Google ads

Minggu, 31 Januari 2016

Farmakoterapi Pediatri



Sejauh ini prinsip pemakaian obat pada anak dalam praktek sehari-hari lebih banyak didasarkan atas prinsip pengobatan pada dewasa. Hal ini dapat dipahami mengingat hingga kini informasi praktis mengenai obat dan terapetik pada anak masih sangat terbatas. Sebagai contoh adalah penentuan dosis. Sebagian besar penentuan dosis obat pada anak didasarkan pada berat badan, umur, atau luas permukaan tubuh terhadap dosis dewasa. Hal ini tidak selalu benar, mengingat berbagai perbedaan baik fisik maupun respons fisiologis yang berbeda antara anak dan dewasa. Sementara itu meskipun berbagai formulasi penghitungan dosis sudah banyak dikembangkan, tetapi praktis tidak begitu saja bisa diberlakukan secara umum untuk semua anak, dengan ras yang berbeda (Speight, 1987; Katzung, 2010).
Masalah pemakaian obat pada anak tidak saja terbatas pada penentuan jenis obat dan penghitungan dosis tetapi juga meliputi frekuensi, lama dan cara pemberian. Meskipun sebagian besar obat untuk anak tersedia dalam bentuk sediaan oral (biasanya cairan) tetapi dosis yang adekuat kadang sulit dicapai karena berbagai sebab misalnya muntah, atau reaksi penolakan lain yang menyebabkan obat yang diminum menjadi kurang dari takaran yang seharusnya diberikan. Untuk obat-obat simtomatik, keadaan ini tentu mempengaruhi khasiat/kemanfaatan obat (Speight, 1987; Katzung, 2010).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa anak bukanlah miniatur dewasa. Mereka masih dalam proses tumbuh kembang, sehingga fungsi organ dan keadaan fisiologis lainnya juga masih berkembang. Dengan demikian respons anak terhadap pemberian obat juga sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Beberapa pertimbangan yang perlu diambil sehubungan dengan pemakaian obat pada anak (Speight, 1987;WHO,1987;Katzung, 2010) adalah:
a.       Faktor-faktor farmakokinetik obat, meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
b.      Pertimbangan dosis terapetik dan toksik, yakni termasuk pemakaian obat dengan lingkup terapi lebar atau sempit (wide or narrow therapeutic margin), dan interaksi antar obat berdasar perjalanan penyakit.
c.       Penghitungan dosis.
d.      Segi praktis pemakaian obat, mencakup cara pemberian, kebiasaan, dan ketaatan pasien untuk minum obat.
a.   Pertimbangan Farmakokinetika (Speight, 1987; Katzung, 2010)
ü Absorpsi
Secara umum, kecepatan absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik tergantung pada cara pemberian dan sifat fisikokimiawi obat, seperti misalnya berat molekul, dan sifat lipofilik obat. Sifat fisikokimiawi obat terutama menentukan kecepatan dan luasnya transfer molekul obat melalui membran. Hal ini berlaku pada semua golongan usia.
Hal-hal berikut perlu dipertimbangkan sehubungan dengan absorpsi obat pada anak:
                          1.       Beberapa saat setelah lahir akan terjadi perubahan-perubahan biokimiawi dan fisiologis pada traktus gastrointestinal. Pada 24 jam pertama kelahiran atau awal kehidupan, terjadi peningkatan keasaman lambung. Oleh sebab itu obat-obat yang terutama dirusak oleh asam lambung (pH rendah) sejauh mungkin dihindari.
                          2.       Pengosongan lambung pada hari I dan II kehidupan relatif lambat (6-8 jam). Keadaan ini berlangsung selama ±6 bulan untuk akhirnya mencapai nilai normal seperti pada dewasa. Pada tahap ini obat yang absorpsi utamanya di lambung akan diabsorpsi secara lengkap dan sempurna, sebaliknya untuk obat-obat yang diabsorpsi di intestinum efeknya menjadi sangat lambat atau tertunda.
                          3.       Absorpsi obat setelah pemberian secara injeksi intramuskular atau subkutan tergantung pada kecepatan aliran darah ke otot atau area subkutan tempat injeksi. Keadaan fisiologis yang bisa menurunkan aliran darah antara lain syok kardiovaskuler, vasokonstriksi oleh karena pemberian obat simpatomimetik. Absorpsi obat yang diberikan perkutan meningkat pada neonatus, bayi dan anak, terutama jika terdapat ekskoriasi kulit atau luka bakar. Dengan meningkatnya absorpsi dapat meningkatkan kadar obat dalam darah, hingga kemungkinan dapat mencapai dosis toksik obat. Keadaan ini sering dijumpai pada penggunaan kortikosteroid secara berlebihan, asam borat (menimbulkan efek samping diare, muntah, kejang hingga kematian), serta aminoglikosida dengan ototoksisitas berupa terganggunya pendengaran.
                          4.       Pada keadaan tertentu di mana injeksi diperlukan, sementara oleh karena malnutrisi, anak menjadi sangat kurus dan volume otot menjadi kecil, pemberian injeksi harus sangat hati-hati. Pada keadaan ini absorpsi obat menjadi sangat tidak teratur dan sulit diduga oleh karena obat mungkin masih tetap berada di otot dan diabsorpsi secara lambat. Pada keadaan ini otot berlaku sebagai reservoir. Tetapi bila perfusi tiba-tiba membaik, maka jumlah obat yang masuk sirkulasi meningkat secara mendadak dan menyebabkan tingginya konsentrasi obat dalam darah yang dapat mencapai kadar toksik. Obat-obat yang perlu diwaspadai penggunaannya antara lain glikosida jantung, aminoglikosida, dan antikonvulsan.
                          5.       Gerakan peristaltik usus bayi baru lahir relatif belum teratur, tetapi umumnya lambat. Sehingga jumlah obat-obat yang diabsorpsi di intestinum sulit diperkirakan. Jika peristaltik lemah maka jumlah obat yang diabsorpsi menjadi lebih besar, hal ini kemungkinan dapat menimbulkan berupa efek toksik obat. Sebaliknya jika terjadi peningkatan peristaltik, misalnya pada keadaan diare, absorpsi obat cenderung menurun oleh karena lama kontak obat pada tempat-tempat yang mempunyai permukaan absorpsi luas menjadi sangat singkat.
ü Distribusi
Proses distribusi obat dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh massa jaringan, kandungan lemak, aliran darah, permeabilitas membran dan ikatan protein. Obat mengalami perbedaan distribusi berdasarkan pada sifat-sifat fisikokimiawinya. Perbedaan ini dapat ditunjukkan oleh obat-obat yang bersifat kurang lipofilik, misalnya sulfonamida, di mana volume distribusinya meningkat sampai 2 kali pada neonatus.
o   Barier darah otak pada bayi baru lahir relatif lebih permeabel. Hal ini memungkinkan beberapa obat melintasi sawar darah otak secara mudah. Namun, keadaan ini dapat menguntungkan, misalnya pada pengobatan meningitis dengan menggunakan antibiotika.
o   Ikatan protein plasma obat sangat kecil pada bayi (neonatus) dan baru mencapai nilai normal pada umur 1 tahun. Hal ini disebabkan karena rendahnya konsentrasi albumin dalam plasma dan rendahnya kapasitas albumin untuk mengikat molekul obat. Keadaan ini menjadi penting pada bayi malnutrisi dan hipoalbuminemia.
o   Interaksi antara obat dengan bilirubin pada ikatannya dengan protein plasma sangat penting diperhatikan. Bilirubin bebas dapat menembus barier darah otak pada neonatus dan menyebabkan kern-ikterus. Obat-obat sulfonamida, novobiosin, diazoksida dan analog vitamin K dapat melepaskan ikatan bilirubin dari albumin plasma. Bila mekanisme konjugasi hepatal belum sempurna, bilirubin bebas dalam darah akan meningkat dan dapat menyebabkan kern-ikterus.
ü Metabolisme
Hepar merupakan organ terpenting untuk metabolisme obat. Perbandingan relatif volume hepar terhadap berat badan menurun dengan bertambahnya usia. Dengan perbandingan relatif ini, volume hepar pada bayi baru lahir ±2 kali dibandingkan anak usia 10 tahun. Hal ini menjelaskan, mengapa kecepatan metabolisme obat paling besar pada masa bayi hingga awal masa kanak-kanak, dan kemudian menurun mulai anak sampai dewasa.
ü  Ekskresi
Pada neonatus, kecepatan filtrasi glomeruler dan fungsi tubulus masih imatur. Diperlukan waktu sekitar 6 bulan untuk mencapai nilai normal. Umumnya GFR pada anak adalah sekitar 30-40% dewasa. Oleh karena itu, pada anak obat dan metabolit aktif yang diekskresi melalui urin cenderung terakumulasi. Sebagai konsekuensinya, obat-obat yang diekskresi dengan filtrasi glomerulus, seperti misalnya digoksin dan gentamisin, dan obat-obat yang sangat terpengaruh sekresi tubuler, misalnya penisilin, paling lambat diekskresi pada bayi baru lahir. Dengan demikian, seiring dengan bertambahnya usia, diperlukan evaluasi ulang terhadap dosis yang digunakan.
b.   Pertimbangan Efek Terapetik dan Efek Toksik Obat (Speight, 1987; Katzung, 2010).
Pertimbangan dalam penilaian segi manfaat dan risiko harus selalu dilakukan sebelum memutuskan memberikan suatu obat, kemungkinan respons anak terhadap obat akan sangat bervariasi.
Apabila diagnosis kerja telah ditegakkan dan keputusan pemberian obat telah diambil, perlu adanya pemikiran efek apa yang dapat ditimbulkan pada pemberian obat. Sebagai contoh adalah pemberian amfetamin. Oleh sebagian besar praktisi medik, obat ini dipercaya dapat meningkatkan konsentrasi anak, sehingga mudah dikendalikan dan tertarik pada hal-hal yang bermanfaat (misalnya pelajaran di sekolah). Namun demikian perlu diingat bahwa penggunaan obat ini tidak lepas dari risiko efek samping. Efek samping amfetamin antara lain halusinasi, hiperaktivitas (sering mendorong ke arah kenakalan anak) hingga sampai kejang. Namun, efek samping ini sering luput dari perhatian praktisi medik maupun orang tua pasien.
c.    Penghitungan Dosis (Katzung, 2010)

Tabel 1. Penentuan dosis obat berdasarkan luas permukaan tubuh:
Berat Badan
Perkiraan
Umur
Luas permukaan
tubuh (m2)
Persentase
Dosis Dewasa
(kg)
(lb)
3
6,6
Neonatus
0,2
12
6
13,2
3 bulan
0,3
18
10
22
1 tahun
0,45
28
20
44
5,5 tahun
0,8
48
30
66
9 tahun
1
60
40
88
12 tahun
1,3
78
50
110
14 tahun
1,5
90
60
132
Dewasa
1,7
102
70
154
Dewasa
1,76
103


d.   Segi Praktis Pemakaian Obat Pada Anak (Speight, 1987;WHO, 1987)
ü  Periode awal kelahiran
Pada periode ini, pemberian obat per oral dapat mengakibatkan aspirasi, selain itu beberapa obat dapat mengalami absorpsi secara tidak sempurna. Jika diberikan secara intramuskuler, sebaiknya dilakukan di tungkai atas, sebelah anterior atau lateral. Penyuntikan pada bagian panggul tidak dianjurkan mengingat masa otot yang masih relatif kecil dan kemungkinan rusaknya saraf skiatik.
ü  Periode anak-anak dan prasekolah (umur 1-10 tahun)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian obat pada kelompok umur ini adalah:
-          Cara pemberian obat yang efektif:
Karena kemungkinan adanya reaksi penolakan untuk minum obat, maka pemakaian obat dalam bentuk sirup sangat dianjurkan, terutama yang tidak memberikan rasa pahit. Namun, pemakaian jangka panjang obat sirup dengan pemanis dapat menyebabkan karies gigi. Frekuensi pemberian hendaknya dibuat seefektif mungkin, misalnya tidak lebih dari 4 kali sehari. Pemberian satu jenis obat lebih dianjurkan, namun jika terpaksa memberikan secara kombinasi (lebih dari satu macam) maka hendaknya dipilih obat yang dapat diberikan secara bersamaan dan dipertimbangkan kemungkinan interaksi antara obat.
-          Menghindarkan obat dari jangkauan anak:
Dalam periode umur ini, anak cenderung ingin tahu obat apa yang mereka minum dan berusaha untuk mengambil dan meminumnya sendiri. Perlu diingatkan bagi orang tua untuk menyimpan obat sebaik mungkin agar tidak mudah dijangkau oleh anak.
-          Pengobatan pada infeksi berulang:
Secara umum, anak-anak dalam kelompok ini akan sering mengalami penyakit infeksi yang berulang. Sebagian besar dari infeksi ini disebabkan oleh virus, di mana antibiotik sama sekali tidak diperlukan. Namun jika terbukti disebabkan oleh bakteri, di mana pemakaian antibiotika tidak dapat dihindarkan, cara pemberian obat hendaknya diberitahukan sejelas mungkin pada orang tua anak. Informasi bahwa antibiotika harus diminum sampai habis perlu ditekankan, sehingga penghentian pemberian antibiotika tidak hanya didasarkan pada hilangnya gejala atau membaiknya kondisi. Sebaliknya untuk pemberian obat-obat simtomatik seperti analgetik-antipiretik, dihentikan jika simptom hilang. Sebagai contoh jika gejala utamanya demam, maka pemberian obat dihentikan jika gejala demam hilang.
-          Pemakaian obat untuk penyakit kronik:
Dalam masa pertumbuhan, mungkin saja seorang anak menderita penyakit kronis, misalnya epilepsi dan asma, yang memerlukan pengobatan jangka panjang. Mengingat adanya perubahan respons terhadap obat dalam masa tumbuh kembang ini, maka penilaian terhadap besar dosis, frekuensi, cara dan lama pemberian, hendaknya ditinjau kembali dari waktu ke waktu. Jika diperlukan, dapat dilakukan monitoring kadar obat dalam darah.

ü  Periode Remaja
Bukti klinik mengenai bertambahnya disposisi obat karena perubahan hormonal sebagai akibat tumbuh kembang pada masa pubertas masih perlu diteliti. Masalah yang mungkin timbul pada pengobatan golongan umur ini antara lain adalah:
-          Masalah ketidakpatuhan.
Hal ini mungkin tidak begitu berarti untuk penyakit-penyakit yang akut dan sembuh sendiri (self-limiting illnesses) seperti tonsilitis dan faringitis akut. Tetapi ketaatan minum obat akan sangat berpengaruh terhadap kualitas penyembuhan penyakit-penyakit kronis seperti epilepsi, diabetes melitus, dan asma.
-          Penyalahgunaan obat.
Kecenderungan untuk menggunakan obat sendiri (self-medication) tanpa indikasi yang jelas, sangat besar pada kelompok umur ini. Untuk itu, obat-obat yang menyebabkan adiksi sebaiknya diberikan hanya jika benar-benar diperlukan.
e.    Prinsip – Prinsip Peresepan Pada Bayi dan Anak (Speight, 1987;WHO, 1987)
ü  Apakah obat benar-benar diperlukan ?
Sebagian besar penyakit pada anak sebetulnya dapat sembuh sendiri tanpa pemberian obat sekalipun. Jika tidak mendesak, alternatif intervensi non farmakologi (misalnya diet, istirahat, dan memperbaiki masukan cairan) lebih diutamakan. Kecenderungan peresepan yang hanya didasarkan pada kekhawatiran dan permintaan orang tua anak tidak dibenarkan sama sekali.
ü  Jika terapi obat diperlukan, obat yang mana yang sesuai ?
Beberapa jenis obat tidak boleh diberikan pada bayi dan anak, namun beberapa obat lainnya disertai peringatan dan ketentuan khusus. Peresepan tetrasiklin sangat tidak dianjurkan pada anak, oleh karena dapat merusak gigi dan mengganggu pertumbuhan tulang.
ü  Jenis sediaan apa yang diperlukan ?
Pemberian obat secara oral adalah yang paling dianjurkan untuk anak. Selain itu, pertimbangan dalam pemilihan bentuk sediaan obat yang tepat diperlukan misalnya obat dalam bentuk sediaan cair, tablet, puyer, dengan pertimbangan kondisi anak, tingkat penerimaan, dan faktor-faktor lain yang kemungkinan akan mempengaruhi farmakokinetik obat secara komplit ke dalam tubuh.
ü  Memperkirakan dosis obat
Penentuan dosis obat pada anak dapat dilakukan dengan mengacu buku-buku standar pediatrik, pada keadaan tertentu dapat menggunakan package insert. Jika informasi ini tidak diperoleh, dapat digunakan formulasi berdasarkan umur, berat badan atau luas permukaan tubuh.
ü  Lama pemberian
Riwayat perjalanan penyakit akan menentukan berapa lama obat harus diminum. Untuk penyakit-penyakit yang berlangsung kronis seperti tuberkulosis, dapat sampai 6, 9 bahkan 12 bulan. Sementara untuk penyakit-penyakit yang sifatnya akut dan dapat sembuh sendiri (self limiting diseases) dapat diberikan obat simtomatis sampai gejala klinik menghilang.
ü  Informasi pengobatan.
Secara umum keberhasilan terapi tidak saja ditentukan oleh tepat dan benarnya jenis obat yang diberikan hingga cara pemakainnya, tetapi juga adanya informasi mengenai pengobatan yang seharusnya diikuti oleh pasien. Informasi yang seharusnya disampaikan juga tidak hanya mencakup cara minum obat tetapi juga meliputi kemungkinan terjadinya efek samping dan penanggulangannya. Informasi hendaknya sederhana, jelas dan mudah dipahami oleh orang tua si anak. Dengan melibatkan peran orang tua dan pasien secara aktif dalam proses terapetik, maka diharapkan keberhasilan terapi dapat dicapai seperti yang diharapkan.
ü  Ketaatan minum obat dan pendidikan pasien
Berbagai studi menunjukkan bahwa ketaatan pasien untuk minum obat berbanding terbalik dengan lama pemberian. Dengan kata lain, semakin lama obat diberikan, ketaatan pasien semakin menurun. Masalah ini menjadi penting mengingat keberhasilan terapi secara keseluruhan akan sangat tergantung pada ketaatan minum obat.
Pada anak, ketaatan minum obat ini umumnya tergantung pada ketaatan orang tua dalam memberikan obat secara benar dan tepat. Tingkat pendidikan dan informasi yang diterima orang tua anak mempunyai korelasi positif dengan ketaatan.

ü  Penilaian manfaat dan efek pengobatan
Tergantung pada tujuan akhir pengobatan yang diberikan, seorang dokter hendaknya mampu melakukan penilaian terhadap hasil pengobatan yang diberikan secara ilmiah. Sebagai contoh jika kriteria diagnostik yang ditegakkan didasarkan pada pemeriksaan klinik dan laboratorium, maka kriteria penyembuhan juga harus didasarkan pada penilaian kedua hal tersebut. Suatu hasil terapetik harus dapat dibuktikan secara ilmiah berdasarkan kriteria yang lazim, misalnya pada demam kriteria penyembuhan dapat berupa menurunnya temperatur menjadi normal, dengan melakukam pengukuran menggunakan termometer.
Demikian pula halnya dengan pasien atau orang tua pasien, sebaiknya diberitahu bagaimana menilai kriteria sembuh, serta apa yang harus dilakukan jika setelah beberapa hari gejala tidak menghilang. Anjuran untuk kontrol pada beberapa hari setelah pengobatan juga merupakan salah satu cara memantau perkembangan penyakit dan hasil pengobatannya. Pasien atau orang tua pasien juga perlu diingatkan mengenai kemungkinan adanya efek samping dari pengobatan yang diberikan dan tindakan apa yang harus diambil jika hal itu terjadi.

Sabtu, 30 Januari 2016

Pharmaceutical Care




Defenisi Pharmaceutical Care
Pharmaceutical Care adalah penyediaan pelayanan langsung dan bertanggung jawab yang berkaitan dengan obat, dengan maksud pencapaian hasil yang pasti dan meningkatkan mutu kehidupan pasien (Siregar, 2004).

Tujuan Pharmaceutical Care
Tujuan akhir dari Pharmaceutical Care adalah meningkatkan kualitas hidup pasien melalui pencapaian hasil terapi yang diinginkan secara optimal. Hasil terapi yang diinginkan dapat berupa : sembuh dari penyakit, hilangnya gejala penyakit, diperlambatnya proses penyakit, dan pencegahan terhadap suatu penyakit (Trisna, 2004).
Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitanya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa pasien mendapatkan terapi obat yang tepat, efesien, dan aman. Hal ini melibatkan tiga fungsi umum, yaitu:
                     1.       Mengidentifikasi potensial Drug Related Problems.
                     2.       Memecahkan atau mengatasi potensial Drug Related Problems.
                     3.       Mencegah terjadinya potensial Drug Related Problems (Siregar, 2004 ; Aslam 2000).
Tahapan Pharmaceutical Care
Tahapan proses Pharmaceutical Care (Siregar, 2004) :
         1.         Hubungan kekeluargaan yang profesional dengan pasien harus selalu terjaga.
         2.         Informasi medis yang khusus atau spesifik dari setiap pasien harus dikumpulkan, dicatat dan disimpan.
         3.         Informasi medis yang khusus atau spesifik dari setiap pasien harus dievaluasi dan rencana terapi obat harus melibatkan pasien.
         4.         Apoteker harus menjamin penyediaan obat, informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyusun rencana terapi obat.
         5.         Apoteker harus melakukan pemantauan, monitoring, menilai, dan melakukan perubahan rencana teraupetik jika diperlukan, terlibat dengan tim kesehatan lainnya.

Manfaat Pharmaceutical Care
Beberapa penelitian melaporkan bahwa manfaat kepedulian Pharmaceutical Care, antara lain (Siregar, 2004) :
a.       Mencegah terjadinya masalah yang berkaitan dengan obat.
b.      Memperbaiki hasil klinis dari terapi obat.
c.       Menurunkan angka lamanya penderita dirawat.
d.      Menurunkan biaya perawatan.
e.       Perlindungan terhadap pasien dari kesalahan pemakaian obat.
Masalah Terkait Obat (Drug Related Problems)
Defenisi Masalah Terkait Obat (Drug Related Problems)
Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceutical Care Network Europa mendefenisikan masalah terkait obat (DRP) adalah suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (Zuidlaren, 2006).
Drug Related Problems (DRP) didefenisikan sebagai suatu kejadian yang tidak diinginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap hasil terapi yang diinginkan (Strand, 1990).
Komponen Masalah Terkait Obat (Drug Related Problems)
Suatu kejadian dapat dikatakan Drug Related Problems (DRP), apabila memenuhi dua komponen berikut (Zuidlaren, 2006) :
         1.         Kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien.
Kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosis, penyakit, ketidakmampuan (disability) atau sindrom, dapat merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultural, atau ekonomi.
         2.         Ada hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat.
Bentuk hubungan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat, maupun kejadian yang memerlukan terapi obat sebagai solusi maupun preventif.
Klasifikasi Masalah Terkait Obat (Drug Related Problems)
Pharmaceutical Care Network Europa (The PCNE Classification V5.01) mengelompokan masalah terkait obat (Zuidlaren, 2006) sebagai berikut, yaitu:
         1.         Reaksi obat yang tidak dikehendaki (Adverse Drug Reaction/ADR)
Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping ataupun toksisitas obat.
         2.         Masalah pemilihan obat (Drug Choice Problems)
Masalah pemilihan obat dengan arti pasien memperoleh atau akan memperoleh obat yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan kondisinya. Masalah pemilihan obat antara lain obat diresepkan tetapi indikasi tidak jelas, bentuk sediaan yang tidak sesuai, kontraindikasi dengan obat yang digunakan, obat tidak diresepkan untuk indikasi yang jelas.
         3.         Masalah pemberian dosis obat (Drug Dosing Problems)
Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih besar atau lebih kecil daripada yang dibutuhkannya.
         4.         Masalah pemberian atau penggunaan obat (Drug Use/ Administration Problems)
Masalah pemberian atau penggunaan obat berarti tidak memberikan atau tidak menggunakan obat sama sekali atau memberikan atau menggunakan obat yang tidak diresepkan.
         5.         Interaksi obat (Drug Interaction)
Interaksi obat berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang bermanifestasi atau potensial.
         6.         Masalah lainnya (Other)
Masalah lainnya adalah pasien tidak puas dengan terapi yang diberikan, kurangnya kesadaran pasien terhadap kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas (memerlukan klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahui penyebabnya, dan perlunya pemerikasaan laboratorium.
Faktor yang memberi kecendrungan terjadinya Drug Related Problems (DRP) antara lain usia (pediatrik dan geriatrik), pasien dengan multiple drug therapy, jenis kelamin, dan pasien yang mempunyai disfungsi hati maupun ginjal yang dapat mempengaruhi eliminasi obat (Dipiro, 2006).
            Adapun kategori Drug Related Problems (DRP) antara lain :
         1.         Indikasi yang tidak terobati
Pasien mengalami permasalahan medis yang membutuhkan terapi medis (indikasi untuk menggunakan obat) namun pasien tidak memperoleh pengobatan untuk indikasi tersebut (ASHP, 1995).
         2.         PIP (Potentially Inappropriate Prescription)
Pasien mempunyai indikasi untuk menggunakan obat namun memperoleh pengobatan yang salah (ASHP, 1995).
         3.         Dosis sub terapi
Pasien mengalami permasalahan medis yang diobati dengan dosis obat yang terlalu rendah dari yang seharusnya (ASHP, 1995).
 
         4.         Gagal memperoleh obat
Pasien mengalami permasalahan medis yang diakibatkan oleh kegagalan pasien memperoleh obat karena alasan sediaan farmasi, psikologis, sosiologis, atau ekonomis (ASHP, 1995).
         5.         Overdosis
Pasien mengalami permasalahan medis yang diobati dengan dosis obat yang terlalu besar dari dosis yang seharusnya (ASHP, 1995).
         6.         ADR (Adverse Drug Reaction)
Menurut WHO tahun 2002, Adverse drug reaction adalah respon dari obat yang berbahaya dan tidak diinginkan, dan terjadi pada dosis normal pada manusia. Deskripsi terpentingnya lebih tertuju pada respon pasien dan modifikasi fungsi fisiologis, dimana faktor individual mempunyai peranan penting.
         7.         Interaksi obat
Pasien mengalami permasalahan medis yang diakibatkan interaksi obat-obat, obat-makanan, atau obat-uji laboratorium, intoleransi obat, idiosinkrasi obat, alergi obat, reaksi pseudoalergik atau anafilaktoid (ASHP, 1995 ; Vervloet and Durham, 1998).
         8.         Penggunaan obat tanpa indikasi
Pasien menggunakan obat tanpa adanya indikasi medis yang valid (ASHP, 1995).
  Manifestasi Masalah Terkait Obat (Drug Related Problems) (ASHP, 1995)
Manifestasi Drug Related Problems (DRP) dapat bersifat aktual maupun potensial. Perbedaan antara keduanya adalah penting, namun dalam prakteknya belum terlihat secara jelas. Perbedaan antara keduanya terlihat dalam defenisi berikut :
a.       Drug Related Problems aktual
Merupakan permasalahan Drug Related Problems yang telah terjadi sehingga seorang apoteker berkewajiban untuk menyelesaikan permasalahan ini.
b.      Drug Related Problems potensial
Merupakan permasalahan Drug Related Problems yang kemungkinan besar akan terjadi. Seorang pasien beresiko besar akan mengalami Drug Related Problems jika seorang apoteker tidak melakukan intervensi terhadap permasalahan yang ada.
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) (Siregar, 2004)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) adalah program rumah sakit menyeluruh, yang merupakan proses jaminan mutu yang dilaksanakan secara terus menerus dan terstuktur, secara organisasi diakui, ditujukan untuk menjamin penggunaan obat yang tepat, aman dan efektif. Oleh karena itu, EPO merupakan kegiatan resmi yang ditetapkan oleh rumah sakit. Evaluasi penggunaan obat juga merupakan salah satu teknik pengelolaan sistem formularium di rumah sakit. Program evaluasi penggunaan obat terdiri atas evaluasi secara kuantitatif dan kualitatif. Tujuan program evaluasi penggunaan obat adalah untuk mengetahui pola penggunaan obat di rumah sakit dan menilai ketepatan atau ketidaktepatan penggunaan obat tertentu. Tanggung jawab apoteker dalam program evaluasi penggunaan obat adalah:
a.       Mengadakan koordinasi program evaluasi penggunaaan obat dan menyiapkan kriteria atau standar penggunaan obat bekerja sama dengan staf medik dan personel lainnya
b.      Pengkajian order obat terhadap kriteria penggunaan obat dan mengkonsultasikan dengan dokter jika dibutuhkan
c.       Memperoleh data kuantitatif penggunaan obat
d.      Interprestasi data.
 Sasaran evaluasi penggunaaan obat secara umum, sebagai berikut :
  1. Mengadakan pengkajian penggunaan obat yang efisien dan terus menerus
  2. Meningkatkan pengembangan standar penggunaan terapi obat
  3. Mengidentifikasi bidang yang perlu untuk materi edukasi berkelanjutan
  4. Meningkatkan kemitraan antarpribadi professional pelayanan kesehatan
  5. Menyempurnakan pelayanan pasien yang diberikan
  6. Mengurangi resiko tuntutan hukum pada rumah sakit
  7. Mengurangi biaya rumah sakit dan perawatan pasien sebagai akibat dosis akurat, efek samping yang lebih sedikit, dan waktu hospitalisasi yang lebih singkat.

Google Ads