Google ads

Sabtu, 31 Oktober 2015

Bahaya bakso boraks

Bakso merupakan salah satu produk olahan yang sangat populer. Banyak orang menyukainya, dari anak-anak sampai orang dewasa. Bakso tidak saja hadir dalam sajian seperti sajian mie bakso maupun mie ayam. Bola-bola daging ini juga biasa digunakan dalam campuran beragam masakan lainnya, sebut saja misalnya nasi goreng, mie goreng, capcay, dan aneka sop (Widyaningsih, 2006).
Bakso merupakan produk dari protein daging, baik daging sapi, ayam ikan maupun udang. Bakso dibuat dari daging giling dengan bahan tambahan utama garam dapur (NaCl), tepung tapioka, dan bumbu berbentuk bulat seperti kelereng dengan berat 25-30 gr per butir. Setelah Bakso memiliki tekstur kenyal seperti ciri spesifiknya, kualitas bakso sangat bervariasi karena perbedaan bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dan tepung dan proses pembuatannya (Widyaningsih, 2006).
Bakso merupakan makanan favorit yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena rasa dan variannya yang banyak sehingga  menggugah selera penikmatnya. Bakso bakar adalah salah satu contoh jenis bakso yang sangat digemari diberbagai lapisan masyarakat. Karena hal tersebut menyebabkan pedagang bakso bakar menjamur diberbagai tempat di kota pekanbaru. Penelitian ini dilakukan karena melihat banyaknya yang menggemari bakso bakar ini.
        Kandungan gizi yang tinggi seharusnya ada didalam bakso seperti karbohidrat, lemak, protein, kandungan air dan sebagainya. Karena bakso terdapat banyak campuran dalam pembuatannya, seperti tepung tapioka, daging (ayam atau sapi), garam, rempah-rempah dan lainnya. Namun, dibeberapa publikasi mengabarkan adanya penambahan bahan pengawet yang dilarang oleh pemerintah salah satunya yaitu seperti boraks. Penambahan boraks ini dapat mengakibatkan hal yang buruk terhadap konsumennya. Seperti mual, pusing, muntah, diare, penyakit kulit seperti kemerahan pada kulit dan lainnya.

Jumat, 30 Oktober 2015

Download Buku Renal Pharmacotherapy: Dosage Adjustment of Medications Eliminated by the Kidneys. LarryK. Golightly

                 KLIK DISINI

Pemisahan senyawa secara kromatografi



Dalam kromatografi partisi cair-cair, suatu pemisahan dipengaruhi oleh distribusi sampel antara fase cair diam dan fase cair bergerak dengan membatasi kemampuan pencampuran. Jika suatu zat terlarut dikocok dalam sistem dua pelarut yang tidak bercampur atau saling melarutkan maka zat terlarut akan terdistribusi di antara kedua fase (Khopkar, 2008, hal: 155).
Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom sebagai alat untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran. Alat  tersebut berupa pipa gelas yang dilengkapi suatu kran dibagian bawah kolom untuk mengendalikan aliran zat cair, ukuran kolom tergantung dari banyaknya zat yang akan dipindahkan. Secara umum perbandingan panjang dan diameter kolom sekitar 8:1 sedangkan daya penyerapnya adlah 25-30 kali berat bahan yang akan dipisahkan. Teknik banyak digunakan dalam pemisahan senyawa-senyawa organic dan konstituen-konstituen yang sukar menguap sedangkan untuk pemisahan jenis logan-logam atau senyawa anorganik jarang dipakai (Yazid, 2005, hal: 98).
          Dalam proses kromatografi selalu terdapat salah satu kecenderungan molekul-molekul komponen untuk melarut dalam cairan, melekat pada permukaan padatan halus, bereaksi secara kimia dan terekslusi pada pori-pori fasa diam. Komponen yang dipisahkan harus larut dalam fasa gerak dan harus mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan fasa diam dengan cara melarut di dalamnya, teradsorpsi atau bereaksi secara kimia. Pemisahan terjadi berdasarkan perbedaan migrasi zat-zat yang menyusun suatu sampel. Hasil pemisahan dapat digunakan untuk keperluan  analisis kualitatif, analisis kuantitatif dan pemurnian suatu senyawa. Dalam beberapa hal metode pemisahan kromatografi mempunyai kemiripan dengan metode pemisahan ekstraksi. Kedua metode ini sama-sama menggunakan dua fasa, dimana fasa satu bergerak terhadap fasa lainnya, kesetimbangan solut selalu terjadi di antara kedua fasa ( Alimin dkk, 2007, hal: 74-75).
            Pemisahan kromatografi kolom adsorpsi didasarkan pada adsorpsi komponen-komponen campuran dengan afinitas berbeda-beda terhadap permukaan fase diam. Kromatografi kolom terabsorpsi termasuk pada cara pemisahan cair padat, substrat padat bertindak sebagai fasa diam yang sifafnya tidak larut dalam fasa cair, fasa bergeraknya adalah cairan atau pelarut yang mengalir membawa komponen campuran sepanjang kolom. Pemisahan bergantung pada kesetimbangan yang terbentuk pada bidang antar muka diantara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta kelarutan relatif komponen pada fasa bergeraknya. Antara molekul-molekul komponen dan pelarut terjadi kompetisi untuk teradsorpsi pada permukaan adsorben sehingga menimbulkan proses dinamis. Keduanya secara bergantian tertahan beberapa saat di permukaan adsorben dan masuk kembali pada fasa bergerak (Yazid, 2005, hal: 100).
Pada saat teradsorpsi komponen dipaksa untuk berpindah oleh aliran fasa bergerak yang ditambahkan secara kontinu, akibatnya hanya komponen yang mempunyai afinitas lebih besar terhadap adsorben akan secara selektif tertahan. Komponen afinitas paling kecil akan bergerak lebih cepat mengikuti aliran pelarut. Pada kromatografi adsorpsi, besarnya koefisien distribusi sama dengan konsentrasi zat terlarut pada fasa teradsorpsi dibagi konsentrasinya pada fasa larutan. Ketergantungan jumlah zat terlarut yang teradsorpsi terhadap konsentrasi zat terlarut dalam larutan dinyatakan dengan isoterm adsorpsi Langmuir (Yazid, 2005, hal: 100).
                Metode pemisahan kromatografi kolom ini memerlukan bahan kimia yang cukup banyak sebagai fasa diam dan fasa bergerak bergantung pada ukuran kolom gelas. Untuk melakukan pemisahan campuran dengan metode kromatografi kolom diperlukan waktu yangcukup lama, bias berjam-jam hanya untuk memisahkan satu campuran. Selain itu, hasil pemisahan kurang jelas artinya kadang-kadang sukar mendapatkan pemisahan secara sempurna karena pita komponen yang satu bertumpang tindih dengan komponen lainnya. Masalah waktu yang lama disebabkan laju alir fasa gerak hanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi, ukuran diameter partikel yang cukup besar membuat luas permukaan fasa diam relative kecil sehingga tempat untuk berinteraksi antara komponen-komponen dengan fasa diam menjadi terbatas. Apabila ukuran diameter partikel diperkecil supaya luas permukaan fasa diam bertambah menyebabkan semakin lambatnya aliran fasa gerak atau fasa gerak tidak mengalir sama sekali. Selain itu fasa diam yang sudah terpakai tidak dapat digunakan lagi untuk pemisahan campuran yang lain karena sukar meregenerasi fasa diam (Hendayana, 2006, hal: 2-3).
Untuk memisahkan campuran, kolom yang telah dipilih sesuai campuran diisi dengan bahan penyerap seperti alumina dalam keadaan kering atau dibuat seperti bubur dengan pelarut. Pengisian dilakukan dengan bantuan batang pengaduk untuk memanfaatkan adsorben dan gelas wool pada dasar kolom. Pengisian harus dilakukan secara hat-hati dan sepadat mungkin agar rata sehingga terhindar dari gelembung-gelembung udara, untuk membantu homogenitas biasanya kolom setelah diisi divibrasi diketok-ketok. Sejumlah cuplikan yang dilarutkan dalam sedikit pelarut, dituangkan melalui sebelah atas kolom dan dibiarkan mengalir ke dalam adsorben. Komponen-komponen dalam campuran diadsorpsi dari larutan secara kuantitatif oleh bahan penyerap berupa pita sempit pada permukaan atas kolom. Dengan penambahan pelarut secara terus-menerus, masing-masing komponen akan bergerak turun melalui kolom dan pada bagian atas kolom akan terjadi kesetimbangan baru antara bahan penyerap, komponen campuran dan eluen. Kesetimbangan dikatakan tetap apabila suatu komponen yang satu dengan yang lainnya bergerak ke bagian bawah kolom dengan waktu atau kecepatan berbeda-beda sehingga terjadi pemisahan (Yazid, 2005, hal: 200-2001).
Menurut Alimin (2007, hal: 75) keuntungan pemisahan dengan metode kromatografi adalah
a.       Dapat digunakan untuk sampel atau konstituen yang sangat kecil.
b.      Cukup selektif terutama untuk senyawa-senyawa organik multi komponen.
c.       Proses pemisahan dalam dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.
d.      Seringkali murah dan sederhana karena umumnya tidak memerlukan alat yang mahal dan rumit.

Kamis, 29 Oktober 2015

Senyawa Berstruktur Spesifik & Tidak Spesifik


 Senyawa Berstruktur Tidak Spesifik
Senyawa berstruktur tidak spesifik adalah senyawa dengan truktur kimia bervariasi, tidak berinteraksi dengan reseptor spesifik, dan aktivitas biologisnya tidak secara langsung dipengaruhi oleh struktur kimia tetapi lebih dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia fisika, seperti derajat ionisasi, kelarutan, aktivitas termodinamik, tegangan permukaan dan redoks potensial. Terlihat bahwa efek biologis karena akumulasi obat pada daerah yang penting dari sel sehingga menyebabkan ketidakteraturan rantai proses metabolisme. Senyawa berstruktur tidak spesifik menunjukkan aktivitas fisik denga karakteristik sebagai berikut:
a.                Efek biologis berhubungan langsung dengan aktivitas termodinamik, dan memerlukan dosis yang relatif besar.
b.               Walaupun perrbedaan struktur kimia besar, asal aktivitas termodinamik hampir sama akan memberikan efek yang sama.
c.                Ada keseimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal.
d.               Bila terjadi keseimbangan, aktivitas termodinamik masing-masing fasa harus sama.
e.               Pengukuran aktivitas termodinamik pada fasa ekternal juga mencerminkan aktivitas termodinamik biofasa.
f.                Senyawa dengan derajat kejenuhan yang sama, mempunyai aktivitas termodinamik sama sehingga derajat efek biologis sama pula. Oleh karena itu larutan jenuh dari senyawa dengan sruktur yang berbeda dapat memberikan efek biologis yang sama.

 Senyawa Berstruktur Spesifik
Senyawa berstruktur spesifik adalah senyawa yang memberikan efeknya dengan mengikat reseptor atau aseptor yang spesifik.
Mekanisme kerjanya dapat melalui salah satu cara berikut ini:
a.                Bekerja pada enzim, yaitu dengan cara pengaktifan, penghambatan atau pengaktifan kembali enzim-enzim tubuh.
b.               Antagonis, yaitu antagonis kimia, fungsional, farmakologis atau antagonis metabolik.
c.                 Menekan fungsi gen, yaitu dengan menghambat biosintesis asam nukleat atau sintesis protein.
d.               Bekerja pada membran, yaitu dengan mengubah membran sel dan mempengaruhi sistem transpor membran sel.
Aktivitas biologis senyawa berstruktur spesifik tidak bergantung pada aktivitas termodinamik, nilai a lebih kecil dari 0,01 , tetapi lebih bergantung pada struktur kimia yang spesifik. Kereaktifan kimia, bentuk, ukuran, dan pengaturan stereokimia molekul, distribusi gugus fungsional, efek induksi dan resonansi, distribusi elektronik dan interaksi dengan reseptor mempunyai eran yang menentukan untuk terjadinya aktivitas biologis.
Senyawa berstruktur spesifik mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a.                Efektif pada kadar yang rendah.
b.                Melibatkan keseimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal.
c.                Melibatkan ikatan-ikatan kimia yang lebih kuat dibandingkan ikatan pada senyawa yang berstruktur tidak spesifi.
d.                Pada keadaan kesetimbangan aktivitas biologisnya maksimal.
e.               Sifat fisik dan kimia sama-sama berperan dalan menentukan efek biologis.
f.                Secara umum mempunyai struktur dasar karakteristik yang bertanggung jawab terhadap efek biologis senyawa analog.
g.               Sedikit perubahan struktur dapat mempengaruhi secara drastis aktivitas biologis obat.
Contoh obat berstruktur spesifik antara lain : Analgesik (morfin), antihistamin (difenhidramin), diuretika penghambat monoamin oksidase (asetazolamid) dan β – adrenergik (salbutamol). Pada senyawa berstruktur spesifik sedikit perubahan struktur kimia dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologisnya.


Perbedaan antara senyawa berstruktur spesifik dan nonspesifik  tidak cukup dipandang dari satu atau dua perbedaan karakteristik senyawa tetapi harus dipandang sifat atau karakteristik secara keseluruhan. Sering pada obat tertentu tidak mempunyai struktur yang mirip tetapi menunjukkan efek farmakologis yang sama, dan perubahan sedikit struktur tidak mempengaruhi efek. Sebagai contoh adalah obat diuretik yang mempunyai struktur kimia sangat bervariasi, contoh turunan merkuri organik, turunan sulfamid, turunan tiazid, dan spironolakton. Sedikit modifikasi struktur tidak mempengaruhi aktivitas diuretik dari masing-masing turunan. Ini merupakan salah satu karakteristik dari senyawa berstruktur spesifik.
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa obat diuretik menghasilkan respons farmakologis yang sama tetapi masing-masing turunan mempengaruhi proses biokimia yang berbeda, jadi mekanisme aksinya berbeda.


Turunan merkuri organik, seperti klormerodrin,  bekerja sebagai diuretik dengan mengikat gugus SH enzim Na, K-dependent ATP-ase, yang bertanggung jawab terhadap produksi energi yang diperlukan untuk reabsorpsi Na di membran tubulus, turunan sulfamid, seperti asetazolamid, bekerja dengan menghambat enzim karbonik anhidrase, turunan tiazid seperti hidroklorotiazid, menghambat reabsorpsi Na tubulus ginjal, dan spironolakton bekerja sebagai antagonis aldosteron, senyawa yang mengatur keseimbangan elektrolit dalam tubuh.
Fenomena di atas menunjang pengertian bahwa mekanisme aksi obat pada tingkat molekul dapat melalui beberapa jalan, dan ini memberikan penjelasan mengapa obat dengan tipe struktur berbeda dapat menunjukkan respons farmakologis yang sama. Sebanarnya sulit memisahkan antara senyawa berstruktur tidak spesifikdan spesifik karena banyak senyawa yang berstruktur spesifik, seperti antibiotika turunan penisilin, tidak berinteraksi secara spesifik dengan reseptor pada tubuh manusia, tetapi beinteraksi dengan reseptor spesifik yang terlibat pada proses pembentukan dinding sel bakteri. Jadi aktivitas antibakterinya terutama ditentukan oleh sifat kimia fisika seperti sifat lipofilik dan elektronik yang berperan pada proses distribusi obat sehingga senyawa dapat mencapai jaringan target dengan kadar yang cukup besar.

Rabu, 28 Oktober 2015

Seven-star pharmacist concept by World Health Organization

PENGEMBANGAN OBAT (DEVELOPMENT OF DRUG)

   
Pengembangan bahan obat diawali dengan sintesis atau isolasi dari berbagai sumber yaitu dari tanaman (glikosida jantung untuk mengobati lemah jantung), jaringan hewan (heparin untuk mencegah pembekuan darah), kultur mikroba (penisilin G sebagai antibiotik pertama), urin manusia (choriogonadotropin) dan dengan teknik bioteknologi dihasilkan human insulin untuk menangani penyakit diabetes. Dengan mempelajari hubungan struktur obat dan aktivitasnya maka pencarian zat baru lebih terarah dan memunculkan ilmu baru yaitu kimia medisinal dan farmakologi molekular. 7
Sebagian besar obat baru atau produk obat ditemukan atau dikembangkan melalui satu atau lebih dari enam pendekatan berikut: 7
1.                       Identifikasi atau elusidasi target obat baru
2.                       Desain obat baru yang rasional berdasarkan pemahaman akan mekanisme biologik, struktur reseptor, dan struktur obat.
3.                       Modifikasi molekul terkait secara kimiawi.
4.                       Skrining terhadap aktivitas biologik produk-produk alamiah, kumpulan berbagai unsur kimiawi yang telah ditemukan sebelumnya, dan kumpulan berbagai peptida, asam nukleat, dan molekul organik lainnya.
5.                       Bioteknologi dan kloning menggunakan gen untuk menghasilkan berbagai peptida dan protein. Upaya untuk menemukan target dan pendekatan dalam pengembangan dan penemuan obat baru terus dilakukan melalui berbagai penelitian dalam bidang genomik, proteomik, asam nukleat dan farmakologi molekuler untuk terapi medikamentosa. Peningkatan jumlah target obat pada penyakit secara signifikan hendaknya memotivasi pembaruan dan peningkatan obat.
6.                       Kombinasi berbagai obat yang telah dikenal untuk mendapatkan efek aditif atau sinergistik atau reposisi obat tersebut untuk keperluan pengobatan yang baru.

a.                       Penyaringan Obat
   Tanpa memandang sumber atau gagasan utama yang mengarah pada suatu molekul kandidat obat, uji obat melibatkan serangkaian eksperimen dan penelitian pada makhluk hidup yang dilaksanakan secara konsisten. Proses ini dinamakan skrining obat. Beragam uji (assay) biologik pada hewan percobaan baik pada tingkat molekular, selular, organ, maupun holistik digunakan untuk menentukan aktivitas dan selektivitas obat. Jenis dan jumlah uji skrining awal bergantung pada tujuan farmakologi dan terapeutik. Berbagai obat anti-infeksi akan diuji terhadap berbagai organisme penyebab infeksi, beberapa diantaranya menunjukkan resitensi terhadap obat standar, dan berbagai obat hipoglikemik akan diuji kemampuannya untuk menurunkan gula darah, dan sebagainya. Selain itu, kumpulan berbagai kerja lainnya dari satu molekul juga akan diteliti untuk menentukan mekanisme kerja dan selektivitas obat.
Hal ini mempunyai keuntungan karena dapat memperlihatkan berbagai efek toksik baik yang diduga maupun yang tidak diduga. Terkadang, seorang pengamat yang cukup teliti dapat menemukan suatu efek terapeutik yang tidak diduga sebelumnya. Pemilihan molekul-molekul yang akan diteliti lebih lanjut paling efisien dilakukan melalui model penyakit manusia pada hewan percobaan. Pada umumnya, manusia memiliki obat-obatan yang adekuat untuk berbagai keadaan dengan model perkiraan pra klinis yang baik (contohnya obat antibakterial, penyakit hipertensi atau trombotik). Untuk penyakit yang memiliki model pra klinis yang buruk atau yang sama sekali belum memiliki model pra klinis, seperti pada penyakit Alzheimer, obat-obatan yang adekuat umumnya belum tersedia dan jarang terdapat terobosan baru dalam peningkatan terapi. 7
  
b.                       UJI KEAMANAN DAN TOKSISITAS PRAKLINIK
Semua obat bersifat toksik pada dosis tertentu. Menetapkan batas toksisitas dan indeks terapeutik antara manfaat dan risiko (risk and benefit) suatu obat secara tepat mungkin merupakan bagian terpenting dari proses pengembangan suatu obat baru. Sebagian besar kandidat obat gagal dipasarkan, tetapi seni pengembangan dan penemuan obat terletak pada kajian dan manajemen resiko yang efektif, bukan pada penghindaran risiko secara total. 7
Berbagai obat kandidat yang telah melewati prosedur skrining dan penetapan profil awal harus dievaluasi secara hati-hati akan adanya berbagai risiko potensial sebelum dan selama dilakukannya uji klinis.
Uji yang harus ditempuh oleh calon obat adalah uji praklinik dan uji klinik. 4
1.                       Uji praklinik
Merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau aman. 4
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi :
• Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis.
• Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas).
• Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas).
• Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas)
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia. 4
Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in vitro. 4
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki. 4

2.                       Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :
1.                       Fase I ,
Calon obat diuji pada sukarelawan sehat (25-50) untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia. Meskipun tujuan dari fase I ini adalah untuk mendapatkan dosis maksimum yang dapat ditoleransi, namun studi fase I ini diatur untuk mencegah keracunan berat. Jika obat yang hendak diuji memiliki toksisitas yang signifikan, seperti pada kasus terapi kanker dan AIDS, pasien sukarelawan dengan penyakit yang berkaitanlah yang digunakan pada fase I dibanding menggunakan sukarelawan normal. Percobaan fase I dilakukan untuk menentukan apakah manusia dan hewan memperlihatkan respon yang berbeda secara signifikan terhadap obat dan untuk menentukan batas rentang dosis klinis aman yang memungkinkan. Percobaan ini “terbuka”; dimana penguji dan subyek mengetahui apa yang diberikan selama percobaan. Banyak dugaan keracunan terdeteksi pada fase ini. Pengukuran farmakokinetik penyerapan, waktu paruh, dan metabolisme biasanya dilakukan pada fase I. Studi fase I biasanya dilakukan pada pusat-pusat penelitian dengan ahli farmakologi klinis yang telah dilatih khusus. 4,7
2.                       Fase II,
Calon obat diuji pada pasien tertentu (100-200), diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. Rentang toksisitas yang lebih luas mungkin saja terdeteksi pada fase ini, dimana uji fase II biasanya dilakukan pada pusat-pusat klinis khusus (misal rumah sakit universitas). 4,7
3.                       Fase III
Melibatkan kelompok besar pasien (mencapai ribuan), disini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Sejumlah efek toksik, khususnya yang disebabkan oleh proses imunologis, pertama kali terlihat nyata pada fase III. 4,7

Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh EMEA ( European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). 7
Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. 7
Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi. Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug delivery system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, sediaan liposom, tablet salut enterik, mikroenkapsulasi dll. Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll. 7
Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter. 7
4.                       Fase IV,
Setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan, sebagai contoh Cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON disease), fenilpropanolamin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi, talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.

Google Ads