal pengukran dengan DO-meter
Cara penentuan oksigen terlarut dengan metoda elektrokimia adalah cara langsung untuk menentukan oksigen terlarut dengan alat DO meter. Prinsip kerjanya adalah menggunakan probe oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda yang direndam dalarn larutan elektrolit. Pada alat DO meter, probe ini biasanya menggunakan katoda perak (Ag) dan anoda timbal (Pb). Secara keseluruhan, elektroda ini dilapisi dengan membran plastik yang bersifat semi permeable terhadap oksigen. Reaksi kimia yang akan terjadi adalah :
Katoda : O2 + 2 H2O + 4‾                  4 HO‾
Anoda  : Pb + 2 HO‾                          PbO + H2O + 2e‾
Aliran reaksi yang terjadi tersebut tergantung dari aliran oksigen pada katoda. Difusi oksigen dari sampel ke elektroda berbanding lurus terhadap konsentrasi oksigen terlarut. Penentuan oksigen terlarut (DO) dengan cara titrasi berdasarkan metoda WINKLER lebih analitis apabila dibandingkan dengan cara alat DO meter. Hal yang perlu diperhatikan dalam titrasi iodometri ialah penentuan titik akhir titrasinya, standarisasi larutan tiosulfat dan pembuatan larutan standar kaliumbikromat yang tepat. Dengan mengikuti prosedur penimbangan kaliumbikromat dan standarisasi tiosulfat secara analitis, akan diperoleh hasil penentuan oksigen terlarut yang lebih akurat. Sedangkan penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter, harus diperhatikan suhu dan salinitas sampel yang akan diperiksa. Peranan suhu dan salinitas ini sangat vital terhadap akurasi penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter. Disamping itu, sebagaimana lazimnya alat yang digital, peranan kalibrasi alat sangat menentukan akurasinya hasil penentuan. Berdasarkan pengalaman di lapangan, penentuan oksigen terlarut dengan cara titrasi lebih dianjurkan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Alat DO meter masih dianjurkan jika sifat penentuannya hanya bersifat kisaran (Salmin, 2000).
 

Tidak ada komentar:

Google Ads