Cedera kepala merupakan
salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama akibat trauma susunan syaraf
pada bagian kepala.
2.2
Patofisiologi 3,4,5
Cedera kepala dapat
disebabkan oleh:
·
Kecelakaan lalu lintas
·
Terjatuh
·
Dipukul
·
Luka tembus lainnya
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan
mekanisme, keparahan, dan morfologi cedera.
1.
Mekanisme (berdasarkan adanya penetrasi
durameter) :
a.
Trauma
tumpul
§ Kecepatan tinggi (tabrakan)
§ Kecepatan rendah (terjatuh, terpukul)
b. Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera
tembus lainnya)
2. Keparahan cedera
Dilihat berdasarkan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) :
þ Eye
§ Membuka mata spontan (4)
§
Membuka mata bila diajak bicara (3)
§
Membuka mata bila dirangsang dengan nyeri (2)
§ Tidak ada respon (1)
þ Verbal
§ Berbicara normal (5)
§ Berbicara meracau (4)
§ Berbicara tidak jelas (3)
§ Hanya suara yang keluar (2)
§ Tidak ada respon (1)
þ Motorik
§ Bergerak mengikuti perintah (6)
§
Bergerak terhadap nyeri dan dapat melokalisir
nyeri (5)
§
Bergerak menjauh terhadap rengsangan nyeri (4)
§
Terhadap rangsangan bereaksi dengan gerak
refleksi (3)
§
Terhadap rangsangan bereaksi dengan gerak
ekstensi (2)
§ Tidak ada respon (1)
Dari penilaian GCS diatas tingkat keparahan cedera dapat
dibagi atas :
a. Ringan : GCS 14-15
b. Sedang : GCS 9-13
c. Berat : GCS 3-8
3. Morfologi
a.
Fraktur tengkorak: kranium, linear/stelatum,
depresi/nondepresi, terbuka/tertutup
Basis: dengan/tanpa
kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII.
b. Lesi intrakranial: fokal, epidural, subdural,
intracebal.
Difus : konkusi ringan,
konkusi klasik, cedera aksonal difus.
2.3 Prognosis 3,4,5
Prognosis
setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien
dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik
yang besar, dimana skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau
tetap dalam kondisi vegetatif. Sedangkan pada pasien dengan skor GCS 12 atau
lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5-10%. Sindrom pasca konkusi
berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing,
ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang
berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Seringkali bertumpang
tindih dengan gejala depresi.
2.4 Anamnesis
2
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan: riwayat kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada
orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga,
jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan
gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak
mengetahui pasti urutan kejadiannya: jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan
kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis yang lebih terperinci meliputi :
1.
Sifat kecelakaan.
2.
Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa
ke rumah sakit.
3.
Ada tidaknya benturan kepala langsung.
4.
Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan
kesadaran sampai saat diperiksa.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak
sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui
kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya
tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun
kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).
2.5 Pemerikasaan 2
A. Pemeriksaan
fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi vital dan
status kesadaran pasien. Ini harus dilakukan
sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis yang teliti.
1. Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal
terpenting yang dinilai ialah :
a. Jalan
nafas (airway)
b.
Pernafasan (breathing)
c. Nadi dan tekanan darah (circulation)
Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing,
lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti
dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada
riwayat/dugaan trauma servikal (whiplash injury), jamb dengan kepala di bawah atau trauma tengkuk.
Gangguan yang mungkin ditemukan dapat berupa :
a. Pernafasan Cheyne Stokes.
b. Pernafasan Biot/hiperventilasi.
c. Pernafasan
ataksik.
yang menggambarkan makin memburuknya tingkat kesadaran.
Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga
adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain,
misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu
peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat
merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase
akut disebabkan oleh hematoma epidural.
2. Status kesadaran
Dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif,
terutama pada kasus cedera kepala sudah mulai ditinggalkan karena subyektivitas
pemeriksa; istilah apatik, somnolen, sopor, coma, sebaiknya dihindari atau
disertai dengan penilaian kesadaran yang lebih obyektif, terutama dalam keadaan
yang memerlukan penilaian/perbandingan secara ketat. Cara penilaian kesadaran
yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow; cara ini sederhana tanpa
memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan baik oleh dokter maupun
perawat. Melalui cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke
waktu dapat diikuti secara akurat.
3. Status Neurologik Lain
Selain status kesadaran di atas pemeriksaan neurologik
pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi adanya
tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini
perdarahan intrakranial.
Tanda fokal tersebut ialah :
a. Anisokori.
b. Paresis/parahisis.
c. Reties patologik sesisi.
4. Hal-hal Lain
Selain cedera kepala, harus diperhatikan adanya
kemungkinan cedera di tempat lain; trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga
atau tulang anggota gerak harus selalu dipikirkan dan dideteksi secepat
mungkin.
B. Pemeriksaan Tambahan
Peranan foto Rô tengkorak banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun
beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto Rô
tengkorak dapat dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum. Foto Rô tengkorak
biasa (AP dan Lateral) umumnya dilakukan pada keadaan :
- Defisit neurologik fokal.
- Liquorrhoe.
- Dugaan trauma tembus/fraktur impresi.
- Hematoma luas di daerah kepala.
Pada keadaan tertentu diperlukan proyeksi khusus, seperti proyeksi
tangensial pada dugaan fraktur impresi, proyeksi basis path dugaan fraktur
basis dan proyeksi khusus lain pada dugaan fraktur tulang wajah. Perdarahan
intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi karotis atau CT
Scan kepala yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan
tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. Meskipun demikian pemeriksaan ini
tidak dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Selain indikasi tersebut di atas, CT
Scan kepala dapat dilakukan pada keadaan :
- perburukan kesadaran.
- dugaan fraktur basis cranii.
- kejang.
2.6 Penatalaksanaan 2,3,4,5
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pernafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka
jalur intravena : gunakan cairan NaCl 0,9% atau Dextrose in saline.
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
·
Hiperventilasi.
·
Cairan hiperosmoler.
·
Kortikosteroid.
·
Barbiturat.
a. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan tekanan oksigen darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai
oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat
mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa,
tekanan oksigen dipertahankan >100
mmHg dan tekanan CO2 diantara 25-30 mmHg.
b. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 10-15% per infus untuk menarik air dari
ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui
diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan
dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan: 0,51
gram/kg BB dalam 10-30 menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu
tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba
diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau
keesokan harinya.
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa
waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa
kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya
berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis
parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi: Dexametason pernah dicoba dengan
dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga
Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon
dengan dosis 6 dd 10 mg.
d. Barbiturat
Digunakan untuk menenangkan pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan
akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat
digunakan dengan pengawasan yang ketat.
e. Cara lain
Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000 ml/24
jam agar tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan bahwa
posisi tidur dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30° akan menurunkan
tekanan
intrakranial. Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang
berbaring lama, ialah :
- kepala dan leher diangkat 30°.
- sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°.
- telapak kaki diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkai bawah
3. Obat-obat Nootropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu mengatasi
kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
a.
Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan mengaktivasi
metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta
fungsi membran sel. Pada fase akut diberikan
dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena
karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.
b. Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA - suatu
neurotransmitter penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/hari
intravena.
c. Citicholine
Disebut
sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan
untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam
dosis 100-500 mg/hari intravena.
4. Hal-hal lain
Perawatan luka dan pencegahan dekubitus harus mulai diperhatikan sejak
dini; tidak jarang pasien trauma kepala juga menderita luka lecet/luka robek di
bagian tubuh lainnya. Antibiotika diberikan bila terdapat luka terbuka yang
luas, trauma tembus kepala, fraktur tengkorak yang antara lain dapat
menyebabkan liquorrhoe. Luka lecet dan jahitan kulit hanya memerlukan
perawatan lokal. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala
umumnya sehat dengan fungsi pembekuan normal. Pendarahan intrakranial tidak
bisa diatasi hanya dengan hemostatik.
Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus
kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat
diberikan dengan dosis awa12-50 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti
dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberikan 3 dd
100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi
kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena efek sampingnya berupa penurunan
kesadaran dan depresi pernapasan.
Penatalaksanaan khusus :
1. Cedera kepala ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan CT Scan dengan kriteria sebagai
berikut :
§ Hasil pemeriksaan
neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal.
§ Foto servikal jelas normal
§ Adanya orang yang bertanggungjawab untuk mengamati
pasien selama 24 jam, dengan intstruksi segera kembali ke bagian gawat darurat
jika timbul gejala pemburukan.
2. Cedera kepala sedang
Pasien
yang menderita konkusi otak (komsio otak), dengan CGS 15 (sadar penuh,
orientasi baik, dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu
dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah meskipun
terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Resiko timbulnya lesi
intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang
adalah minimal.
3. Cedera kepala berat
Setelah
penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini
adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma
intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke
bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala sebaiknya
dilakukan di unit rawat intensif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar