Soil Transmitted Helminth (STH) adalah
golongan cacing usus (Nematoda Usus) dalam perkembanganya
membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif. Yang termasuk golongan
STH yang habitatnya pada usus manusia adalah Ascaris lumbricoides,
Hookworm (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale), Strongiloides
stercoralis, Trichuris trichiura. Sedangkan yang habitatnya pada usus
hewan adalah Toxocara canis, Toxocara Cati, Ancylostoma braziliense,
Ancylostoma ceylanicum, Ancylostoma caninum ” (Widiyono, 2005).
STH yang akan dibahas dalam bab tinjauan pustaka ini meliputi : Ascaris
lumbricoides, Hookworm (N. americanus dan A. duodenale),
Trichuris Trichiura, Strongiloides stercoralis.
2.1.
Ascaris lumbricoides
a.
Morfologi
A. lumbricoides merupakan
cacing terbesar diantara Nematoda lainya. Cacing betina memiliki ukuran
besar dan panjang. Ukuran cacing jantan 10-30 cm dengan diameter 2-4 mm, betina
22-35 cm, kadang-kadang sampai 39 cm dengan diameter 3-6 mm.
A. lumbricoides memiliki
4 macam telur yang dapat dijumpai di feses, yaitu telur fertile (telur
yang dibuahi), unfertile (telur yang tidak dibuahi), decorticated (telur
yang sudah dibuahi tetapi telah kehilangan lapisan albuminnya) dan telur Infektif
(telur yang mengandung larva)
b.
Siklus Hidup
Cacing dewasa didalam usus halus
memproduksi telur. Cacing betina setelah kawin dapat memproduksi telur tiap
harinya kurang lebih 200.000 butir, kemudian dikeluarkan bersamaan feses waktu
buang air besar. Telur yang dikeluarkan merupakan telur yang unfertile (tidak
infeksius) dan telur fertile. Pada tanah yang lembab, berlumpur dan teduh
memudahkan pertumbuhan telur fertile menjadi telur infektif, biasanya butuh
waktu kurang lebih 18 hari. Telur yang berisi larva ini infektife. Jika
suatu ketika telur tertelan oleh manusia, akan masuk kelumen usus kemudian
dalam usus telur menetas menjadi larva dan larva akan menembus mucosa usus
melalui vena porta menuju hepar kemudian melalui arteri hepatika masuk ke
sirkulasi sistemik. Dari sirkulasi sistemik melalui venavena balik menuju
jantung kanan yaitu atrium kanan kemudian ke ventrikel kanan dan masuk ke
paru-paru melalui arteri pulmonalis masuk ke kapiler, karena ukuran larva lebih
besar dari kapiler maka terjadi perdarahan di kapiler (Lung Migration).
Migrasi berlangsung selama 10-15 hari. sehingga larva dapat migrasi ke alveoli
menuju bronchus, trachea, larink, pharynx, dan akhirnya ikut
tertelan masuk kedalam usus dan tumbuh jadi bentuk dewasa. Jika cacing dewasa
jantan dan betina kawin, betina sudah dapat menghasilkan telur kurang lebih 2
bulan sejak infeksi pertama” (Anonim, 2008).
c.
Patogenesis
Patogenesa berkaitan dengan jumlah
organisme yang menginvasi, sensitifitas host, bentuk perkembangan cacing,
migrasi larva dan status nutrisi host. Migrasi larva dapat menyebabkan eosinophilia
dan kadang-kadang reaksi alergi. Bentuk dewasa dapat menyebabkan kerusakan
pada organ akibat invasinya dan mengakibatkan patogenesa yang lebih berat”
(Agustin, D., 2008).
d.
Manifestasi klinik
Gejala klinik yang dapat muncul akibat
infeksi A. lumbricoides antara lain rasa tidak enak pada perut (abdominal
discomfort), diare, nausea, vomiting, berat badan turun dan malnutrisi.
Bolus yang dihasilkan cacing dapat menyebabkan obstruksi intestinal, sedangkan
larva yang migrasi dapat menyebabkan pneumonia
dan
eosinophilia”(Anonim, 2008).
e.
Epidemologi
Infeksi yang disebabkan oleh cacing A.
lumbricoides disebut Ascariasis. Di Indonesia prevalensi Ascariasis
tinggi, frekuensinya antara 60% sampai 90% terutama terjadi pada
anak-anak. A. lumbricoides banyak terjadi pada daerah iklim tropis
dan subtropis khususnya negara-negara berkembang seperti Amerika Selatan,
Afrika dan Asia” (Anonim, 2008).
f.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan
mengidentifikasi adanya telur pada feses dan kadang dapat dijumpai cacing
dewasa keluar bersama feses, muntahan ataupun melalui pemeriksaan radiologi
dengan contras barium” (Agustin, D., 2008).
g.
Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki
cara dan sarana pembuangan feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan
dengan tanah yaitu dengan cara cuci bersih sebelum makan, mencuci sayur-sayuran
dan buah-buahan dengan baik, menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan
mengobati penderita” (Anonim, 2008).
2.2.
Hookworm (N. americanus dan A. duodenale)
a.
Morfologi
Spesies Hookworm yang paling
sering menginfeksi manusia adalah A. duodenale dan N. americanus. Keduanya
dibedakan berdasarkan bentuk dan ukuran cacing dewasa, buccal cavity (rongga
mulut), bursa copulatrix pada jantan. A. duodenale mempunyai
ukuran lebih besar dan panjang dari pada N. americanus”. N.
americanus jantan mempunyai panjang 8-11 mm dengan diameter 0,4- 0,5
mm, sedangkan cacing betina mempunyai panjang 10-13 mm dan diameter 0,6 mm6.
Pada buccal cavity (rongga mulut) mempunyai 2 pasang “cutting plates”
yaitu sepasang di ventral dan sepasang di dorsal. Dalam keadaan istirahat
tubuhnya menyerupai huruf “S”. A. Duodenale jantan mempunyai panjang
7-9 mm dan diameter 0,3 mm sedang cacing betinanya mempunyai panjang
9-11 mm dan diameter 0.4 mm. Pada buccal cavity (rongga mulut)
mempunyai 2 pasang gigi di anterior dan di posterior. Dalam keadaan
istirahat tubuhnya menyerupai huruf “C” (Agustin, D., 2008). Telur
Hookworm sulit dibedakan antara spesies. Bentuk oval dengan ukuran
40-60 mikron dengan dinding tipis transparan dan berisi blastomer” (Agustin,
D., 2008).
b.
Siklus Hidup
Telur keluar bersama feses yang
merupakan telur tidak infektif, biasanya berisi blastomer. Pada tanah
yang teduh, gembur, berpasir dan hangat memudahkan untuk pertumbuhan telur
biasanya telur menetas dalam 1-2 hari dalam bentuk rhabditiform larva.
Setelah waktu kurang lebih 5-10 hari tubuh menjadi larva filariform yang
merupakan bentuk infektife. Bentuk dari larva filariform ini
dapat dikenal dari buccal cavity yang menutup. Bila selama periode
infektif terjadi kontak dengan kulit manusia, maka filariform larva akan
menembus kulit dan masuk ke jaringan kemudian memasuki peredaran darah dan
pembuluh lympe, dengan mengikuti peredaran darah vena sampai ke jantung kanan
masuk ke paru-paru lewat arteri pulmonalis kemudian masuk kekapiler, karena
ukuran larva lebih besar akhirnya kapiler pecah (lung migration)
kemudian bermigrasi menuju alveoli, bronchus, larink, pharink dan
akhirnya ikut tertelan masuk kedalam usus. Setelah di usus halus larva
melepaskan kulitnya lalu melekatkan diri pada mukosa usus, tumbuh sampai
menjadi dewasa. Waktu yang dibutuhkan infeksi melalui kulit sampai cacing
dewasa betina menghasilkan telur kurang lebih 5 minggu. Infeksi juga bisa
melalui mulut apabila manusia tanpa sengaja menelan filariform larva
langsung ke usus dan tumbuh menjadi dewasa tanpa melalui lung migration ”
(Tjitra, 1991).
c.
Patogenesis
Larva cacing menembus kulit akan
menyebabkan reaksi erythematus. Larva di paru-paru menyebabkan
perdarahan, eosinophilia dan pneumonia. Kehilangan banyak darah
akibat kerusakan intestinal dapat menyebabkan anemia (Gandahusada, dkk., 1998).
d.
Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang dapat muncul akibat
infeksi Hookworm antara lain pneumonia, batuk terus-menerus, dyspnue
dan hemoptysis yang dapat menandai adanya migrasi larva ke paru-paru.
Bergantung pada infeksi cacing dewasa, infeksi pencernaan dapat menyebabkan anorexia,
panas, diare, berat badan turun dan anemia(Gandahusada, dkk., 1998).
e.
Epidemologi
Hookworm menyebabkan
infeksi pada lebih dari 900 juta orang dan mengakibatkan hilangnya darah
sebanyak 7 liter. Cacing ini ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Kondisi
yang optimal untuk daya tahan larva adalah kelembaban sedang dengan suhu
berkisar 23°-33° celcius. Prevalensi infeksi cacing ini terjadi pada anak-anak”
(Ginting, 2003). A. duodenale terbanyak kedua setelah A. lumbricoides,
sedangkan N. americanus paling banyak dijumpai di Amerika, Afrika
Selatan dan Pusat, Asia Selatan, Indonesia, Australia dan Kepulauan Pasifik”
(Agustin, D., 2008).
F.
Diagnosis
Diagnosa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya telur/cacing dewasa pada feses penderita (Gandahusada,dkk., 1998).
g.
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan
memutus rantai lingkaran hidup cacing dengan cara : terhadap sumber infeksi
dengan mengobati penderita, memperbaiki cara dan sarana pembuangan feses dan
memakai alas kaki.
2.3.
Trichuris trichiura
a.
Morfologi
Cacing dewasa berbentuk cambuk dengan
2/5 bagian posterior tubuhnya tebal dan 3/5 bagian anterior lebih kecil. Cacing
jantan memiliki ukuran lebih pendek (3-4 cm) dari pada betina dengan ujung
posterior yang melengkung ke ventral. Cacing betina memiliki ukuran 4-5 cm
dengan ujung posterior yang membulat. Memiliki bentuk oesophagus yang khas
disebut dengan “Schistosoma oesophagus”. Telur berukuran 30–54 x
23 mikron dengan bentukan yang khas lonjong seperti tong (barrel shape)
dengan dua mucoid plug pada kedua ujung yang berwarna transparan”
(Agustin, D., 2008).
Telur keluar bersama feses penderita
biasanya telur unembryonated. Ditanah yang teduh dan lembab merupakan
kondisi yang paling sesuai untuk pertumbuhan telur. Pertumbuhan menjadi telur
infektif membutuhkan waktu 15- 30 hari, ditemukan telur berisi larva stadium
III. Manusia terinfeksi apabila tanpa sengaja menelan telur yang infektif, dan
masuk ke dalam usus halus dan dinding telur akan pecah dan larvanya keluar
melalui kripte usus halus kemudian menuju ke caecum. Larva akan tumbuh menjadi
cacing dewasa dan tinggal di caecum dan kolon dengan cara menancapkan mulutnya
ke dinding usus, sebagai habitatnya dalam waktu 10-12 minggu tanpa melalui lung
migration. Apabila cacing jantan dan betina kawin, betina akan menghasilkan
telur 3000-20.000 perhari”
c.
Patogenesis
Cacing dewasa lebih banyak ditemukan di
caecum tetapi dapat juga berkoloni di dalam usus besar. Cacing ini dapat
menyebabkan inflamasi, infiltrasi eosinophilia, dan kehilangan darah.
Pada infeksi yang parah dapat menyebabkan rectal prolapse dan defisiensi
nutrisi” (Agustin, D., 2008).
d.
Manifestasi klinik
Dapat menyebabkan diare, anemia,
penurunan berat badan, nyeri perut, nausea, vomiting, eosinophilia, tenesmus,
rectal prolapse, pertumbuhan lambat.
e.
Epidemologi
Infeksi cacing ini disebut Trichuriasis.
Trichuriasis paling sering terjadi pada masyarakat yang miskin dengan
fasilitas sanitasi yang kurang baik. Prevalensi infeksi berhubungan dengan
usia, tertinggi adalah anak-anak usia SD. Transmisi dipercepat dengan sanitasi
yang jelek dan tanah yang hangat.
f.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan
menemukan telur di dalam feses”
g.
Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki
cara dan sarana pembuangan feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan
dengan tanah dengan cara cuci bersih sebelum makan, mencuci dan memasak
sayur-sayuran dengan baik, menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan
mengobati penderita”
h.
Sampel Pemeriksaan
Spesimen yang digunakan dalam penentuan
diagnosis infeksi kecacingan biasanya berasal dari feses, bilasan lambung dan
apusan rektal atau swab anus. Spesimen yang akan diperiksa harus ditampung
dalam botol bersih, bermulut lebar, dan mempunyai tutup. Untuk feses yang
diminta pada tersangka infeksi biasanya berasal dari hasil defekasi spontan dan
biasanya setelah dilakukan pengobatan, cara pengambilan sampel feses juga dapat
dilakukan secara rectal touch, untuk pemeriksaan feses rutin dibutuhkan sampel
sebanyak 2-3 gram, yang perlu diperhatikan adalah feses harus bebas minyak dan
bahan-bahan kimia seperti barium. Feses segar dapat disimpan semalam pada suhu
rendah yaitu pada suhu 4°C tanpa mengurangi nilai diagnostiknya, akan tetapi
jika feses tersebut dalam bentuk cair, berlendir dan mengandung darah maka
harus dilakukan pemeriksaan dengan segera dalam batas waktu 2 jam atau
dilakukan fiksasi terlebih dahulu jika hendak dilakukan penyimpanan (Hadidjaja,
P., 1994).
i.
Pengawet Sampel
Untuk pemerikaan feses dalam jumlah yang
besar maka tidak mungkin dilakukan pada semua spesimen pemeriksaan dalam waktu
beberapa jam saja, untuk itu perlu dilakukan pengawetan sampel feses, biasanya
reagen yang digunakan dalam fiktatif atau pengawet sampel yang berasal dari
feses adalah:
Ø Larutan
Formalin 50% atau 10%
Ø Larutam
Schauddin
Ø Larutan
Polivinil Alkohol yang mengandung Larutan Schauddin\
Ø Larutan
Mertiolad-Iodium Formaldehid (MIF)
Syarat
untuk memperoleh pengawetan yang baik adalah sebagai berikut:
Ø Jumlah
presentatif yang dipakai harus cukup banyak Presentatif dan spesimen harus
dicampur secara homogen.
j.
Metode pemeriksaan
Metode yang digunakan dalam membantu
menegakkan diagnosis infeksi kecacingan meliputi :
1. Pemeriksaan
Makroskopis
Pemeriksaan makroskopis meliputi:
Ø Warna
Feses : Kuning, putih, hijau atau hitam
Ø Bau
Feses : Amis seperti bau ikan atau bau busuk
Ø Konsistensi
: padat, lembek atau cair
Ø Adanya
lendir, darah, potongan jaringan, sisa makanan yang belum dicerna atau bahan
sisa pengobatan seperti lemak, zat besi, magnesium dan
barium.
2. Pemeriksaan
Mikroskopis
Metode pemeriksaan secara
mikroskopis yang sering dilakukan adalah:
1) Pemeriksaan
feses dengan cara langsung (sediaan basah)
Untuk metode ini dibagi dalam beberapa metode lagi
yaitu pemeriksaan feses dengan cara langsung dengan kaca penutup dan
pemeriksaan feses dengan cara langsung tanpa kaca penutup.
2) Pemeriksaan
feses dengan cara konsentrasi untuk telur cacing Dibagi dalam beberapa metode
lagi meliputi:
a) Pemeriksaan
feses dengan cara sedimentasi (Metode Faust & Russell)
b) Pemeriksaan
dengan cara Flotasi dengan larutan NaCl jenuh (Metode Willis)
c) Pemeriksaan
feses dengan teknik Kato (Metode Kato & Miura)
d) Pemeriksaan
feses dengan teknik modifikasi Kato katz
e) Pemeriksaan
feses dengan teknik formalin-eter
f) Teknik
AMS III (Acid-sodium sulfat-tritone-eter concentration)
g) Teknik
hitung telur
h) Pemeriksaan
feses langsung dengan kaca penutup metode Beaver
i)
Pemeriksaan feses
dengan cara menghitung telur cacing
Pada penelitian ini digunakan metode pemeriksaan
sedimentasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar