DISPEPSIA
1.2.1.
Definisi
Istilah
dispepsia berkaitan dengan makanan dan menggambarkan keluhan atau kumpulan
gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa
panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau
didasari berbagai macam penyakit.
Definisi
dispepsia menurut kriteria Rome III adalah salah satu atau lebih gejala dibawah
ini :
1.
Rasa penuh setelah makan (yang
diistilahkan postprandial distress syndrome).
2.
Rasa cepat kenyang (yang berarti
ketidakmampuan untuk menghabiskan ukuran makan normal atau rasa penuh setelah
makan).
3.
Rasa nyeri epigastrik atau seperti
rasa terbakar (diistilahkan epigastric pain syndrome).
1.2.2.
Epidemiologi Dispepsia
Keluhan dispepsia
merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek praktis
sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada
praktek spesialis merupakan kasus dispepsia. Di Amerika, prevalensi dispepsia
sekitar 25%, tidak termasuk pasien dengan keluhan refluks. Insiden pastinya
tidaklah terdokumentasi dengan baik, tetapi penelitian di Skandinavia
menunjukkan dalam 3 bulan, dispepsia berkembang pada 0,8% pada subyek tanpa
keluhan dispepsia sebelumnya.
Prevalensi keluhan
saluran cerna menurut suatu pengkajian sistematik atas berbagai penelitian
berbasis populasi (systematic review of population-based study)
menyimpulkan angka bervariasi dari 11-41%. Jika keluhan terbakar di ulu hati
dikeluarkan maka angkanya berkisar 4-14%. Dispepsia masih menimbulkan masalah
kesehatan karena merupakan masalah kesehatan yang kronik dan memerlukan
pengobatan jangka panjang sehingga meningkatkan biaya perobatannya. Walaupun
gejalanya hanya singkat dan dapat diobati sendiri oleh pasien tanpa berobat ke
dokter.
Dispepsia terjadi pada
hampir 25% (dengan rentang 13%-40%) populasi tiap tahun tetapi tidak semua
pasien yang terkena dispepsia akan mencari pengobatan medis.
1.2.3.
Faktor Risiko
Individu dengan
karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami dispepsia:
1.
Konsumsi kafein berlebihan.
2.
Minum minuman beralkohol.
3.
Merokok.
4.
Konsumsi steroid dan NSAIDs.
5.
Serta berdomisili di daerah dengan
prevalensi H.pylori tinggi.
1.2.4.
Etiologi Dispepsia
Penyebab dispepsia
dapat diklasifikasikan menjadi dispepsia organik dan dispepsia fungsional.
Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum, striktura
esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan
penyakit pankreatobilier. Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua
penyebab organik.
Etiologi dari dispepsia dapat berupa :
1.
Esofago-gastro-duodenal
Seperti : tukak peptik, gastritis
kronis, gastritis NSAID dan keganasan.
2.
Obat - Obatan
Seperti :
antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis dan antibiotik.
3.
Hepatobilier
Seperti :
hepatitis, kolesistitis, kolelitiasis, keganasan dan disfungsi spingter oddi.
4.
Pankreas
Seperti :
pancreatitis dan keganasan
5.
Penyakit sistemik lain
Seperti :
diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan dan penyakitjantung koroner / iskemik.
6.
Gangguan fungsional
Seperti :Dispepsia
fungsional dan irritable bowel syndrome.
Mekanisme terjadinya gejala dispepsia
pada dispepsia fungsional :
a.
Hipersensitivitas visceral
1.
Meningkatnya persepsi distensi
2.
Gangguan persepsi asam
3.
Hipersensitivitas viseral sebagai
konsekuensi inflamasi kronik
b.
Gangguan motilitas
1.
Hipomotilitas antral post prandial
2.
Menurunnya relaksasi fundus gaster
3.
Menurunnya atau gangguan
pengosongan lambung
4.
Refluks gastro-esofageal
5.
Refluks duodenum-gaster
c.
Perubahan sekresi asam
1.
Hiperasiditas
d.
Infeksi kuman Helicobacter
pylori
e.
Stress
f.
Gangguan dan kelainan psikologis
g.
Predisposisi genetik
Beberapa obat
dapat juga menyebabkan keluhan dispepsia seperti pada umumnya adalah NSAIDs
(Obat Anti Inflamasi Non Steroid) yang dapat merusak mukosa sehingga
menyebabkan gastritis.Obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan dyspepsia
antara lain :
ü Acarbose
ü Aspirin
ü Colchicine
ü Digitalis
ü Sildenafil
ü Teofilin
|
ü Estrogen
ü Gemfibrozil
ü Glukokortikoid
ü Preparat besi
ü Potassium klorida
ü Quinidine
|
ü Levodopa
ü Narkotik
ü Niasin
ü Nitrat
ü Orlistat
|
1.2.4.
Patofisiologi Dispepsia
Dari sudut
pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan potensial
berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung,
infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan
hipersensitivitas visceral. Ferri et al. (2012) menegaskan bahwa patofisiologi
dyspepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian
masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan
bermakna, seperti di bawah ini:
1.
Abnormalitas fungsi motorik
lambung, khususnya keterlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas antrum,
hubungan antara volume lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan
lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah.
2.
Infeksi Helicobacter pylori
3.
Faktor-faktor psikososial,
khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi.
Patofisiologi
dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena berbagai macam
penyebab dan mekanisme.Penyebab dan mekanismenya dapat terjadi sendiri atau
kombinasi. Pembagian dispepsia berdasarkan gejalanya seperti yang tercantum
diatas adalah untuk panduan manajemen awal terutama untuk dispepsia yang tidak
teridentifikasi. Patofisiologi dari dyspepsia yang dapat dibahas disini adalah
:
1.
Sekresi asam lambung dan keasaman
duodenum
Hanya sedikit
pasien dispepsia fungsional yang mempunyai hipersekresi asam lambung dari
ringan sampai sedang.Beberapa pasien menunjukkan gangguan bersihan asam dari
duodenum dan meningkatnya sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan
rasa tidak enak di perut.Pasien yang lain menunjukkan buruknya relaksasi fundus
terhadap makanan. Tetapi paparan asam yang banyak di duodenum tidak langsung
berhubungan dengan gejala pada pasien dengan dispepsia fungsional.
2.
Infeksi Helicobacter pylori
Prevalensi
dan tingkat keparahan gejala dispepsia serta hubungannya dengan patofisiologi
gastrik mungkin diperankan oleh H.pylori
sekitar 50% dan tidak berbeda secara bermakna dengan angka kekerapan infeksi H.
pylori pada kelompok orang sehat.
Walaupun penelitian epidemiologis menyimpulkan bahwa belum ada alasan yang
meyakinkan terdapat hubungan antara infeksi H.pylori dan dispepsia fungsional.Tidak seperti pada ulkus peptikum,
dimana H.pylori merupakan penyebab
utamanya.
3.
Dismotilitas (perlambatan pengosongan
lambung)
25-40%
pasien dispepsia fungsional mempunyai perlambatan waktu pengosongan lambung,
akomodasi fundus terganggu, distensi antrum, kontraktilitas fundus postprandial
dan dismotilitas duodenum yang signifikan.Walaupun beberapa penelitian kecil gagal
untuk menunjukkan hubungan antara perlambatan waktu pengosongan lambung dengan
gejala dispepsia.Sebaliknya penelitian yang besar menunjukkan adanya
perlambatan waktu pengosongan lambung dengan perasaan perut penuh setelah
makan, mual dan muntah.
4.
Gangguan akomodasi lambung
Gangguan lambung
proksimal untuk relaksasi saat makanan memasuki lambung ditemukan sebanyak 40%
pada pasien dispepsia fungsional yang akan menjadi transfer prematur makanan
menuju lambung distal.Gangguan dari akomodasi dan maldistribusi tersebut
berkorelasi dengan cepat kenyang dan penurunan berat badan.
5.
Gangguan fase kontraktilitas
saluran cerna
Gangguan
fase kontraksi lambung proksimal terjadi setelah makan dan dirasakan oleh
pasien sebagai dispepsia fungsional.Hubungannya memang belum jelas tetapi
mungkin berkontribusi terhadap gejala pada sekelompok kecil pasien.
6.
Hipersensitivitas lambung
Hiperalgesia
terhadap distensi lambung berkorelasi dengan nyeri abdomen post prandial,
bersendawa dan penurunan berat badan. Walaupun disfungsi level neurologis yang
terlibat dalam hipersensitivitas lambung masih belum jelas.
7.
Disritmia mioelektrikal dan
dismotilitas antro-duodenal
Penelitian
tentang manometrik menunjukkan bahwa hipomotilitas antrum terdapat pada
sebagian besar pasien dispepsia fungsional tetapi hubungannya tidak terlalu
kuat dengan gejala spesifiknya.Aktivitas abnormal dari mioelektrikal lambung
sangatumum ditemukan pada pasien tersebut, meskipun berkorelasi dengan
perlambatan pengosongan lambung tetapi tidak berkorelasi dengan gejala
dispepsianya.
8.
Intoleransi lipid intra duodenum
Kebanyakan
pasien dispepsia fungsional mengeluhkan intoleransi terhadap makanan berlemak
dan dapat didemonstrasikan hipersensitivitasnya terhadap distensi lambung yang
diinduksi oleh infus lemak ke dalam duodenum.Gejala pada umumnya adalah mual
dan perut kembung.
9.
Aksis otak – saluran cerna
Komponen afferen
dari sistem syaraf otonomik mengirimkan informasi dari reseptor sistem syaraf
saluran cerna ke otak via jalur vagus dan spinal.Di dalam otak, informasi yang
masuk diproses dan dimodifikasi oleh fungsi afektif dan kognitif. Kemudian otak
mengembalikan informasi tersebut via jalur parasimpatik dan simpatik yang akan
memodulasi fungsi akomodasi, sekresi, motilitas dan imunologis.
10. Peranan hormonal
Peranan hormon
masih belum jelas diketahuidalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan
adanya penurunan kadarhormone motilin yang menyebabkan gangguanmotilitas
antroduodenal. Dalam beberapapercobaan, progesteron, estradiol, danprolaktin
memengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit
gastrointestinal.
11. Diet dan faktor lingkungan
Intoleransi
makanan dilaporkan lebih seringterjadi pada kasus dispepsia fungsionaldibanding
kasus kontrol.
12. Psikologis
Adanya stres
akut dapat memengaruhifungsi gastrointestinal dan mencetuskankeluhan pada orang
sehat.Dilaporkan adanyapenurunan kontraktilitas lambung yang mendahuluikeluhan
mual setelah pemberian stimulusberupa stres. Kontroversi masih banyakditemukan
pada upaya menghubungkan factor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom,dan
motilitas. Tidak didapatkan kepribadianyang karakteristik untuk kelompok
dyspepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studidipaparkan adanya
kecenderungan masakecil yang tidak bahagia, pelecehan seksual,atau gangguan
jiwa pada kasus dyspepsia fungsional.
13. Faktor genetik
Potensi
kontribusi faktor genetik juga mulai dipertimbangkan, seiring dengan
terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan adanya interaksi antara
polimorfisme gen-genterkait respons imun dengan infeksi Helicobacter pylori pada
pasien dengan dispepsia fungsional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar