Google ads

Sabtu, 14 Maret 2015

Dispepsia



DISPEPSIA
1.2.1.      Definisi
Istilah dispepsia berkaitan dengan makanan dan menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari berbagai macam penyakit.
Definisi dispepsia menurut kriteria Rome III adalah salah satu atau lebih gejala dibawah ini :
1.    Rasa penuh setelah makan (yang diistilahkan postprandial distress syndrome).
2.    Rasa cepat kenyang (yang berarti ketidakmampuan untuk menghabiskan ukuran makan normal atau rasa penuh setelah makan).
3.    Rasa nyeri epigastrik atau seperti rasa terbakar (diistilahkan epigastric pain syndrome).

1.2.2.      Epidemiologi Dispepsia
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek spesialis merupakan kasus dispepsia. Di Amerika, prevalensi dispepsia sekitar 25%, tidak termasuk pasien dengan keluhan refluks. Insiden pastinya tidaklah terdokumentasi dengan baik, tetapi penelitian di Skandinavia menunjukkan dalam 3 bulan, dispepsia berkembang pada 0,8% pada subyek tanpa keluhan dispepsia sebelumnya.
Prevalensi keluhan saluran cerna menurut suatu pengkajian sistematik atas berbagai penelitian berbasis populasi (systematic review of population-based study) menyimpulkan angka bervariasi dari 11-41%. Jika keluhan terbakar di ulu hati dikeluarkan maka angkanya berkisar 4-14%. Dispepsia masih menimbulkan masalah kesehatan karena merupakan masalah kesehatan yang kronik dan memerlukan pengobatan jangka panjang sehingga meningkatkan biaya perobatannya. Walaupun gejalanya hanya singkat dan dapat diobati sendiri oleh pasien tanpa berobat ke dokter.
Dispepsia terjadi pada hampir 25% (dengan rentang 13%-40%) populasi tiap tahun tetapi tidak semua pasien yang terkena dispepsia akan mencari pengobatan medis.
1.2.3.      Faktor Risiko
Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami dispepsia:
1.        Konsumsi kafein berlebihan.
2.        Minum minuman beralkohol.
3.        Merokok.
4.        Konsumsi steroid dan NSAIDs.
5.        Serta berdomisili di daerah dengan prevalensi H.pylori tinggi.

1.2.4.      Etiologi Dispepsia
Penyebab dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum, striktura esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan penyakit pankreatobilier. Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua penyebab organik.
Etiologi dari dispepsia dapat berupa :
1.        Esofago-gastro-duodenal
Seperti : tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID dan keganasan.
2.        Obat - Obatan
Seperti : antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis dan antibiotik.
3.        Hepatobilier
Seperti : hepatitis, kolesistitis, kolelitiasis, keganasan dan disfungsi spingter oddi.
4.        Pankreas
Seperti : pancreatitis dan keganasan
5.        Penyakit sistemik lain
Seperti : diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan dan  penyakitjantung koroner / iskemik.
6.        Gangguan fungsional
Seperti :Dispepsia fungsional dan irritable bowel syndrome.

Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional :
a.    Hipersensitivitas visceral
1.    Meningkatnya persepsi distensi
2.    Gangguan persepsi asam
3.    Hipersensitivitas viseral sebagai konsekuensi inflamasi kronik
b.    Gangguan motilitas
1.    Hipomotilitas antral post prandial
2.    Menurunnya relaksasi fundus gaster
3.    Menurunnya atau gangguan pengosongan lambung
4.    Refluks gastro-esofageal
5.    Refluks duodenum-gaster
c.    Perubahan sekresi asam
1.    Hiperasiditas
d.   Infeksi kuman Helicobacter pylori
e.    Stress
f.     Gangguan dan kelainan psikologis
g.    Predisposisi genetik
Beberapa obat dapat juga menyebabkan keluhan dispepsia seperti pada umumnya adalah NSAIDs (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) yang dapat merusak mukosa sehingga menyebabkan gastritis.Obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan dyspepsia antara lain :
ü  Acarbose
ü  Aspirin
ü  Colchicine
ü  Digitalis
ü  Sildenafil
ü  Teofilin
ü  Estrogen
ü  Gemfibrozil
ü  Glukokortikoid
ü  Preparat besi
ü  Potassium klorida
ü  Quinidine
ü  Levodopa
ü  Narkotik
ü  Niasin
ü  Nitrat
ü  Orlistat


1.2.4.      Patofisiologi Dispepsia
Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas visceral. Ferri et al. (2012) menegaskan bahwa patofisiologi dyspepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti di bawah ini:
1.    Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah.
2.    Infeksi Helicobacter pylori
3.    Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi.

Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena berbagai macam penyebab dan mekanisme.Penyebab dan mekanismenya dapat terjadi sendiri atau kombinasi. Pembagian dispepsia berdasarkan gejalanya seperti yang tercantum diatas adalah untuk panduan manajemen awal terutama untuk dispepsia yang tidak teridentifikasi. Patofisiologi dari dyspepsia yang dapat dibahas disini adalah :
1.    Sekresi asam lambung dan keasaman duodenum
Hanya sedikit pasien dispepsia fungsional yang mempunyai hipersekresi asam lambung dari ringan sampai sedang.Beberapa pasien menunjukkan gangguan bersihan asam dari duodenum dan meningkatnya sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.Pasien yang lain menunjukkan buruknya relaksasi fundus terhadap makanan. Tetapi paparan asam yang banyak di duodenum tidak langsung berhubungan dengan gejala pada pasien dengan dispepsia fungsional.
2.    Infeksi Helicobacter pylori
Prevalensi dan tingkat keparahan gejala dispepsia serta hubungannya dengan patofisiologi gastrik mungkin diperankan oleh H.pylori sekitar 50% dan tidak berbeda secara bermakna dengan angka kekerapan infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Walaupun penelitian epidemiologis menyimpulkan bahwa belum ada alasan yang meyakinkan terdapat hubungan antara infeksi H.pylori dan dispepsia fungsional.Tidak seperti pada ulkus peptikum, dimana H.pylori merupakan penyebab utamanya.
3.    Dismotilitas (perlambatan pengosongan lambung)
25-40% pasien dispepsia fungsional mempunyai perlambatan waktu pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu, distensi antrum, kontraktilitas fundus postprandial dan dismotilitas duodenum yang signifikan.Walaupun beberapa penelitian kecil gagal untuk menunjukkan hubungan antara perlambatan waktu pengosongan lambung dengan gejala dispepsia.Sebaliknya penelitian yang besar menunjukkan adanya perlambatan waktu pengosongan lambung dengan perasaan perut penuh setelah makan, mual dan muntah.
4.    Gangguan akomodasi lambung
Gangguan lambung proksimal untuk relaksasi saat makanan memasuki lambung ditemukan sebanyak 40% pada pasien dispepsia fungsional yang akan menjadi transfer prematur makanan menuju lambung distal.Gangguan dari akomodasi dan maldistribusi tersebut berkorelasi dengan cepat kenyang dan penurunan berat badan.
5.    Gangguan fase kontraktilitas saluran cerna
Gangguan fase kontraksi lambung proksimal terjadi setelah makan dan dirasakan oleh pasien sebagai dispepsia fungsional.Hubungannya memang belum jelas tetapi mungkin berkontribusi terhadap gejala pada sekelompok kecil pasien.
6.    Hipersensitivitas lambung
Hiperalgesia terhadap distensi lambung berkorelasi dengan nyeri abdomen post prandial, bersendawa dan penurunan berat badan. Walaupun disfungsi level neurologis yang terlibat dalam hipersensitivitas lambung masih belum jelas.
7.    Disritmia mioelektrikal dan dismotilitas antro-duodenal
Penelitian tentang manometrik menunjukkan bahwa hipomotilitas antrum terdapat pada sebagian besar pasien dispepsia fungsional tetapi hubungannya tidak terlalu kuat dengan gejala spesifiknya.Aktivitas abnormal dari mioelektrikal lambung sangatumum ditemukan pada pasien tersebut, meskipun berkorelasi dengan perlambatan pengosongan lambung tetapi tidak berkorelasi dengan gejala dispepsianya.
8.    Intoleransi lipid intra duodenum   
Kebanyakan pasien dispepsia fungsional mengeluhkan intoleransi terhadap makanan berlemak dan dapat didemonstrasikan hipersensitivitasnya terhadap distensi lambung yang diinduksi oleh infus lemak ke dalam duodenum.Gejala pada umumnya adalah mual dan perut kembung.
9.    Aksis otak – saluran cerna
Komponen afferen dari sistem syaraf otonomik mengirimkan informasi dari reseptor sistem syaraf saluran cerna ke otak via jalur vagus dan spinal.Di dalam otak, informasi yang masuk diproses dan dimodifikasi oleh fungsi afektif dan kognitif. Kemudian otak mengembalikan informasi tersebut via jalur parasimpatik dan simpatik yang akan memodulasi fungsi akomodasi, sekresi, motilitas dan imunologis.

10.  Peranan hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahuidalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadarhormone motilin yang menyebabkan gangguanmotilitas antroduodenal. Dalam beberapapercobaan, progesteron, estradiol, danprolaktin memengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.
11.  Diet dan faktor lingkungan
Intoleransi makanan dilaporkan lebih seringterjadi pada kasus dispepsia fungsionaldibanding kasus kontrol.
12.  Psikologis
Adanya stres akut dapat memengaruhifungsi gastrointestinal dan mencetuskankeluhan pada orang sehat.Dilaporkan adanyapenurunan kontraktilitas lambung yang mendahuluikeluhan mual setelah pemberian stimulusberupa stres. Kontroversi masih banyakditemukan pada upaya menghubungkan factor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom,dan motilitas. Tidak didapatkan kepribadianyang karakteristik untuk kelompok dyspepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studidipaparkan adanya kecenderungan masakecil yang tidak bahagia, pelecehan seksual,atau gangguan jiwa pada kasus dyspepsia fungsional.
13.  Faktor genetik
Potensi kontribusi faktor genetik juga mulai dipertimbangkan, seiring dengan terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan adanya interaksi antara polimorfisme gen-genterkait respons imun dengan infeksi Helicobacter pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional.


Tidak ada komentar:

Google Ads