A. Definisi
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang
relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa (Widjanarko, 2007).
Definisi yang lain menyebutkan juga bahwa Anemia aplastik didefinisikan sebagai
pansitopenia yang disebabkan oleh aplasia sumsum tulang,dan diklasifikasikan
menjadi jenis primer dan sekunder (Hoffbrand, 2005)
Ada pula yang mendukung Anemia aplastik
merupakan gangguan hematopoesis yang ditandai oleh penurunan produksi eritroid,
mieloid dan megakariosit dalam sumsum tulang dengan akibat adanya pansitopenia
pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya sistem keganasan hematopoitik
ataupun kanker metastatik yang menekan sumsum tulang (Aghe, 2009). Anemia
aplastik merupakan penurunan idiopatik 3 sel utama dalam sumsusm tulang Kegagalan sumsum
tulang menyebabkan kegagalan pembentukan sel darah putih, sel darah merah, platelet.
B. Prevalensi
Ditemukan lebih
dari 70 % anak-anak menderita anemia aplastik. Tidak ada perbedaan secara
bermakna antara laki-laki dan perempuan, namun beberapa penelitian nampak
insiden pada laki-laki lebih banyak dibanding wanita. Penyakit ini termasuk
penyakit yang jarang dijumpai dinegara barat dengan insiden 1-3/ 1 juta/tahun.
Namun dinegara timur seperti Thailand, negara asia lainnya seperti indonesia,
Taiwan dan Cina insidennya lebih tinggi. Penelitian pada tahun 1991 diBangkok
didapatkan 3.7/1 juta/tahun. ( Aghe,2009 ).
C. ETIOLOGI
Sebagian besar anemia aplastik (50-70%) penyebabnya bersifat idiopatik, yaitu
penyebabnya tidak diketahui dan awalnya spontan. Kesulitan dalam mencari
penyebab ini karena penyakit ini terjadi secara perlahan-lahan dan karena belum
adanya model binatang percobaan yang tepat. Penyebab anemia aplastik dapat
dibedakan atas penyebab primer dan sekunder (Bakta, 2006).
Secara etiologik
penyakit ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu:
1.
Faktor kongenital
Anemia aplastik yang diturunkan : sindroma fanconi
yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus,
anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.(Aghe, 2009)
·
Anemia
Fanconi, adalah kelainan autosomal resesif yang di tandai oleh defek pada DNA repair
dan memiliki predisposisi ke arah leukimia dan tumor padat (Wijanarko, 2007).
·
Diskeratosis
kongenita, adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan yang secara klasik
muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi kuku, dan leukoplakia
mukosa. Diskeratosis kongenita autosomal dominan disebabkan mutasi pada gen TERC
(yang menyandi komponen RNA telomerase) dan pada akhirnya mengganggu aktivitas
telomerase dan pemendekan telomer abnormal (Wijanarko, 2007).
·
Sindrom
Shwachman-Diamond, adalah kelainan autosomal resesif yang ditandai
dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan sumsum
tulang. Seperti pada anemia Fanconi, penyakit ini memiliki resiko
myelodisplasia atau leukimia pada usia yang sangat muda (Wijanarko, 2007).
·
Trombositopenia
amegakryositik, adalah kelainan yang ditandai dengan trombositopenia berat dan
tidak adanya megakryosit pada saat lahir ( Wijanarko, 2007).
·
Aplasia
sel darah merah murni/pure red cell anemia (PRCA), yaitu anemia yang
timbul karena kegagalan murni sistem eritroid tanpa kelainan sistem mieloid
atau megakaryosit (Bakta, 2006).
2. Faktor didapat
Sebagian anemia aplastik didapat
bersifat idiopatik sebagian lanilla dihubungkan dengan:
• bahan kimia:
• bahan kimia:
1.
Hidrokarbon
siklik: benzena & trinitrotoluena
2.
Insektisida:
chlorade atau DDT
3.
Arsen
anorganik (Bakta,2006)
•
obat-obatan :
Banyak obat kemoterapi yang
mengsupresi sum-sum sebagai toksisitas utamanya; efeknya tergantung dengan
dosis dan dapat terjadi pada semua pengguna. Berbeda dengan hal tersebut,
reaksi idiosinkronasi pada kebanyakan obat dapat menyebabkan anemia aplastik
tanpa hubungan dengan dosis. Hubungan ini berdasarkan dari laporan kasus dan
suatu penelitian internasional berskala besar di Eropa pada tahun 1980 secara
kuantitatif menilai pengaruh obat, terutama analgesic nonsteroid, sulfonamide,
obat thyrostatik, beberapa psikotropika, penisilamin, allopurinol, dan garam emas.
(Aghe, 2009).
Tidak semua hubungan selalu menyebabkan hubungan
kausatif: obat tertentu dapat digunakan untuk mengatasi gejala pertama dari
kegagalan sum-sum (antibiotic untuk demam atau gejala infeksi virus) atau
memprovokasi gejala pertama dari penyakit sebelumnya (petechiae akibat NSAID
yang diberikan pada pasien thrombositopenia). Pada konteks penggunaan obat
secara total, reaksi idiosinkronasi jarang terjadi walaupun pada beberapa orang
terjadi dengan sangat buruk. Chloramphenicol, merupakan penyebab utama, namun
dilaporkan hanya menyebabkan anemia aplasia pada sekitar 1/60.000 pengobatan
dan kemungkinan angka kejadiannya sebenarnya lebih sedikit dari itu (resiko
selalu lebih besar ketika berdasar kepada kumpulan kasus kejadiannya; walaupun
pengenalan chloramphenicol dicurigai menyebabkan epidemic anemia aplasia,
penghentian pemakaiannya tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi kegagalan
sum-sum tulang). Perkiraan resiko biasanya lebih rendah ketika penelitian
berdasarkan populasi ( Harisson, 2008).
• Akibat kehamilan
Pada kehamilan kadang-kadang ditemikan pansitopenia
yang disertai aplasia sumsum tulang yang berlangsungnya bersifat sementara.
Mungkin ini disebabkan oleh estrogen dengan predisposisi genetik, adanya zat
penghambat dalam darah atau tidak adanya perangsang hematopoiesis. Anemia ini
sembuh setelah terminasi kehamilan dan dapat kambuh lagi pada kehamilan
berikutnya (Wijanarko, 2007).
• infeksi :
Hepatitis merupakan infeksi yang
paling sering terjadi sebelum terjadinya anemia aplasia, dan kegagalan sum-sum
paska hepatitis terhitung 5% dari etiologi pada kebanyakan kejadian. Pasien
biasanya pria muda yang sembuh dari serangan peradangan hati 1 hingga 2 bulan
sebelumnya; pansitopenia biasanya sangat berat. Hepatitis biasanya seronegatif
(non-A, non-B, non-C, non-G) dan kemungkinan disebabkan oleh virus baru yang
tidak terdeteksi. Kegagalan hepar fulminan pada anak biasanya terjadi setelah
hepatitis seronegatif dan kegagalan sum-sum terjadi pada lebih sering pada
pasien ini. Anemia aplastik terkadang terjadi setelah infeksi mononucleosis,
dan virus Eipsten-Barr telah ditemukan pada sum-sum pada sebagian pasien,
beberapanya tanpa disertai riwayat penyakit sebelumnya. Parvovirus B19,
penyebab krisis aplastik transient pada anemia hemolitik dan beberapa PRCA
(Pure Red Cell Anemia), tidak biasanya menyebabkan kegagalan sum-sum tulang
yang luas. Penurunan hitung darah yang ringan sering terjadi pada perjalanan
penyakit beberapa infeksi bakteri dan virus namun sembuh kembali setelah infeksi
berakhir (Harrison, 2008).
• Radiasi
Aplasia sumsum
tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan
progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan
mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif.
Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi
dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis
(Aghe,2009).
Efek radiasi
terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya paparan
sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi
berenergi tinggi dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa
tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai
sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh
efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan
sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk
sinar X). Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi
antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel
terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal
disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien
menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah
radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.
(Solander, 2006)
F. Patogenesis
Walaupun
banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini, patofisiologi anemia aplastik
belum diketahui secara tuntas. Ada 3 teori yang dapat menerangkan patofisiologi
penyakit ini yaitu :
1.
kerusakan sel hematopoitik
2. kerusakan lingkungan
mikro sumsum tulang
3. proses imunologik yang menekan hematopoisis(Aghe,
2009)
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia
aplastik. Anemia aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia),
terutama anemia Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk
anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan
kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis
dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun
terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited
anemia aplastik yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan
penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah
sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya,
pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia,
myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan
DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan
F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat
berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker
payudara). Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia
aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui
dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap
stem sel dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau
benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan
inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi
sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik.
Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik
berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem
sel. “Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui
interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada
pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram
(apoptosis).
G. Manifestasi klinis
Anemia aplastik mungkin muncul mendadak atau
perlahan-lahan. Hitung jenis darah menentukan manifestasi klinis. Anemia
menyebabkan fatig, dispneadan jantung berdebar-debar. Trombositopenia
menyebabkan mudah memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan
kerentana terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam
(Widjanarko,2007).
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga
keluhan dan gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut.
Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala
anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat
dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang
akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan
keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik.
Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau
pendarahan di organ-organ. Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari
anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun
demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan (Solander,2006).
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan
pada pemeriksaan rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel).
Pada tabel terlihat bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan
yang paling sering dikemukakan. (Widjanarko, 2007)
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun
sangat bervariasi. Pada tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua
pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah
jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada
sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus
pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis
(Widjanarko, 2007).
Keluhan Pasien Anemia
Apalastik & Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik
Jenis Keluhan
|
%
|
Jenis Pemeriksaan Fisik
|
%
|
Pendarahan
Lemah badan
Pusing
Jantung berdebar
Demam
Nafsu makan berkurang
Pucat
Sesak nafas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung
|
83
80
69
36
33
29
26
23
19
13
|
Pucat
Pendarahan
Kulit
Gusi
Retina
Hidung
Saluran cerna
Vagina
Demam
Hepatomegali
Splenomegali
|
100
63
34
26
20
7
6
3
16
7
0
|
H.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
Laboraturium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak
selalu ditemukan. Anemia yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak
disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit
muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula
dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis(Widjanarko,
2007).
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan
hitung jenis sel darah putih menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan
monosit. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah
neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit kurang dari 20.000/mm3
menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan
anemia aplastik sangat berat.(Solander, 2006)
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang
secara kualitas normal. Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari
eritrosit, leukosit atau trombosit bukan merupakan gambaran klasik anemia
aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada beberapa keadaan,
pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya
menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien
seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa
hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat
ditegakkan.(Aghe,2009)
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu
pendarahan biasanya memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat
adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan
mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.Plasma darah biasanya
mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk erittropoietin,
trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum
biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke
eritrosit yang bersirkulasi (Solander,2006).
b. Pemeriksaan sumsum
tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah
spikula dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel
hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan
hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan
peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang
ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa
spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi
megakariosit rendah(Solander,2006).
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas
baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik
ditemukan gambaran hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular
akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat
terlihat hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga
aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk
Sum-sum tulang normal
(kiri) dan anemia aplastik (kanan)
c. Laju enap darah
Laju
enap darah selalu meningkat. Ditemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai
laju enap darah lebi dari 100 mm dalam jam pertama(Widjanarko, 2007).
d. Faal Hemostasis
waktu
perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh trombositopenia.
Faal hemostasis lainnya normal (Widjanarko, 2007).
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna
untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang diturunkan, karena banyak
diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran
elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak(Solander, 2006).
Nuclear Magnetic
Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan caara terbaik untuk
mengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara
daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum tulang berseluler(Widjanarko, 2007).
Radionuclide Bone
Marrow Imaging
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh
scanning tubuh setelah disuntik dengan koloidradioaktif technetium
sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium cloride
yang akan terikat pada transferrin(Widjanarko, 2007).
I. Diagnosis Banding
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap
kelainan yang ditandai dengan pansitopenia perifer. Beberapa penyebab
pansitopenia terlihat pada tabel :
Penyebab
Pansitopenia
|
|
|
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia
aplastik berat yaitu sindrom myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10
persen kasus sindroma myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa
ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada
myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal (misalnya
poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor
eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta
sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada
anemia aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat
granulasi abnormal dan megakariosit dapat menunjukkan lobulasi nukleus abnormal
(misalnya mikromegakariosit unilobuler)(Solander, 2006).
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan
dengan anemia aplastik yaitu dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan
dari sel blast atau dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang.
Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan
hipertrofi gusi (Aghe, 2009).
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan
anemia aplastik. Hairy cell leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik
dengan adanya splenomegali dan sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang
(Solander, 2006).
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang
biasanya disebabkan oleh sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau
hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang normoselular jelas membedakannya
dengan anemia aplastik(Harrison, 2008).
J. Terapi
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan
infeksi akibat granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk
menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki
keadaan pasien
Menejemen awal Anemia
Aplastik:
·
Menghentikan
semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia
aplastik.
·
Anemia
: transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
·
Pendarahan
hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.
·
Tindakan
pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
·
Infeksi
: kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak
dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang
dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan
transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF.
·
Assessment
untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas
pasien, orang tua dan saudara kandung pasien(Solander,2006)
Pengobatan
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri
dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi
imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis
tinggi siklofosfamid. (Aghe,2009)
Pengobatan Suportif
Bila terapat
keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells
sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan
penyakit kardiovaskular (Widjanarko,2007).
Resiko pendarahan
meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi trombosit
diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3
sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi
trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap
trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya
(orang tua atau saudara kandung) (Solander,2006).
a. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan
yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG)
atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG
atau ALG diindikasikan pada :
- Anemia aplastik bukan berat
- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun
dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan
granulosit lebih dari 200/mm3.
Mekanisme kerja ATG
atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui koreksi terhadap
destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung
atau tidak langsung terhadap hemopoiesis(Solander, 2006). Karena
merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan
sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.
Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan
proliferasi preurosir limfosit sitotoksik(Bakta,2007).
Metilprednisolon
juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG, siklosporin dan
metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik
berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%(Solander,2006).
b. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi
sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat berusia
muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi
sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar
30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk
transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien
yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi imunosupresif
karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya
reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD). Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki
respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda(Aghe,2009).
Pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih
baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif. Pasien dengan umur
kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka
pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan. Akan tetapi survival
pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi
imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum mendapatkan terapi
imunosupresif sama sekali(Solander,2006).
K. Penutup
Ringkasan :
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang
disebabkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang sehingga mengakibatkan
penurunan komponen selular pada darah tepi yaitu berupa keadaan pansitopenia
(kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit).
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang
ditemukan. Insidensinya bervariasi di seluruh dunia yaitu berkisar antara 2
sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Frekuensi tertinggi insidensi
anemia aplastik adalah pada usia muda.
Anemia
aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus, dan terkait
dengan penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang ditururunkan
seperti anemia Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia aplastik merupakan
idiopatik.
Tanda dan gejala klinis anemia aplastik merupakan
manifestasi dari pansitopenia yang terjadi. Hipoplasia eritropoietik akan
menimbulkan gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi
cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis
(granulositopenia) menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga
mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat
sistemik. Trombositopenia dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput
lendir atau pendarahan di organ-organ. Gejala yang paling menonjol tergantung
dari sel mana yang mengalami depresi paling berat.
Pansitopenia perifer adalah kelainan hematologis
yang utama untuk anemia aplastik. Anemia bersifat normokrom normositer dan
tidak disertai tanda-tanda regenerasi. Leukopenia berupa grnaulositopenia.
Trombosit kuantitas berkurang sedang secara kualitatif normal. Sumsum tulang
akan mengandung banyak sel lemak dan menganduk sedikit sekali sel-sel
hemopoisis. Tidak terlihat penambahan sel primitif.
Anemia aplastik bukan berat memiliki sumsum tulang
yang hiposelular dan dua dari tiga kriteria (netrofil < 1,5x109/l,
trombosit < 100x109/l, hemoglobin <10 g/dl). Anemia aplastik
berat memiliki seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30% sel
hematopoietik residu, dan dua dari tiga kriteria (netrofil < 0,5x109/l,
trombosit <20x109 /l, retikulosit < 20x109 /l).
Anemia aplastik sangat berat sama seperti anemia aplastik berat kecuali
netrofil <0,2x109/l.
Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif
yaitu dengan transfusi PRC dan trombosit. Penggunaan obat-obat atau agen kimia
yang diduga menjadi penyebab anemia aplastik harus dihentikan. Pemberian
antibiotik bila terjadi infeksi juga harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan
umum pasien. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi terapi imunosupresif
atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi
transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft
Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas
biasanya ditawarkan terapi imunosupresif
DAFTAR
PUSTAKA
Widjanarko A.
Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43.
Aghe NS.
Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes. In:
Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of Internal Medicine.
16th ed. New York: McGraw Hill, 2009:617-25.
Salonder H.
Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Available in
URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
Harrison EC, The
Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia. Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
Bakta
IM. Buku Panduan Hematologi Ringkas. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI,2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar